“Kamu cantik sekali, putriku,” puji Bu Amber sembari membetulkan sanggul Sabrina.
“Aku memang cantik sejak lahir, Bu,” balas Sabrina sambil tertawa.
Soraya memperhatikan ibu dan anak itu dengan hati yang sesak. Tatapannya sedih.
Bukan hanya Cakra–pria yang pernah diimpikannya menjadi suami yang diambil Sabrina. Tetapi, segala hal yang berkaitan dengan impiannya, mendadak berbelok kepada wanita itu.
Contohnya, gaun pernikahan yang dikenakan Sabrina. Gaun putih dengan hiasan bunga di sudut pinggang, juga sanggul modern dipadu mahkota permata itu adalah gaun pernikahan impiannya.
“Aku baru tahu kalau kita benar-benar memiliki selera yang sama, Sabrina.”
Meski hatinya kesal bukan main, Soraya berusaha menjaga intonasi suaranya tetap rendah. Lagi, sebagai kakak yang baik, meski hatinya sedang terluka, dia ingin ada untuk hari bahagia adiknya.
“Untuk apa kamu berada di sini? Cepat kamu ke dapur dan bantu-bantu di sana!” perintah Bu Amber, ibu angkat Soraya.
Wanita itu terlihat tidak senang kegiatannya bersama Sabrina terganggu dengan kehadiran sang anak adopsi.
“Bukankah semua pekerjaan sudah ada yang handle, Bu?”
Mendengar pertanyaan itu, Sabrina mendekat ke arah kakak angkatnya itu. Dia tersenyum meledek ke arah Soraya. “Memang sudah ada pelayan, tapi kamu sendiri ‘kan juga termasuk pelayan.”
Bu Amber pun tersenyum. “Sabrina benar. Lebih baik kamu jangan menunjukkan diri di depan para tamu kalau tidak ingin menanggung malu.” Mata wanita itu kemudian menilik penampilan Soraya dengan pandangan jengah. “Lagipula, dengan kamu memang lebih pantas berada di belakang, bantu bersih-bersih atau membawa makanan ke meja prasmanan.”
Ibu dan anak itu menertawakan Soraya.
Walau geram, Soraya harus menahan amarahnya. Kendati demikian, Soraya berpikir ucapan ibu dan adiknya ada benarnya juga.
Bagaimanapun, seharusnya, hari ini dia yang menikahi Cakra. Berada di keramaian akan membuatnya canggung. Apalagi kalau bertemu dengan orang yang dia kenal … pasti mereka akan banyak bertanya mengenai pernikahan ini.
“Baiklah, aku akan segera ke dapur.” Soraya tersenyum anggun. Wajah cantiknya yang teduh menatap Sabrina dengan tulus. “Sebelum itu, kuucapkan selama tatas pernikahanmu, adikku. Sayang, aku tidak membawa hadiahku ke sini.”
Di ujung kalimatnya, Soraya tersenyum manis. Sedangkan di hadapannya, sang adik justru memicing menatapnya.
“Terima kasih atas ucapanmu, Kak.” Gadis itu kemudian tersenyum sembari memainkan bagian gaunnya. “Tapi, tidak perlu repot-repot. Hadiah terbaik untukku adalah melihatmu menemukan pengganti calon suamiku, Kak. Supaya Kakak tidak lagi berharap padanya.”
Pandangan Soraya menunduk serta menyelipkan anak rambut ke belakang telinga. Saat itulah dia tersenyum dengan suatu rencana sudah tersusun di benaknya.
“Tenanglah, Sab. Merebut sesuatu bukanlah gayaku.” Soraya menatap sang adik dengan tenang. ‘Apalagi merebut sampah sepertinya!’ sambungnya dalam hati sebelum akhirnya undur diri dari ruangan itu.
Melihat Soraya yang sudah keluar dari ruangan pengantin, Sabrina merapat pada sang ibu.
Sabrina sedikit cemas sebenarnya melihat Soraya. Dandanan sang kakak sangat sempurna. Apalagi sosok Soraya memang mempesona. Terlebih, ketenangannya tadi … benar-benar membuatnya terintimidasi.
Kakaknya yang tidak biasa memoles diri, hari ini tiba-tiba berdandan cantik. Rambut yang sudah dicurly, memakai make up natural, dan gaun pesta yang indah.
“Bu, apa kakak sengaja berpenampilan menarik hari ini?” gerutu Sabrina. “Apa dia masih berusaha menggoda Cakra untuk kembali padanya?”
Bu Amber menyentuh lengan sang putri dengan lembut. “Tenanglah, Sayang. Walau dia berdandan seperti itu, memangnya siapa yang akan melihatnya? Kamu tetaplah bintang hari ini.”
**
Soraya yang berdandan cantik nyatanya memang tidak keberatan ketika diminta bergabung dengan barisan para pelayan.
Gadis cantik itu mengededarkan pandangan, berusaha mencari sebuah spot tepat untuk dia hampiri demi rencananya.
Maka, ketika melihat seorang pelayan pria yang tengah bersiap membawa troli menuju tempat pesta, dia pun segera menghampiri.
“Boleh aku saja yang membawa troli berisi makanan itu?” tanya Soraya.
“Kamu lebih terlihat seperti tamu dari pada pelayan.” tanya pria itu dengan kerutan di kening. “Seorang tamu seharusnya menikmati pesta, bukan sibuk membantu pekerjaan kami.”
Soraya tersenyum lembut. Dia mengembuskan napas sebelum menjawab, “Ayolah, ini hari pernikahan adikku. Aku hanya ingin ikut andil di hari bahagianya.”
Beberapa detik, pria itu terus menatap Soraya dengan ragu. “Maaf, meski kamu kakaknya mempelai, aku tidak bisa memberikan troli makanan ini begitu saja kepadamu.”
Pria itu kemudian bergegas ingin mendorong troli guna melanjutkan tugasnya. Sebelum pria itu sempat melangkah, Soraya kembali menahannya dengan menyentuh lengan pria itu.
“Ah, baiklah—"
Langkah pria itu berhenti. Tatapannya mengarah pada tangan Soraya yang kini menggelantung di lengannya.
“Ups, maaf!” Soraya lantas melepaskan tangannya. Dia berdiri kikuk, tetapi tetap berusaha membujuk pelayan tersebut. “Minimal, izinkan aku menemanimu membawa troli itu. Percayalah, aku hanya ingin membuat pernikahan adikku berkesan.”
Pelayan tersebut kemudian mengangguk. Soraya diam-diam berjengit kegirangan, sebab rencananya selangkah lebih dekat.
Dia terus mengekor pelayan itu yang bergegas masuk ke aula pesta. Ekspresinya langsung terkejut ketika mendapati dekorasi pesta.
"Mereka benar-benar hanya mengganti mempelainya.” Soraya mengedarkan pandangan ke sekeliling dengan sedikit tidak percaya.
Dekorasi yang didominasi mawar putih dengan pelaminan minimalis, tata letak meja, baju pengiring pengantin, hingga souvenir pernikahan yang dibawa oleh para tamu … semua persis dengan apa yang dia pinta pada Cakra sebelumnya.
Melihat bagaimana semua orang berbondong-bondong menyakitinya seperti ini, rasa kasihan yang semula dia rasakan seketika hilang berganti semangat. Dia telah kehilangan kekasih, orang tua, bahkan mungkin nama baiknya—mengingat orang-orang mungkin sudah tahu perihal dia yang gagal dinikahi Cakra.
Dia ingin semua orang tahu seperti apa sebenarnya mereka—Cakra, Sabrina dan keluarga angkatnya.
“Tunggulah. Hadiah untuk kalian akan aku berikan sekarang juga!” tegasnya dengan berapi-api.
Kemudian, Soraya mulai bersiap dengan hati-hati. Dia menukar file soundtrack pernikahan dengan hadiah yang telah dia persiapkan.
Tepat saat pengantin masuk, dan iringan lagu diputar … suasana pernikahan berubah jadi gaduh. Tamu yang sebelumnya terpukau pada pernikahan dan kedua mempelai, mendadak berisik saat lagu yang seharusnya romantis itu berubah jadi sebuah rekaman bukti perselingkuhan.
Rekaman itu dia ambil ketika memergoki Cakra dan Sabrina di ruang kerjanya. Spontan, suasana romantis berubah jadi gaduh.
“Jadi dia merebut kekasih kakaknya?”
“Mempelai ternyata juga seorang sampah. Kok bisa memacari kakak adik sekaligus?!”
Bisik-bisik dan penilaian buruk para tamu untuk Sabrina dan Cakra terus terdengar. Semakin lama, semakin gaduh hingga membuat Bu Amber yang semula tersenyum bangga … kini menggeram menahan marah dan malu.
“Kurang ajar! Cepat hentikan rekaman suara ini!”
Rekaman suara bukti perselingkuhan sudah berhenti. Namun bisik-bisik dari tamu undangan masih terus berlanjut. Bu Amber mencoba menenangkan bola panas yang bergulir itu sebisanya. Tak mau ketinggalan, Cakra pun turut campur tangan. “Semua itu fitnah! Yang benar adalah, aku sudah lama putus dari Soraya karena tidak ada kecocokan.”Di sisi Cakra, Sabrina berlagak menenangkan suaminya. Ia bahkan sudah berlinang dengan air mata. “Tolong maafkan Kakak. Mungkin, Kakak cemburu dan masih tidak rela melihat mantannya lebih memilihku.” Sabrina melirih sendu ke arah Kakaknya.Andai Soraya tidak mengenal buruknya Sabrina, jelas dia akan termakan akting paripurna tersebut. Namun, karena tahu adiknya itu lihai sekali memanipulasi, dia hanya mendengus menyaksikan semua orang yang menyakitinya kalang kabut menangani ulah balas dendamnya ini.Beberapa tamu mulai terdiam, memikirkan penjelasan dari pasangan pengantin itu. Namun, sebagian lainnya masih saja menjatuhkan cibiran, sebab ketidakpantasan se
“Apa yang—”Ucapan kebingungan pelayan itu langsung dihentikan Soraya dengan cubitan kecil di lengannya.“Bantu aku, tolong,” bisiknya nyaris tidak menggerakkan bibir.Di hadapannya, sebuah senyum penuh kemenangan terbit dari Sabrina. Gadis itu terlihat meneliti penampilan dari sosok lelaki yang dikenalkan Soraya sebagai calon suaminya.“Kakak berhubungan dengan seorang pelayan?” ucap Sabrina. Seperti biasa, nada bicaranya dibuat lembut, tetapi sarat akan penghakiman.Sementara itu, suara sumbang lainnya juga terdengar dari yang lain. Mereka kira, Soraya akan mengenalkan sosok lelaki yang lebih kaya daripada Cakra.Namun, ketika mengetahui pengganti Cakra yang berhasil didapatkan hanyalah seorang pelayan, mereka semua merasa tak terkalahkan.“Kamu yakin?” tanya Pak Kwong. Ekspresi ragunya semakin kentara.Soraya tetap tersenyum. “Iya, aku yakin. Dia pilihan terbaik untukku.”Ia pikir, kebohongannya kali ini akan menyelamatkannya. Namun ternyata, ucapan selanjutnya dari Pak Kwong justr
Soraya menelengkan kepalanya menatap Damar. “Apa yang aku dapatkan dari menikahimu, Damar?”Lelaki itu mengedikkan bahu, santai. “Kebebasanmu, mungkin?”Sesaat, Soraya terhenyak. Ucapan Damar begitu tepat, seolah lelaki itu sudah tahu kehidupannya.Namun, cepat-cepat ia menggelengkan kepala, mengusir kemungkinan-kemungkinan yang mana sulit terjadi di dunia nyata.Bagaimana pun, menemukan lelaki yang ternyata telah mengagumi sang wanita sejak lama tanpa wanita itu tahu … adalah hal yang sangat tidak mungkin terjadi di dunia nyata!Soraya mengembuskan napas panjang, sebelum menjawab. “Katakanlah aku bersedia. Apa isi perjanjian itu?”Kemudian, Damar terlihat menoleh ke kiri dan kanan, menilai situasi. Terlihat, para tamu mulai kembali memadati aula pernikahan Sabrina. Antreannya bahkan mengular, hingga keluar.“Mau berbicara di luar?” tawar Damar. Lelaki itu kemudian melihat jam di pergelangan tangannya. “Sudah waktunya makan siang.”“Tidak usah. Aku tidak lapar.”Namun kemudian, tiba-t
"Aku setuju.” Damar tersenyum, lalu mengangguk pelan. Mereka berdua lalu berjabat tangan, tanda telah menyetujui perjanjian pernikahan. Meski tidak ada perjanjian secara tertulis—belum, tetapi Soraya yakin, Damar adalah pria yang bisa dipercaya. Tidak hanya itu, Damar bahkan pria yang begitu perhatian. Sebab, sebelum mereka kembali masuk ke Gedung pernikahan Sabrina dan Cakra, pria itu meminta Soraya untuk mengganti bajunya dengan baju yang telah disiapkan oleh pria itu. “Kapan kamu menyiapkannya?” Soraya bertanya saat seorang perempuan yang tebakannya adalah orang suruhan Damar, membawakannya sebuah gaun pernikahan. “Melihatmu menyiapkan semuanya, aku curiga kalau kamu bukan pelayan biasa.” Kerutan di dahi Soraya tidak hilang-hilang ketika bertanya. Banyak kejanggalan yang ia temukan pada Damar, sikapnya dan juga kesiapannya pada pernikahan dadakan mereka. Namun demikian, pria itu hanya tersenyum. “Meski pernikahan ini dadakan, aku ingin istriku memakai gaun semestinya.” Damar me
“Rumah majikan?” ucap Damar sambil mengerutkan keningnya, tetapi tidak lama pria itu kembali bersuara. “Ya, ini rumah majikanku,” ucapnya sambil tertawa.Sontak, Soraya dirundung kepanikan. Ia meraih lengan Damar, menahan pria itu untuk melangkah.“Kamu gila?!” makinya dengan berbisik. “Kenapa tidak bicara dari awal? Kalau gitu, ayo kita cari kontrakan saja. Uangku kayaknya masih cukup untuk cari kontrakan petak beberapa bulan.”Di hadapannya Damar menatap Soraya dengan tatapan lembut, “Tidak usah khawatir, percaya saja padaku.”Meski masih ragu, Soraya akhirnya mengangguk. Sebab, pria itu terlihat begitu yakin, terlebih kala tangan pria itu menggenggam tangannya dan mereka melangkah memasuki rumah mewah itu bersama.“Damar!”Seorang wanita separuh baya yang terlihat masih cantik menyambut mereka dengan tatapan membola. Soraya tebak, wanita itu adalah majikan Damar yang marah karena anak buahnya tidak bekerja dengan baik.Soraya jadi takut kalau Damar akan dipecat dari pekerjaannya. “P
Saat Soraya dan Damar menunggu pukul enam sore untuk bisa makan malam di restoran bawah laut ... Lagi-lagi mereka bertemu dengan dua orang yang paling dibenci.“Mau apa kalian di sini? Numpang foto doang!” ledek Sabrina.“Untuk bisa masuk ke sini harus reservasi dahulu dan hanya orang-orang tertentu yang bisa masuk,” imbuh Cakra.“Kalau belum reservasi untuk apa kami menunggu di sini,” balas Soraya sambil memutar bola mata.Cakra dan Sabrina saling bertatap muka kemudian menertawakan Soraya. “Jangan mimpi kamu Soraya bisa makan di restoran bawah laut ini,” ledek Sabrina. “Kamu tahu, harganya bahkan bisa menghabiskan gajimu setahun.”“Jangan-jangan suamimu yang pelayan itu ingin melamar kerja di sini,” ucap Cakra yang menunjukkan senyuman mengejek. “Sudahlah Soraya kamu tidak akan pernah bisa bersaing dengan kami,” cela Sabrina.Damar kelewat cuek, dia sama sekali tidak menyahut kedua orang yang bermulut lemes itu. Tepat pukul enam sore waktu setempat, seorang executive chef menghamp
Soraya segera memasukkan ponselnya ke tas karena mobil jembutan sudah datang. Sampai di rumah, Soraya mandi dengan air hangat, lalu tidur sampai pagi. Ketika bangun tidur dipagi hari, Soraya tidak melihat Damar berada di sisinya. “Aku sudah lama tidak tidur senyenyak ini,” gumam Soraya seraya melihat ke seluruh ruangan berharap menemukan Damar di ruangan itu. Sepucuk kertas dengan catatan dia temukan di nakas samping tempat tidurnya. “Apa ini?” ucap Soraya penasaran lalu membacanya. “Aku berangkat kerja duluan, tidurmu terlalu nyenyak jadi aku tidak tega membangunkanmu. Sampai jumpa sore nanti,” Soraya senyum-senyum sendiri membaca catatan itu. Ternyata Damar mempunyai sisi tidak tegaan dibalik sikapnya yang dingin. Ponsel Soraya bergetar tanda sebuah pesan masuk dia segera mengeceknya. [“Cepat datang ke butik, apa kamu tidak butuh uang lagi!”] Soraya melempar ponselnya ke kasur, masih teringat jelas bagaimana Pak Kwong dan Bu Amber secara tidak langsung mengusirnya setelah res
Sabrina masih mematung melihat kepergian Damar dan Soraya. Dia bahkan mencubit pipinya untuk membuktikan kalau dia tidak bermimpi.“Ti-dak mungkin, ini tidak mungkin terjadi,” keluh Sabrina.“Soraya bisa mendapatkan Damar Huang, seorang cucu konglomerat di kota ini,” imbuhnya.Sebagian orang mungkin mengetahui nama orang besar saja, tapi jarang mengetahui bagaimana wajah asli orang tersebut.Saat Sabrina tengah frustasi mengetahui fakta bahwa Soraya bisa menikah dengan orang terkaya di kota ini. Soraya justru tengah merasakan kebahagian karena dicintai dengan tulus oleh Damar. Dia bisa merasakan bagaimana rasanya dikhawatirkan seperti ini.“Berikan ponselmu,” pinta Damar sembari mengulurkan tangannya.“Ini, tapi buat apa?” tanya Soraya sambil menyerahkan ponselnya.Damar segera meraih ponsel itu tanpa menjawab pertanyaan Soraya. Pria tampan itu langsung mengetik nomor telponnya dan menyimpan dengan nama “suamiku,” lalu dia menyerahkan ponsel Soraya kembali.“Lain kali kamu mau apapun