Wajah Devan berkerut samar, saat membuka pintu kamar--pria bertubuh jangkung itu mendapati Rania yang mengusap air mata. "Sayang---, kau menangis?" Lontaran pertanyaan, di-iringi dengan alunan langkah kaki mengalihkan pandangan Rania dari wajah sang bayi. Senyum kecil terukir di wajah ibu satu anak itu, setelah mendapati kedatangan suami nya. "Dev," gumam nya--dengan senyum yang tetap terukir di wajah. Saat telah berada di depan Rania--Dev, yang menyimpan rasa penasaran akan apa yang membuat Rania bersedih, segera duduk berjongkok, kini bola mata hitam pekat pria itu begitu dalam dan tajam menatap mata bening Rania. "Katakan. Apa, yang membuat mu menangis?" tanya Devan dengan lembut, pria itu masih menatap sang istri dengan tatapan yang masih sama. "Aku bahagia," sahut Rania, dan jawaban dari mulut wanita itu menciptakan kebingungan di wajah Devan. Hal bahagia apa, yang membuat sampai istri nya itu meneteskan air mata. Setidak nya-itu'lah yang ada di dalam isi kepala Devan.
Sarah telah kembali ke kamar rawat nya. Wanita berdarah Indonesia-Jepang itu terlihat masih sangat terpukul dengan meninggalnya sang Bunda, Sarah terus menangis dan menyalahkan papa Akio dengan apa yang terjadi. "Ini semua gara-gara, Papa! Gara-gara Papa mama sampai melakukan hal ini. Kalau Papa tidak memberikan perhatian lebih pada mantan istri--Papa, itu! Pasti Mama tidak akan melakukan hal ini. Papa tidak memikirkan perasaan Mama dan aku, Papa hanya memikirkan wanita itu dan Rania!" hardik Sarah dengan nada penuh emosi, air mata pun semakin saja deras mengalir. "Papa, akui Papa salah. Namun, semua itu murni karena Rania. Papa menjalin komunikasi dengan mama Ani, tidak ada yang lebih!" tegas papa Akio, pria berdarah Jepang itu berusaha meyakinkan Sarah dengan apa yang dia katakan. "Papa, bohong! Itu semua karena Papa masih memiliki perasaan pada wanita itu! Papa memang hanya mencintai wanita itu, bukan Mama!" Rasa kecewa yang teramat sangat, membuat nada suara Sarah kian mening
Tidak mudah menjadi seorang Rania. Hidup bersama keluarga angkat, dan tak pernah diperlakukan dengan baik. Rania yang begitu mendambakan kasih sayang seorang Ibu selama ini tentu nya sangat bahagia saat bertemu dengan mama Ani. Dan, Tuhan memberikan nya kembali cobaan kali ini, Rania merasa begitu berat, dia takut kehilangan mama Ani. Hingga, tangis itu pecah saat telah+berada di +dalam pelukan ayah kandung nya. "Tenanglah, Mama pasti akan baik-baik saja," ujar papa Akio membujuk, sembari mengusap-ngusap pelan punggung Rania, berusaha menguatkan anak perempuan nya itu. "Katakan, kalau Mama akan baik-baik saja, Paa, katakan kalau mama akan baik-baik saja," ujar Rania dengan sesegukan. Papa Akio mendesahkan napas nya berat, menengadakan kepala--berusaha menahan air mata agar tidak tumpah. Bagaimana pun dia harus tegar, dia harus kuat untuk Rania dan Sarah. "Mama-mu, adalah wanita yang kuat--dan papa yakin, kalau dia pasti akan selamat," ujar papa Akio dengan suara serak nya. **
Seorang diri, dengan sunyi nya suasana di dalam ruangan membawa ingatan Sarah kembali pada sang Bunda. Wanita itu seperti baru menyadari kalau Ibu kandung nya sudah tiada. Seketika Sarah terisak, wanita cantik itu menangis sesegukan-Sarah begitu merindukan mama Winda yang sudah dikebumikan siang tadi. Membuka pintu ruangan, Deni terkesiap setelah mendapati Sarah yang menangis. Dengan segera Deni melangkah masuk, pria itu menatap Sarah dengan khawatir. "Kau, menangis?" tanya Deni setelah meletakkan kantong yang berisi Pizza di atas meja. "Aku kangen sama Mama," ujar Sarah dengan sesegukan, sembari punggung tangan nya mengusap jejak basah pada kedua pipi. "Ini mungkin sudah jalan kematian nya, ikhlaskan lah, agar dia dapat pergi dengan tenang," ujar Deni memberi nasehat, dan apa yang pria itu katakan membuat mimik wajah Sarah berubah. Menatap Deni dengan nyalang. Sarah nampak marah. "Gampang sekali kau mengatakan itu, karena kau tidak mengalami nya. Seandainya wanita itu t
Pagi hari Satu rumah sakit dengan mama Ani, tentu nya lebih mempermudah papa Akio untuk bisa menjenguk putri nya. Tak ada lagi istri, kini peran papa Akio sangat diharapkan bagi Sarah yang saat ini tengah terbaring sakit. Dengan menenteng sebuah kantong plastik, lelaki berdarah Jepang itu menyeretkan langkah kaki menuju ruangan--di mana Sarah dirawat. Membuka pintu dengan pelan---papa Akio membawa langkah kaki nya masuk ke dalam ruangan, dan mendapati Sarah yang masih tidur. Senyum hangat terukir di wajah pria berdarah Jepang itu, saat mendapati putri nya--Sarah tidur dengan sangat lelap. N'tah apa yang ada di dalam pikiran nya, namun--papa Akio menatap Sarah dengan begitu dalam. Lama menatap--papa Akio menyadari kalau diri nya sedang membawa bubur ayam, dia segera meletakkan nya di atas nakas. "Semoga dia cepat bangun, sayang--kalau bubur nya cepat dingin," gumam papa Akio, dan berbalik. Seketika papa Akio membeku, setelah mendapati ada nya Deni," Deni," gumam papa Akio tanpa sada
Suara Sarah menghentikan langkah kaki yang telah Deni ayunkan. Pria itu mendesah lelah, Deni--lelaki tampan itu berusaha menahan gejolak emosi di dalam dada yang teramat sangat. Pria itu begitu geram dengan Sarah, akan sikap wanita itu yang menurut nya sangatlah kekanak-kanakkan. "Deni, aku mohon jangan pergi--? Kalau, kau pergi--aku akan bersama siapa--?" lirih Sarah lagi, sembari menatap nanar pada punggung kokoh Deni--di mana pria itu masih setia dengan posisi nya. Deni masih dengan diam nya, n'tah apa yang ada di dalam pikiran pria itu. Marah, namun juga terselip rasa kasihan nya pada Sarah. Sekian detik dengan posisi nya, akhir nya dengan hati yang berat Deni membalik. "Jika kau bersikap kekanak-kanakkan lagi, aku tidak segan-segan akan pergi.!Dan, berhentilah menyalahkan mantan istri--papa-mu, sebab bagaimana pun dia adalah Ibu-ku, dan sebagai anak, tentu sudah kewajibanku--untuk membelah nya!" ujar Deni penuh penekanan, sembari melemparkan tatatapan peringatan pada Sarah.
Rania membeku. Merasa seperti mimpi bagi Ibu satu anak itu--sebab Ibu kandung nya mama Ani sempat divonis Dokter sangat kemungkinan kecil untuk sadar, namun setelah mendengar apa yang baru saja Deni katakan membuat perasaan Rania saat ini campur-aduk. Bahagia, haru, melebur jadi satu. "Mama, sudah sadar?" tanya Rania memastikan, suara nya bergetar--bola mata itu pun sudah berkaca-kaca menahan tangis. "Iya-Mama sudah sadar, dan dia menanyakan dirimu,"ujar Deni, dengan senyum yang dia ukir pada akhir ucapan nya. "Aku akan melihat Mama!" ujar Rania dengan penuh semangat. Mengusap kedua sudut mata, dan segera melangkah pergi. Suara pintu yang dibuka dengan sangat kuat--mengalihkan pandangan mama Ani yang saat ini tengah terlentang pasrah membiarkan tenaga medis melepaskan alat-alat medis yang menempel di tubuh nya. "Rania," gumam mama Ani dengan lirih, menatap putri nya dengan penuh haru. Senyum tipis terukir, menyelimuti wajah pucat wanita paruh baya itu. "Mama---," jerit
Rania tak mampu menyembunyikan keterjutan nya setelah mendengar apa yang baru saja dikatakan Devan untuk nya."Kamu, serius-Mas?" tanya Rania memastikan, yang kini telah merubah panggilan nya pada sang suami."Iya. Jadi, karena itulah yang membuat aku memutuskan untuk membawamu pergi, agar mereka memiliki waktu untuk berbicara dari hati ke hati," sahut Devan, sembari menyeruput sedikit jus jeruk milik nya. Rania bergeming, namun dengan raut wajah yang sudah tak lagi sama, seperti ada sebuah beban yang kini tengah dia pikirkan. Begitu tenggelam, dalam apa yang menjadi beban pikiran nya, membuat Ibu tiga anak itu bahkan melupakan keberadaan Devan yang saat ini tengah bersama nya. "Seandai nya saja kedua orang tuamu kembali bersama. Bagaimana?" tanya Devan tiba-tiba, dan pertanyaan yang pria itu layangkan mampu membuat lamunan Rania membelah. Rania seketika berpaling, dan menatap Devan dengan lamat-lamat. "Mama, dan Papa, kembali bersama?" tanya Rania yang mengulangi pertanyaan dari s