Seorang diri, dengan sunyi nya suasana di dalam ruangan membawa ingatan Sarah kembali pada sang Bunda. Wanita itu seperti baru menyadari kalau Ibu kandung nya sudah tiada. Seketika Sarah terisak, wanita cantik itu menangis sesegukan-Sarah begitu merindukan mama Winda yang sudah dikebumikan siang tadi. Membuka pintu ruangan, Deni terkesiap setelah mendapati Sarah yang menangis. Dengan segera Deni melangkah masuk, pria itu menatap Sarah dengan khawatir. "Kau, menangis?" tanya Deni setelah meletakkan kantong yang berisi Pizza di atas meja. "Aku kangen sama Mama," ujar Sarah dengan sesegukan, sembari punggung tangan nya mengusap jejak basah pada kedua pipi. "Ini mungkin sudah jalan kematian nya, ikhlaskan lah, agar dia dapat pergi dengan tenang," ujar Deni memberi nasehat, dan apa yang pria itu katakan membuat mimik wajah Sarah berubah. Menatap Deni dengan nyalang. Sarah nampak marah. "Gampang sekali kau mengatakan itu, karena kau tidak mengalami nya. Seandainya wanita itu t
Pagi hari Satu rumah sakit dengan mama Ani, tentu nya lebih mempermudah papa Akio untuk bisa menjenguk putri nya. Tak ada lagi istri, kini peran papa Akio sangat diharapkan bagi Sarah yang saat ini tengah terbaring sakit. Dengan menenteng sebuah kantong plastik, lelaki berdarah Jepang itu menyeretkan langkah kaki menuju ruangan--di mana Sarah dirawat. Membuka pintu dengan pelan---papa Akio membawa langkah kaki nya masuk ke dalam ruangan, dan mendapati Sarah yang masih tidur. Senyum hangat terukir di wajah pria berdarah Jepang itu, saat mendapati putri nya--Sarah tidur dengan sangat lelap. N'tah apa yang ada di dalam pikiran nya, namun--papa Akio menatap Sarah dengan begitu dalam. Lama menatap--papa Akio menyadari kalau diri nya sedang membawa bubur ayam, dia segera meletakkan nya di atas nakas. "Semoga dia cepat bangun, sayang--kalau bubur nya cepat dingin," gumam papa Akio, dan berbalik. Seketika papa Akio membeku, setelah mendapati ada nya Deni," Deni," gumam papa Akio tanpa sada
Suara Sarah menghentikan langkah kaki yang telah Deni ayunkan. Pria itu mendesah lelah, Deni--lelaki tampan itu berusaha menahan gejolak emosi di dalam dada yang teramat sangat. Pria itu begitu geram dengan Sarah, akan sikap wanita itu yang menurut nya sangatlah kekanak-kanakkan. "Deni, aku mohon jangan pergi--? Kalau, kau pergi--aku akan bersama siapa--?" lirih Sarah lagi, sembari menatap nanar pada punggung kokoh Deni--di mana pria itu masih setia dengan posisi nya. Deni masih dengan diam nya, n'tah apa yang ada di dalam pikiran pria itu. Marah, namun juga terselip rasa kasihan nya pada Sarah. Sekian detik dengan posisi nya, akhir nya dengan hati yang berat Deni membalik. "Jika kau bersikap kekanak-kanakkan lagi, aku tidak segan-segan akan pergi.!Dan, berhentilah menyalahkan mantan istri--papa-mu, sebab bagaimana pun dia adalah Ibu-ku, dan sebagai anak, tentu sudah kewajibanku--untuk membelah nya!" ujar Deni penuh penekanan, sembari melemparkan tatatapan peringatan pada Sarah.
Rania membeku. Merasa seperti mimpi bagi Ibu satu anak itu--sebab Ibu kandung nya mama Ani sempat divonis Dokter sangat kemungkinan kecil untuk sadar, namun setelah mendengar apa yang baru saja Deni katakan membuat perasaan Rania saat ini campur-aduk. Bahagia, haru, melebur jadi satu. "Mama, sudah sadar?" tanya Rania memastikan, suara nya bergetar--bola mata itu pun sudah berkaca-kaca menahan tangis. "Iya-Mama sudah sadar, dan dia menanyakan dirimu,"ujar Deni, dengan senyum yang dia ukir pada akhir ucapan nya. "Aku akan melihat Mama!" ujar Rania dengan penuh semangat. Mengusap kedua sudut mata, dan segera melangkah pergi. Suara pintu yang dibuka dengan sangat kuat--mengalihkan pandangan mama Ani yang saat ini tengah terlentang pasrah membiarkan tenaga medis melepaskan alat-alat medis yang menempel di tubuh nya. "Rania," gumam mama Ani dengan lirih, menatap putri nya dengan penuh haru. Senyum tipis terukir, menyelimuti wajah pucat wanita paruh baya itu. "Mama---," jerit
Rania tak mampu menyembunyikan keterjutan nya setelah mendengar apa yang baru saja dikatakan Devan untuk nya."Kamu, serius-Mas?" tanya Rania memastikan, yang kini telah merubah panggilan nya pada sang suami."Iya. Jadi, karena itulah yang membuat aku memutuskan untuk membawamu pergi, agar mereka memiliki waktu untuk berbicara dari hati ke hati," sahut Devan, sembari menyeruput sedikit jus jeruk milik nya. Rania bergeming, namun dengan raut wajah yang sudah tak lagi sama, seperti ada sebuah beban yang kini tengah dia pikirkan. Begitu tenggelam, dalam apa yang menjadi beban pikiran nya, membuat Ibu tiga anak itu bahkan melupakan keberadaan Devan yang saat ini tengah bersama nya. "Seandai nya saja kedua orang tuamu kembali bersama. Bagaimana?" tanya Devan tiba-tiba, dan pertanyaan yang pria itu layangkan mampu membuat lamunan Rania membelah. Rania seketika berpaling, dan menatap Devan dengan lamat-lamat. "Mama, dan Papa, kembali bersama?" tanya Rania yang mengulangi pertanyaan dari s
Hampa, dan kosong. Itu lah yang dirasakan Sarah saat telah kembali ke rumah nya. Tak ada nya sang Bunda, membuat hari-hari yang Sarah lalui hanya dihiasi oleh air mata. Dia begitu merindukan sosok yang selalu ada untuk nya--itu. "Sarah----." Suara panggilan membuat lamunan panjang Sarah membelah, dan dengan segera punggung tangan nya mengusap jejak basah yang ada dikedua pipi. Sarah tidak mau sang Ayah mengetahui kesedihan nya. "Mau, sampai kapan kau terus seperti ini?" Suara papa Akio terdengar parau--air mata yang selalu dia dapatkan dari putri nya sejak kematian Mama Winda membuat hati nya ikut perih. Wajah Sarah berubah tegang, apa yang Papa Akio katakan mampu membuat api di dalam diri seketika meluap. Berbalik, Sarah menatap Papa Akio dengan nyalang. "Bukankah, Papa senang kalau aku seperti ini?! Dan, Papa semakin bahagia sebab akhir nya keinginan Papa untuk kembali bersama wanita itu semakin terbuka lebar!" tiduh Sarah, api yang sudah ada di dalam diri kian membarah-sa
Beberapa hari kemudian "Kau, ingin bertemu Sarah?" Deni tidak mampu menyembunyikan keterjutan nya, setelah mendengar apa yang baru saja Rania katakan. Deni tengah berkunjung ke rumah Rania dan Devan, saat mendapatkan panggilan dari suami kakak nya itu. "Iya. Dan, bisakah ekspresimu tidak usah seperti itu? Tatapan mata mu itu membuat ku takut," kata Rania dengan nada mencibir, mendapati Deni yang melototkan mata pada nya membuat bergidik ngeri. Wajah Deni mendadak kaku. Apa yang baru saja Rania ucapkan mampu membuat nya kehilangan kata-kata. Berdehem sejenak, guna memulihkan suasana hati dari rasa tidak nyaman. EHEEM EHEEM Dan, baru bersuara beberapa detik setelah nya. "Aku tidak mempermasalahkan kau mau bertemu dengan siapa. Tapi, bukankah kau tahu dengan jelas bagaimana benci nya Sarah, padamu? Dan, rasa benci itu semakin bertambah dengan kematian Ibu nya. Sarah menyalahkan mama atas kematian yang menimpah Ibu kandung nya. Jadi, kau sudah bisa membayangkan bagaimana kalau k
Beberapa menit menempuh perjalanan dengan kendaraan roda empat nya Sarah akhir nya kembali tiba di rumah nya. Namun, saat mobil milik nya telah terparkir wanita cantik itu tak langsung berlalu dari dalam mobil. Masih setia berada di kursi nya, dengan pandangan yang menerawang begitu jauh. Seperti ada sesuatu yang begitu membebani pikiran nya. Sekian detik berada di sana, Sarah akhir nya berlalu dari dalam mobil. Menyeretkan langkah kaki nya ke dalam rumah, Sarah mendapati suasana rumah yang dalam keadaan lengang. Menelusuri setiap sudut ruangan, Sarah nampak seperti tengah mencari sesuatu. Hingga, terdengar suara langkah kaki, dan dia mendapati kedatangan salah satu pelayan rumah. "Bibi----," panggil Sarah dengan setengah teriakkan, dan itu membuat pelayan tua itu menghentikan langkah kaki nya, dan menghampiri nya. "Nona," ujar nya dengan sopan. "Di mana, Papa?" tanya Sarah dengan nada suara nya yang terdengar menuntut. "Tuan Besar sedang berada di taman samping rumah," j