Jangan lupa tinggalkan komentar, dan juga follow akun IG aku, @popy--yanni untuk melihat visual-visual.
Suara Sarah menghentikan langkah kaki yang telah Deni ayunkan. Pria itu mendesah lelah, Deni--lelaki tampan itu berusaha menahan gejolak emosi di dalam dada yang teramat sangat. Pria itu begitu geram dengan Sarah, akan sikap wanita itu yang menurut nya sangatlah kekanak-kanakkan. "Deni, aku mohon jangan pergi--? Kalau, kau pergi--aku akan bersama siapa--?" lirih Sarah lagi, sembari menatap nanar pada punggung kokoh Deni--di mana pria itu masih setia dengan posisi nya. Deni masih dengan diam nya, n'tah apa yang ada di dalam pikiran pria itu. Marah, namun juga terselip rasa kasihan nya pada Sarah. Sekian detik dengan posisi nya, akhir nya dengan hati yang berat Deni membalik. "Jika kau bersikap kekanak-kanakkan lagi, aku tidak segan-segan akan pergi.!Dan, berhentilah menyalahkan mantan istri--papa-mu, sebab bagaimana pun dia adalah Ibu-ku, dan sebagai anak, tentu sudah kewajibanku--untuk membelah nya!" ujar Deni penuh penekanan, sembari melemparkan tatatapan peringatan pada Sarah.
Rania membeku. Merasa seperti mimpi bagi Ibu satu anak itu--sebab Ibu kandung nya mama Ani sempat divonis Dokter sangat kemungkinan kecil untuk sadar, namun setelah mendengar apa yang baru saja Deni katakan membuat perasaan Rania saat ini campur-aduk. Bahagia, haru, melebur jadi satu. "Mama, sudah sadar?" tanya Rania memastikan, suara nya bergetar--bola mata itu pun sudah berkaca-kaca menahan tangis. "Iya-Mama sudah sadar, dan dia menanyakan dirimu,"ujar Deni, dengan senyum yang dia ukir pada akhir ucapan nya. "Aku akan melihat Mama!" ujar Rania dengan penuh semangat. Mengusap kedua sudut mata, dan segera melangkah pergi. Suara pintu yang dibuka dengan sangat kuat--mengalihkan pandangan mama Ani yang saat ini tengah terlentang pasrah membiarkan tenaga medis melepaskan alat-alat medis yang menempel di tubuh nya. "Rania," gumam mama Ani dengan lirih, menatap putri nya dengan penuh haru. Senyum tipis terukir, menyelimuti wajah pucat wanita paruh baya itu. "Mama---," jerit
Rania tak mampu menyembunyikan keterjutan nya setelah mendengar apa yang baru saja dikatakan Devan untuk nya."Kamu, serius-Mas?" tanya Rania memastikan, yang kini telah merubah panggilan nya pada sang suami."Iya. Jadi, karena itulah yang membuat aku memutuskan untuk membawamu pergi, agar mereka memiliki waktu untuk berbicara dari hati ke hati," sahut Devan, sembari menyeruput sedikit jus jeruk milik nya. Rania bergeming, namun dengan raut wajah yang sudah tak lagi sama, seperti ada sebuah beban yang kini tengah dia pikirkan. Begitu tenggelam, dalam apa yang menjadi beban pikiran nya, membuat Ibu tiga anak itu bahkan melupakan keberadaan Devan yang saat ini tengah bersama nya. "Seandai nya saja kedua orang tuamu kembali bersama. Bagaimana?" tanya Devan tiba-tiba, dan pertanyaan yang pria itu layangkan mampu membuat lamunan Rania membelah. Rania seketika berpaling, dan menatap Devan dengan lamat-lamat. "Mama, dan Papa, kembali bersama?" tanya Rania yang mengulangi pertanyaan dari s
Hampa, dan kosong. Itu lah yang dirasakan Sarah saat telah kembali ke rumah nya. Tak ada nya sang Bunda, membuat hari-hari yang Sarah lalui hanya dihiasi oleh air mata. Dia begitu merindukan sosok yang selalu ada untuk nya--itu. "Sarah----." Suara panggilan membuat lamunan panjang Sarah membelah, dan dengan segera punggung tangan nya mengusap jejak basah yang ada dikedua pipi. Sarah tidak mau sang Ayah mengetahui kesedihan nya. "Mau, sampai kapan kau terus seperti ini?" Suara papa Akio terdengar parau--air mata yang selalu dia dapatkan dari putri nya sejak kematian Mama Winda membuat hati nya ikut perih. Wajah Sarah berubah tegang, apa yang Papa Akio katakan mampu membuat api di dalam diri seketika meluap. Berbalik, Sarah menatap Papa Akio dengan nyalang. "Bukankah, Papa senang kalau aku seperti ini?! Dan, Papa semakin bahagia sebab akhir nya keinginan Papa untuk kembali bersama wanita itu semakin terbuka lebar!" tiduh Sarah, api yang sudah ada di dalam diri kian membarah-sa
Beberapa hari kemudian "Kau, ingin bertemu Sarah?" Deni tidak mampu menyembunyikan keterjutan nya, setelah mendengar apa yang baru saja Rania katakan. Deni tengah berkunjung ke rumah Rania dan Devan, saat mendapatkan panggilan dari suami kakak nya itu. "Iya. Dan, bisakah ekspresimu tidak usah seperti itu? Tatapan mata mu itu membuat ku takut," kata Rania dengan nada mencibir, mendapati Deni yang melototkan mata pada nya membuat bergidik ngeri. Wajah Deni mendadak kaku. Apa yang baru saja Rania ucapkan mampu membuat nya kehilangan kata-kata. Berdehem sejenak, guna memulihkan suasana hati dari rasa tidak nyaman. EHEEM EHEEM Dan, baru bersuara beberapa detik setelah nya. "Aku tidak mempermasalahkan kau mau bertemu dengan siapa. Tapi, bukankah kau tahu dengan jelas bagaimana benci nya Sarah, padamu? Dan, rasa benci itu semakin bertambah dengan kematian Ibu nya. Sarah menyalahkan mama atas kematian yang menimpah Ibu kandung nya. Jadi, kau sudah bisa membayangkan bagaimana kalau k
Beberapa menit menempuh perjalanan dengan kendaraan roda empat nya Sarah akhir nya kembali tiba di rumah nya. Namun, saat mobil milik nya telah terparkir wanita cantik itu tak langsung berlalu dari dalam mobil. Masih setia berada di kursi nya, dengan pandangan yang menerawang begitu jauh. Seperti ada sesuatu yang begitu membebani pikiran nya. Sekian detik berada di sana, Sarah akhir nya berlalu dari dalam mobil. Menyeretkan langkah kaki nya ke dalam rumah, Sarah mendapati suasana rumah yang dalam keadaan lengang. Menelusuri setiap sudut ruangan, Sarah nampak seperti tengah mencari sesuatu. Hingga, terdengar suara langkah kaki, dan dia mendapati kedatangan salah satu pelayan rumah. "Bibi----," panggil Sarah dengan setengah teriakkan, dan itu membuat pelayan tua itu menghentikan langkah kaki nya, dan menghampiri nya. "Nona," ujar nya dengan sopan. "Di mana, Papa?" tanya Sarah dengan nada suara nya yang terdengar menuntut. "Tuan Besar sedang berada di taman samping rumah," j
Waktu telah berada di pukul 11 malam. Di saat banyak penghuni bumi sudah menjemput alam mimpi nya, hal serupa tak berlaku bagi Sarah. Walaupun telah dilanda rasa kantuk yang teramat sangat--namun Desicner cantik itu tak kunjung dapat tidur. Bangkit dari tidur nya, Sarah mengacak-ngacak rambut nya frustasi. "Kenapa, aku terus memikirkan omongan Rania, terus-sih?!" gerutu Sarah, dengan wajah frustasi nya. Karena tak dapat kunjung tidur, berakhir Sarah memutuskan untuk pergi ke dapur. Dia akan mengambil beberapa cemilan ringan, dan juga minuman soda, guna untuk menemani nya menonton film. Kedua kaki Sarah telah memijak di lantai dasar. Akan melangkah menuju arah dapur, namun hal itu Sarah urungkan saat dari jauh lebih tak sengaja wanita berkulit putih itu mendapati keberadaan papa Akio. "Papa," gumam Sarah, dengan pandangan tak terputus dari papa Akio, di mana pria paruh baya itu tengah berdiri di depan jendela kaca besar, sembari melemparkan pandangan nya ke arah luar. Lama me
Beberapa menit kemudian "Apa, menginap di sini?!" sahut Deni. Bola mata nya membeliak, kaget juga sedikit shyok setelah mendengar keinginan Sarah barusan. "I-ya," sahut Sarah dengan ragu, sambutan Deni menciptakan mimik wajah yang berubah pada wanita itu. Sarah nampak menahan malu. "Nggak!" Deni menolak dengan tegas, dan penolakan keras dari pria itu menciptakan kekecewaan, juga sedih di wajah Sarah. Namun, hanya sesaat saja. Seketika wanita cantik berdarah Jepang Indonesia itu, kembali memohon pada Deni. Memegang tangan pria itu dengan erat-erat, dan menatap nya dengan memohon. "Den, aku mohon-kali ini saja. Aku sedang benar-benar membutuhkan seseorang untuk berkeluh kesah. Kematian Mama, dan hubungan ku dan Papa yang merenggang, membuat aku merasakan rumahku seperti di neraka," pinta Sarah. Memasang wajah memelas nya, Sarah menatap Deni dengan bola mata berair. "Bukankah, kau memiliki teman? Jika kau tidak nyaman berada di rumah mu, kau bisa pergi menginap di rumah mer