Jangan lupa tinggalkan komentar, dan juga follow akun IG aku @popy--yanni untuk melihat visual Rania, Devan, juga baby Aariz.
Sarah telah kembali ke kamar rawat nya. Wanita berdarah Indonesia-Jepang itu terlihat masih sangat terpukul dengan meninggalnya sang Bunda, Sarah terus menangis dan menyalahkan papa Akio dengan apa yang terjadi. "Ini semua gara-gara, Papa! Gara-gara Papa mama sampai melakukan hal ini. Kalau Papa tidak memberikan perhatian lebih pada mantan istri--Papa, itu! Pasti Mama tidak akan melakukan hal ini. Papa tidak memikirkan perasaan Mama dan aku, Papa hanya memikirkan wanita itu dan Rania!" hardik Sarah dengan nada penuh emosi, air mata pun semakin saja deras mengalir. "Papa, akui Papa salah. Namun, semua itu murni karena Rania. Papa menjalin komunikasi dengan mama Ani, tidak ada yang lebih!" tegas papa Akio, pria berdarah Jepang itu berusaha meyakinkan Sarah dengan apa yang dia katakan. "Papa, bohong! Itu semua karena Papa masih memiliki perasaan pada wanita itu! Papa memang hanya mencintai wanita itu, bukan Mama!" Rasa kecewa yang teramat sangat, membuat nada suara Sarah kian mening
Tidak mudah menjadi seorang Rania. Hidup bersama keluarga angkat, dan tak pernah diperlakukan dengan baik. Rania yang begitu mendambakan kasih sayang seorang Ibu selama ini tentu nya sangat bahagia saat bertemu dengan mama Ani. Dan, Tuhan memberikan nya kembali cobaan kali ini, Rania merasa begitu berat, dia takut kehilangan mama Ani. Hingga, tangis itu pecah saat telah+berada di +dalam pelukan ayah kandung nya. "Tenanglah, Mama pasti akan baik-baik saja," ujar papa Akio membujuk, sembari mengusap-ngusap pelan punggung Rania, berusaha menguatkan anak perempuan nya itu. "Katakan, kalau Mama akan baik-baik saja, Paa, katakan kalau mama akan baik-baik saja," ujar Rania dengan sesegukan. Papa Akio mendesahkan napas nya berat, menengadakan kepala--berusaha menahan air mata agar tidak tumpah. Bagaimana pun dia harus tegar, dia harus kuat untuk Rania dan Sarah. "Mama-mu, adalah wanita yang kuat--dan papa yakin, kalau dia pasti akan selamat," ujar papa Akio dengan suara serak nya. **
Seorang diri, dengan sunyi nya suasana di dalam ruangan membawa ingatan Sarah kembali pada sang Bunda. Wanita itu seperti baru menyadari kalau Ibu kandung nya sudah tiada. Seketika Sarah terisak, wanita cantik itu menangis sesegukan-Sarah begitu merindukan mama Winda yang sudah dikebumikan siang tadi. Membuka pintu ruangan, Deni terkesiap setelah mendapati Sarah yang menangis. Dengan segera Deni melangkah masuk, pria itu menatap Sarah dengan khawatir. "Kau, menangis?" tanya Deni setelah meletakkan kantong yang berisi Pizza di atas meja. "Aku kangen sama Mama," ujar Sarah dengan sesegukan, sembari punggung tangan nya mengusap jejak basah pada kedua pipi. "Ini mungkin sudah jalan kematian nya, ikhlaskan lah, agar dia dapat pergi dengan tenang," ujar Deni memberi nasehat, dan apa yang pria itu katakan membuat mimik wajah Sarah berubah. Menatap Deni dengan nyalang. Sarah nampak marah. "Gampang sekali kau mengatakan itu, karena kau tidak mengalami nya. Seandainya wanita itu t
Pagi hari Satu rumah sakit dengan mama Ani, tentu nya lebih mempermudah papa Akio untuk bisa menjenguk putri nya. Tak ada lagi istri, kini peran papa Akio sangat diharapkan bagi Sarah yang saat ini tengah terbaring sakit. Dengan menenteng sebuah kantong plastik, lelaki berdarah Jepang itu menyeretkan langkah kaki menuju ruangan--di mana Sarah dirawat. Membuka pintu dengan pelan---papa Akio membawa langkah kaki nya masuk ke dalam ruangan, dan mendapati Sarah yang masih tidur. Senyum hangat terukir di wajah pria berdarah Jepang itu, saat mendapati putri nya--Sarah tidur dengan sangat lelap. N'tah apa yang ada di dalam pikiran nya, namun--papa Akio menatap Sarah dengan begitu dalam. Lama menatap--papa Akio menyadari kalau diri nya sedang membawa bubur ayam, dia segera meletakkan nya di atas nakas. "Semoga dia cepat bangun, sayang--kalau bubur nya cepat dingin," gumam papa Akio, dan berbalik. Seketika papa Akio membeku, setelah mendapati ada nya Deni," Deni," gumam papa Akio tanpa sada
Suara Sarah menghentikan langkah kaki yang telah Deni ayunkan. Pria itu mendesah lelah, Deni--lelaki tampan itu berusaha menahan gejolak emosi di dalam dada yang teramat sangat. Pria itu begitu geram dengan Sarah, akan sikap wanita itu yang menurut nya sangatlah kekanak-kanakkan. "Deni, aku mohon jangan pergi--? Kalau, kau pergi--aku akan bersama siapa--?" lirih Sarah lagi, sembari menatap nanar pada punggung kokoh Deni--di mana pria itu masih setia dengan posisi nya. Deni masih dengan diam nya, n'tah apa yang ada di dalam pikiran pria itu. Marah, namun juga terselip rasa kasihan nya pada Sarah. Sekian detik dengan posisi nya, akhir nya dengan hati yang berat Deni membalik. "Jika kau bersikap kekanak-kanakkan lagi, aku tidak segan-segan akan pergi.!Dan, berhentilah menyalahkan mantan istri--papa-mu, sebab bagaimana pun dia adalah Ibu-ku, dan sebagai anak, tentu sudah kewajibanku--untuk membelah nya!" ujar Deni penuh penekanan, sembari melemparkan tatatapan peringatan pada Sarah.
Rania membeku. Merasa seperti mimpi bagi Ibu satu anak itu--sebab Ibu kandung nya mama Ani sempat divonis Dokter sangat kemungkinan kecil untuk sadar, namun setelah mendengar apa yang baru saja Deni katakan membuat perasaan Rania saat ini campur-aduk. Bahagia, haru, melebur jadi satu. "Mama, sudah sadar?" tanya Rania memastikan, suara nya bergetar--bola mata itu pun sudah berkaca-kaca menahan tangis. "Iya-Mama sudah sadar, dan dia menanyakan dirimu,"ujar Deni, dengan senyum yang dia ukir pada akhir ucapan nya. "Aku akan melihat Mama!" ujar Rania dengan penuh semangat. Mengusap kedua sudut mata, dan segera melangkah pergi. Suara pintu yang dibuka dengan sangat kuat--mengalihkan pandangan mama Ani yang saat ini tengah terlentang pasrah membiarkan tenaga medis melepaskan alat-alat medis yang menempel di tubuh nya. "Rania," gumam mama Ani dengan lirih, menatap putri nya dengan penuh haru. Senyum tipis terukir, menyelimuti wajah pucat wanita paruh baya itu. "Mama---," jerit
Rania tak mampu menyembunyikan keterjutan nya setelah mendengar apa yang baru saja dikatakan Devan untuk nya."Kamu, serius-Mas?" tanya Rania memastikan, yang kini telah merubah panggilan nya pada sang suami."Iya. Jadi, karena itulah yang membuat aku memutuskan untuk membawamu pergi, agar mereka memiliki waktu untuk berbicara dari hati ke hati," sahut Devan, sembari menyeruput sedikit jus jeruk milik nya. Rania bergeming, namun dengan raut wajah yang sudah tak lagi sama, seperti ada sebuah beban yang kini tengah dia pikirkan. Begitu tenggelam, dalam apa yang menjadi beban pikiran nya, membuat Ibu tiga anak itu bahkan melupakan keberadaan Devan yang saat ini tengah bersama nya. "Seandai nya saja kedua orang tuamu kembali bersama. Bagaimana?" tanya Devan tiba-tiba, dan pertanyaan yang pria itu layangkan mampu membuat lamunan Rania membelah. Rania seketika berpaling, dan menatap Devan dengan lamat-lamat. "Mama, dan Papa, kembali bersama?" tanya Rania yang mengulangi pertanyaan dari s
Hampa, dan kosong. Itu lah yang dirasakan Sarah saat telah kembali ke rumah nya. Tak ada nya sang Bunda, membuat hari-hari yang Sarah lalui hanya dihiasi oleh air mata. Dia begitu merindukan sosok yang selalu ada untuk nya--itu. "Sarah----." Suara panggilan membuat lamunan panjang Sarah membelah, dan dengan segera punggung tangan nya mengusap jejak basah yang ada dikedua pipi. Sarah tidak mau sang Ayah mengetahui kesedihan nya. "Mau, sampai kapan kau terus seperti ini?" Suara papa Akio terdengar parau--air mata yang selalu dia dapatkan dari putri nya sejak kematian Mama Winda membuat hati nya ikut perih. Wajah Sarah berubah tegang, apa yang Papa Akio katakan mampu membuat api di dalam diri seketika meluap. Berbalik, Sarah menatap Papa Akio dengan nyalang. "Bukankah, Papa senang kalau aku seperti ini?! Dan, Papa semakin bahagia sebab akhir nya keinginan Papa untuk kembali bersama wanita itu semakin terbuka lebar!" tiduh Sarah, api yang sudah ada di dalam diri kian membarah-sa
5 bulan kemudian Oeek---- Oeek---- Suara tangisan bayi menggema di dalam ruangan operasi, dan suara tangisan bayi yang terdengar, membuat sosok-sosok dewasa itu seketika mengucapkan rasa syukur. "Selamat ya, Deni, akhir nya kamu sudah menjadi ayah," ujar Devan, menghampiri Deni dan memeluk sebentar pria itu. "Terima kasih Tuan," ujar Deni, dengan senyum lepas di wajah--kebahagiaan nyata terlihat di wajah pria itu, di mana binar bahagia nyata terlihat di bola mata nya. "Deni----," panggil Rania beberapa menit kemudian. Datang nya sosok Rania, mengembangkan senyum di wajah Deni, namun ada nya air mata yang dia temukan pada kelopak mata kakak angkat nya, membuat Deni pun tak mampu membendung kesedihan itu lagi. Bagi Deni, Rania adalah sosok kakak yang baik untuk nya. Melangkah menghampiri, Deni segera memeluk tubuh wanita itu saat sudah berada dekat dengan nya. "Kau, sudah menjadi seorang, ayah, Deni, selamat!" ujar Rania dengan lirih, sudah ada butir kristal yang mene
Kaget, dengan bola mata yang membeliak penuh. Namun, menyadari bagaimana sambutan nya dengan segera Rania, mengembalikan mimik wajah nya. "Maaf," ujar Rania dengan kikuk, wanita itu nampak salah tingkah merasa tidak enak hati pada Sarah. Sarah yang menunduk, seketika mendongak--iris hitam nya, begitu dalam dan tajam, menatap manik hitam Rania. Masih menatap, Sarah akhir nya bersuara. "Apakah, kau tidak akan memaafkan aku?" tanya Sarah dengan lirih, ada mendung yang sudah menyelimuti wajah cantik wanita itu bagaimana mendapati sambutan Rania akan permintaan maaf dari nya. Wajah Rania mendadak kaku, terperangah--sebab merasa Sarah sudah salah sangkah pada nya," Oh, bukan begitu maksudku, kau salah sangkah! Aku, sudah memaafkan mu, sejak kau mengijinkan Papa, dan Mamaku untuk kembali bersatu " jelas Rania. "Benarkah?" ujar Sarah dengan senyum yang mengembang di wajah, wanita yang sedang mengandung 4 bulan itu terlihat sumringah, bola mata nya pun berbinar bahagia. "Yaa!"
Dua Minggu kemudian Duduk berdampingan, namun walaupun duduk bersama, Sarah, maupun Deni tak ada yang saling berbicara. Ntah, apa yang ada dalam pikiran kedua nya, namun kedua sosok itu lebih memilih untuk diam. Suasana canggung begitu terasa. Ingin berbicara, namun--Deni bingung harus memulai nya dari mana. Sarah terus saja mendiam kan nya. Alhasil, Deni tetap dengan diam nya--dengan sesekali melirik kan pandangan nya pada Sarah. Mendapati Sarah yang meremas jari-jari nya, pria itu hanya bisa mendesahkan napas nya berat. "Aku seperti melihat orang lain. Padahal Sarah yang aku kenal, adalah sosok yang arogant, dan suka, banyak bicara!" gumam Deni dalam hati, dengan diam-diam menatap pada Sarah. Hening--- Hening--- Sampai kapan--mereka saling, diam? Setidak nya itu lah yang ada di dalam pikiran Deni saat ini. Tak, mampu menahan diri itu lagi--Deni memilih untuk bersuara terlebih dahulu. "Kenapa, kau tidak memberitahukan padaku--kalau kau, sedang mengandung?" ujar Deni
Malam hari "Rania----." Suara panggilan membuat lamunan panjang Rania membelah, wanita berambut indah itu seketika memindai pandangan nya pada asal suara. "Dev---,"gumam nya, saat mendapati kedatangan sang suami. Sebagai seseorang yang sangat mengenal baik Rania, tentu Devan tahu-seperti apa istri nya itu. Air muka yang Rania tunjukkan saat ini, Devan yakin ada sesuatu yang begitu membebani istri nya itu saat ini. "Kamu, baik-baik saja'kan?" tanya Devan. Menutup pintu ruangan, pria itu menyeretkan langkah berat nya menuju Rania. Rania tak langsung menyambut pertanyaan yang Devan layangkan. Pertanyaan yang pria itu berikan, kembali menyadarkan Rania atas kenyataan yang dia ketahui hari ini. Diam, iris hitam Rania begitu lekat, dan dalam, menatap manik hitam Devan. "Tidak! Aku tidak boleh memberitahukan hal ini pada Devan." Rania bermonolog dalam hati, wanita itu sedang berperang dengan suara hati nya sendiri. "Aku baik-baik saja!" sahut Rania, memutuskan pandangan-ber
Sarah telah kembali berada di dalam mobil. Namun, bukan nya langsung pergi meninggalkan area depan restorant, Desicner perhiasan itu justru masih setia tetap berada di sana. Begitu malu saat Rania melihat tanda merah di leher nya, membuat Sarah menenggelamkan wajah nya sedalam mungkin di antara bundaran setir, dengan tak henti-henti nya menggerutu. "Sebel! Sebel! Bagaimana, bisa aku seceroboh ini?!" gerutu Sarah, sembari memukul-mukul kuat bundaran setir. Puas meluapkan kekesalan nya, Sarah mendongak, dan wanita itu mendapati Rania yang melintasi depan mobil nya. Mendapati Rania yang tersenyum--Sarah yakin kalau saudara tiri nya itu tengah menertawakan diri nya. Masih setia memandang Rania, hingga berakhir diri nya mendapati Ibu satu anak itu yang berlalu dengan sebuah mobil mewah. Lama memandang, Sarah memutuskan pandangan setelah teringat rencana nya yang akan berziarah ke makam sang Bunda. Menghidupkan mesin mobil, dan berlalu pergi meninggalkan depan restorant. **** *****
Beberapa hari ini Devan merasa ada yang berbeda dengan Deni. Orang kepercayaan, juga adik ipar nya. Menurut Devan sedang tidak baik-baik saja. Deni yang selalu smart, dan selalu terlihat gentle, akhir-akhir ini nampak tidak bersemangat. Terus memandang, Devan yang selama ini memendam rasa penasaran nya akhir nya bertanya. "Bolehkah, aku bertanya sesuatu?" tanya Devan, dengan nada suara yang terdengar ragu. Deni yang tengah memandang wajah ponsel, seketika menengadah--pria itu menatap Devan dengan lekat-lekat. Devan tak langsung melontarkan pertanyaan. Di tatap nya wajah Deni lamat-lamat, lingkaran hitam pada kelopak mata, wajah yang kusut, seperti nya pria itu akhir-akhir ini kurang beristirahat. "Apakah, kau sedang ada masalah? Sebab yang aku perhatikan beberapa hari ini kau nampak murung. Mata mu pun nampak menghitam. Bukankah, aku jarang memberikan kau pekerjaan yang membuat kau lembur. Atau jangan-jangan, kau sering menghabiskan waktu di Klup malam bersama para wani
Beberapa menit kemudian "Apa, menginap di sini?!" sahut Deni. Bola mata nya membeliak, kaget juga sedikit shyok setelah mendengar keinginan Sarah barusan. "I-ya," sahut Sarah dengan ragu, sambutan Deni menciptakan mimik wajah yang berubah pada wanita itu. Sarah nampak menahan malu. "Nggak!" Deni menolak dengan tegas, dan penolakan keras dari pria itu menciptakan kekecewaan, juga sedih di wajah Sarah. Namun, hanya sesaat saja. Seketika wanita cantik berdarah Jepang Indonesia itu, kembali memohon pada Deni. Memegang tangan pria itu dengan erat-erat, dan menatap nya dengan memohon. "Den, aku mohon-kali ini saja. Aku sedang benar-benar membutuhkan seseorang untuk berkeluh kesah. Kematian Mama, dan hubungan ku dan Papa yang merenggang, membuat aku merasakan rumahku seperti di neraka," pinta Sarah. Memasang wajah memelas nya, Sarah menatap Deni dengan bola mata berair. "Bukankah, kau memiliki teman? Jika kau tidak nyaman berada di rumah mu, kau bisa pergi menginap di rumah mer
Waktu telah berada di pukul 11 malam. Di saat banyak penghuni bumi sudah menjemput alam mimpi nya, hal serupa tak berlaku bagi Sarah. Walaupun telah dilanda rasa kantuk yang teramat sangat--namun Desicner cantik itu tak kunjung dapat tidur. Bangkit dari tidur nya, Sarah mengacak-ngacak rambut nya frustasi. "Kenapa, aku terus memikirkan omongan Rania, terus-sih?!" gerutu Sarah, dengan wajah frustasi nya. Karena tak dapat kunjung tidur, berakhir Sarah memutuskan untuk pergi ke dapur. Dia akan mengambil beberapa cemilan ringan, dan juga minuman soda, guna untuk menemani nya menonton film. Kedua kaki Sarah telah memijak di lantai dasar. Akan melangkah menuju arah dapur, namun hal itu Sarah urungkan saat dari jauh lebih tak sengaja wanita berkulit putih itu mendapati keberadaan papa Akio. "Papa," gumam Sarah, dengan pandangan tak terputus dari papa Akio, di mana pria paruh baya itu tengah berdiri di depan jendela kaca besar, sembari melemparkan pandangan nya ke arah luar. Lama me
Beberapa menit menempuh perjalanan dengan kendaraan roda empat nya Sarah akhir nya kembali tiba di rumah nya. Namun, saat mobil milik nya telah terparkir wanita cantik itu tak langsung berlalu dari dalam mobil. Masih setia berada di kursi nya, dengan pandangan yang menerawang begitu jauh. Seperti ada sesuatu yang begitu membebani pikiran nya. Sekian detik berada di sana, Sarah akhir nya berlalu dari dalam mobil. Menyeretkan langkah kaki nya ke dalam rumah, Sarah mendapati suasana rumah yang dalam keadaan lengang. Menelusuri setiap sudut ruangan, Sarah nampak seperti tengah mencari sesuatu. Hingga, terdengar suara langkah kaki, dan dia mendapati kedatangan salah satu pelayan rumah. "Bibi----," panggil Sarah dengan setengah teriakkan, dan itu membuat pelayan tua itu menghentikan langkah kaki nya, dan menghampiri nya. "Nona," ujar nya dengan sopan. "Di mana, Papa?" tanya Sarah dengan nada suara nya yang terdengar menuntut. "Tuan Besar sedang berada di taman samping rumah," j