Pernikahan Devan dan Rania, kian membawa duka dan lara di hati seorang Sarah Silviana Aksara. Belum juga luka itu sembu dengan kandas nya pernikahan nya dan Devan, kini dia kembali mendapatkan luka baru yang digoreskan oleh pria yang sama. Suara dering telepone menyapa gawai milik Sarah yang tersimpan di atas cabinet kecil. Sarah yang tengah termenung dalam kesendirian nya, seketika mengalihkan pandangan pada asal suara. Mengusap jejak yang masih tertinggal pada kedua pipi, satu tangan Sarah terulur menggapai HP milik nya. Dahi Sarah berkerut samar, setelah mendapati nama Della--yang tertulis pada layar HP nya. Della adalah orang kepercayaan dari wanita cantik itu. "Hallo." Suara serak Sarah menyapa. "Maaf-Bu, kalau saya mengganggu waktu anda." "Katakan, Della-ada apa? Apakah, ada sesuatu yang penting?" tanya Sarah, dengan nada suara nya yang terdengar menuntut. "Maafkan saya, Bu. {Dan, mendengar perkataan maaf membuat mimik wajah Sarah berubah, perasaan nya pun mulai was-was}
Ucapan mama Winda membuat ketiga sosok itu terperanjat, dan melupakan perasaan khawatir mereka pada Sarah. Papa Akio nampak marah, sementara Devan sudah menduga hal ini pasti akan terjadi. Pria itu segera mendekat pada Rania, Devan seperti ingin melindungi sang istri--takut, kalau tiba-tiba mama Winda melakukan sesuatu yang tidak di-inginkan. "Apa, yang kamu katakan-Winda?! Mana bisa kamu mengatakan seperti itu. Rania, dan Ani, tidak ada kaitan nya dengan apa yang terjadi pada Sarah! Dan, kamu pun tahu itu. Jadi, berhenti menyalahkan orang lain!" protes papa Akio dengan wajah yang sudah dibalut emosi, pria berdarah Jepang itu tidak terima dengan apa yang mama Winda katakan tentang mantan istri juga putri nya. Mama Winda tersenyum getir, hati nya kian perih dengan pembelaan dari papa Akio, "Kamu, bilang--semua ini tidak ada kaitan nya dengan Ani, dan juga Rania?" ujar nya, menjeda ucapan sejenak, saat sesak semakin membelenggu di dalam rongga dada. Mama Winda menghembuskan napas ny
Mendapati kedatangan Deni membuat mimik wajah Sarah berubah. Wanita yang merupakan lulusan salah satu universitas di Inggris itu segera memalingkan wajah nya sejauh mungkin, suasana hati nya yang sudah buruk semakin saja bertambah buruk dengan kedatangan dari anak buah dari Devan itu, Melihat Sarah yang langsung membuang muka akan kedatangan nya, menciptakan amarah di dalam diri Deni--apa lagi saat memory itu kembali terhantar pada kebohongan yang Sarah ciptakan untuk sang Tuan, membuat kebencian di dalam diri Deni semakin saja menjadi. "Dia, pikir hanya dia saja yang tidak menyukai-ku?! Asal dia tahu aku lebih tidak menyukai nya lagi! Dia benar-benar wanita yang tidak tahu malu!" gerutu Deni dalam hati, sembari melirik tajam pada Sarah yang masih memalingkan wajah. Rasa benci nya yang teramat sangat membuat Deni seolah melupakan dia di mana kini, dan sedang berada dengan siapa. Lelaki tampan itu masih saja setia melemparkan tatapan penuh kebencian nya pada Sarah, Deni seperti lupa
Wajah Devan berkerut samar, saat membuka pintu kamar--pria bertubuh jangkung itu mendapati Rania yang mengusap air mata. "Sayang---, kau menangis?" Lontaran pertanyaan, di-iringi dengan alunan langkah kaki mengalihkan pandangan Rania dari wajah sang bayi. Senyum kecil terukir di wajah ibu satu anak itu, setelah mendapati kedatangan suami nya. "Dev," gumam nya--dengan senyum yang tetap terukir di wajah. Saat telah berada di depan Rania--Dev, yang menyimpan rasa penasaran akan apa yang membuat Rania bersedih, segera duduk berjongkok, kini bola mata hitam pekat pria itu begitu dalam dan tajam menatap mata bening Rania. "Katakan. Apa, yang membuat mu menangis?" tanya Devan dengan lembut, pria itu masih menatap sang istri dengan tatapan yang masih sama. "Aku bahagia," sahut Rania, dan jawaban dari mulut wanita itu menciptakan kebingungan di wajah Devan. Hal bahagia apa, yang membuat sampai istri nya itu meneteskan air mata. Setidak nya-itu'lah yang ada di dalam isi kepala Devan.
Sarah telah kembali ke kamar rawat nya. Wanita berdarah Indonesia-Jepang itu terlihat masih sangat terpukul dengan meninggalnya sang Bunda, Sarah terus menangis dan menyalahkan papa Akio dengan apa yang terjadi. "Ini semua gara-gara, Papa! Gara-gara Papa mama sampai melakukan hal ini. Kalau Papa tidak memberikan perhatian lebih pada mantan istri--Papa, itu! Pasti Mama tidak akan melakukan hal ini. Papa tidak memikirkan perasaan Mama dan aku, Papa hanya memikirkan wanita itu dan Rania!" hardik Sarah dengan nada penuh emosi, air mata pun semakin saja deras mengalir. "Papa, akui Papa salah. Namun, semua itu murni karena Rania. Papa menjalin komunikasi dengan mama Ani, tidak ada yang lebih!" tegas papa Akio, pria berdarah Jepang itu berusaha meyakinkan Sarah dengan apa yang dia katakan. "Papa, bohong! Itu semua karena Papa masih memiliki perasaan pada wanita itu! Papa memang hanya mencintai wanita itu, bukan Mama!" Rasa kecewa yang teramat sangat, membuat nada suara Sarah kian mening
Tidak mudah menjadi seorang Rania. Hidup bersama keluarga angkat, dan tak pernah diperlakukan dengan baik. Rania yang begitu mendambakan kasih sayang seorang Ibu selama ini tentu nya sangat bahagia saat bertemu dengan mama Ani. Dan, Tuhan memberikan nya kembali cobaan kali ini, Rania merasa begitu berat, dia takut kehilangan mama Ani. Hingga, tangis itu pecah saat telah+berada di +dalam pelukan ayah kandung nya. "Tenanglah, Mama pasti akan baik-baik saja," ujar papa Akio membujuk, sembari mengusap-ngusap pelan punggung Rania, berusaha menguatkan anak perempuan nya itu. "Katakan, kalau Mama akan baik-baik saja, Paa, katakan kalau mama akan baik-baik saja," ujar Rania dengan sesegukan. Papa Akio mendesahkan napas nya berat, menengadakan kepala--berusaha menahan air mata agar tidak tumpah. Bagaimana pun dia harus tegar, dia harus kuat untuk Rania dan Sarah. "Mama-mu, adalah wanita yang kuat--dan papa yakin, kalau dia pasti akan selamat," ujar papa Akio dengan suara serak nya. **
Seorang diri, dengan sunyi nya suasana di dalam ruangan membawa ingatan Sarah kembali pada sang Bunda. Wanita itu seperti baru menyadari kalau Ibu kandung nya sudah tiada. Seketika Sarah terisak, wanita cantik itu menangis sesegukan-Sarah begitu merindukan mama Winda yang sudah dikebumikan siang tadi. Membuka pintu ruangan, Deni terkesiap setelah mendapati Sarah yang menangis. Dengan segera Deni melangkah masuk, pria itu menatap Sarah dengan khawatir. "Kau, menangis?" tanya Deni setelah meletakkan kantong yang berisi Pizza di atas meja. "Aku kangen sama Mama," ujar Sarah dengan sesegukan, sembari punggung tangan nya mengusap jejak basah pada kedua pipi. "Ini mungkin sudah jalan kematian nya, ikhlaskan lah, agar dia dapat pergi dengan tenang," ujar Deni memberi nasehat, dan apa yang pria itu katakan membuat mimik wajah Sarah berubah. Menatap Deni dengan nyalang. Sarah nampak marah. "Gampang sekali kau mengatakan itu, karena kau tidak mengalami nya. Seandainya wanita itu t
Pagi hari Satu rumah sakit dengan mama Ani, tentu nya lebih mempermudah papa Akio untuk bisa menjenguk putri nya. Tak ada lagi istri, kini peran papa Akio sangat diharapkan bagi Sarah yang saat ini tengah terbaring sakit. Dengan menenteng sebuah kantong plastik, lelaki berdarah Jepang itu menyeretkan langkah kaki menuju ruangan--di mana Sarah dirawat. Membuka pintu dengan pelan---papa Akio membawa langkah kaki nya masuk ke dalam ruangan, dan mendapati Sarah yang masih tidur. Senyum hangat terukir di wajah pria berdarah Jepang itu, saat mendapati putri nya--Sarah tidur dengan sangat lelap. N'tah apa yang ada di dalam pikiran nya, namun--papa Akio menatap Sarah dengan begitu dalam. Lama menatap--papa Akio menyadari kalau diri nya sedang membawa bubur ayam, dia segera meletakkan nya di atas nakas. "Semoga dia cepat bangun, sayang--kalau bubur nya cepat dingin," gumam papa Akio, dan berbalik. Seketika papa Akio membeku, setelah mendapati ada nya Deni," Deni," gumam papa Akio tanpa sada