Ekpresi wajah Putra kecut, sudah bagaikan menelan asamnya lemon sebelum memperlihatkan ekpresi penuh tanya dan kebinggungan. “Kau serius dengan pertanyaanmu?” tanya lelaki itu, berpikir bahwa ia tidak harus menjawab jika candy hanya berguyon.
“Serius atau tidak tergantung dari jawabanmu,” kelit Candy, belum apa-apa sudah malu akan pikiran dicibir oleh Putra.
Betapa aneh jawaban yang diterima, Putra mendengus sebel dibuatnya. “Aku berpacaran dengan Bianca,” tegasnya, tidak membiarkan Candy melihat dusta yang bersembunyi di balik bola mata. “Jawaban itu cukup jelas?”
Sangat jelas sampai Candy dapat merasakannya di bagian hati, tapi … Candy masih memikirkan pertemuan di club tadi malam. Sungguhkah Robert hanya tanpa sengaja bertemu dengan Bianca dan … sungguhkah Putra sering pergi ke tempat itu bersama Bianca?
Putra yang Candy tahu tidak menyukai tempat bising dan bau rokok seperti itu. Sudah seja
Pintu tertutup begitu saja setelahnya, menyisakan Candy seorang yang terdiam dengan tatapan tak percaya. “Aku tahu dia memang ular,” cibir Candy. “Tapi … kenapa dia tampak buru-buru?” Candy entah mengapa cemas, berharap untuk bisa tahu ke mana Putra pergi.“Tidak, tidak!” Candy bergegas menggeleng, membuang segala hal tak berguna dari dalam kepala untuk melanjutkan pekerjaan. “Aku sibuk, tidak ada waktu untuk memikirkan dua orang itu.”Namun, seandainya praktek semudah bicara. Siang berubah malam, Putra masih belum kembali dan tidak ada kabarnya.“Robert, kau mau makan?” tawar Candy pada sang suami yang baru saja memasuki wilayah rumah. Candy menutup pintu yang Robert tinggalkan sebelum menyusul, mengulurkan tangan untuk mengambil tas hitam yang mengantung di tangan kanannya.Robert menyadari niat sang istri, dia melepas pegangan dan membiarkan tas pipihnya jatuh ke atas lantai. Persetan d
“Sepertinya aku masuk angin,” jawab Bianca. “Perjalanannya jauh.”Putra mendengus sebel menanggapi, “Jauh? Katamu dekat!” Betapa kesal pemuda itu, tapi apa yang harus dilakukan? Hari juga sudah gelap, mustahil untuk kembali ke Jakarta.“Ayo,” ajak Putra sembari mengulurkan tangan. Bianca meraih tangannya, berjalan dengan menyandar di bagian samping tubuh Putra. Diam-diam Bianca bernafas lega, secarik senyuman hadir di wajah secara singkat. Kini, apa yang ia butuhkan hanyalah menahan Putra selama mungkin sampai Robert merasa senang dan melupakan amarah yang disebabkan entah oleh apa.Memikirkan Robert membuat Bianca memutar bola mata, bosan. ‘Bisa-bisanya dia terus membuat aku melakukan hal seperti ini,’ eluhnya di dalam pikiran.Sementara itu, Candy menyimpan ponselnya kembali untuk menuju kamar. Gadis itu berharap untuk bisa berinteraksi dengan sang suami, tapi ternyata Robert sedang berada di d
Candy ingin segera bangkit, tapi tubuh Robert sudah terlebih berpindah di atasnya. Candy memalingkan wajah ke samping, memejamkan mata erat-erat demi menghindari kontak mata. Kedua tangannya yang tidak berani menahan sang suami terkepal erat di samping badan.Robert tidak tahu mengapa ia terdiam, tapi netra mengamati jeli wajah Candy tanpa perintah. Alisnya yang rapi, hidung mancung sampai pipi yang putih. Robert seharusnya sangat marah sampai ingin memukul, tapi apa yang berbesit di dalam benak adalah, ‘Aku ingin menggigitnya.’Wajah Robert mendekat, Candy dapat merasakan hembusan nafasnya di area leher. Dua bola mata Candy melebar kala merasakan gigitan. Dia spontan mendorong, beruntungnya berhasil menjauhkan sang suami.“Apa yang kau lakukan!” Candy menatap sang suami, menutup bagian leher yang terasa dingin dan hangat di saat yang bersamaan. Panik, jantung berdetak sangat kencang seolah-olah akan terlepas. Darah mendesir, otak belum s
“Bagaimana cara menutupinya?” Bekas merah itu menyebabkan Candy malu, terlalu malu sampai dia tidak berani kembali ke kamarnya. Candy berbalik, teringat pada Viola yang sudah terlelap. Gadis itu menghampiri dan duduk di pinggir ranjang, sangat pelan agar tidak menggangu.“Robert akan marah jika aku di sini,” gumam Candy, tapi lagi-lagi rasa malu mengalahkan semuanya. Niat Candy hanya berbaring dan kembali ke kamar setelah satu jam, sekiranya setelah Robert tidur. Namun, Candy malah terlelap.Berbagi selimut dan bantal dengan Viola, nyenyaknya mereka tidur sampai tidak sadar pada ruangan gelap yang sudah berubah terang karena ulah cahaya matahari yang menyelinap melalui jendela.Jam menunjuk pukul enam pagi saat Robert mencari tahu, dia menyibak selimut sebelum bangkit dari atas ranjang. Menuju kamar mandi, Robert keluar dari ruangan dalam keadaan rapi berbalut setelan jas.Karena bangun terlalu awal, Robert tidak langsung menuju ka
Tangan Robert dengan kokoh memegangi pinggang ramping Candy sementara Candy dengan sigap menarik bagian jas sang suami karena takut akan dilepas. Apa yang ada di dalam pikiran Robert? Diam-diam dia baru saja memuji betapa cantik istrinya yang tidak pernah ia perhatikan.Bulu mata lentik, matanya bulat. Hidung kecilnya mancung dan bibir berwarna peach alami. Kulitnya putih dan bersih, terlalu cantik sampai Robert lupa untuk berkedip.“Oh, astaga!” Candy bergegas menyadarkan diri, merontak keluar dari pegangan sang suami dan menciptakan jarak. “Ma-maaf, maafkan aku!” Candy gelagapan, tangannya terangkat untuk menyelip surai hitam yang mengganggu pipi. “Terima kasih.”Robert tidak merespon. Puas melototi Candy, dia pergi begitu saja. “Akan aku masakan sarapan!” seru Candy, tapi tidak ada tanggapan. “Akan aku antar,” katanya lagi, kali ini berhasil menghentikan langkah kaki Robert.Robert berbalik un
Kedua sudut bibir tertarik naik, Candy menampilkan senyuman terbaik yang sanggup dia keluarkan untuk sang suami yang menatap. Entah mengapa, tapi Robert punya firasat bahwa apa yang Viola katakan adalah ide sang istri. Lihat wajah cantiknya yang seolah-olah mencoba menyembunyikan sesuatu, dia tidak pandai berdrama.“Ayo, Vio, kita temani papah makan.” Viola mengulurkan kedua tangan, membiarkan Candy mengangkat tubuhnya ke atas meja lebar. Viola duduk dengan posisi kaki terlipat. Candy mengambil duduk di salah satu kursi biru yang terletak di depan meja sebelum menyusun rantang di hadapan Robert.“Aku tidak pernah bilang mau makan,” celetuk Robert, sebel dibuat sikap sok lugu sang istri. Robert merasa diri ini lebih baik dibiarkan mati kelaparan dari pada harus menyentuh makanan Candy!Candy tersenyum menanggapi, “Tapi Viola ingin menemanimu makan.” Candy menatap Viola bertanya, “Betul tidak, Vio?” Lihat mata Candy
Ancaman berhawa dingin sang suami tidak pernah gagal menakutkan menyebabkan mata Candy melebar dan nafas tercekat begitu saja. Robert menggerutu. Puas mencaci Candy di dalam hati, dia membuka mulut untuk melahap sepotong sosis yang masih terarah padanya.“Oh, tidak!” Candy bergegas menarik sendok menjauh dari Robert yang hampir saja melahap. Candy takut pada apa yang ada di dalam benak Robert, itu sebab segera mengembalikan sendok ke atas rantang.“Ck!” Robert berdecih sinis. ‘Beruntungnya dia masih tahu takut,’ batin pria itu sebel. Robert meraih sendok yang dilepas Candy sebelumnya dan melanjutkan acara makan.Acara makan siang itu begitu singat, tapi entah bagaimana belum bisa meninggalkan kepala Robert. Setelah Robert menghabiskan suapan terakhir, Candy meninggalkan ruangan bersama Viola. Sudah berjam-jam yang lalu bahkan Robert akan segera pulang, tapi ia masih mengingat betapa manis senyuman sang istri.Robert men
Ruangan begitu hening, apa yang terdengar hanyalah suara AC. Tidak ada suara Robert, bahkan nafasnya pun tidak terasa. Candy memberanikan diri membuka mata, perlahan-lahan mengangkat kepala sampai kontak mata bertemu.Mata Candy berkedip dan kembali terkunci dengan mata sang suami. Masih tidak ada sepatah kata membuat Candy memberanikan diri untuk lari meninggalkan kamar. Candy keluar tanpa lupa menutup pintu kembali, meninggalkan Robert yang baru saja tersadar dari lamuan.Robert menggeleng cepat, mencoba membuang apa yang ada di dalam benak. Entah apa itu, tapi pemikiran tadi menyebabkan jantung seolah-olah berdebar lebih kencang.“Aku benar-benar bisa gila,” eluh Candy sembari mengetuk kepala menggunakan ruas jari, dia berhenti berlari kala sudah jauh dari kamar. Candy meniup nafas setelah memastikan kalau Robert tidak keluar untuk menyusul.Candy berharap Putra atau Mandu segera pulang, setidaknya kehadiran mereka akan membuat keadaan ruma
“Memanfaatkan keadaan?” Candy bergumam dan tenggelam dalam pikiran satu detik setelahnya. Candy tidak yakin bahwa saran dari Putra adalah apa yang ia butuhkan karena bagaimana caranya memanfaatkan keadaan setelah diperlakukan seperti badut?Candy bahkan berpikir akan lebih baik menggambar wajahnya agar terlihat seperti badut sungguhan daripada mempertimbangkan saran dari Putra. Tapi apa yang harus dikatakan? Candy kehabisan kata-kata untuk dicerna, dia hanya bangkit dari duduk dan pergi begitu saja meninggalkan Putra.Putra melihat Candy melewati pintu masuk dan dia pergi menyusulnya. “Ke mana kau akan pergi?” tanya Putra, berhasil menyita perhatian Candy dan membuat dia menoleh.“Aku tidak tahu,” jawab Candy sesuai dengan apa yang terpikirkan. Tidak, Candy bahkan tidak memikirkan apa pun, dia hanya tidak ingin berdebat dengan Putra atau mendengar lebih banyak pendapat darinya.“Pulang ke rumah, Candy,” kata Putra, tampak jelas bahwa dia bermaksud dengan kalimatnya tapi Candy tidak pa
“Ck!” Mandu tidak punya alasan tapi rasanya tidak menyenangkan disamakan dengan siapa pun. Meski begitu, Mandu tidak menanggapi. Dia mengeluarkan ponsel dari saku jas dan berhasil menyita perhatian Candy.“Apa yang kau lakukan?” tanya Candy penasaran.Mandu memberitahu, “Aku akan menelepon Robert dan meminta dia untuk menjemputmu pulang saja.” Jawaban itu menyentak Candy yang enggan berurusan dengan Robert, dia bergegas menghampiri dan menyambar ponsel dari tangan Mandu. Candy tidak mendapatkannya karena Mandu terlebih dulu menarik ponselnya menjauh.“Jangan menelepon Robert!” pinta Candy.“Tidak akan aku lakukan kalau kau masuk ke dalam mobil sekarang juga,” kata Mandu penuh penekanan, memberi Candy tidak ada pilihan lain selain menurut. Candy berpikir menuruti apa mau Mandu akan lebih baik daripada dia menelepon Robert dan membuat lelaki itu mengangkatnya pulang ke rumah seperti karung beras.“Baik, baik,” ketus Candy, dia memasuki mobil dan duduk di samping Mandu.Mandu tersenyum p
“Aku tidak berpikir kita punya hal lain lagi untuk dibicarakan,” tolak Candy. Robert bahkan tidak menyangkal apa pun setelah semua yang ia katakan, jadi Candy menggangap semuanya telah jelas.“Meski begitu aku tidak izinkan kau pergi begitu saja,” tegas Robert. Dia meletak tangannya di pintu, menutupnya sebelum Candy membukanya lebih lebar. Candy menarik ganggang pintu, dia berbalik menatap Robert saat lelah mengharapkan Roberet untuk menyingkir. Robert menambahkan, “Lagipula kau tetap adalah istriku. Jika aku bilang jangan pergi, kau tidak akan pergi.”Lagi-lagi sikap memerintah seperti itu seolah-olah Candy tidak adalah anak anjing yang patuh. “Suami atau istri, status kita tidak lebih dari itu. Lalu, apa gunanya?”Robert tidak bisa menjawab yang satu itu tapi tetap saja menolak untuk membiarkan Candy pergi begitu saja. Ini bukan soal harga diri atau sejenisnya, Robert hanya tidak ingin perempuan itu pergi. “Aku tidak akan menemui Bianca lagi jika itu maumu,” tawar Robert tapi sungg
“Aku segera ke sana,” kata Robert sebelum mematikan panggilan secara sepihak. Seharusnya Robert tak lakukan ini tapi rasanya sungguh menjengkelkan, ia ingin tahu apa yang sebenarnya Candy lakukan dengan menemui Putra.Lelaki itu menyambar jas hitamnya dari gantungan di sudut ruangan dan berlari keluar meninggalkan ruangan. Robert mengendarai mobil dan tiba di lokasi yang Putra sebutkan dalam waktu lima belas menit.Masih di dalam café yang sama, bedanya adalah Candy tidak ada di sana. Robert menghampiri Putra dan menemukannya terduduk sendirian. Lelaki itu menatap sekitar, menemukan keadaan café yang lumayan sepi dengan hanya beberapa meja terisi tapi masih tidak ada Candy yang terlihat.Robert menatap Putra sebelum bertanya, “Di mana Candy?”Putra tidak menjawab pertanyaan Robert untuk memberitahunya di mana Candy, dia bangkit dari duduk dan melayangkan tinju keras di pipi Robert. Robert terhuyung dan terjatuh karena tidak siap menerima serangan tiba-tiba itu. Sontak mata semua pelan
FLASHBACKHari itu saat Candy melihat Putra memasuki kamar bersama Bianca, gadis itu pergi karena hati yang berdenyut menyakitkan, karena dia tidak bisa mendengar lebih lama lagi tapi apa yang terjadi tidak seperti yang dia duga.Putra yang sedang tidak sadar sepenuhnya mendorong Bianca tanpa sadar dan meracau, “Aku tidak akan melakukannya.” Tiba-tiba wajah Candy hadir di wajah Putra di saat matanya bahkan tidak bisa lagi terbuka untuk dua watt.Putra mengingat kembali mereka yang seharusnya sudah menikah dan semua itu gagal. Candy melihatnya sebagai seorang pengkhianat dan satu kali saja sudah cukup. Lelaki itu terhuyung, beruntung dia berhasil mencapai pinggir ranjang sebelum terjatuh. “Aku tidak mau … aku berharap aku tidak pernah menyakitinya.”Lelaki itu terus meracau, setelahnya tak sadarkan diri, sama sekali tidak mengingat keberadaan Bianca yang masih menatapnya.FLASHBACK ENDCandy tidak pernah ingin tahu sebelumnya tapi tiba-tiba dia kemari dengan hal yang seharusnya dia tan
Siang hari tiba, jarum pendek menunjuk tepat dua belas dan Candy masih tidak terlihat. Robert menghentikan pekerjaan dan menyandarkan punggung ke sandaran kursi sebelum mendengus sebel.Padahal aku sudah mengizinkan dia untuk memasak dan mengantarkan aku makan siang tapi dia malah tidak datang, dasar tidak tahu diuntung, pikir Robert. Meminggirkan apakah Robert memakan masakan dari Candy atau tidak, Robert penasaran dengan apa yang sedang Candy lakukan. Daripada terus bertanya-tanya, Robert mengeluarkan ponsel dari saku jas dan melakukan panggilan telepon.Suara sistem terdengar, mengatakan bahwa nomor Candy sedang dalam panggilan lain. “Dengan siapa dia berbicara?” gumam lelaki itu penasaran sembari menatap layar ponsel.Namun, Candy tidak sedang berbicara dengan siapa pun. Panggilan yang Candy lakukan berakhir dengan tidak terjawab. Candy menatap layar ponselnya dan nama Putra yang tercetak. Sebelumnya, Candy sudah memblokir nomor itu tapi dia membatalkannya untuk suatu alasan.“Aku
Candy berdecih sinis, tatapan matanya merendahkan. “Aku tidak butuh kau,” katanya. “Aku bisa naik taxi atau apa pun itu.” Lagipula apa yang Candy harapkan dari Mandu? Gadis itu pergi begitu saja setelahnya, tapi dihentikan oleh Mandu.“Tunggu aku!” pinta lelaki itu sembari menarik pergelangan tangan Candy. Candy menepisnya sebelum berbalik menatap. “Kau sangat tidak sabaran,” ketus lelaki itu, bete. “Biarkan aku menemanimu. Lagipula kau tidak tahu di rumah Bianca.”Candy tidak menolak karena benar kata Mandu bahwa ia tidak tahu di mana Bianca tinggal. Akan menyusahkan jika ia kehilangan jejak Robert dan berakhir tersesat. “Ayo cepat,” pinta Candy, dia meninggalkan rumah terlebih dulu dan disusul oleh Mandu.Mandu menyusul dengan tenang, ada secarik senyuman di wajah yang menunjukkan betapa dia bersemangat. Mandu penasaran, ingin melihat akan seperti apa ekpresi wajah Candy kala dia mengetahui yang sebenarnya. Apakah dia akan menangis atau beranikah dia pergi ke Robert dan memarahinya.
Candy menggerucutkan bibir, menoleh untuk menatap Mandu. Tidak ada yang dia katakan membuat Mandu menatapnya guna mencari tahu ekpresi wajah seperti apa yang dia gunakan. Mandu tidak yakin, perempuan itu tampak marah dan di saat bersamaan, meragukannya. “Hahaha!” Mandu tertawa canggung sebelum berkata, “Sepertinya aku sudah terlalu banyak bicara.” Dia melakukan gerakkan menutup resleting di depan bibirnya dan menambahkan, “Aku sebaiknya diam.”Benar, Mandu sebaiknya diam. Sial, dia seharusnya diam lebih awal karena Candy tidak bisa mengabaikan semua yang telah ia dengar. “Bagaimana jika Mandu tidak membual?” Pertanyaan itu hadir di dalam kepala Candy dan tidak meninggalkannya sama sekali.Mandu dan Candy tiba di rumah tiga menit lebih cepat dari Robert. Saat Candy berdiri di depan meja rias, pintu kamar terbuka. Robert menampakkan diri, mengangkat plastik putih untuk dipamerkan sebelum memberitahu, “Aku beli makanan, kau sudah makan?”Alih-alih heran akan perbuatan baik Robert yang ti
“Membela Candy?” Reaksi Robert syok. Dia tidak tahu apa maksud dari ucapannya sendiri tapi ia menolak kalimat yang Bianca keluarkan. “Kau sudah gila!” hardiknya. “Tentu saja aku tidak.”Melihat reaksi marah Robert tidak menghadirkan keraguan, Bianca percaya padanya meski masih merasa jengkel. Bianca mengembungkan pipi dan melipat kedua tangan di depan dada sebelum berkata, “Yasudahlah kalau begitu, aku tidak ingin ribut denganmu.” Itu adalah hal membosankan yang tidak ingin Bianca lakukan, oleh sebab itu dia memutuskan untuk mengakhiri perdebatan. “Tapi sebagai ganti, aku ingin makan malam bersamamu, besok.”“Tidak bisa,” tolak Robert segera, dia bahkan tidak mencoba mempertimbangkan tawaran Bianca. “Aku sibuk,” ungkapnya.“Kau sibuk?!” Bianca tidak bisa terima alasan itu, berkata, “Biasanya kau tidak sibuk untukku! Lagipula besok sabtu, kau tidak harus pergi bekerja. Jadi, apa salahnya menghabiskan dua jam untuk makan bersamaku?” Bianca tidak berpikir permintaannya sangat sulit, ia c