Ruangan begitu hening, apa yang terdengar hanyalah suara AC. Tidak ada suara Robert, bahkan nafasnya pun tidak terasa. Candy memberanikan diri membuka mata, perlahan-lahan mengangkat kepala sampai kontak mata bertemu.
Mata Candy berkedip dan kembali terkunci dengan mata sang suami. Masih tidak ada sepatah kata membuat Candy memberanikan diri untuk lari meninggalkan kamar. Candy keluar tanpa lupa menutup pintu kembali, meninggalkan Robert yang baru saja tersadar dari lamuan.
Robert menggeleng cepat, mencoba membuang apa yang ada di dalam benak. Entah apa itu, tapi pemikiran tadi menyebabkan jantung seolah-olah berdebar lebih kencang.
“Aku benar-benar bisa gila,” eluh Candy sembari mengetuk kepala menggunakan ruas jari, dia berhenti berlari kala sudah jauh dari kamar. Candy meniup nafas setelah memastikan kalau Robert tidak keluar untuk menyusul.
Candy berharap Putra atau Mandu segera pulang, setidaknya kehadiran mereka akan membuat keadaan ruma
Bukan jawaban sinis seperti itu yang Candy harapkan dan bukan kalimat dingin seperti itu yang ingin Putra keluarkan. Di antara mereka, bukan niat Robert juga untuk menguping. Mata lelaki itu sudah terbuka sedari awal Candy menyelinap masuk, sang istri tidak menyadarinya karena kondisi kamar yang lumayan gelap dan hanya diterangi oleh lampu tidur.“Kau benar.” Candy tidak tahu mengapa dusta itu keluar, dia hanya gagal mengendalikan diri yang ingin membalas sinis kalimat Putra. “Sebenarnya rasanya sangat menyenangkan karena tidak ada siapa pun di rumah, aku merasa bebas. Tapi aku harus menjaga Viola. Setidaknya Viola lebih suka bersamamu saat kau ada.”“Lalu, aku harus membawa Viola datang bersamaku, hm?”“Tidak,” jawab Candy. “Aku tidak masalah ada Viola dan lagipula kau sepertinya sangat asyik bersama pacarmu itu.”Itu tidak benar, ekpresi wajah menyebalkan Putra berubah tak terbaca karena kalima
Terdengar mencurigakan, Candy lebih baik menganggap telinganya sudah rusak dari pada berpikir Robert benar-benar mengajaknya ke kantor.“Kau tuli atau meninggalkan telingamu di dalam kamar?” cela Robert, mulai kesal dibuat Candy yang tidak habis mencerna singkat kalimatnya. Lihat ekpresi kebinggungan Candy, dia begitu menyebalkan.Perlahan Candy melontarkan, “Kau bilang, aku ikut kau ke kantor?” Candy hanya ingin memastikan, tapi helaan nafas yang mengalun dan diikuti oleh muncul ekspresi marah sudah menjelaskan semuanya.“Apa gunanya otakmu jika aku harus terus mengulangi singkat kata yang sangat mudah dipahami?” hardik sang suami, membuat Candy kian yakin kalau telinganya masih berfungsi dengan baik.Namun, Candy sudah cukup trauma untuk berani pergi bersama Robert. Setiap kali pria itu mengajak, Candy tidak pernah berakhir dengan duduk tenang dan bahagia. Candy berdalih, “Aduh, sepertinya kau sudah hampir terla
Candy takut pertanyaannya menyinggung dan Robert akan menggaruknya seperti kucing garong.Namun, sepertinya hal itu tidak akan terjadi karena Robert malah lebih banyak terdiam dari pada mengoceh soal sembarang alasan.Robert berpikir, tidak ada siapa pun yang datang selain Bianca. Maka dari itu, benda itu sudah jelas milik Bianca. ‘Apa dia sengaja meninggalkan lipstiknya di situ?’ tebak Robert, ekpresi wajahnya berubah tidak senang.Candy tidak mau dimarahi. Dia bergegas mengalihkan pandangan menuju lipstik yang masih berada di tangan. “Warnanya bagus.” Suara Candy kecil, tapi berhasil sampai di telinga Robert.Sekali lagi, Candy takut dimarahi karena terlalu banyak bertanya. Namun, salahkah jika Candy menaruh curiga? Pernikahannya sudah cukup buruk, Candy tidak ingin ada suatu yang dinamakan selingkuh atau main perempuan di belakang.Bertanya pun sepertinya tidak akan berguna kecuali Candy ingin diocehi. Dengan berat hati d
‘Apa yang aku lakukan?’ Kalimat itu ada di dalam pikiran Robert, sang empu mempertanyakan diri sendiri yang entah mengapa menurut seperti itu. Untuk apa? Untuk siapa? Robert merasa seperti sedang mencoreng harga dirinya sendiri, tapi sikap yang ditunjukan pun sudah terlanjur menyetujui.Robert mendengus dan melanjutkan acara berjalan menuju dapur. Suami istri itu menghabiskan makan malam bersama, dan pagi hari tiba begitu saja.Sementara Candy sibuk membereskan sisa piring, Robert meningalkannya untuk pergi bekerja.Namun, langkah kaki Robert dihentikan oleh suatu tas belanjaan yang entah bagaimana berada di teras rumah. “Dia membeli sesuatu?” tebak Robert, ekpresi wajahnya tampak begitu tidak senang. Robert menyambar tas belanjaan berwarna putih itu dan melemparnya ke atas sofa.Robert pergi begitu saja, pintu tertutup di saat bersamaan dengan Candy menampakkan diri. Gantian Candy mendengus, gadis itu sebel karena ia gagal mengant
Candy terdiam, berusaha mencerna alasan mengapa sang suami tiba-tiba mengusir. Tidak, Robert bahkan tidak memberi alasan.“Kau tidak suka bekalnya?” Candy melontarkan apa saja yang dia bisa, tapi jawaban yang Robert berikan cukup sadis sampai berhasil menusuk hati.“Sejak kapan aku suka sesuatu darimu?” tanya lelaki itu kembali.Candy tidak bisa menjawab, jadi dia berucap, “Maaf.” Gadis itu tampak kikuk, dia menggaruk tengkuk yang tak gatal dan berkata, “Aku akan pulang, tapi tolong habiskan makanannya.”Robert enggan menannggapi. Dia memutar bola mata 180 dejarat, bosan dan menyaksikan sang istri beranjak pergi meninggalkan ruangan.Setelah pintu kembali tertutup, Robert bangkit dari duduk. Dia menuju sudut ruangan yang terdapat sebuah tong sampah kecil dan melempar tas belanjaan yang dia pegangi sedari tadi. Benda dengan kertas mewah itu mendarat sempurna di dalam tong sampah yang berisikan beberapa
“Hai …, Viola.” Candy berlutut untuk menyamaratakan tinggi badannya dengan Viola, mengulurkan tangan dan mendekap gadis cilik itu erat dan penuh dengan cinta. Seperti biasa, Viola selalu bersikap sangat bersahabat dan penuh semangat.Padahal Putra baru saja kembali pagi ini, Candy berpikir. Bisa-bisanya Viola dan Mandu pulang di hari yang sama, mereka membuat keadaan rumah spontan menjadi jauh lebih ramai dari semalam. Haruskah Candy merasa lega? Sejujurnya beberapa hari ini terasa canggung karena hanya ada dirinya bersama Robert.“Bagaimana kabarmu?” Mandu bertanya, berhasil merebut perhatian Candy dan membuatnya menatap.Candy bangkit untuk menghadap sebelum menjawab, “Aku baik, bagaimana denganmu?”“Baik.” Mandu menatap jam yang melekat di pergelangan tangan kiri sebelum kembali bertanya, “Kau sudah makan?”Kebetulan Candy belum, jadi dia menggeleng sebagai jawaban. “Kebetu
Mandu baru saja tersenyum geli, tidak ada perasaan bersalah atau canggung sama sekali. Candy tidak lagi paham. Wajahnya memerah bukan karena malu, tapi perasaan apa ini?! Candy tidak tahu bagaimana cara menjabarkan, tapi benar-benar ia tidak suka lelucon seperti itu.Mau berkomentar, tapi bibir tidak berani terbuka. Candy bergegas memutuskan kontak mata dengan cara menunduk dan menyambar sisa jus dari atas meja untuk diteguk.“Bibirmu sangat manis.”Oke, tidak lagi lucu. Jauh-jauh sangat tidak lucu dan pantas disebut guyonan! Candy bisa menahan jantung yang hampir saja meledak sampai kalimat itu tiba-tiba keluar dari mulut Mandu. Dua mata terbelalak, Candy spontan menatap pemuda itu seolah-olah mengharapkan suatu penjelasan tentang sikapnya yang tiba-tiba.Sial sekali mulut masih tidak berani terbuka, banyak kalimat tersangkut di tenggorokan, sepertinya Candy akan terbatuk-batuk jika ia paksa untuk keluar.“Aku pikir kita harus pu
No, no, nooooo … kalau saja Candy bisa memohon, merengek atau sejenisnya. Terlalu menyedihkan untuk berkata, tapi Candy sudah terduduk di berdiri balkon depan sendirian. Pintu dikunci dari dalam dan Candy bahkan tidak mendapatkan selimut. Tipis saja atau sapu tangan sekalian, Candy tidak akan protes. Malangnya semua itu tidak ada.Bolehkah Candy menangis? Candy berpikir dia tidak akan bisa meneteskan air mata. Candy berpikir, ‘Apa yang menyeramkan dari tidur di balkon?’ Udara dingin tidak bisa membekukannya sampai mati.Candy harus tetap tegar setelah dia menikahi pria yang membencinya dan lelaki yang sangat dia cintai sudah menjadi anaknya. Jadi, apa lagi yang bisa membuatnya merasa frustasi? “Kau bodoh, Candy.” Candy tidak kuasa menahan cibiran untuk diri sendiri.‘Bisa-bisanya kau yang ingin membalas dendam malah menjadi target balas dendam. Bisa-bisanya kau yang berpikir hidupmu akan lebih baik dengan menindas Putra, mala