“Hai …, Viola.” Candy berlutut untuk menyamaratakan tinggi badannya dengan Viola, mengulurkan tangan dan mendekap gadis cilik itu erat dan penuh dengan cinta. Seperti biasa, Viola selalu bersikap sangat bersahabat dan penuh semangat.
Padahal Putra baru saja kembali pagi ini, Candy berpikir. Bisa-bisanya Viola dan Mandu pulang di hari yang sama, mereka membuat keadaan rumah spontan menjadi jauh lebih ramai dari semalam. Haruskah Candy merasa lega? Sejujurnya beberapa hari ini terasa canggung karena hanya ada dirinya bersama Robert.
“Bagaimana kabarmu?” Mandu bertanya, berhasil merebut perhatian Candy dan membuatnya menatap.
Candy bangkit untuk menghadap sebelum menjawab, “Aku baik, bagaimana denganmu?”
“Baik.” Mandu menatap jam yang melekat di pergelangan tangan kiri sebelum kembali bertanya, “Kau sudah makan?”
Kebetulan Candy belum, jadi dia menggeleng sebagai jawaban. “Kebetu
Mandu baru saja tersenyum geli, tidak ada perasaan bersalah atau canggung sama sekali. Candy tidak lagi paham. Wajahnya memerah bukan karena malu, tapi perasaan apa ini?! Candy tidak tahu bagaimana cara menjabarkan, tapi benar-benar ia tidak suka lelucon seperti itu.Mau berkomentar, tapi bibir tidak berani terbuka. Candy bergegas memutuskan kontak mata dengan cara menunduk dan menyambar sisa jus dari atas meja untuk diteguk.“Bibirmu sangat manis.”Oke, tidak lagi lucu. Jauh-jauh sangat tidak lucu dan pantas disebut guyonan! Candy bisa menahan jantung yang hampir saja meledak sampai kalimat itu tiba-tiba keluar dari mulut Mandu. Dua mata terbelalak, Candy spontan menatap pemuda itu seolah-olah mengharapkan suatu penjelasan tentang sikapnya yang tiba-tiba.Sial sekali mulut masih tidak berani terbuka, banyak kalimat tersangkut di tenggorokan, sepertinya Candy akan terbatuk-batuk jika ia paksa untuk keluar.“Aku pikir kita harus pu
No, no, nooooo … kalau saja Candy bisa memohon, merengek atau sejenisnya. Terlalu menyedihkan untuk berkata, tapi Candy sudah terduduk di berdiri balkon depan sendirian. Pintu dikunci dari dalam dan Candy bahkan tidak mendapatkan selimut. Tipis saja atau sapu tangan sekalian, Candy tidak akan protes. Malangnya semua itu tidak ada.Bolehkah Candy menangis? Candy berpikir dia tidak akan bisa meneteskan air mata. Candy berpikir, ‘Apa yang menyeramkan dari tidur di balkon?’ Udara dingin tidak bisa membekukannya sampai mati.Candy harus tetap tegar setelah dia menikahi pria yang membencinya dan lelaki yang sangat dia cintai sudah menjadi anaknya. Jadi, apa lagi yang bisa membuatnya merasa frustasi? “Kau bodoh, Candy.” Candy tidak kuasa menahan cibiran untuk diri sendiri.‘Bisa-bisanya kau yang ingin membalas dendam malah menjadi target balas dendam. Bisa-bisanya kau yang berpikir hidupmu akan lebih baik dengan menindas Putra, mala
Okay, matikan lampu sebelum kau tidur. Kalimat terakhir Robert untuk malam ini sudah mengitari kepala Candy sebanyak seratus kali dan respon yang Candy berikan adalah, ‘Aku belum bisa tidur.’ Jawaban itu hanya keluar di dalam hati Candy karena Candy telah memutuskan untuk berpura-pura tidur agar tidak menggangu.‘Robert pasti mengantuk, dia akan marah jika aku tidak mematikan lampu seperti perintahnya.’ Perlahan-lahan Candy berjinjit agar tidak menciptakan suara sama sekali, tapi itu bukan apa maksud dari kalimat Robert sebelumnya!Candy melakukannya sangat baik sampai Robert tidak tahu dia bergerak dan kemudian lampu padam begitu saja. Jauh lebih pelan Candy menuju bawah ranjang dan berbaring ke tilam dan menyelimuti dirinya sendiri.Untuk malam ini, akan Candy abaikan ucapan selamat malam yang biasanya keluar sangat pelan sampai cicak pun tidak dapat mendengarnya. Namun, itu adalah apa yang Rorbert tunggu sedari tadi. Lelaki itu belum t
Putra tidak biasanya menggunakan mata sejeli ini, tapi dia melihat kejadian di antara Mandu dan Candy baru saja apalagi saat seperti apa mata Mandu mengantar kepergian Candy. Apakah sesuatu terjadi di antara mereka? Itu adalah apa yang ada di dalam pikiran Putra.“Sebaiknya kau katakan kalau kau tidak memiliki sesuatu yang buruk di kepalamu,” kata Putra, suaranya berhasil menyapu senyuman tipis dari wajah Mandu dan membuatnya menatap. Mandu tidak langsung menjawab, tapi diam untuk beberapa saat.“Apa maksudmu?” Sungguhkah itu adalah pertanyaan Mandu setelah satu menit? Putra berpikir dia sengaja menampilkan diri dengan ekpresi polos bagaikan orang yang tidak mengenal dosa.Hubungan Putra dan Mandu mungkin tidak begitu dekat meski mereka adalah keluarga, tapi Putra bukan sekali melihat lelaki itu pergi bersama perempuan yang terus berganti dan bagaimana cara Mandu menatap Candy membuatnya cemas.Putra enggan menjawab, berpikir bahwa
Mata Robert perlahan berpindah pada Candy, keringat dingin membasahi punggung dan kening karena perasaan cemas akan ketahuan. Bianca merasakan hal yang sama, tapi dia bukannya takut ketahuan melainkan dibenci Robert. Bianca tidak akan pernah berhasil membujuk Robert andai kata Candy tahu tentang mereka, tapi betapa melegakan hal itu tidak terjadi.Candy melepas headshet yang menyumbat kedua lubang telinganya tanpa melepaskan pandangan dari Bianca. Tanpa keramahan gadis itu bertanya, “Mengapa kau berdiri di tengah jalan?” Dan apakah Bianca membicarakan sesuatu sebelumnya? Candy tidak yakin karena suara lagu memenuhi telinganya tadi.Mulut Bianca terbuka meski tidak ada satu kata pun yang bisa dilontarkan. Perempuan itu cemas, diam-diam melirik Robert yang memberinya kode dengan pandangan penuh amarah seolah-olah sedang mengancam. Bianca merasa dalam bahaya, dia bergegas memaksa diri untuk beralasan, “Ah, tidak! Aku mencari Putra, tapi dia tidak ada di
“Jawab aku dengan serius.” Putra menegaskan, berusaha sangat keras hanya agar Candy dapat menyakini bahwa dirinya tidak becanda dengan pertanyaan yang keluar.Candy tersenyum geli, berjalan kembali ke depan Putra tanpa melepaskan pandangan. Candy tidak yakin, tapi benak bertanya perihal tentang jawaban seperti apa yang Putra inginkan dan bahkan mengapa dia bertanya? Candy balik bertanya, “Jawaban seperti apa yang kau harapkan?”“Kejujuran.” Satu kata itu sudah menjelaskan apa yang ada di dalam benak Putra, tapi Candy tidak lagi percaya padanya bahkan menggangap kekhawatirannya tidak lain hanyalah akting untuk membuatnya kembali terlihat baik.Ekpresi wajah Candy berubah tegas, dia menjawab, “Kami baik-baik saja, kau puas mendengarnya?” Candy menatap langsung mata Putra dan pupil matanya tidak bergetar. Kebohongan tidak ditemukan pada wajah Candy, tapi entah mengapa Putra tidak mempercayainya.Diam-diam kedua
Bukannya marah, Mandu malah terkekeh selayaknya menikmati denyutan dan rasa panas di pipi yang Candy beri. Amarah gadis itu tampak sudah mencapai ubun-ubun, tapi ekpresi wajah seperti itu malah menyebabkannya lebih menarik.Mandu meletak kedua tangannya di antara kepala Candy untuk mengukung, dia mendekatkan wajah dan berbisik, “Bagaimana jika aku sebarkan berita soal apa yang aku tahu?”Oh, sial. Candy mengutuk otak yang mendadak berputar begitu lancar untuk tahu apa yang coba Mandu katakan. “Robert akan marah, dan kau akan dia salahkan.” Sesuai seperti yang diduga, kedua tangan Candy terkepal erat sampai tajam kuku mulai menyakiti telapak tangan.Robert sudah cukup membenci Candy, dan Candy tidak mau memikirkan seberapa jauh dia pergi jika dia berpikir Candy berani menantangnya.“Uhm …, coba aku pikirkan.” Mandu menatap sedikit ke atas, ekpresi wajahnya tenggil sebelum dia kembali menatap mata Candy. Mandu mena
Tanyakan apa? Akan sangat gawat urusannya jika Putra membocorkan pembicaraan mereka tadi langsung di depan Robert, terlebih lagi jika dia melakukannya dengan nada bicara curiga dan penuh tuduhan. Candy tidak ingin mereka berdua berakhir dengan bertengkar dan bla bla bla.Kepala Candy sudah cukup sakit, ia tidak lagi mau memikirkan apa pun. “Aku tidak berbohong.” Candy mengaku tidak berdusta di saat semua kebohongan tercetak jelas di wajahnya. Dengan mudah dia membuat Robert menuduhnya membela Putra dengan cara menyembunyikan pembicaraan mereka.Robert tidak mengatakan apa pun, dia beranjak pergi melewati Candy dan Candy merentangkan tangan untuk menghalangi. “Aku benar-benar tidak berbohong!” klaim gadis itu cemas, dia berdiri di depan pintu agar Robert tidak bisa ke mana-mana. “Dia hanya bertanya padaku tentang kabarku dan aku memarahinya.”Cukup jujur? Setidaknya Candy rasa begitu. Namun, penjelasan kecilnya tidak menjawab p
“Memanfaatkan keadaan?” Candy bergumam dan tenggelam dalam pikiran satu detik setelahnya. Candy tidak yakin bahwa saran dari Putra adalah apa yang ia butuhkan karena bagaimana caranya memanfaatkan keadaan setelah diperlakukan seperti badut?Candy bahkan berpikir akan lebih baik menggambar wajahnya agar terlihat seperti badut sungguhan daripada mempertimbangkan saran dari Putra. Tapi apa yang harus dikatakan? Candy kehabisan kata-kata untuk dicerna, dia hanya bangkit dari duduk dan pergi begitu saja meninggalkan Putra.Putra melihat Candy melewati pintu masuk dan dia pergi menyusulnya. “Ke mana kau akan pergi?” tanya Putra, berhasil menyita perhatian Candy dan membuat dia menoleh.“Aku tidak tahu,” jawab Candy sesuai dengan apa yang terpikirkan. Tidak, Candy bahkan tidak memikirkan apa pun, dia hanya tidak ingin berdebat dengan Putra atau mendengar lebih banyak pendapat darinya.“Pulang ke rumah, Candy,” kata Putra, tampak jelas bahwa dia bermaksud dengan kalimatnya tapi Candy tidak pa
“Ck!” Mandu tidak punya alasan tapi rasanya tidak menyenangkan disamakan dengan siapa pun. Meski begitu, Mandu tidak menanggapi. Dia mengeluarkan ponsel dari saku jas dan berhasil menyita perhatian Candy.“Apa yang kau lakukan?” tanya Candy penasaran.Mandu memberitahu, “Aku akan menelepon Robert dan meminta dia untuk menjemputmu pulang saja.” Jawaban itu menyentak Candy yang enggan berurusan dengan Robert, dia bergegas menghampiri dan menyambar ponsel dari tangan Mandu. Candy tidak mendapatkannya karena Mandu terlebih dulu menarik ponselnya menjauh.“Jangan menelepon Robert!” pinta Candy.“Tidak akan aku lakukan kalau kau masuk ke dalam mobil sekarang juga,” kata Mandu penuh penekanan, memberi Candy tidak ada pilihan lain selain menurut. Candy berpikir menuruti apa mau Mandu akan lebih baik daripada dia menelepon Robert dan membuat lelaki itu mengangkatnya pulang ke rumah seperti karung beras.“Baik, baik,” ketus Candy, dia memasuki mobil dan duduk di samping Mandu.Mandu tersenyum p
“Aku tidak berpikir kita punya hal lain lagi untuk dibicarakan,” tolak Candy. Robert bahkan tidak menyangkal apa pun setelah semua yang ia katakan, jadi Candy menggangap semuanya telah jelas.“Meski begitu aku tidak izinkan kau pergi begitu saja,” tegas Robert. Dia meletak tangannya di pintu, menutupnya sebelum Candy membukanya lebih lebar. Candy menarik ganggang pintu, dia berbalik menatap Robert saat lelah mengharapkan Roberet untuk menyingkir. Robert menambahkan, “Lagipula kau tetap adalah istriku. Jika aku bilang jangan pergi, kau tidak akan pergi.”Lagi-lagi sikap memerintah seperti itu seolah-olah Candy tidak adalah anak anjing yang patuh. “Suami atau istri, status kita tidak lebih dari itu. Lalu, apa gunanya?”Robert tidak bisa menjawab yang satu itu tapi tetap saja menolak untuk membiarkan Candy pergi begitu saja. Ini bukan soal harga diri atau sejenisnya, Robert hanya tidak ingin perempuan itu pergi. “Aku tidak akan menemui Bianca lagi jika itu maumu,” tawar Robert tapi sungg
“Aku segera ke sana,” kata Robert sebelum mematikan panggilan secara sepihak. Seharusnya Robert tak lakukan ini tapi rasanya sungguh menjengkelkan, ia ingin tahu apa yang sebenarnya Candy lakukan dengan menemui Putra.Lelaki itu menyambar jas hitamnya dari gantungan di sudut ruangan dan berlari keluar meninggalkan ruangan. Robert mengendarai mobil dan tiba di lokasi yang Putra sebutkan dalam waktu lima belas menit.Masih di dalam café yang sama, bedanya adalah Candy tidak ada di sana. Robert menghampiri Putra dan menemukannya terduduk sendirian. Lelaki itu menatap sekitar, menemukan keadaan café yang lumayan sepi dengan hanya beberapa meja terisi tapi masih tidak ada Candy yang terlihat.Robert menatap Putra sebelum bertanya, “Di mana Candy?”Putra tidak menjawab pertanyaan Robert untuk memberitahunya di mana Candy, dia bangkit dari duduk dan melayangkan tinju keras di pipi Robert. Robert terhuyung dan terjatuh karena tidak siap menerima serangan tiba-tiba itu. Sontak mata semua pelan
FLASHBACKHari itu saat Candy melihat Putra memasuki kamar bersama Bianca, gadis itu pergi karena hati yang berdenyut menyakitkan, karena dia tidak bisa mendengar lebih lama lagi tapi apa yang terjadi tidak seperti yang dia duga.Putra yang sedang tidak sadar sepenuhnya mendorong Bianca tanpa sadar dan meracau, “Aku tidak akan melakukannya.” Tiba-tiba wajah Candy hadir di wajah Putra di saat matanya bahkan tidak bisa lagi terbuka untuk dua watt.Putra mengingat kembali mereka yang seharusnya sudah menikah dan semua itu gagal. Candy melihatnya sebagai seorang pengkhianat dan satu kali saja sudah cukup. Lelaki itu terhuyung, beruntung dia berhasil mencapai pinggir ranjang sebelum terjatuh. “Aku tidak mau … aku berharap aku tidak pernah menyakitinya.”Lelaki itu terus meracau, setelahnya tak sadarkan diri, sama sekali tidak mengingat keberadaan Bianca yang masih menatapnya.FLASHBACK ENDCandy tidak pernah ingin tahu sebelumnya tapi tiba-tiba dia kemari dengan hal yang seharusnya dia tan
Siang hari tiba, jarum pendek menunjuk tepat dua belas dan Candy masih tidak terlihat. Robert menghentikan pekerjaan dan menyandarkan punggung ke sandaran kursi sebelum mendengus sebel.Padahal aku sudah mengizinkan dia untuk memasak dan mengantarkan aku makan siang tapi dia malah tidak datang, dasar tidak tahu diuntung, pikir Robert. Meminggirkan apakah Robert memakan masakan dari Candy atau tidak, Robert penasaran dengan apa yang sedang Candy lakukan. Daripada terus bertanya-tanya, Robert mengeluarkan ponsel dari saku jas dan melakukan panggilan telepon.Suara sistem terdengar, mengatakan bahwa nomor Candy sedang dalam panggilan lain. “Dengan siapa dia berbicara?” gumam lelaki itu penasaran sembari menatap layar ponsel.Namun, Candy tidak sedang berbicara dengan siapa pun. Panggilan yang Candy lakukan berakhir dengan tidak terjawab. Candy menatap layar ponselnya dan nama Putra yang tercetak. Sebelumnya, Candy sudah memblokir nomor itu tapi dia membatalkannya untuk suatu alasan.“Aku
Candy berdecih sinis, tatapan matanya merendahkan. “Aku tidak butuh kau,” katanya. “Aku bisa naik taxi atau apa pun itu.” Lagipula apa yang Candy harapkan dari Mandu? Gadis itu pergi begitu saja setelahnya, tapi dihentikan oleh Mandu.“Tunggu aku!” pinta lelaki itu sembari menarik pergelangan tangan Candy. Candy menepisnya sebelum berbalik menatap. “Kau sangat tidak sabaran,” ketus lelaki itu, bete. “Biarkan aku menemanimu. Lagipula kau tidak tahu di rumah Bianca.”Candy tidak menolak karena benar kata Mandu bahwa ia tidak tahu di mana Bianca tinggal. Akan menyusahkan jika ia kehilangan jejak Robert dan berakhir tersesat. “Ayo cepat,” pinta Candy, dia meninggalkan rumah terlebih dulu dan disusul oleh Mandu.Mandu menyusul dengan tenang, ada secarik senyuman di wajah yang menunjukkan betapa dia bersemangat. Mandu penasaran, ingin melihat akan seperti apa ekpresi wajah Candy kala dia mengetahui yang sebenarnya. Apakah dia akan menangis atau beranikah dia pergi ke Robert dan memarahinya.
Candy menggerucutkan bibir, menoleh untuk menatap Mandu. Tidak ada yang dia katakan membuat Mandu menatapnya guna mencari tahu ekpresi wajah seperti apa yang dia gunakan. Mandu tidak yakin, perempuan itu tampak marah dan di saat bersamaan, meragukannya. “Hahaha!” Mandu tertawa canggung sebelum berkata, “Sepertinya aku sudah terlalu banyak bicara.” Dia melakukan gerakkan menutup resleting di depan bibirnya dan menambahkan, “Aku sebaiknya diam.”Benar, Mandu sebaiknya diam. Sial, dia seharusnya diam lebih awal karena Candy tidak bisa mengabaikan semua yang telah ia dengar. “Bagaimana jika Mandu tidak membual?” Pertanyaan itu hadir di dalam kepala Candy dan tidak meninggalkannya sama sekali.Mandu dan Candy tiba di rumah tiga menit lebih cepat dari Robert. Saat Candy berdiri di depan meja rias, pintu kamar terbuka. Robert menampakkan diri, mengangkat plastik putih untuk dipamerkan sebelum memberitahu, “Aku beli makanan, kau sudah makan?”Alih-alih heran akan perbuatan baik Robert yang ti
“Membela Candy?” Reaksi Robert syok. Dia tidak tahu apa maksud dari ucapannya sendiri tapi ia menolak kalimat yang Bianca keluarkan. “Kau sudah gila!” hardiknya. “Tentu saja aku tidak.”Melihat reaksi marah Robert tidak menghadirkan keraguan, Bianca percaya padanya meski masih merasa jengkel. Bianca mengembungkan pipi dan melipat kedua tangan di depan dada sebelum berkata, “Yasudahlah kalau begitu, aku tidak ingin ribut denganmu.” Itu adalah hal membosankan yang tidak ingin Bianca lakukan, oleh sebab itu dia memutuskan untuk mengakhiri perdebatan. “Tapi sebagai ganti, aku ingin makan malam bersamamu, besok.”“Tidak bisa,” tolak Robert segera, dia bahkan tidak mencoba mempertimbangkan tawaran Bianca. “Aku sibuk,” ungkapnya.“Kau sibuk?!” Bianca tidak bisa terima alasan itu, berkata, “Biasanya kau tidak sibuk untukku! Lagipula besok sabtu, kau tidak harus pergi bekerja. Jadi, apa salahnya menghabiskan dua jam untuk makan bersamaku?” Bianca tidak berpikir permintaannya sangat sulit, ia c