Bukannya marah, Mandu malah terkekeh selayaknya menikmati denyutan dan rasa panas di pipi yang Candy beri. Amarah gadis itu tampak sudah mencapai ubun-ubun, tapi ekpresi wajah seperti itu malah menyebabkannya lebih menarik.
Mandu meletak kedua tangannya di antara kepala Candy untuk mengukung, dia mendekatkan wajah dan berbisik, “Bagaimana jika aku sebarkan berita soal apa yang aku tahu?”
Oh, sial. Candy mengutuk otak yang mendadak berputar begitu lancar untuk tahu apa yang coba Mandu katakan. “Robert akan marah, dan kau akan dia salahkan.” Sesuai seperti yang diduga, kedua tangan Candy terkepal erat sampai tajam kuku mulai menyakiti telapak tangan.
Robert sudah cukup membenci Candy, dan Candy tidak mau memikirkan seberapa jauh dia pergi jika dia berpikir Candy berani menantangnya.
“Uhm …, coba aku pikirkan.” Mandu menatap sedikit ke atas, ekpresi wajahnya tenggil sebelum dia kembali menatap mata Candy. Mandu mena
Tanyakan apa? Akan sangat gawat urusannya jika Putra membocorkan pembicaraan mereka tadi langsung di depan Robert, terlebih lagi jika dia melakukannya dengan nada bicara curiga dan penuh tuduhan. Candy tidak ingin mereka berdua berakhir dengan bertengkar dan bla bla bla.Kepala Candy sudah cukup sakit, ia tidak lagi mau memikirkan apa pun. “Aku tidak berbohong.” Candy mengaku tidak berdusta di saat semua kebohongan tercetak jelas di wajahnya. Dengan mudah dia membuat Robert menuduhnya membela Putra dengan cara menyembunyikan pembicaraan mereka.Robert tidak mengatakan apa pun, dia beranjak pergi melewati Candy dan Candy merentangkan tangan untuk menghalangi. “Aku benar-benar tidak berbohong!” klaim gadis itu cemas, dia berdiri di depan pintu agar Robert tidak bisa ke mana-mana. “Dia hanya bertanya padaku tentang kabarku dan aku memarahinya.”Cukup jujur? Setidaknya Candy rasa begitu. Namun, penjelasan kecilnya tidak menjawab p
Cara Candy menyentuh sangat hati-hati, telapak tangan dinginnya perlahan berubah hangat dan mengalirkan perasaan menyenangkan sampai ke bagian hati. Robert enggan melirik atau menghiraukan, tapi suara Candy yang terkesan manja membuatnya ragu. Dia melakukannya jauh lebih baik dari yang sanggup Bianca tunjukkan. “Robert.” Candy menyentuh perutnya sebelum kembali menatap Robert berkata, “Akh! Kau tidak dengar perutku keroncongan?”Tidak, Robert tidak mendengarnya, tapi dia menoleh untuk menatap ekpresi menyedihkan di wajah Candy. Lelaki itu menghela nafas panjang dan wajahnya yang masam terlihat menakutkan. Namun, Candy tidak mau membiarkan sang suami berbicara, Candy kembali menarik tangannya pelan. “Ayo, sudah hampir jam dua belas.”Robert tidak menolak, dia membiarkan Candy menariknya bangkit dari duduk. Saat Robert melototi, Candy menampilkan senyuman kecilnya yang terlihat seperti anak kelinci. Robert menghela nafas sebelum menepi
Candy tersenyum penuh kritik, tampak seperti kehabisan kata-kata untuk dilontarkan. Candy memang punya tujuan membalas Putra dengan buruk tapi memperburuk hubungan dia dengan Robert tidak pernah sekalipun melintasi benak. Namun, jika Putra ingin menilai Candy seperti itu maka Candy akan membiarkannya.Candy memutari meja dan berdiri tepat di depan Putra. Dia menatap langsung matanya dengan lantang, sedikit berjinjit agar Putra tidak melewatkan sedikit pun kemarahan yang terpancar. Candy dengan dingin berkata, “Aku tidak ingat apa yang aku katakan pada Robert dan haruskah aku peduli? Kau bukan anak kecil yang tidak bisa mengurus masalah sendiri, bukan begitu?”Candy menjadi orang yang tahu hal yang paling bisa membuat Putra merasa buruk hidup di dunia ini dan dia tidak pernah sekali pun mau menyinggungnya saat mereka dalam hubungan tapi sekarang, Candy menggunakan semua itu untuk menyerangnya. “Oh, tidak.” Candy terkekeh geli, mengoreksi, “
Hal pertama yang Candy harap tidak dia lakukan adalah memberitahu keluarganya tentang betapa bodoh dirinya, tapi Candy melakukannya. Dia keluar dari kantor Robert dan pergi ke rumah untuk berbincang pada ibunya.Candy tidak melakukannya karena dia menyerah, Candy hanya butuh seseorang untuk mendengarkan keluh kesahnya dan memintanya untuk bersabar. Tapi apa yang Candy dapatkan? Bukan hanya tatapan tak percaya dan syok dari ibunya tapi juga pukulan di bagian lengan.Candy tidak berani merintih apalagi mempertanyakan untuk apa pukulan itu, semuanya sudah jelas tercetak di wajah Keisya. Wanita itu tidak dapat berkata-kata, matanya penuh amarah dan dia tidak tahu kalimat seperti apa yang harus dia berikan untuk putrinya yang bodoh.“Kau sudah gila, Candy?” Hanya itu yang bisa Keisya katakan, sulit menerima kenyataan tentang betapa bobrok anaknya hanya karena dipatahkan hatinya oleh cinta.“Aku tahu Ibu akan marah, itu kenapa aku tak berani k
Robert menjauhkan ponselnya dari telinga untuk menatap layar, memastikan bahwa siapa yang ia telepon adalah Candy dan Robert yakin tidak melakukan kesalahan saat melihat namanya tercetak. “Hoi, apa yang sedang kau ocehkan?” tanya lelaki itu, geram.Alih-alih menjawab, Candy meracau di sela-sela isakan tanpa air mata. “Neraka! Aku tidak pernah masuk neraka tapi apakah neraka akan lebih baik dari hidupku saat ini?” Gadis itu memperbaiki posisi duduk menjadi bersila, menopang kepalanya yang terjatuh menggunakan sebelah tangan. “Aku seharusnya menikahi orang yang aku cintai dan hidup bahagia tapi aku mempermainkan diriku sendiri seperti badut.”Candy tidak tahu apa yang bisa membuat hidupnya jauh lebih buruk lagi. “Kau mabuk?” tanya Robert, menyakini bahwa itu adalah apa yang terjadi dinilai dari cara Candy berbicara. “Hoi, Candy!” gertaknya saat tidak menerima jawaban. “Di mana kau berada?”Masih tidak ada jawaban, Candy setengah terlelap. Jangankan suara Robert, musik keras yang masih m
Candy tidak tahu mengapa Robert meminta data sebanyak itu, satu hal yang pasti adalah Candy tidak bisa berikan apa pun karena teman yang ia sebutkan tidak nyata dan tidak lebih dari alasan demi menghindari masalah. “Untuk apa?” tanya Candy pelan.“Untuk apa?” Robert marah, dia mengambil nafas panjang sebelum mengoceh, “Orang itu meninggalkan kau di dalam bar seorang diri dan dalam keadaan mabuk. Apa yang akan terjadi jika aku tidak datang?”Candy tidak yakin. Tempat yang disinggung mengingatnya pada hari-hari kemarin di mana Robert pun pernah membawanya ke tempat seperti itu. Kalau Candy ingat-ingat, Robert bahkan membuatnya menggenakan setelan minim dan dia hanya diam saat Candy dalam masalah. Candy binggung mengira-gira alasan Robert yang tampak begitu marah sekarang.Meski begitu, Candy punya nol persen kemungkinan tidak menjawab pertanyaan Robert, juga tidak bisa terus berbohong karena pastinya akan sangat mencurigakan. Oleh sebab itu Candy berpura-pura menyentuh kepalanya dan mem
Ini gila. Bagaimana mungkin Robert tidak dapat berhenti memikirkan Candy sepanjang hari hanya karena dia ingin mencicip brownies leleh yang—tak sengaja—ia makan semalam? Robert ingin menuduh Candy telah memasukkan suatu ramuan pemikat di dalam makanan itu tapi apakah mungkin? Tidak, Robert yakin hal itu tidak benar karena Candy bukan manusia seperti itu.“Hmmm …” Robert bergumam jengkel, matanya tidak mau lepas dari Candy yang sedang bermain hp di bawah ranjang. Duduk menyandar dan tampak asyik sendiri, gadis itu menoleh dan meninggikan pandangan saat menyadari aura gelap memancar dari tubuh Robert.Gadis itu menatap penuh tanya dan mengerjapkan mata beberapa kali sebelum bertanya, “Ada apa? Mengapa kau tatap aku seperti itu?” Candy menyakini tidak ada kesalahan yang ia buat hari ini, jadi Robert seharusnya tidak punya alasan untuk memarahinya lagi.Namun, Candy tidak tahu bahwa memberikan brownies leleh semalam adalah kesalahan. Robert memasang harga dirinya terlalu tinggi, oleh seba
Robert menutup pintu kamar menunggunakan punggung dan bergerak menuju ranjang. Alih-alih meletak Candy dengan hati-hati agar tidak menyakiti, dia malah melemparinya. “Aduh!” Candy merintih. Kakinya tidak membentur empuknya kasur, hanya saja tubuhnya memental dan menyebabkan rambutnya berserakkan.Candy bergegas menyapu helaian hitam yang menutupi wajah dan menatap Robert yang lagi-lagi melempar tatapan jengkel. Candy menyadari Robert terlihat sangat membencinya hari ini entah mengapa tapi di sisi lain, kebenciannya tidak terasa sama dan tidak dapat Candy artikan.“Kau tak bisa berjalan?” tanya Robert, sama sekali tidak menunjukkan perhatian apalagi cemas.“Aku tidak apa-apa. Besok juga akan sembuh,” jawab Candy seadanya. Robert harap begitu, ia tidak mau disusahkan oleh Candy hanya karena perihal kaki yang terkilir.“Terserah,” balas Robert tak acuh, dia menuju lemari TV dan menyambar dompetnya sebelum pergi meninggalkan ruangan. Itu sangat dingin, Candy berpikir. Sang suami bahkan ti