Robert menutup pintu kamar menunggunakan punggung dan bergerak menuju ranjang. Alih-alih meletak Candy dengan hati-hati agar tidak menyakiti, dia malah melemparinya. “Aduh!” Candy merintih. Kakinya tidak membentur empuknya kasur, hanya saja tubuhnya memental dan menyebabkan rambutnya berserakkan.Candy bergegas menyapu helaian hitam yang menutupi wajah dan menatap Robert yang lagi-lagi melempar tatapan jengkel. Candy menyadari Robert terlihat sangat membencinya hari ini entah mengapa tapi di sisi lain, kebenciannya tidak terasa sama dan tidak dapat Candy artikan.“Kau tak bisa berjalan?” tanya Robert, sama sekali tidak menunjukkan perhatian apalagi cemas.“Aku tidak apa-apa. Besok juga akan sembuh,” jawab Candy seadanya. Robert harap begitu, ia tidak mau disusahkan oleh Candy hanya karena perihal kaki yang terkilir.“Terserah,” balas Robert tak acuh, dia menuju lemari TV dan menyambar dompetnya sebelum pergi meninggalkan ruangan. Itu sangat dingin, Candy berpikir. Sang suami bahkan ti
Serius atau tidak? Sebenarnya, Candy pun tidak tahu. Dia tidak merasa seperti serius mengusir Putra tapi semua kalimat penuh amarah itu keluar tanpa mau dikontrol dan sekarang Candy berdiri di pinggir balkon, menatap ke arah Putra pergi dengan membawa koper hitam.Tiga jam berlalu sampai akhirnya Candy dapat mengalihkan pandangan. Dia berbalik dan berjongkok, mengusap wajah secara gusar dan mengetuk kepalanya menggunakan ruas jari. “Aku merasa bodoh,” kata gadis itu tapi sejujurnya dia sendiri pun tidak yakin dengan apa yang ada di dalam hatinya. Semua perasaan bercampur aduk sampai-sampai Candy tidak tahu sebenarnya apa yang sedang dia rasakan.Mengusir anak dari pemilik rumah dan anak tirinya, Candy tidak pernah merasa sejahat ini seumur hidup. “Apa yang harus aku katakan pada Robert?” Pertanyaan itu sekarang berputar di kepala Candy, menuntutnya untuk menjawab karena Candy takut sang suami akan marah saat tahu apa yang telah terjadi.Namun, pemikiran mencemaskan itu ternyata melese
Candy menghela nafas panjang, mencoba untuk bersabar. Benaknya bertanya, “Haruskah aku kejar dia?” Candy tidak yakin karena mengapa Robert bersikap seperti itu? Candy senang Robert tidak mengamuk dan menghinanya tapi tidakkah sikapnya berbeda dari biasanya?Seperti pasangan yang sedang cemburu, Robert baru saja menyadarinya saat dia menjauh dari dapur dan berhenti melangkah. Robert mengerjapkan mata, tampak kebinggungan mempertanyakan sikapnya sekarang. “Mengapa aku bersikap seperti itu?” Robert yakin bahwa sikap seperti itu tidak seperti dirinya yang biasanya di mana ia seharusnya mencaci Candy tapi semua yang ia lakukan adalah diam dengan ekpresi wajah jengkel.“Bagaimana mungkin aku cemburu?” Robert menatap ke arah yang dia lewati sebelumnya, satu menit terdiam menunggu istrinya yang tak kunjung menyusul. “Aku cemburu? Yang benar saja!” Lelaki itu tersenyum geli dan juga tersinggung, menghapus semua pemikiran yang dianggap aneh dan mustahil. “Aku tidak cemburu! Untuk apa juga aku m
Ada berbagai macam perasaan tidak menyenangkan hadir di dalam hati Robert. Ada jengkel, penasaran, kepo, marah tapi semua yang dia lontarkan adalah, “Oh ….” Bersikap seolah-olah tidak peduli meski hati merontak untuk mempertanyakan lebih banyak hal dan apalagi yang mereka bicarakan setelah itu.Namun, Robert ditahan oleh harga diri tapi Mandu tidak berhenti sampai di sana. “Mungkin Candy akan bertemu dengannya pada jam makan siang,” kata Mandu. “Aku bilang aku tidak tahu dan aku memberitahu dia untuk menghubungi Putra dan uhm begitu katanya.”“Hm …” Lagi-lagi Robert merespon singkat tapi semua ungkapan Mandu belum meninggalkan kepalanya. Tiga puluh menit sebelum jam makan siang dan Robert belum berhenti menatap pintu ruangan yang masih tertutup. Robert yakin Candy tidak akan datang mengingat ia telah melarangnya tapi entah bagaimana dirinya tidak berhenti mengharapkannya untuk datang.Perasaan yang sangat menjengkelkan dan tidak dapat Robert tahan. Tanpa aba-aba tangannya menyambar po
Candy menopang dagu sembari berpikir, ‘Sebaiknya aku diam daripada membuatnya marah lagi.’ Pilihan yang bijak untuk kedua belah pihak. Lagipula Robert pun tidak terlihat seperti tertarik lagi padanya, lelaki itu mulai memperhatikan brownies yang masih dibungkus rapi di dalam kotak putih di dalam plastik.Namun, tentunya Candy tidak akan membiarkan masalah tadi berakhir begitu saja. Dikarenakan tidak mungkin bertanya pada Robert, Candy bertanya langsung pada sang penyebab masalah, Mandu. Mereka duduk bersebelahan di dalam mobil dengan Mandu sebagai sang pembawa setir.Pukul tiga siang saat Candy diminta untuk pulang karena Robert punya kepentingan mendadak. Candy berharap untuk menolak tapi dia menahan diri karena satu alasan, dia bertanya, “Apa yang telah kau katakan pada Robert?” Mandu sebaiknya tidak mengelak atau berpura-pura bodoh karena Candy tahu dia telah membual di depan Robert.“Apa yang aku katakan pada Robert?” Bukan menjawab, Mandu malah mengulang pertanyaan Candy dan ters
“Membela Candy?” Reaksi Robert syok. Dia tidak tahu apa maksud dari ucapannya sendiri tapi ia menolak kalimat yang Bianca keluarkan. “Kau sudah gila!” hardiknya. “Tentu saja aku tidak.”Melihat reaksi marah Robert tidak menghadirkan keraguan, Bianca percaya padanya meski masih merasa jengkel. Bianca mengembungkan pipi dan melipat kedua tangan di depan dada sebelum berkata, “Yasudahlah kalau begitu, aku tidak ingin ribut denganmu.” Itu adalah hal membosankan yang tidak ingin Bianca lakukan, oleh sebab itu dia memutuskan untuk mengakhiri perdebatan. “Tapi sebagai ganti, aku ingin makan malam bersamamu, besok.”“Tidak bisa,” tolak Robert segera, dia bahkan tidak mencoba mempertimbangkan tawaran Bianca. “Aku sibuk,” ungkapnya.“Kau sibuk?!” Bianca tidak bisa terima alasan itu, berkata, “Biasanya kau tidak sibuk untukku! Lagipula besok sabtu, kau tidak harus pergi bekerja. Jadi, apa salahnya menghabiskan dua jam untuk makan bersamaku?” Bianca tidak berpikir permintaannya sangat sulit, ia c
Candy menggerucutkan bibir, menoleh untuk menatap Mandu. Tidak ada yang dia katakan membuat Mandu menatapnya guna mencari tahu ekpresi wajah seperti apa yang dia gunakan. Mandu tidak yakin, perempuan itu tampak marah dan di saat bersamaan, meragukannya. “Hahaha!” Mandu tertawa canggung sebelum berkata, “Sepertinya aku sudah terlalu banyak bicara.” Dia melakukan gerakkan menutup resleting di depan bibirnya dan menambahkan, “Aku sebaiknya diam.”Benar, Mandu sebaiknya diam. Sial, dia seharusnya diam lebih awal karena Candy tidak bisa mengabaikan semua yang telah ia dengar. “Bagaimana jika Mandu tidak membual?” Pertanyaan itu hadir di dalam kepala Candy dan tidak meninggalkannya sama sekali.Mandu dan Candy tiba di rumah tiga menit lebih cepat dari Robert. Saat Candy berdiri di depan meja rias, pintu kamar terbuka. Robert menampakkan diri, mengangkat plastik putih untuk dipamerkan sebelum memberitahu, “Aku beli makanan, kau sudah makan?”Alih-alih heran akan perbuatan baik Robert yang ti
Candy berdecih sinis, tatapan matanya merendahkan. “Aku tidak butuh kau,” katanya. “Aku bisa naik taxi atau apa pun itu.” Lagipula apa yang Candy harapkan dari Mandu? Gadis itu pergi begitu saja setelahnya, tapi dihentikan oleh Mandu.“Tunggu aku!” pinta lelaki itu sembari menarik pergelangan tangan Candy. Candy menepisnya sebelum berbalik menatap. “Kau sangat tidak sabaran,” ketus lelaki itu, bete. “Biarkan aku menemanimu. Lagipula kau tidak tahu di rumah Bianca.”Candy tidak menolak karena benar kata Mandu bahwa ia tidak tahu di mana Bianca tinggal. Akan menyusahkan jika ia kehilangan jejak Robert dan berakhir tersesat. “Ayo cepat,” pinta Candy, dia meninggalkan rumah terlebih dulu dan disusul oleh Mandu.Mandu menyusul dengan tenang, ada secarik senyuman di wajah yang menunjukkan betapa dia bersemangat. Mandu penasaran, ingin melihat akan seperti apa ekpresi wajah Candy kala dia mengetahui yang sebenarnya. Apakah dia akan menangis atau beranikah dia pergi ke Robert dan memarahinya.