Cara Candy menyentuh sangat hati-hati, telapak tangan dinginnya perlahan berubah hangat dan mengalirkan perasaan menyenangkan sampai ke bagian hati. Robert enggan melirik atau menghiraukan, tapi suara Candy yang terkesan manja membuatnya ragu. Dia melakukannya jauh lebih baik dari yang sanggup Bianca tunjukkan. “Robert.” Candy menyentuh perutnya sebelum kembali menatap Robert berkata, “Akh! Kau tidak dengar perutku keroncongan?”
Tidak, Robert tidak mendengarnya, tapi dia menoleh untuk menatap ekpresi menyedihkan di wajah Candy. Lelaki itu menghela nafas panjang dan wajahnya yang masam terlihat menakutkan. Namun, Candy tidak mau membiarkan sang suami berbicara, Candy kembali menarik tangannya pelan. “Ayo, sudah hampir jam dua belas.”
Robert tidak menolak, dia membiarkan Candy menariknya bangkit dari duduk. Saat Robert melototi, Candy menampilkan senyuman kecilnya yang terlihat seperti anak kelinci. Robert menghela nafas sebelum menepi
Candy tersenyum penuh kritik, tampak seperti kehabisan kata-kata untuk dilontarkan. Candy memang punya tujuan membalas Putra dengan buruk tapi memperburuk hubungan dia dengan Robert tidak pernah sekalipun melintasi benak. Namun, jika Putra ingin menilai Candy seperti itu maka Candy akan membiarkannya.Candy memutari meja dan berdiri tepat di depan Putra. Dia menatap langsung matanya dengan lantang, sedikit berjinjit agar Putra tidak melewatkan sedikit pun kemarahan yang terpancar. Candy dengan dingin berkata, “Aku tidak ingat apa yang aku katakan pada Robert dan haruskah aku peduli? Kau bukan anak kecil yang tidak bisa mengurus masalah sendiri, bukan begitu?”Candy menjadi orang yang tahu hal yang paling bisa membuat Putra merasa buruk hidup di dunia ini dan dia tidak pernah sekali pun mau menyinggungnya saat mereka dalam hubungan tapi sekarang, Candy menggunakan semua itu untuk menyerangnya. “Oh, tidak.” Candy terkekeh geli, mengoreksi, “
Hal pertama yang Candy harap tidak dia lakukan adalah memberitahu keluarganya tentang betapa bodoh dirinya, tapi Candy melakukannya. Dia keluar dari kantor Robert dan pergi ke rumah untuk berbincang pada ibunya.Candy tidak melakukannya karena dia menyerah, Candy hanya butuh seseorang untuk mendengarkan keluh kesahnya dan memintanya untuk bersabar. Tapi apa yang Candy dapatkan? Bukan hanya tatapan tak percaya dan syok dari ibunya tapi juga pukulan di bagian lengan.Candy tidak berani merintih apalagi mempertanyakan untuk apa pukulan itu, semuanya sudah jelas tercetak di wajah Keisya. Wanita itu tidak dapat berkata-kata, matanya penuh amarah dan dia tidak tahu kalimat seperti apa yang harus dia berikan untuk putrinya yang bodoh.“Kau sudah gila, Candy?” Hanya itu yang bisa Keisya katakan, sulit menerima kenyataan tentang betapa bobrok anaknya hanya karena dipatahkan hatinya oleh cinta.“Aku tahu Ibu akan marah, itu kenapa aku tak berani k
Robert menjauhkan ponselnya dari telinga untuk menatap layar, memastikan bahwa siapa yang ia telepon adalah Candy dan Robert yakin tidak melakukan kesalahan saat melihat namanya tercetak. “Hoi, apa yang sedang kau ocehkan?” tanya lelaki itu, geram.Alih-alih menjawab, Candy meracau di sela-sela isakan tanpa air mata. “Neraka! Aku tidak pernah masuk neraka tapi apakah neraka akan lebih baik dari hidupku saat ini?” Gadis itu memperbaiki posisi duduk menjadi bersila, menopang kepalanya yang terjatuh menggunakan sebelah tangan. “Aku seharusnya menikahi orang yang aku cintai dan hidup bahagia tapi aku mempermainkan diriku sendiri seperti badut.”Candy tidak tahu apa yang bisa membuat hidupnya jauh lebih buruk lagi. “Kau mabuk?” tanya Robert, menyakini bahwa itu adalah apa yang terjadi dinilai dari cara Candy berbicara. “Hoi, Candy!” gertaknya saat tidak menerima jawaban. “Di mana kau berada?”Masih tidak ada jawaban, Candy setengah terlelap. Jangankan suara Robert, musik keras yang masih m
Candy tidak tahu mengapa Robert meminta data sebanyak itu, satu hal yang pasti adalah Candy tidak bisa berikan apa pun karena teman yang ia sebutkan tidak nyata dan tidak lebih dari alasan demi menghindari masalah. “Untuk apa?” tanya Candy pelan.“Untuk apa?” Robert marah, dia mengambil nafas panjang sebelum mengoceh, “Orang itu meninggalkan kau di dalam bar seorang diri dan dalam keadaan mabuk. Apa yang akan terjadi jika aku tidak datang?”Candy tidak yakin. Tempat yang disinggung mengingatnya pada hari-hari kemarin di mana Robert pun pernah membawanya ke tempat seperti itu. Kalau Candy ingat-ingat, Robert bahkan membuatnya menggenakan setelan minim dan dia hanya diam saat Candy dalam masalah. Candy binggung mengira-gira alasan Robert yang tampak begitu marah sekarang.Meski begitu, Candy punya nol persen kemungkinan tidak menjawab pertanyaan Robert, juga tidak bisa terus berbohong karena pastinya akan sangat mencurigakan. Oleh sebab itu Candy berpura-pura menyentuh kepalanya dan mem
Ini gila. Bagaimana mungkin Robert tidak dapat berhenti memikirkan Candy sepanjang hari hanya karena dia ingin mencicip brownies leleh yang—tak sengaja—ia makan semalam? Robert ingin menuduh Candy telah memasukkan suatu ramuan pemikat di dalam makanan itu tapi apakah mungkin? Tidak, Robert yakin hal itu tidak benar karena Candy bukan manusia seperti itu.“Hmmm …” Robert bergumam jengkel, matanya tidak mau lepas dari Candy yang sedang bermain hp di bawah ranjang. Duduk menyandar dan tampak asyik sendiri, gadis itu menoleh dan meninggikan pandangan saat menyadari aura gelap memancar dari tubuh Robert.Gadis itu menatap penuh tanya dan mengerjapkan mata beberapa kali sebelum bertanya, “Ada apa? Mengapa kau tatap aku seperti itu?” Candy menyakini tidak ada kesalahan yang ia buat hari ini, jadi Robert seharusnya tidak punya alasan untuk memarahinya lagi.Namun, Candy tidak tahu bahwa memberikan brownies leleh semalam adalah kesalahan. Robert memasang harga dirinya terlalu tinggi, oleh seba
Robert menutup pintu kamar menunggunakan punggung dan bergerak menuju ranjang. Alih-alih meletak Candy dengan hati-hati agar tidak menyakiti, dia malah melemparinya. “Aduh!” Candy merintih. Kakinya tidak membentur empuknya kasur, hanya saja tubuhnya memental dan menyebabkan rambutnya berserakkan.Candy bergegas menyapu helaian hitam yang menutupi wajah dan menatap Robert yang lagi-lagi melempar tatapan jengkel. Candy menyadari Robert terlihat sangat membencinya hari ini entah mengapa tapi di sisi lain, kebenciannya tidak terasa sama dan tidak dapat Candy artikan.“Kau tak bisa berjalan?” tanya Robert, sama sekali tidak menunjukkan perhatian apalagi cemas.“Aku tidak apa-apa. Besok juga akan sembuh,” jawab Candy seadanya. Robert harap begitu, ia tidak mau disusahkan oleh Candy hanya karena perihal kaki yang terkilir.“Terserah,” balas Robert tak acuh, dia menuju lemari TV dan menyambar dompetnya sebelum pergi meninggalkan ruangan. Itu sangat dingin, Candy berpikir. Sang suami bahkan ti
Serius atau tidak? Sebenarnya, Candy pun tidak tahu. Dia tidak merasa seperti serius mengusir Putra tapi semua kalimat penuh amarah itu keluar tanpa mau dikontrol dan sekarang Candy berdiri di pinggir balkon, menatap ke arah Putra pergi dengan membawa koper hitam.Tiga jam berlalu sampai akhirnya Candy dapat mengalihkan pandangan. Dia berbalik dan berjongkok, mengusap wajah secara gusar dan mengetuk kepalanya menggunakan ruas jari. “Aku merasa bodoh,” kata gadis itu tapi sejujurnya dia sendiri pun tidak yakin dengan apa yang ada di dalam hatinya. Semua perasaan bercampur aduk sampai-sampai Candy tidak tahu sebenarnya apa yang sedang dia rasakan.Mengusir anak dari pemilik rumah dan anak tirinya, Candy tidak pernah merasa sejahat ini seumur hidup. “Apa yang harus aku katakan pada Robert?” Pertanyaan itu sekarang berputar di kepala Candy, menuntutnya untuk menjawab karena Candy takut sang suami akan marah saat tahu apa yang telah terjadi.Namun, pemikiran mencemaskan itu ternyata melese
Candy menghela nafas panjang, mencoba untuk bersabar. Benaknya bertanya, “Haruskah aku kejar dia?” Candy tidak yakin karena mengapa Robert bersikap seperti itu? Candy senang Robert tidak mengamuk dan menghinanya tapi tidakkah sikapnya berbeda dari biasanya?Seperti pasangan yang sedang cemburu, Robert baru saja menyadarinya saat dia menjauh dari dapur dan berhenti melangkah. Robert mengerjapkan mata, tampak kebinggungan mempertanyakan sikapnya sekarang. “Mengapa aku bersikap seperti itu?” Robert yakin bahwa sikap seperti itu tidak seperti dirinya yang biasanya di mana ia seharusnya mencaci Candy tapi semua yang ia lakukan adalah diam dengan ekpresi wajah jengkel.“Bagaimana mungkin aku cemburu?” Robert menatap ke arah yang dia lewati sebelumnya, satu menit terdiam menunggu istrinya yang tak kunjung menyusul. “Aku cemburu? Yang benar saja!” Lelaki itu tersenyum geli dan juga tersinggung, menghapus semua pemikiran yang dianggap aneh dan mustahil. “Aku tidak cemburu! Untuk apa juga aku m
“Memanfaatkan keadaan?” Candy bergumam dan tenggelam dalam pikiran satu detik setelahnya. Candy tidak yakin bahwa saran dari Putra adalah apa yang ia butuhkan karena bagaimana caranya memanfaatkan keadaan setelah diperlakukan seperti badut?Candy bahkan berpikir akan lebih baik menggambar wajahnya agar terlihat seperti badut sungguhan daripada mempertimbangkan saran dari Putra. Tapi apa yang harus dikatakan? Candy kehabisan kata-kata untuk dicerna, dia hanya bangkit dari duduk dan pergi begitu saja meninggalkan Putra.Putra melihat Candy melewati pintu masuk dan dia pergi menyusulnya. “Ke mana kau akan pergi?” tanya Putra, berhasil menyita perhatian Candy dan membuat dia menoleh.“Aku tidak tahu,” jawab Candy sesuai dengan apa yang terpikirkan. Tidak, Candy bahkan tidak memikirkan apa pun, dia hanya tidak ingin berdebat dengan Putra atau mendengar lebih banyak pendapat darinya.“Pulang ke rumah, Candy,” kata Putra, tampak jelas bahwa dia bermaksud dengan kalimatnya tapi Candy tidak pa
“Ck!” Mandu tidak punya alasan tapi rasanya tidak menyenangkan disamakan dengan siapa pun. Meski begitu, Mandu tidak menanggapi. Dia mengeluarkan ponsel dari saku jas dan berhasil menyita perhatian Candy.“Apa yang kau lakukan?” tanya Candy penasaran.Mandu memberitahu, “Aku akan menelepon Robert dan meminta dia untuk menjemputmu pulang saja.” Jawaban itu menyentak Candy yang enggan berurusan dengan Robert, dia bergegas menghampiri dan menyambar ponsel dari tangan Mandu. Candy tidak mendapatkannya karena Mandu terlebih dulu menarik ponselnya menjauh.“Jangan menelepon Robert!” pinta Candy.“Tidak akan aku lakukan kalau kau masuk ke dalam mobil sekarang juga,” kata Mandu penuh penekanan, memberi Candy tidak ada pilihan lain selain menurut. Candy berpikir menuruti apa mau Mandu akan lebih baik daripada dia menelepon Robert dan membuat lelaki itu mengangkatnya pulang ke rumah seperti karung beras.“Baik, baik,” ketus Candy, dia memasuki mobil dan duduk di samping Mandu.Mandu tersenyum p
“Aku tidak berpikir kita punya hal lain lagi untuk dibicarakan,” tolak Candy. Robert bahkan tidak menyangkal apa pun setelah semua yang ia katakan, jadi Candy menggangap semuanya telah jelas.“Meski begitu aku tidak izinkan kau pergi begitu saja,” tegas Robert. Dia meletak tangannya di pintu, menutupnya sebelum Candy membukanya lebih lebar. Candy menarik ganggang pintu, dia berbalik menatap Robert saat lelah mengharapkan Roberet untuk menyingkir. Robert menambahkan, “Lagipula kau tetap adalah istriku. Jika aku bilang jangan pergi, kau tidak akan pergi.”Lagi-lagi sikap memerintah seperti itu seolah-olah Candy tidak adalah anak anjing yang patuh. “Suami atau istri, status kita tidak lebih dari itu. Lalu, apa gunanya?”Robert tidak bisa menjawab yang satu itu tapi tetap saja menolak untuk membiarkan Candy pergi begitu saja. Ini bukan soal harga diri atau sejenisnya, Robert hanya tidak ingin perempuan itu pergi. “Aku tidak akan menemui Bianca lagi jika itu maumu,” tawar Robert tapi sungg
“Aku segera ke sana,” kata Robert sebelum mematikan panggilan secara sepihak. Seharusnya Robert tak lakukan ini tapi rasanya sungguh menjengkelkan, ia ingin tahu apa yang sebenarnya Candy lakukan dengan menemui Putra.Lelaki itu menyambar jas hitamnya dari gantungan di sudut ruangan dan berlari keluar meninggalkan ruangan. Robert mengendarai mobil dan tiba di lokasi yang Putra sebutkan dalam waktu lima belas menit.Masih di dalam café yang sama, bedanya adalah Candy tidak ada di sana. Robert menghampiri Putra dan menemukannya terduduk sendirian. Lelaki itu menatap sekitar, menemukan keadaan café yang lumayan sepi dengan hanya beberapa meja terisi tapi masih tidak ada Candy yang terlihat.Robert menatap Putra sebelum bertanya, “Di mana Candy?”Putra tidak menjawab pertanyaan Robert untuk memberitahunya di mana Candy, dia bangkit dari duduk dan melayangkan tinju keras di pipi Robert. Robert terhuyung dan terjatuh karena tidak siap menerima serangan tiba-tiba itu. Sontak mata semua pelan
FLASHBACKHari itu saat Candy melihat Putra memasuki kamar bersama Bianca, gadis itu pergi karena hati yang berdenyut menyakitkan, karena dia tidak bisa mendengar lebih lama lagi tapi apa yang terjadi tidak seperti yang dia duga.Putra yang sedang tidak sadar sepenuhnya mendorong Bianca tanpa sadar dan meracau, “Aku tidak akan melakukannya.” Tiba-tiba wajah Candy hadir di wajah Putra di saat matanya bahkan tidak bisa lagi terbuka untuk dua watt.Putra mengingat kembali mereka yang seharusnya sudah menikah dan semua itu gagal. Candy melihatnya sebagai seorang pengkhianat dan satu kali saja sudah cukup. Lelaki itu terhuyung, beruntung dia berhasil mencapai pinggir ranjang sebelum terjatuh. “Aku tidak mau … aku berharap aku tidak pernah menyakitinya.”Lelaki itu terus meracau, setelahnya tak sadarkan diri, sama sekali tidak mengingat keberadaan Bianca yang masih menatapnya.FLASHBACK ENDCandy tidak pernah ingin tahu sebelumnya tapi tiba-tiba dia kemari dengan hal yang seharusnya dia tan
Siang hari tiba, jarum pendek menunjuk tepat dua belas dan Candy masih tidak terlihat. Robert menghentikan pekerjaan dan menyandarkan punggung ke sandaran kursi sebelum mendengus sebel.Padahal aku sudah mengizinkan dia untuk memasak dan mengantarkan aku makan siang tapi dia malah tidak datang, dasar tidak tahu diuntung, pikir Robert. Meminggirkan apakah Robert memakan masakan dari Candy atau tidak, Robert penasaran dengan apa yang sedang Candy lakukan. Daripada terus bertanya-tanya, Robert mengeluarkan ponsel dari saku jas dan melakukan panggilan telepon.Suara sistem terdengar, mengatakan bahwa nomor Candy sedang dalam panggilan lain. “Dengan siapa dia berbicara?” gumam lelaki itu penasaran sembari menatap layar ponsel.Namun, Candy tidak sedang berbicara dengan siapa pun. Panggilan yang Candy lakukan berakhir dengan tidak terjawab. Candy menatap layar ponselnya dan nama Putra yang tercetak. Sebelumnya, Candy sudah memblokir nomor itu tapi dia membatalkannya untuk suatu alasan.“Aku
Candy berdecih sinis, tatapan matanya merendahkan. “Aku tidak butuh kau,” katanya. “Aku bisa naik taxi atau apa pun itu.” Lagipula apa yang Candy harapkan dari Mandu? Gadis itu pergi begitu saja setelahnya, tapi dihentikan oleh Mandu.“Tunggu aku!” pinta lelaki itu sembari menarik pergelangan tangan Candy. Candy menepisnya sebelum berbalik menatap. “Kau sangat tidak sabaran,” ketus lelaki itu, bete. “Biarkan aku menemanimu. Lagipula kau tidak tahu di rumah Bianca.”Candy tidak menolak karena benar kata Mandu bahwa ia tidak tahu di mana Bianca tinggal. Akan menyusahkan jika ia kehilangan jejak Robert dan berakhir tersesat. “Ayo cepat,” pinta Candy, dia meninggalkan rumah terlebih dulu dan disusul oleh Mandu.Mandu menyusul dengan tenang, ada secarik senyuman di wajah yang menunjukkan betapa dia bersemangat. Mandu penasaran, ingin melihat akan seperti apa ekpresi wajah Candy kala dia mengetahui yang sebenarnya. Apakah dia akan menangis atau beranikah dia pergi ke Robert dan memarahinya.
Candy menggerucutkan bibir, menoleh untuk menatap Mandu. Tidak ada yang dia katakan membuat Mandu menatapnya guna mencari tahu ekpresi wajah seperti apa yang dia gunakan. Mandu tidak yakin, perempuan itu tampak marah dan di saat bersamaan, meragukannya. “Hahaha!” Mandu tertawa canggung sebelum berkata, “Sepertinya aku sudah terlalu banyak bicara.” Dia melakukan gerakkan menutup resleting di depan bibirnya dan menambahkan, “Aku sebaiknya diam.”Benar, Mandu sebaiknya diam. Sial, dia seharusnya diam lebih awal karena Candy tidak bisa mengabaikan semua yang telah ia dengar. “Bagaimana jika Mandu tidak membual?” Pertanyaan itu hadir di dalam kepala Candy dan tidak meninggalkannya sama sekali.Mandu dan Candy tiba di rumah tiga menit lebih cepat dari Robert. Saat Candy berdiri di depan meja rias, pintu kamar terbuka. Robert menampakkan diri, mengangkat plastik putih untuk dipamerkan sebelum memberitahu, “Aku beli makanan, kau sudah makan?”Alih-alih heran akan perbuatan baik Robert yang ti
“Membela Candy?” Reaksi Robert syok. Dia tidak tahu apa maksud dari ucapannya sendiri tapi ia menolak kalimat yang Bianca keluarkan. “Kau sudah gila!” hardiknya. “Tentu saja aku tidak.”Melihat reaksi marah Robert tidak menghadirkan keraguan, Bianca percaya padanya meski masih merasa jengkel. Bianca mengembungkan pipi dan melipat kedua tangan di depan dada sebelum berkata, “Yasudahlah kalau begitu, aku tidak ingin ribut denganmu.” Itu adalah hal membosankan yang tidak ingin Bianca lakukan, oleh sebab itu dia memutuskan untuk mengakhiri perdebatan. “Tapi sebagai ganti, aku ingin makan malam bersamamu, besok.”“Tidak bisa,” tolak Robert segera, dia bahkan tidak mencoba mempertimbangkan tawaran Bianca. “Aku sibuk,” ungkapnya.“Kau sibuk?!” Bianca tidak bisa terima alasan itu, berkata, “Biasanya kau tidak sibuk untukku! Lagipula besok sabtu, kau tidak harus pergi bekerja. Jadi, apa salahnya menghabiskan dua jam untuk makan bersamaku?” Bianca tidak berpikir permintaannya sangat sulit, ia c