Mateo, seorang pria yang dihantui masa lalunya, terpaksa hidup menyendiri setelah terjerat kasus pembunuhan. Anonimitas yang dia bangun dengan hati-hati hancur ketika bertemu Hillary, seorang wanita kaya dan sombong yang tanpa sadar menjadi umpan bagi Serina, seorang jurnalis investigasi yang menyelidiki kisah Mateo yang terlupakan. Mereka membentuk aliansi tak terduga, didorong oleh keinginan mengungkap kebenaran di balik kejahatan keji itu. Saat mereka menelusuri jaringan berbahaya, Mateo, Hillary, dan Serina harus menghadapi musuh mereka sendiri dan mendorong batas keyakinan untuk menegakkan keadilan. Akankah aliansi mereka berhasil, atau bayangan masa lalu akan menghancurkan mereka?
Lihat lebih banyakRumah makan di hadapan mereka tampak sederhana, dengan papan reklame kecil yang menggantung di sudut bangunan. Cahaya kekuningan baru saja muncul dari papan mini itu, menyorot rangkaian huruf yang tertulis di sana—Honolulu.
Dari balik tirai jendela, terlihat siluet beberapa orang yang bergerak dengan acak. Mereka adalah pelanggan yang datang satu jam lalu. Tiga sosok pria itu keluar, mengusap perut mereka dengan wajah puas. "Semua pelanggan sudah pergi. Kau bisa masuk sekarang. Aku akan menunggumu di sini," ucap Serina, sambil mendorong wanita di sampingnya—yang duduk di kursi kemudi. Hillary melirik tajam kepada sahabatnya yang berlagak seperti seorang atasan. Dia tak suka dengan rencana Serina yang tampak buruk. Belum pernah seumur hidupnya dia menginjakkan kaki di tempat kecil seperti rumah makan ini. "Kenapa menatapku seperti itu? Tidakkah kau ingin berkencan dengan Shohei?" tanya Serina. Hillary tak punya pilihan selain menuruti permintaan Serina. Kalau bukan karena Shohei, pria yang sangat diidolakannya itu, dia tak akan berada di lingkungan kumuh ini sekarang. Akhirnya, Hillary turun dari mobil mewah yang terparkir rapi tak jauh dari rumah makan. Dia ragu-ragu untuk melangkah, tapi Serina, terus mengawasinya dari dalam mobil, memaksa Hillary untuk melangkahkan kaki ke area yang dianggapnya terlarang. Begitu tiba di sana, apa yang tampak sudah sesuai dengan dugaan mereka—semua orang benar-benar sudah pergi. Rumah makan itu kosong melompong, tanpa satu pun pelanggan yang menempati meja-mejanya. Suara desisan minyak terdengar, disertai aroma makanan yang langsung tercium, membuat siapa pun tergoda untuk berlama-lama menikmatinya. Tak berbeda dengan Hillary, yang sejenak melupakan tujuannya dan tanpa sadar menikmati bagaimana cacing-cacing di perutnya bersorak, memohon pemilik tubuhnya untuk memberi makan. "Silakan duduk." Suara pria yang mengenakan apron itu membuat Hillary tersentak. Dia baru sadar bahwa kedatangannya bukan untuk menikmati makanan, melainkan untuk menjalankan misi penting dari Serina. Dengan enggan, Hillary duduk di salah satu kursi pelanggan. Belum lama dia duduk, sebuah pergerakan menarik perhatiannya. Pria yang diyakini sebagai pemilik rumah makan berjalan menghampiri, sambil membawa nampan. Pria itu mendekati Hillary dan menyuguhkan semangkuk mi dengan kuah merah menyala. Melihat sekeliling ruangan yang kosong, jelas bahwa menu itu memang untuknya, satu-satunya pelanggan yang ada. "Tapi ... aku belum memesan—" "Hanya ada satu menu di rumah makan ini," sela pria tersebut dengan nada suara dingin. Hillary tak menyangka bahwa rumah makan yang didatanginya bukan hanya kecil, tapi juga minim pilihan menu. Namun, dia harus ingat bahwa kedatangannya bukan untuk membahas soal makanan, tujuannya adalah mendapatkan nomor ponsel pria ini agar dia bisa berkencan dengan Shohei. "Jika tak ingin memakannya, maka menu ini tak akan disajikan," tambah pria itu, tatapannya tajam. Hillary segera menghentikan gerakan pria itu yang hendak mengambil mangkuk mi. "Baiklah, aku akan memakannya," katanya. Setelah itu, pria tersebut tampak sibuk kembali dengan pekerjaannya. Hillary hanya melirik dari jauh, berpura-pura menikmati sajian makanan. Beberapa saat berlalu, Hillary bangkit dan berjalan menuju meja kasir untuk membayar. Dia menyunggingkan sedikit senyum, ingin memperlihatkan kalau dia benar-benar senang karena telah mengisi perut dengan sajian makanan Honolulu. "Aku tak tahu kalau rumah makan sekecil ini memiliki makanan yang sangat enak," katanya, pura-pura memuji. Pria itu hanya diam dan bersikap acuh, membuat suasana semakin canggung. Benar kata Serina, pemilik rumah makan ini memang tak bersahabat. Hillary bertanya-tanya apa yang disukai Serina dari pria ini. Tampangnya tak ada apa-apanya dibandingkan dengan Shohei. "Takkan membayar?" tanya pria itu. Hillary terbangun dari lamunannya dan merasa marahnya tertahan. Enak saja berkata seperti itu padaku. Jangankan membayar, membeli rumah makan ini sampai ke tanahnya pun aku sanggup! pikirnya. "Oh, baiklah," jawabnya akhirnya, sambil mengeluarkan dompet. Hillary berusaha terlihat biasa saja. Dia mengeluarkan sejumlah uang dari dompetnya dan menyerahkannya. Pria itu hanya mengambil satu lembar uang, lalu memberikan sisa kembalian dari total harga makanan. Sementara Hillary masih gelisah, mencari cara untuk menyelesaikan misinya. "Makanannya sangat enak. Aku pasti akan datang lagi lain kali," ucap Hillary, mencoba menyapa dengan ramah meskipun hatinya berdebar-debar. "Aku tak melihat telepon di sini." Hillary menyimpan uang kembalian dan mengeluarkan ponselnya. "Aku seorang manajer di sebuah perusahaan. Lain kali aku akan membawa teman-temanku ke sini, dan mungkin mereka ingin memesan langsung dari kantor. Jadi, perlu nomor seseorang di rumah makan ini untuk dihubungi. Tak masalah jika itu adalah nomormu." Pria itu melirik ponsel yang disodorkan tanpa menunjukkan minat. "Kami tak menyediakan layanan pesan antar." Hillary tersenyum, menyembunyikan kekesalannya di balik ekspresi ramah. "Kau tahu, orang kantor sangatlah sibuk. Menghabiskan waktu hanya untuk menunggu adalah pemborosan. Kalau nomor ponselmu ada, mereka bisa memesan terlebih dahulu dan mengirimkan seseorang untuk mengambil pesanan saat semuanya sudah siap." Dia menyodorkan ponselnya lebih jauh. Pria itu melirik ke arah ponsel sekali lagi, masih enggan untuk mengambilnya. Setelah berpikir sejenak, akhirnya dia memutuskan untuk menuliskan sesuatu pada secarik kertas. "Jika ingin memesan, bisa hubungi nomor ini," ucap pria itu dengan nada datar. "Kami tak menyediakan layanan pesan antar. Jika ingin membeli, kirim saja orang untuk datang menjemput." Hillary mengambil secarik kertas itu dengan perasaan campur aduk. Setidaknya, dia berhasil mendapatkan nomor ponsel yang diinginkannya. Hillary mengangguk. "Aku mengerti. Semoga bisnismu lancar," ucapnya sambil membalikkan badan. Senyum lega terpancar di wajahnya saat melihat kertas yang dipegangnya. Dengan cepat, Hillary mendekati Serina yang telah menunggunya sejak tadi. Dia berusaha menahan sikapnya agar tak terlalu mencolok, tak ingin menarik perhatian pemilik rumah makan. Begitu Hillary berhasil masuk ke mobil, dia berteriak senang. Bukan karena mendapatkan nomor ponsel, tapi karena impiannya untuk berkencan dengan Shohei akhirnya semakin dekat! Serina, yang tak tahu apa yang terjadi, tiba-tiba dipeluk erat sampai kesulitan bernapas. "Apa yang terjadi?" Hillary melepaskan pelukan mereka dan menyerahkan kertas berisikan nomor ponsel itu kepada sahabatnya. "Kau harus memenuhi janjimu untuk mengatur kencanku dengan Shohei!" Serina memperhatikan kertas tersebut dengan mata terbelalak. "Bukankah ini terlalu mudah? Bagaimana kau bisa mendapatkan nomornya? Aku tak yakin kau bisa melakukannya secepat itu!" Serina memang tak berani meminta nomor itu secara langsung. Dia terlalu takut untuk berhadapan dengan pria yang menurutnya terlihat mengerikan. Karena itulah dia meminta bantuan Hillary, yang tak gentar menghadapi pria mana pun. "Dia tak ingin memberikan nomor ponselnya di awal. Tapi otakku cerdik!" kata Hillary dengan bangga. "Aku memuji makanannya dan mengatakan ingin merekomendasikannya pada teman-teman. Setelah itu, dia menuliskan nomornya dan memberikannya padaku." "Tapi ... apa kau baik-baik saja? Rumah makan itu hanya menghidangkan satu menu. Kau tak memakannya, bukan?" Kekhawatiran Serina bukan tanpa alasan. Dia tahu bahwa Hillary memiliki penyakit usus buntu dan tak bisa makan makanan pedas. Namun, dia lupa memberi tahu bahwa Honolulu hanya menyajikan satu menu makanan pedas. "Aku tak mungkin mengisi perut di tempat seperti itu. Sekarang aku sangat lapar. Ayo, kita cari tempat yang layak untuk makan!" ucap Hillary sambil menyalakan mesin mobil, meninggalkan tempat yang sama sekali bukan seleranya itu.Serina mematikan televisi tidak lama setelah siaran wawancara singkat usai. Dia tidak bisa memikirkan cara apa pun untuk mengorek informasi dari Lemuel, bahkan pria itu dapat menjawab semua pertanyaan dengan baik.Stuart juga ada di sana, menyaksikan hal yang sama tadinya. Setelah selesai menonton, dia pun berkata, "Sekarang kau membuat orang-orang bersimpatik padanya. Apa sebelum mewawancarai, kau tidak memikirkan soal dia yang akan menjawab dengan sangat baik?"Ponsel Serina berdering. Dia mengangkat panggilan telepon begitu saja. "Halo?""Halo, Wartawan Serina."Serina seketika menjadi tegang saat mendengar suara di seberang sana. Dia melihat kembali sejumlah nomor tidak tersimpan yang ada dalam layar, tidak menduga kalau dia akan dihubungi oleh Lemuel."Anda pasti terkejut, karena saya menghubungi begitu tiba-tiba.""Ah, ya ... saya tidak pernah menduganya."Serina keluar dari ruangan, meninggalkan raut kebingungan di wajah Stuart. Dia mencari sudut yang aman untuk mereka bicara,
Serina mencebik, tidak suka dengan Stuart yang memberikannya pekerjaan secara tiba-tiba, bahkan dia tidak jadi ditraktir oleh Mateo, karena harus singgah ke Meteor Media untuk menyelesaikan beberapa hal."Aku sedang sibuk menyelesaikan proyek besar dan kau selalu menambah pekerjaanku. Bukankah gajiku yang sekarang tidak akan sepadan dengan kesetiaanku terhadap perusahaan ini?""Sibuk bagaimana? Kau belum memperlihatkan kemajuan apa-apa selama satu minggu ini," ucap Stuart.Serina mengernyitkan alis. "Itu karena kau terus-menerus memberikan pekerjaan yang begitu banyak padaku!""Kau yakin bukan karena Mateo yang harus melindungi sahabatmu? Mungkin kau perlu diingatkan pada tugasmu yang sesungguhnya yaitu mencari informasi mengenai pembunuhan yang melibatkan tuan Conor. Jangan sampai tujuanmu berubah arah menjadi yang lain."Stuart melemparkan dokumen yang dibacanya sejak tadi ke atas meja. "Kita tidak punya waktu untuk bermain-main, Serina," ucapnya, kemudian keluar dari ruangan.Serin
Serina meletakkan kedua belah tangan di pinggang, menatap sepeda motor yang akhirnya menjadi pilihan. Dia sudah menghubungi sang sahabat untuk persoalan biaya dan sekarang sedang menunggu respons Hillary."Kau yakin dengan pilihanmu? Hillary tidak akan senang mendengarnya.""Yang aku perlukan hanyalah sepeda motor, mahal atau tidak bukanlah sesuatu yang harus dipusingkan. Selama mesinnya bisa berfungsi dengan baik, maka itu sudah cukup.""Tapi sekarang bukan mahal atau tidak mahal sebagai pilihanmu, tapi baru dan tidak baru. Bagaimana jika keputusanmu diubah? Kita akan membeli yang baru, bukan yang bekas."Tepat pada kalimat terakhir, Mateo menerima telepon. Dia melihat ke arah Serina yang menatap bingung padanya, lantas dia mengangkat panggilan tersebut."Halo?" Mateo berkata."Kau ingin agar aku berutang budi padamu sampai mati?"Serina mendengar suara sang sahabat dari ponsel Mateo. Dia melipatkan tangan di dada sambil berekspresi tidak peduli, sudah tahu kalau hal seperti ini akan
Dua hari tersisa, Mateo hanya berjaga di sekitar The Pearl Villa. Hillary tidak mengerjakan aktivitas apa pun di luar kediaman selama memulihkan diri, mungkin benar-benar sudah memutuskan hidup dengan baik.Bahkan, akibat kondisinya yang buruk di pertengahan pesta kemarin, Hillary sampai memanggil dokter keluarga ke vila, hal yang sudah lama tidak dilakukan karena sebelumnya dia yang menghampiri sang dokter supaya meresepkan obat untuknya ketika usus buntu meradang.Mateo menoleh ke lantai dua, mendapati Hillary sedang berbicara dengan sang dokter. Saat ini dia mengambil waktu untuk merokok sebentar, tiba-tiba jadi terpikirkan mengenai hal apa yang akan dilakukannya setelah masa kerja menjadi pengawal selama satu minggu usai.Beberapa batang rokok habis bertepatan saat sang dokter muncul di lantai bawah, tampak sudah akan pergi. Mateo menoleh lagi ke arah jendela besar yang diketahuinya merupakan milik kamar Hillary. Wanita itu sedang melihat pula ke arahnya, langsung berpaling dan pe
Perkataan Mateo membuat mereka bertiga menjadi pusat perhatian. Nick agaknya merasa dipermalukan, citranya telah berubah menjadi orang yang sangat menjengkelkan.Hillary berpikir bahwa sekarang bukan saat yang tepat untuk berurusan dengan Nick. Dia segera menarik Mateo untuk pergi dari sana, selanjutnya sambil terhuyung-huyung berjalan ke sisi dinding.Hillary berusaha tetap berdiri tegak, berhenti sebentar untuk mengambil napas. Beberapa menit berlalu hanyalah waktu tanpa kata."Maaf, karena membawa urusan pribadi Anda ke tengah acara. Saya melihat bahwa Anda merasa tidak nyaman sejak tadi dan membutuhkan cara untuk pergi dari aula.""Kau tahu dari mana kalau Nick mengirimkan buket padaku setiap hari?""Sekretaris Anda berbicara mengenai buket yang dikirim setiap pagi oleh orang yang sama dan katanya Anda sering kali merasa jengkel. Saya melihat siapa pengirimnya untuk berhati-hati dengan orang itu suatu saat nanti. Ternyata pertemuan ditakdirkan begitu cepat. Saya berharap dia tidak
Sampai esok hari, Bellmira tetap mengeluhkan kesalahan sang kakak di matanya. Dia terus membuat pilihan antara Serina atau Hillary. Padahal, Mateo tidak memiliki hubungan istimewa apa-apa terhadap dua wanita itu."Mereka berdua adalah sahabat dekat yang aku dengar dari cerita kak Serina. Kakak seharusnya tidak memecah belah persahabatan mereka dengan mendekati keduanya sekaligus.""Aku tidak melakukan pekerjaan seperti itu. Berhentilah mengatakan yang tidak-tidak sebelum aku terlambat.""Memangnya Kakak akan ke mana?" Bellmira baru sadar akan setelan pakaian formal yang dikenakan kakaknya. "Dari mana Kakak mendapatkan pakaian itu?"Mateo sudah lama sekali tidak menatap dirinya dari atas sampai ke bawah. Ternyata rasanya tetap sama, tidak pernah terbiasa. Dia lebih menyukai baju kaos dengan jaket hoodie ketimbang kemeja dengan jas."Apa aku sudah terlihat rapi?" tanya Mateo.Bellmira menganggukkan kepala. "Pilihan yang sangat bagus. Itu cocok sekali dengan Kakak. Memangnya akan ke mana
Hillary dapat merasakan kepedihan dari setiap perkataan yang didengar. Dia saja sangat sedih mengantarkan kepergian sang ayah, lebih menyakitkan lagi jika tidak ikut mengantarkan, karena itu adalah kali terakhir dari pertemuan. "Waktu yang baik untuk berjemur yaitu antara jam sembilan sampai sepuluh pagi. Saat itu gelombang sinar ultraviolet dari matahari sudah menjadi gelombang pendek yang aman untuk kulit. Sekarang sudah lewat dari waktu yang disarankan. Sebaiknya Anda duduk di golf cart agar tetap terlindungi," ucap Mateo, kemudian berlalu pergi. Hillary bergegas menaiki mobil golf kembali dan mengejar Mateo dengan itu. "Bukan hanya aku yang memiliki kulit. Kau tidak ingin naik juga agar kita bisa cepat sampai?" "Saya baru selesai berolahraga dan sangat berkeringat. Anda akan tidak nyaman nantinya. Lagi pula, berjalan adalah aktivitas yang sangat sehat. Saya menyarankan agar Anda sesekali berjalan ketimbang menyetir mobil." "Kau sedang mengkritik gaya hidupku?" "Saya hanya meny
Hillary bangun dalam keadaan penuh kebingungan, seperti yang dia temukan ada sesuatu yang menempeli dahi. Ditambah wadah air yang terdapat di atas nakas membuat dia berpikir kalau hal buruk mungkin telah terjadi tanpa diketahuinya. Dia beranjak keluar kamar, turun ke lantai bawah dan langsung terkejut ketika menemukan sang paman. Pria yang berada di usia 40-an itu kini sedang mempersiapkan makanan di dapur. Mungkin tidak banyak yang tahu kalau di balik kesibukan sebagai pebisnis, pamannya pandai memasak. "Bagaimana Paman tidak hidup sendiri kalau hal seperti memasak saja bisa ditangani dengan baik." Haidar menolehkan kepala, dia tertawa kecil. "Itu adalah gayamu, pertama memujiku, lalu memintaku untuk menikah. Duduklah dan habiskan makananmu." "Niatku tertebak." Hillary menarik kursi, duduk di sana dan berkata, "Kapan Paman tiba?" "Tadi malam. Sesaat berada di bandara,
Saat membuka pintu kabin, Mateo mendapati Hillary tengah tertidur pulas. Dia juga tidak ada niat membangunkan, jadi dia memutuskan untuk mengendarai mobil saja menuju The Pearl Villa.Sampai di sana pun Hillary tampak tidak terusik, bahkan ketika Mateo mencoba untuk membangunkan. Mau tidak mau Mateo harus membopong Hillary ke kamar, ditemani seorang pelayan wanita sebagai penunjuk jalan.Mateo membaringkan Hillary di tempat tidur, pelayan yang mengantarkan langsung membantu melepaskan sepatu pemilik rumah sebelum menyelimuti dengan baik. Mateo sendiri tahu kalau sudah saatnya dia pulang."Ayah ...."Suara itu berhasil menghentikan niat, Mateo dan sang pelayan memandang wanita yang tampak gelisah dalam tidur. Mateo tidak beranjak sampai pelayan tersebut mendekati Hillary dan mengatakan kalau sang majikan bukan hanya sekadar memanggil sang ayah."Suhunya sangat panas. Nona sepertinya terkena demam."Mateo ingat kalau mereka tadi berusaha mencari tempat berteduh.
Selamat datang di dunia fiksi kami - Goodnovel. Jika Anda menyukai novel ini untuk menjelajahi dunia, menjadi penulis novel asli online untuk menambah penghasilan, bergabung dengan kami. Anda dapat membaca atau membuat berbagai jenis buku, seperti novel roman, bacaan epik, novel manusia serigala, novel fantasi, novel sejarah dan sebagainya yang berkualitas tinggi. Jika Anda seorang penulis, maka akan memperoleh banyak inspirasi untuk membuat karya yang lebih baik. Terlebih lagi, karya Anda menjadi lebih menarik dan disukai pembaca.
Komen