Tangan Robert dengan kokoh memegangi pinggang ramping Candy sementara Candy dengan sigap menarik bagian jas sang suami karena takut akan dilepas. Apa yang ada di dalam pikiran Robert? Diam-diam dia baru saja memuji betapa cantik istrinya yang tidak pernah ia perhatikan.
Bulu mata lentik, matanya bulat. Hidung kecilnya mancung dan bibir berwarna peach alami. Kulitnya putih dan bersih, terlalu cantik sampai Robert lupa untuk berkedip.
“Oh, astaga!” Candy bergegas menyadarkan diri, merontak keluar dari pegangan sang suami dan menciptakan jarak. “Ma-maaf, maafkan aku!” Candy gelagapan, tangannya terangkat untuk menyelip surai hitam yang mengganggu pipi. “Terima kasih.”
Robert tidak merespon. Puas melototi Candy, dia pergi begitu saja. “Akan aku masakan sarapan!” seru Candy, tapi tidak ada tanggapan. “Akan aku antar,” katanya lagi, kali ini berhasil menghentikan langkah kaki Robert.
Robert berbalik un
Kedua sudut bibir tertarik naik, Candy menampilkan senyuman terbaik yang sanggup dia keluarkan untuk sang suami yang menatap. Entah mengapa, tapi Robert punya firasat bahwa apa yang Viola katakan adalah ide sang istri. Lihat wajah cantiknya yang seolah-olah mencoba menyembunyikan sesuatu, dia tidak pandai berdrama.“Ayo, Vio, kita temani papah makan.” Viola mengulurkan kedua tangan, membiarkan Candy mengangkat tubuhnya ke atas meja lebar. Viola duduk dengan posisi kaki terlipat. Candy mengambil duduk di salah satu kursi biru yang terletak di depan meja sebelum menyusun rantang di hadapan Robert.“Aku tidak pernah bilang mau makan,” celetuk Robert, sebel dibuat sikap sok lugu sang istri. Robert merasa diri ini lebih baik dibiarkan mati kelaparan dari pada harus menyentuh makanan Candy!Candy tersenyum menanggapi, “Tapi Viola ingin menemanimu makan.” Candy menatap Viola bertanya, “Betul tidak, Vio?” Lihat mata Candy
Ancaman berhawa dingin sang suami tidak pernah gagal menakutkan menyebabkan mata Candy melebar dan nafas tercekat begitu saja. Robert menggerutu. Puas mencaci Candy di dalam hati, dia membuka mulut untuk melahap sepotong sosis yang masih terarah padanya.“Oh, tidak!” Candy bergegas menarik sendok menjauh dari Robert yang hampir saja melahap. Candy takut pada apa yang ada di dalam benak Robert, itu sebab segera mengembalikan sendok ke atas rantang.“Ck!” Robert berdecih sinis. ‘Beruntungnya dia masih tahu takut,’ batin pria itu sebel. Robert meraih sendok yang dilepas Candy sebelumnya dan melanjutkan acara makan.Acara makan siang itu begitu singat, tapi entah bagaimana belum bisa meninggalkan kepala Robert. Setelah Robert menghabiskan suapan terakhir, Candy meninggalkan ruangan bersama Viola. Sudah berjam-jam yang lalu bahkan Robert akan segera pulang, tapi ia masih mengingat betapa manis senyuman sang istri.Robert men
Ruangan begitu hening, apa yang terdengar hanyalah suara AC. Tidak ada suara Robert, bahkan nafasnya pun tidak terasa. Candy memberanikan diri membuka mata, perlahan-lahan mengangkat kepala sampai kontak mata bertemu.Mata Candy berkedip dan kembali terkunci dengan mata sang suami. Masih tidak ada sepatah kata membuat Candy memberanikan diri untuk lari meninggalkan kamar. Candy keluar tanpa lupa menutup pintu kembali, meninggalkan Robert yang baru saja tersadar dari lamuan.Robert menggeleng cepat, mencoba membuang apa yang ada di dalam benak. Entah apa itu, tapi pemikiran tadi menyebabkan jantung seolah-olah berdebar lebih kencang.“Aku benar-benar bisa gila,” eluh Candy sembari mengetuk kepala menggunakan ruas jari, dia berhenti berlari kala sudah jauh dari kamar. Candy meniup nafas setelah memastikan kalau Robert tidak keluar untuk menyusul.Candy berharap Putra atau Mandu segera pulang, setidaknya kehadiran mereka akan membuat keadaan ruma
Bukan jawaban sinis seperti itu yang Candy harapkan dan bukan kalimat dingin seperti itu yang ingin Putra keluarkan. Di antara mereka, bukan niat Robert juga untuk menguping. Mata lelaki itu sudah terbuka sedari awal Candy menyelinap masuk, sang istri tidak menyadarinya karena kondisi kamar yang lumayan gelap dan hanya diterangi oleh lampu tidur.“Kau benar.” Candy tidak tahu mengapa dusta itu keluar, dia hanya gagal mengendalikan diri yang ingin membalas sinis kalimat Putra. “Sebenarnya rasanya sangat menyenangkan karena tidak ada siapa pun di rumah, aku merasa bebas. Tapi aku harus menjaga Viola. Setidaknya Viola lebih suka bersamamu saat kau ada.”“Lalu, aku harus membawa Viola datang bersamaku, hm?”“Tidak,” jawab Candy. “Aku tidak masalah ada Viola dan lagipula kau sepertinya sangat asyik bersama pacarmu itu.”Itu tidak benar, ekpresi wajah menyebalkan Putra berubah tak terbaca karena kalima
Terdengar mencurigakan, Candy lebih baik menganggap telinganya sudah rusak dari pada berpikir Robert benar-benar mengajaknya ke kantor.“Kau tuli atau meninggalkan telingamu di dalam kamar?” cela Robert, mulai kesal dibuat Candy yang tidak habis mencerna singkat kalimatnya. Lihat ekpresi kebinggungan Candy, dia begitu menyebalkan.Perlahan Candy melontarkan, “Kau bilang, aku ikut kau ke kantor?” Candy hanya ingin memastikan, tapi helaan nafas yang mengalun dan diikuti oleh muncul ekspresi marah sudah menjelaskan semuanya.“Apa gunanya otakmu jika aku harus terus mengulangi singkat kata yang sangat mudah dipahami?” hardik sang suami, membuat Candy kian yakin kalau telinganya masih berfungsi dengan baik.Namun, Candy sudah cukup trauma untuk berani pergi bersama Robert. Setiap kali pria itu mengajak, Candy tidak pernah berakhir dengan duduk tenang dan bahagia. Candy berdalih, “Aduh, sepertinya kau sudah hampir terla
Candy takut pertanyaannya menyinggung dan Robert akan menggaruknya seperti kucing garong.Namun, sepertinya hal itu tidak akan terjadi karena Robert malah lebih banyak terdiam dari pada mengoceh soal sembarang alasan.Robert berpikir, tidak ada siapa pun yang datang selain Bianca. Maka dari itu, benda itu sudah jelas milik Bianca. ‘Apa dia sengaja meninggalkan lipstiknya di situ?’ tebak Robert, ekpresi wajahnya berubah tidak senang.Candy tidak mau dimarahi. Dia bergegas mengalihkan pandangan menuju lipstik yang masih berada di tangan. “Warnanya bagus.” Suara Candy kecil, tapi berhasil sampai di telinga Robert.Sekali lagi, Candy takut dimarahi karena terlalu banyak bertanya. Namun, salahkah jika Candy menaruh curiga? Pernikahannya sudah cukup buruk, Candy tidak ingin ada suatu yang dinamakan selingkuh atau main perempuan di belakang.Bertanya pun sepertinya tidak akan berguna kecuali Candy ingin diocehi. Dengan berat hati d
‘Apa yang aku lakukan?’ Kalimat itu ada di dalam pikiran Robert, sang empu mempertanyakan diri sendiri yang entah mengapa menurut seperti itu. Untuk apa? Untuk siapa? Robert merasa seperti sedang mencoreng harga dirinya sendiri, tapi sikap yang ditunjukan pun sudah terlanjur menyetujui.Robert mendengus dan melanjutkan acara berjalan menuju dapur. Suami istri itu menghabiskan makan malam bersama, dan pagi hari tiba begitu saja.Sementara Candy sibuk membereskan sisa piring, Robert meningalkannya untuk pergi bekerja.Namun, langkah kaki Robert dihentikan oleh suatu tas belanjaan yang entah bagaimana berada di teras rumah. “Dia membeli sesuatu?” tebak Robert, ekpresi wajahnya tampak begitu tidak senang. Robert menyambar tas belanjaan berwarna putih itu dan melemparnya ke atas sofa.Robert pergi begitu saja, pintu tertutup di saat bersamaan dengan Candy menampakkan diri. Gantian Candy mendengus, gadis itu sebel karena ia gagal mengant
Candy terdiam, berusaha mencerna alasan mengapa sang suami tiba-tiba mengusir. Tidak, Robert bahkan tidak memberi alasan.“Kau tidak suka bekalnya?” Candy melontarkan apa saja yang dia bisa, tapi jawaban yang Robert berikan cukup sadis sampai berhasil menusuk hati.“Sejak kapan aku suka sesuatu darimu?” tanya lelaki itu kembali.Candy tidak bisa menjawab, jadi dia berucap, “Maaf.” Gadis itu tampak kikuk, dia menggaruk tengkuk yang tak gatal dan berkata, “Aku akan pulang, tapi tolong habiskan makanannya.”Robert enggan menannggapi. Dia memutar bola mata 180 dejarat, bosan dan menyaksikan sang istri beranjak pergi meninggalkan ruangan.Setelah pintu kembali tertutup, Robert bangkit dari duduk. Dia menuju sudut ruangan yang terdapat sebuah tong sampah kecil dan melempar tas belanjaan yang dia pegangi sedari tadi. Benda dengan kertas mewah itu mendarat sempurna di dalam tong sampah yang berisikan beberapa
“Memanfaatkan keadaan?” Candy bergumam dan tenggelam dalam pikiran satu detik setelahnya. Candy tidak yakin bahwa saran dari Putra adalah apa yang ia butuhkan karena bagaimana caranya memanfaatkan keadaan setelah diperlakukan seperti badut?Candy bahkan berpikir akan lebih baik menggambar wajahnya agar terlihat seperti badut sungguhan daripada mempertimbangkan saran dari Putra. Tapi apa yang harus dikatakan? Candy kehabisan kata-kata untuk dicerna, dia hanya bangkit dari duduk dan pergi begitu saja meninggalkan Putra.Putra melihat Candy melewati pintu masuk dan dia pergi menyusulnya. “Ke mana kau akan pergi?” tanya Putra, berhasil menyita perhatian Candy dan membuat dia menoleh.“Aku tidak tahu,” jawab Candy sesuai dengan apa yang terpikirkan. Tidak, Candy bahkan tidak memikirkan apa pun, dia hanya tidak ingin berdebat dengan Putra atau mendengar lebih banyak pendapat darinya.“Pulang ke rumah, Candy,” kata Putra, tampak jelas bahwa dia bermaksud dengan kalimatnya tapi Candy tidak pa
“Ck!” Mandu tidak punya alasan tapi rasanya tidak menyenangkan disamakan dengan siapa pun. Meski begitu, Mandu tidak menanggapi. Dia mengeluarkan ponsel dari saku jas dan berhasil menyita perhatian Candy.“Apa yang kau lakukan?” tanya Candy penasaran.Mandu memberitahu, “Aku akan menelepon Robert dan meminta dia untuk menjemputmu pulang saja.” Jawaban itu menyentak Candy yang enggan berurusan dengan Robert, dia bergegas menghampiri dan menyambar ponsel dari tangan Mandu. Candy tidak mendapatkannya karena Mandu terlebih dulu menarik ponselnya menjauh.“Jangan menelepon Robert!” pinta Candy.“Tidak akan aku lakukan kalau kau masuk ke dalam mobil sekarang juga,” kata Mandu penuh penekanan, memberi Candy tidak ada pilihan lain selain menurut. Candy berpikir menuruti apa mau Mandu akan lebih baik daripada dia menelepon Robert dan membuat lelaki itu mengangkatnya pulang ke rumah seperti karung beras.“Baik, baik,” ketus Candy, dia memasuki mobil dan duduk di samping Mandu.Mandu tersenyum p
“Aku tidak berpikir kita punya hal lain lagi untuk dibicarakan,” tolak Candy. Robert bahkan tidak menyangkal apa pun setelah semua yang ia katakan, jadi Candy menggangap semuanya telah jelas.“Meski begitu aku tidak izinkan kau pergi begitu saja,” tegas Robert. Dia meletak tangannya di pintu, menutupnya sebelum Candy membukanya lebih lebar. Candy menarik ganggang pintu, dia berbalik menatap Robert saat lelah mengharapkan Roberet untuk menyingkir. Robert menambahkan, “Lagipula kau tetap adalah istriku. Jika aku bilang jangan pergi, kau tidak akan pergi.”Lagi-lagi sikap memerintah seperti itu seolah-olah Candy tidak adalah anak anjing yang patuh. “Suami atau istri, status kita tidak lebih dari itu. Lalu, apa gunanya?”Robert tidak bisa menjawab yang satu itu tapi tetap saja menolak untuk membiarkan Candy pergi begitu saja. Ini bukan soal harga diri atau sejenisnya, Robert hanya tidak ingin perempuan itu pergi. “Aku tidak akan menemui Bianca lagi jika itu maumu,” tawar Robert tapi sungg
“Aku segera ke sana,” kata Robert sebelum mematikan panggilan secara sepihak. Seharusnya Robert tak lakukan ini tapi rasanya sungguh menjengkelkan, ia ingin tahu apa yang sebenarnya Candy lakukan dengan menemui Putra.Lelaki itu menyambar jas hitamnya dari gantungan di sudut ruangan dan berlari keluar meninggalkan ruangan. Robert mengendarai mobil dan tiba di lokasi yang Putra sebutkan dalam waktu lima belas menit.Masih di dalam café yang sama, bedanya adalah Candy tidak ada di sana. Robert menghampiri Putra dan menemukannya terduduk sendirian. Lelaki itu menatap sekitar, menemukan keadaan café yang lumayan sepi dengan hanya beberapa meja terisi tapi masih tidak ada Candy yang terlihat.Robert menatap Putra sebelum bertanya, “Di mana Candy?”Putra tidak menjawab pertanyaan Robert untuk memberitahunya di mana Candy, dia bangkit dari duduk dan melayangkan tinju keras di pipi Robert. Robert terhuyung dan terjatuh karena tidak siap menerima serangan tiba-tiba itu. Sontak mata semua pelan
FLASHBACKHari itu saat Candy melihat Putra memasuki kamar bersama Bianca, gadis itu pergi karena hati yang berdenyut menyakitkan, karena dia tidak bisa mendengar lebih lama lagi tapi apa yang terjadi tidak seperti yang dia duga.Putra yang sedang tidak sadar sepenuhnya mendorong Bianca tanpa sadar dan meracau, “Aku tidak akan melakukannya.” Tiba-tiba wajah Candy hadir di wajah Putra di saat matanya bahkan tidak bisa lagi terbuka untuk dua watt.Putra mengingat kembali mereka yang seharusnya sudah menikah dan semua itu gagal. Candy melihatnya sebagai seorang pengkhianat dan satu kali saja sudah cukup. Lelaki itu terhuyung, beruntung dia berhasil mencapai pinggir ranjang sebelum terjatuh. “Aku tidak mau … aku berharap aku tidak pernah menyakitinya.”Lelaki itu terus meracau, setelahnya tak sadarkan diri, sama sekali tidak mengingat keberadaan Bianca yang masih menatapnya.FLASHBACK ENDCandy tidak pernah ingin tahu sebelumnya tapi tiba-tiba dia kemari dengan hal yang seharusnya dia tan
Siang hari tiba, jarum pendek menunjuk tepat dua belas dan Candy masih tidak terlihat. Robert menghentikan pekerjaan dan menyandarkan punggung ke sandaran kursi sebelum mendengus sebel.Padahal aku sudah mengizinkan dia untuk memasak dan mengantarkan aku makan siang tapi dia malah tidak datang, dasar tidak tahu diuntung, pikir Robert. Meminggirkan apakah Robert memakan masakan dari Candy atau tidak, Robert penasaran dengan apa yang sedang Candy lakukan. Daripada terus bertanya-tanya, Robert mengeluarkan ponsel dari saku jas dan melakukan panggilan telepon.Suara sistem terdengar, mengatakan bahwa nomor Candy sedang dalam panggilan lain. “Dengan siapa dia berbicara?” gumam lelaki itu penasaran sembari menatap layar ponsel.Namun, Candy tidak sedang berbicara dengan siapa pun. Panggilan yang Candy lakukan berakhir dengan tidak terjawab. Candy menatap layar ponselnya dan nama Putra yang tercetak. Sebelumnya, Candy sudah memblokir nomor itu tapi dia membatalkannya untuk suatu alasan.“Aku
Candy berdecih sinis, tatapan matanya merendahkan. “Aku tidak butuh kau,” katanya. “Aku bisa naik taxi atau apa pun itu.” Lagipula apa yang Candy harapkan dari Mandu? Gadis itu pergi begitu saja setelahnya, tapi dihentikan oleh Mandu.“Tunggu aku!” pinta lelaki itu sembari menarik pergelangan tangan Candy. Candy menepisnya sebelum berbalik menatap. “Kau sangat tidak sabaran,” ketus lelaki itu, bete. “Biarkan aku menemanimu. Lagipula kau tidak tahu di rumah Bianca.”Candy tidak menolak karena benar kata Mandu bahwa ia tidak tahu di mana Bianca tinggal. Akan menyusahkan jika ia kehilangan jejak Robert dan berakhir tersesat. “Ayo cepat,” pinta Candy, dia meninggalkan rumah terlebih dulu dan disusul oleh Mandu.Mandu menyusul dengan tenang, ada secarik senyuman di wajah yang menunjukkan betapa dia bersemangat. Mandu penasaran, ingin melihat akan seperti apa ekpresi wajah Candy kala dia mengetahui yang sebenarnya. Apakah dia akan menangis atau beranikah dia pergi ke Robert dan memarahinya.
Candy menggerucutkan bibir, menoleh untuk menatap Mandu. Tidak ada yang dia katakan membuat Mandu menatapnya guna mencari tahu ekpresi wajah seperti apa yang dia gunakan. Mandu tidak yakin, perempuan itu tampak marah dan di saat bersamaan, meragukannya. “Hahaha!” Mandu tertawa canggung sebelum berkata, “Sepertinya aku sudah terlalu banyak bicara.” Dia melakukan gerakkan menutup resleting di depan bibirnya dan menambahkan, “Aku sebaiknya diam.”Benar, Mandu sebaiknya diam. Sial, dia seharusnya diam lebih awal karena Candy tidak bisa mengabaikan semua yang telah ia dengar. “Bagaimana jika Mandu tidak membual?” Pertanyaan itu hadir di dalam kepala Candy dan tidak meninggalkannya sama sekali.Mandu dan Candy tiba di rumah tiga menit lebih cepat dari Robert. Saat Candy berdiri di depan meja rias, pintu kamar terbuka. Robert menampakkan diri, mengangkat plastik putih untuk dipamerkan sebelum memberitahu, “Aku beli makanan, kau sudah makan?”Alih-alih heran akan perbuatan baik Robert yang ti
“Membela Candy?” Reaksi Robert syok. Dia tidak tahu apa maksud dari ucapannya sendiri tapi ia menolak kalimat yang Bianca keluarkan. “Kau sudah gila!” hardiknya. “Tentu saja aku tidak.”Melihat reaksi marah Robert tidak menghadirkan keraguan, Bianca percaya padanya meski masih merasa jengkel. Bianca mengembungkan pipi dan melipat kedua tangan di depan dada sebelum berkata, “Yasudahlah kalau begitu, aku tidak ingin ribut denganmu.” Itu adalah hal membosankan yang tidak ingin Bianca lakukan, oleh sebab itu dia memutuskan untuk mengakhiri perdebatan. “Tapi sebagai ganti, aku ingin makan malam bersamamu, besok.”“Tidak bisa,” tolak Robert segera, dia bahkan tidak mencoba mempertimbangkan tawaran Bianca. “Aku sibuk,” ungkapnya.“Kau sibuk?!” Bianca tidak bisa terima alasan itu, berkata, “Biasanya kau tidak sibuk untukku! Lagipula besok sabtu, kau tidak harus pergi bekerja. Jadi, apa salahnya menghabiskan dua jam untuk makan bersamaku?” Bianca tidak berpikir permintaannya sangat sulit, ia c