Share

Bab 2 Benalu Rumah Tangga

"Eh, Ika. Tumben ke sini sore-sore begini. Ko sendirian?" tanya ibu mertua ketika melihat Ika datang sendiri tanpa suami dan anak-anaknya.

Sore itu akhirnya Ika memutuskan untuk pergi ke rumah mertuanya. Jarak rumah mereka tidak terlalu jauh. Rumahnya itu termasuk rumah yang cukup besar. Ada ibu mertua, bapak mertua, dan adik-adik dari suami Ika, Diana dan Miranda. Ada juga Nur yang sudah menikah yang tinggal berdempetan dengan rumah itu.

"Iya, Bu. Aku ada perlu sebentar. Anak-anak sedang main di rumah tetangga, kalau Mas Karyo sedang mancing." jawab Ika.

"Ada perlu apa, Ika?" Tanya bapak mertua yang muncul dari kamarnya. Pak Tio hanya menggunakan celana boxer dan kaos dalam.

"Eh, pak. Tumben ada di rumah? Apa sedang libur bekerja?"

Ika menyalami tangan mertuanya.

"Iya, ini. Bapak libur lama. Proyek sedang libur."

"Oh iya, Pak. Begini, pak Bu, Ika mau ngomong sama bapak sama ibu. Sudah lama Mas Karyo tidak bekerja. Dia sakit kepalanya. Katanya tidak boleh bekerja terlalu berat. Jadi selama ini mas Karyo tidak kerja. Meskipun begitu dia juga jarang di rumah, hanya pergi memancing setiap hari, kadang malah beberapa hari tidak pulang. Sedangkan kebutuhan rumah sangat banyak. Anak-anak kami butuh biaya sekolah, Bu. Aku sudah hutang di mana-mana. Jualan Ika setiap hari hanya cukup untuk makan saja. Sekarang hutang kami sudah terlalu banyak. Ika minta tolong sama ibu dan bapak."

Ika menjabarkan keadaan keluarga mereka dengan hati-hati. Ibu Hasna, ibu mertua Ika langsung merasa tersulut hatinya mendengar penuturan menantunya itu.

"Ika- Ika, kamu jadi istri tuh yang nerima. Kalau rumah tangga ada masalah, suamimu lagi sakit gak bisa kerja ya kamu lah kerja. Masa kamu mau minta sama ibu sama bapak. Kami juga punya kebutuhan sendiri. Bukannya bantu kami yang sudah tua malah mau merepotkan lagi."

Dada Ika langsung sesak mendengar penuturan mertuanya itu. Betapa sakitnya jadi orang miskin. Minta tolong ke orang tua saja langsung dianggap merepotkan.

"Kamu lihat tuh adik ipar kamu. Nur sama Ridho. Mereka berdua sama-sama bekerja. Jadi gak ngerepotin orang tua. Meskipun anak-anaknya dititipin sama ibu, tapi uang bulanan ibu tuh selalu lancar. Ibu jadi gak perlu repot-repot bekerja."

Mata Ika langsung mengembun, sesak di dadanya semakin bertambah dibarengi dengan air mata yang terasa enggan untuk ditahan.

"Jadi wanita itu harus prihatin. Anakku itu kan lagi sakit. Ya memang tidak bisa bekerja. Kamu coba lah cari uang sendiri dulu. Kamu jadi tulang punggung dulu. Jaman sekarang kan wanita juga banyak yang bekerja. Kalau pagi kamu jualan kue, kalau siang sampai malam kan nggak ngapa-ngapain. Cari lah kerjaan dulu. Biar tidak menumpuk hutangnya, tidak merepotkan orang lain.

Melihat keadaan Ika yang menahan tangis, Ibu mertuanya bukannya merasa iba malah terus saja mengoceh membela anak kesayangannya. Pak Tio jadi merasa kasihan dengan keadaan Ika.

"Bu, cukup!!" kata Pak Tio dengan nada keras.

"Anak kita memang salah, Bu. Ketika sudah menikah, memang kewajibannya untuk memberikan nafkah lahir dan batin kepada istrinya. Dia memang yang seharusnya memenuhi kebutuhan rumah tangganya. Saya minta maaf untuk anak saya ya Ika."

Karena sedikit merasa dibela oleh ayah mertuanya, Ika sebisa mungkin membela dirinya di depan ibu mertuanya, meskipun setiap kata terasa tercekat di tenggorokan.

"I-iya, Pak. Ika juga sudah mencoba mencari uang sendiri, Bu. Ika jualan kue di pasar. Tapi hasilnya memang belum bisa memenuhi kebutuhan kami. Sekarang Mas Karyo setiap hari hanya mancing di tanggul sungai. Aku juga tidak mau merepotkan Ibu dan Bapak. Tapi Ika sudah tidak tahu lagi harus meminta tolong sama siapa."

Sesegukan Ika mencoba sebisa mungkin meluapkan apa yang ada di dalam hatinya. Sayangnya ibu mertuanya hanya memalingkan muka saja. Suasana jadi terasa hening.

Pak Tio, bapak mertua Ika ingin membantu Ika, memberikan sedikit uang, tapi dengan melihat istrinya saja dia enggan membuat masalah. Uang sedikit akan jadi petaka nantinya.

Ika memilih untuk melangkahkan kakinya dengan gontai keluar dari rumah itu.

"Yasudah. Ika pulang dulu, pak Bu. Benar-benar tidak ada niat dari Ibu dan Bapak mertuanya untuk membantunya. Sepanjang jalan menuju rumahnya, Ika menangis sesegukan di atas motor. Angin yang bertiup membuat Ika semakin sendu. Pada siapa lagi ia meminta pertolongan.

***

Sesampainya di rumah, ternyata anak-anaknya sedang makan. Melihat anak-anaknya hanya makan dengan gorengan tempe, hati Ika terasa tercabik-cabik. Bahkan ketika matahari sudah bergulir ke peraduannya, suaminya belum juga ada keinginan untuk pulang. Ika menduga kalau suaminya mungkin tidak akan pulang seperti malam-malam sebelumnya.

Di tanggul sungai dekat laut memang ada gubug-gubug yang sering dipakai untuk menginap oleh orang-orang yang mancing. Ada beberapa warung juga yang buka 24 jam memenuhi kebutuhan pemancing.

Suaminya memang sakit kepalanya. Sudah sekitar satu tahunan ini dia mengeluh kepala bagian belakangnya sakit. Sudah banyak dokter yang mereka kunjungi, tapi hasilnya nihil. Tidak terdeteksi penyakit apapun. Bahkan mereka sudah ke beberapa orang pintar dan kyai dengan berbagai wejangan nyatanya memang tidak ada hasil yang signifikan. Rasa sakit di kepalanya tetap terasa.

Sudah satu tahun juga suaminya tidak bekerja. Entah nafkah lahir atau batin, Ika tak pernah merasakannya. Suaminya bahkan sering meminta uang padanya untuk bekal memancing. Pun dengan nafkah batin, suaminya sudah lama tidak pernah menyentuhnya lagi.

Keberadaan suaminya benar-benar sudah seperti benalu. Kadang terbersit keinginan untuk berpisah, tapi apa kata orang nanti kalau dirinya meninggalkan suami ketika suami sedang sakit.

Ika membaringkan tubuhnya di kasur. Lelah badannya kalah dengan lelah hati yang harus dia terima hari ini. Waktu sudah menunjukkan pukul 11 malam. Anak-anak sudah tertidur. Ketika matanya mulai menutup, ketukan pintu benar-benar membuatnya kaget. Siapa yang bertamu malam-malam begini? kalau suaminya tidak mungkin mengetuk pintu. Rasa takut mulai menjalar kesekujur tubuhnya. Ia mencoba mengintip lewat jendela.

"Ini bapak, Ka."

Ika terheran. Hah bapak?

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status