Share

Bab 6 Suamiku Pulang

"Kamu wangi banget, Ka."

Pak Tio memuji menantunya.

Wajah Ika memanas. Ika mulai memperhatikan penampilan mertuanya. Usianya sudah kepala 5, tapi penampilannya memang selalu rapi. Justru Karyo yang lebih muda tidak pernah memperhatikan penampilannya.

Penampilan mertuanya selalu perlente. Kali ini ia mengenakan kemeja panjang bahan jeans biru muda dipadukan dengan celana jeans hitam. Rambutnya yang agak panjang disisir ke belakang, khas sekali dengan gaya mandor proyek. Wangi parfum selalu menguar dari tubuhnya.

Sebenarnya Ika tahu kalau mertuanya ini memang suka menggoda daun-daun muda. Bahkan gosip mengatakan kalau ia menikahi ibu mertua karena ibu mertua sudah hamil duluan. Tetapi entah kenapa mereka belum berpisah sampai sekarang. Entah karena Ibu yang gak bekerja memang butuh uang bapak, atau karena bapak pintar merayu. Ika rasa dua-duanya berperan penting.

Ika tadinya juga tidak menyangka kalau Karyo yang pendiam mempunyai bapak yang seperti itu. Awalnya kelakuan Pak Tio memang terlihat menjijikan. Tapi entah kenapa sekarang dia ingin mengaku kalau mertuanya memiliki pesona tersendiri.

Pak Tio yang duduk di kursi di depan Ika, perlahan berpindah ke samping Ika. Jantung Ika seperti dipompa dengan cepat.

Harum rambut Ika membuat jiwa kelelakiannya terbangun. Ia mencium rambut dan leher menantunya. Ika tak bisa berkutik, ia memejamkan mata. Hasratnya yang selama ini ditahan hanya untuk suaminya malah dengan cepat menjalar ke tubuhnya karena sentuhan lelaki lain.

Tangan Pak Tio meremas tangan Ika. Melihat Ika menikmati umpannya, ia mencoba mencium bibir ranum miliknya. Tidak ada perlawanan. Ika menyambut bibir mertuanya.

Tiba-tiba deru suara motor terdengar mendekat. Mereka berdua terlonjak bersama. Saling berpandangan.

"Ika."

Mereka langsung mematung.

"Itu Karyo, Pak."

"Iya, Ka. Kamu benerin dulu baju kamu."

Ika memperbaiki posisi baju dan roknya.

Suaminya di luar mencoba menggedor pintu yang ternyata terkunci.

Rasa takut hinggap pada keduanya. Ika bergegas membuka pintu untuk suaminya. Tubuhnya sedikit bergetar, bagaimana kalau dia memergokinya dengan lelaki lain? Dengan ayahnya. Ia mencium bajunya sendiri, ia takut parfum mertuanya menempel padanya.

Pak Tio pun takut bukan kepalang. Di saat permainan baru dimulai, anaknya malah pulang. Ia segera memikirkan berbagai alasan untuk menghadapi Karyo. Semoga Karyo tidak curiga.

Gerendel pintu Ika buka, Ia melihat Karyo nampak lelah. Karyo memandang Ika sejenak. Tidak biasanya Ika seperti merias diri, meskipun tidak tebal. Wajahnya masih ayu seperti biasanya, namun ada kesan gelisah di sana. Karyo melangkah masuk.

"Pak?" Karyo kaget, ada bapaknya sedang duduk di ruang tamunya.

"Bapak? sedang apa di sini malam-malam, Pak?"

Pandangan menyelidik ia tampilkan jelas. Kedua orang ini sedang apa malam-malam di rumahnya dengan pintu terkunci dari dalam.

"Eh, ehm, anu tadi Ika menelpon bapak mau pinjam uang sama bapak. Katanya mendesak buat besok pagi. Jadi bapak ke sini cepat-cepat." tergagap Pak Tio menjawab pertanyaan anaknya.

"Kamu pinjam uang, Ka? Buat apa? Kamu kok nggak ngomong sama aku." Ada nada kesal dalam suara Karyo. Kecurigaanya tertutup oleh rasa kesal karena Ika meminjam uang ke bapaknya tanpa memberitahunya terlebih dahulu.

"Ehm, itu pak, aku mau bayar hutang. Tadi ibu-ibu arisan datang ke lapak dagangan ku. Mereka menagih uang mereka yang aku pakai. Aku nggak tahu mau minta tolong sama siapa lagi." jelas Ika. Nada bergetar dalam suaranya terdengar jelas. Tapi Karyo terlalu tuli dan buta untuk melihat keadaan di depan matanya.

"Jangan bilang aku nggak ngomong sama kamu yah, Mas. Sudah berkali kali aku nelpon kamu. Coba lihat berapa panggilan telepon di hp mu hari ini? Pernah nggak kamu angkat?" tambah Ika.

Emosi Ika tiba-tiba tersulut. Setiap ia bertemu suaminya, hanya ada amarah yang ingin luapkan. Bahkan untuk keadaan saat ini yang sedang ia lalui, ia tak mau disalahkan karena meminjam uang ke bapaknya. Suaminya punya andil atas urusan uang dalam rumah tangganya.

Karyo mengambil hp di kantongnya. Ika sudah menelponnya 13 kali. Ia langsung merasa bersalah. Penjelasan Ika membuatnya malu di depan bapaknya. Selama ini ia tak pernah menceritakan keadaannya pada keluarganya, ia pikir Ika tak masalah dengan keadaanya. Tapi ternyata memang Ika sangat tertekan. Tak ada kata yang mampu ia ucapkan.

"Yasudah, Karyo. Bapak pulang dulu ya. Itu uangnya sudah bapak kasih ke istri kamu."

Pak Tio beranjak meninggalkan rumah itu. Jantungnya masih berdetak kencang tidak karuan. Tapi ada senyum yang menyungging. Umpan yang ia berikan sudah disamber oleh menantunya. Tinggal menunggu untuk ditangkap dan dinikmati saja. Meskipun terselip sedikit rasa iba pada anak lelakinya.

***

Keesokan harinya Ika membuat kue-kue seperti biasa. Semalam Karyo tidur di kursi ruang tamu. Karyo mendekati Ika, ingin membantunya. Tapi keadaan sudah berbeda dari dulu. Suasana sangat kikuk, saking lamanya mereka tak pernah bertemu, Karyo sampai bingung harus memulai percakapan dari mana.

"Ika, aku minta maaf, ya."

Ika menoleh sebentar, tapi ia tetap fokus menguleni adonan untuk membuat donat.

"Aku sangat malu sama kamu karena nggak bisa nafkahin kamu. Aku bingung harus bagaimana. Sakit di kepalaku sering datang dan pergi. Sakit ini agak menghilang kalau aku lagi di luar. Maafkan aku Ika. Kamu boleh menceraikan aku kalau kamu ingin. Aku sudah tidak bisa menafkahi kamu."

Tangan Ika terhenti. Ia menoleh ke arah suaminya. Menatapnya sebentar. Ia ingin mencari rasa cinta yang dulu pernah mereka bangun bersama. Air matanya tiba-tiba luruh. Ia merasa iba dengan suaminya, tapi rasa itu sudah lama hilang, semenjak suaminya sudah tidak pernah menganggap Ika dan anak-anaknya ada.

Ingin sekali Ika meminta cerai pada suaminya. Tapi ia juga tidak tega dengan rasa sakit yang suaminya derita. Tak hanya itu, air mata itu menganak sungai untuk rasa malunya, dan rasa bersalahnya, karena telah memberikan hati dan tubuhnya kepada lelaki lain.

"Maaf sayang." Karyo memeluk Ika dari belakang.

Ika kaget dan melepas pelukan suaminya. Kenapa suaminya sudah terasa seperti orang lain.

Mundur, Karyo kaget Ika menepis sentuhannya. Tapi ia tak menyalahkan Ika. Sudah sejak lama ia tak pernah memberikan hak lahir batin istrinya.

Karyo melangkah keluar tanpa pamit. Penolakan Ika adalah sebuah ultimatum, agar ia tidak lagi ada di sekitarnya.

Ika menangis menggerung-gerung. Pernikahan yang ia harapkan akan dipenuhi kebahagiaan ternyata tak lagi bersisa.

"Assalamualaikum."

Ika menoleh mengelap air matanya. Ibu mertuanya berdiri di depan pintu.

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status