"Ka, senyum-senyum muluu dah dari tadi" Berkali-kali Yuni memergoki Ika sedang tersenyum melihat layar hpnya. "Dapet duda dari mana, Ka?" tambah Yuni dengan senyum meledek. Ika menoleh. "Duda?" "Iya, kamu kaya janda baru dapet duda baru. Kesengsem, kasmaran, kayak orang gila. Senyum-senyum sendiri liatin hp" Yuni menebak apa yang sahabatnya alami saat ini tanpa berpikir. "Yun, kamu kok....?" Ika memandang sejenak ke mata Yuni. "Kok apa? kok cantik banget?" jawab Yuni cekikikan. Kepingin Ika toyor tuh kepala sahabatnya, padahal tadinya mau bilang kok tahu, tapi nanti Ika malah ngaku sendiri. "Kamu kok sembarangan kalau ngomong? Pengin dijitak yah kepalanya!" jawab Ika."Eh, enak aja" Kepala Yuni mundur beserta badannya. "Kepala anak orang nih, masih ada emaknya. Entar aku bilangin ke emak aku lho" "Sono bilangin, paling kamu tambah dijitak" Ika ikut meledek Hari ini pasar lagi sepi sampai Ika dan Yuni hanya ngobrol ke sana ke sini ngga
Nur bangun seperti biasanya. Jam di kamarnya menunjukkan angka 7. Anak dan suaminya sudah bangun sejak pagi. Ia tak perlu repot bangun pagi atau membangunkan mereka. Adik-adiknya sudah sangat sigap membantunya menjaga Sheila, putri sematawayangnya. Ia juga tak perlu repot memasak, sarapan sudah tersedia di atas meja setiap paginya. Ibunya tak pernah sekalipun absen dalam menyiapkan sarapan. Suaminya juga sudah siap duduk di meja sarapan. Masuk kerja jam 8 pagi membuatnya harus cepat-cepat sarapan karena tempat kerja yang jauh. Sedangkan Nur masuk kerja lebih siang, jadi masih ada waktu untuk mandi dan berdandan rapi. Ibunya tak pernah menegur tentang tingkah laku Nur yang bak ratu itu. Pasalnya semua uang keluarga mengalir dari kran milik Nur dan Pak Tio. Suami Nur yang kerja di reparasi mesin AC tidak membantu banyak. Kehidupan di desa memang tak menyediakan gaji yang besar. Beda dengan bapaknya yang mandor proyek, tak hanya gaji yang mengalir dari pemilik
"Aku nggak mau mas dihina sama ibumu. Belum lagi adikmu, Nur. Mulutnya udah kayak seblak level 10, bikin mules" Ika mengadukan kelakuan iparnya. "Atau mas pinjemin dulu ke bapak?" Karyo berusaha meringankan beban istrinya."Eh, jangan. Udah nggak usah. Kan Ika udah hutang sama Bank Plecit. Duit itu udah cukup." Ika tiba-tiba tergagap, nama Pak Tio dibawa-bawa. "Tapi itu bunganya besar banget!" Karyo semakin khawatir. "Kamu nyicilnya gimana?" "Ee... nanti Ika pikirkan, mas. Sudah sana mas Karyo pergi saja"Karyo tercekat, ah kata-kata pergi jadi sangat menyakitkan bagi Karyo. Apa sudah tidak ada kata pulang untuk dia? "Ayo pulang, Ka" ragu-ragu Karyo mengajak istrinya pulang. Yuni yang sejak tadi pura-pura sok sibuk tapi sebenarnya menguping pembicaraan mereka jadi ikutan nyaut, "Iya pulang aja, Ka. Nanti dagangannya aku yang bawain, kayak biasanya"Mereka menoleh ke arah Yuni. Ika kecewa, kenapa Yuni malah membe
POV IkaKukira Karyo curiga dengan jawaban yang ku berikan tadi, ternyata dia tak menanyakan apapun. Sekarang dia sedang bersiap-siap bersama Iwan dan Azka untuk pergi ke pemancingan.Sebenarnya aku juga ingin ikut bersama mereka, siapa tahu bisa menjadi jalan agar hubunganku dan Mas Karyo membaik. Masih ada sejumput harapan kalau keadaan keluarga kami akan membaik. Meskipun aku bahkan belum tahu bagaimana cara menghadapi bapak mertuaku nanti. "Berangkat dulu ya, Bu" Karyo tersenyum. Mereka sudah siap di atas motor. Anak-anak sudah kegirangan sejak tadi, melambaikan tangan berkali-kali padaku. "Ibuu, besok-besok ikut, yaa" ajak Azka. "Asyik di sana bisa main pasir" aku hanya tersenyum dan melambaikan tangan. Batinku berharap, semoga memang ada hari esok untuk kita ber empat. Aku kembali masuk ke dalam rumah setelah motor mas Karyo pergi. Ponselku sedang berdering. Ada nama Bapak Mertua di sana. Tiba-tiba rasa enggan menggelayuti ku. Apa
"Pak mau beli es" rengek Iwan membuat Karyo geram. Sudah tiga kali Iwan merengek minta makan. Padahal dari tadi mereka sudah membeli berbagai minuman dan makanan. Ia jadi heran kayaknya anak bungsunya itu ngantuk bukannya lapar. "Iwan mau bobo yah?" tanya Karyo memastikan. "Iya, Pak. Iwan ngantuk." Pantas saja kalau anak kecil itu mengantuk sebab kakaknya sudah meminta pulang sejak tadi. Pasalnya dari pulang sekolah mereka langsung ikut ke pemancingan dan langsung bermain pasir. Badan mereka pasti sudah lelahdan sudah menuntut untuk diistirahatkan.Karyo menggendong Iwan. Azka mengikutinya di belakang menuju ke parkiran motor dekat warung. Seorang wanita keluar dari warung dan menyambut kedatangan mereka. "Sudah mau pulang?" wanita cantik itu bertanya dengan lembut. Senyum manis tersungging dari bibirnya yang merah. "Sudah, ini kayaknya pada ngantuk, capek" jelas Karyo sambil memperhatikan penampilan wanita di depannya. Pulasan m
Beberapa baju dipilih dan dimasukkan ke dalam tas besar yang akan dibawa ke Kota. Tiket pemberangkatan sudah dipegang. Besok jam 9 pagi Ika harus sudah ada di stasiun. Membeli tiket gampang saja, berpamitan kepada anak-anak lah yang susah. Mereka menangis kencang ber jam-jam. Anak-anak mulai bisa tenang waktu Ika berjanji kalau ia akan mengirim banyak uang dari kota sehingga mereka bisa membeli banyak mainan. "Ibu, Ika nitip anak-anak, ya. Ika cuma takut kalau mereka sakit" Ika menunduk meminta ijin pada ibunya. Ibunya menarik nafas panjang, enggan berkomentar perihal rumah tangga anaknya. Dari dulu Ika tak pernah ia ijinkan merantau karena ia khawatir pergaulan bebas di kota besar. Rasa kecewa tak bisa ia sembunyikan karena setelah menikah Ika malah memilih untuk merantau. Ia kecewa pada keputusan Ika tapi ia bahkan lebih kecewa pada menantunya yang kini duduk di pojok ruang tamu tanpa suara. "Karyo, anakku belum pernah m
SDM bab 14Ika mondar mandir di dalam bedeng. Ia malu untuk keluar dan bertemu dengan Bi Ijah. Bahkan di hari pertama ia bekerja, ia harus mengalami hal memalukan seperti ini. Walaupun ia sadar kalau cepat atau lambat mungkin sebagian orang akan sadar hubungannya dengan bapak mertua meskipun sebisa mungkin ia menutupinya. Disamping rasa gelisah yang saat ini menghantui, sisi gelapnya yang lain berkata kalau baguslah jika Bi Ijah sudah tahu, paling nggak dia nggak harus berpura-pura di hadapan orang yang akan ia temui setiap hari. Berbekal rasa itu, ia memberanikan diri untuk masuk ke warung. Bi Ijah terlihat sedang mengaduk kopi untuk pekerja di depannya. Mata Ika langsung tertuju pada wortel dan kobis di lantai. Ia teringat perintah Bi Ijah. Ika duduk mengupas wortel. Berpura-pura tidak terjadi apa-apa. Pekerja proyek di depan menatapku tanpa berkedip. Rasanya risih sekali, seperti ada yang mengamati dari atas ke bawah. "Siapa nih Bi Ijah?" Ta
"Kalau ngomong yang sopan, Gus." Kata Bi Ijah tiba-tiba muncul dari dapur dengan membawa gorengan yang baru matang. Agus hanya tertawa cekakakan, "bercandaa, Bii." Meskipun Agus hanya menanggapinya dengan santai, tapi tidak dengan Ika. Tangan Ika gemetar, ada sakit yang tak bisa ia jelaskan. "Harusnya aku merasa sakit hati karena harga diriku disenggol, tapi kenapa aku malah merasa tersindir karena faktanya aku memang menjual tubuhku untuk uang" batin Ika. Ia juga merasa tidak nyaman dengan si Agus itu. Sejak ia di sini, Agus sudah berkali-kali berkali-kali tidak sopan. Padahal kan mereka baru kenal. Ika pikir apa memang sifat Agus yang ceplas-ceplos kalau ngomong, atau apa Agus tahu sesuatu tentang Ika. Kenapa kata-kata Agus selalu menyindir Ika? Meskipun Ika merasa terganggu dengan ulah Agus, ia merasa kalau ia harus kuat menghadapi berbagai perilaku orang-orang kota yang mungkin banyak yang nyeleneh. Ia tidak bis