Share

Bab 7 Hasrat yang Menggebu

Bab 7

"Ibu?" Buru-buru Ika mengelap air matanya.

"Masuk, Bu."

Wajah marah ditunjukkan oleh Ibu mertuanya.

"Kamu kenapa, Ka? Menangis kencang begitu kayak anak kecil saja. Paling juga masalah uang. Iya, kan?" sinis ibunya bertanya tentang keadaan menantunya. Ika menunduk. Sebaiknya ia meneruskan menggoreng kue donat saja.

"Ditanya kok diem aja sih, Ka. Ibu ke sini mau bicara, Ka. Tadi suamimu ke rumah ibu."

Ika memandang ibu mertuanya. 'Jadi suaminya pergi ke sana tadi.'

"Kamu pinjam uang sama bapak?"

Matanya melotot penuh amarah. Ika kaget, suaminya mengadu ke ibunya. Aduh, dalam hati, ibunya pasti marah-marah ini.

"I...iya, Bu. Ika butuh sekali uang buat bayar hutang." Ika gugup tak berani memandang mata ibunya.

"Karyo tadi bilang kamu pinjem uang sama bapak tadi malam. Ibu bukannya nggak mau bantu kamu, tapi kamu kalau pinjam terus nanti bapak jadi nggak punya uang. Bapak kan lagi nggak kerja. Proyek baru mulai minggu depan."

"I..iyaa, Bu. Nanti Ika gak pinjem bapak lagi."

Sigap Ika menjawab, sebenarnya Ika tak mau berurusan dengan ibu mertuanya. Tidak cuma menyindir, dia juga sering menghina Ika karena Ika tidak kaya seperti menantunya yang lain.

"Ibu tahu Karyo tidak kerja. Ibu juga tahu sekarang kamu berjuang sendiri. Tapi Ibu juga punya kebutuhan. Sekarang bapak sangat susah dimintain uang. Ibu tahu tabungan bapak masih banyak. Ibu kaget tadi pagi Karyo bilang bapak ngasih kamu uang. Bukannya ngasih uang ke istrinya malah ngasih ke orang lain."

Aduuh, ingin sekali Ika menutup kedua telinganya, atau pergi dari hadapan mertuanya ini, tapi sayang gorengan Ika belum selesai semuanya.

"Bikin gorengan kayak begini kamu untungnya berapa sih? anak kamu kan sudah besar. Tinggal saja sana sama Karyo, kamu merantau cari uang yang banyak biar tidak nyusahin orang."

Ibu Kesih tak berhenti marah-marah. Seperti ada toren amarah dalam dirinya. Tidak habis-habis . Semua tertumpah ke Ika.

Ika hanya mendengarkan saja. Ia berpikir tega sekali ibunya mengatakan kalau Ika nyusahin orang. Dipikir-pikir lagi ternyata bapak mertuanya benar-benar ngasih Ika banyak perhatian dan uang. Istrinya aja nggak ia kasih.

Ika memutuskan menghentikan gorengannya, masih ada beberapa adonan yang harus ia goreng, tapi hatinya sudah tidak kuat. Ia memilih kabur.

"Bu, Ika mau antar gorengan dulu ya." Ika bangkit membungkus gorengan yang sudah sedia.

"Lho, emang sudah selesai nggorengnya? Yaudah bungkusin ya buat ibu, bapak belum sarapan tadi."

Huft. Dalam hati Ika mengeluh. Tadi aja gorengannya dihina-hina hasilnya tidak seberapa. Sekarang malah minta dibungkusin.

Ia tinggalkan bungkusan kresek hitam di samping ibunya. Tanpa berpamitan lagi, ia melangkah keluar dari rumahnya. Sebelum menyalakan motornya, sebuah pesan singkat masuk ke dalam handphonenya.

[Ka, Karyo sudah pergi lagi belum? Kalau sudah, nanti malam bapak mau ke rumah. Ada yang belum selesai kemarin malam]

Membaca wa dari mertuanya Ika langsung merinding. Jantungnya berdebar-debar. Senyumnya mengembang. Ia menoleh kepada ibu mertuanya sebentar yang masih di dapurnya. Ternyata ibunya sedang memperhatikannya sedari tadi.

"Lihat apa kamu, Ka? Senyum-senyum sendiri."

"Eh, eng..enggak, Bu. Ini ada Yuni kirim gambar lucu, Bu. Yasudah, Ika berangkat dulu, Bu."

Ika lega. Tidak ada tanda-tanda kalau ibunya dan suaminya curiga dengan hubungan gelap antara dirinya dan bapak mertua.

***

Malamnya Ika berdandan rapi. Kaos ketat yang ia kenakan memperlihatkan bentuk tubuhnya. Rambutnya digerai panjang menjuntai. Ada seseorang yang ia tunggu. Sesaat suaminya terlintas di pikirannya, ada adrenalin yang meningkat. Rasa bersalah kalah dengan rasa takut akan ketahuan. Hal itu malah membuatnya semakin bersemangat. Malam ini setan sudah menguasai. Logikanya berjalan tidak sesuai dengan norma. 'Buat apa aku menunggu suamiku yang tidak mau bertanggung jawab atas aku dan anak-anakku. Sedangkan ada lelaki yang mau menafkahinya di depan matanya'

Tok..Tok...Tok...

Ketukan pintu membuatnya kegirangan. Cepat-cepat ia menemui mertuanya. Sekilas menengok ke arah pintu kamar anak-anaknya, semuanya sudah terlelap.

"Masuk, Pak." Malu-malu ia di depan mertuanya.

"Karyo nggak pulang kan, Ka?" Pak Tio berbisik-bisik, memastikan semuanya sudah aman.

Ika menggelengkan kepalanya.

"Anak-anak sudah tidur?"

Ika mengangguk sambil tersenyum.

"Ayo, Pak. Langsung aja masuk ke kamar Ika" ajak Ika malu-malu.

"Wah, kamu sudah nggak sabar yah."

Mereka melangkah bersama masuk kamar. Tangan Pak Tio melingkar sempurna di pinggul Ika.

***

Tring.. ..

Sebuah pesan wa masuk.

[Sudah aku transfer sayang]

Ika tersenyum. Ia mengetik.

[Makasih sayang]

Setelah malam itu, setiap malam Pak Tio mengunjungi rumah menantunya. Karyo tak pernah kelihatan batang hidungnya.

Sayangnya, seminggu kemudian dia harus mengerjakan proyek di lain kota. Tetapi transferan uang tidak pernah berhenti.

[Aku rindu sayang. Kamu kesini mau?]

Setelah seminggu di bedeng proyek baru, Pak Tio merasa rindu. Berbagai alasan akan ia cari agar bisa bersama menantu kesayangannya.

[Anak-anak gimana sayang? Aku kesitu alasannya apa?]

[Titipin anak kamu sama suamimu. Nanti aku urus, semuanya akan beres]

Tak selang lama dari masuknya pesan mertuanya, suaminya yang sudah lama tidak pulang muncul di depan rumahnya.

Enggan rasanya menyambut suaminya, Kia lebih memilih untuk mencuci piring di belakang. Pesan-pesan dari selingkuhannya segera ia hapus.

"Ika."

Ika menoleh.

Karyo menaruh badannya di kursi.

"Tolong ambilkan aku minum, aku mau ngomong sebentar."

Ika mengambil gelas di rak dan membuatkan teh hangat. Ia hidangkan teh itu di meja samping suaminya duduk.

"Bapak bilang tadi. Di bedeng proyek ada warung baru butuh pegawai. Katanya gajinya lumayan besar. Apa kamu mau bekerja di sana?".

Mata Ika membulat. Ada pekik bahagia yang tertahan. Buru-buru ia menutup mulutnya. Karyo sedang sibuk mengaduk teh di sampingnya.

"Ehm, anak-anak bagaimana?"

"Anak-anak biar aku yang jaga. Ibu nanti bisa bantu. Aku nggak bisa kasih kamu nafkah. Hanya ini yang bisa aku kasih, ijin buat bekerja. Semoga bisa menutup hutang-hutang kita".

Hati Ika terasa teriris seketika.

Wajah sendu tak bisa ia sembunyikan.

Suaminya mengijinkannya bekerja di sana. Padahal ia mau berselingkuh dengan lelaki lain.

"Kapan berangkatnya, Pak?"

"Besok."

"Iya, nanti Ika siap-siap dulu. Nitip anak-anak, Pak."

Jauh dari suaminya mungkin sudah biasa, tapi jauh dari anak-anak ternyata seberat ini. Bagaimana nanti anak-anak? Bagaimana kalau mereka sakit? Bagaimana kalau ia rindu?

Tapi hasratnya sudah tak bisa ia tahan lagi. Ia cuma berharap proyek ini tidak akan lama.

***

[Sudah mau berangkat?]

Pesan singkat masuk ke hp Ika.

[Ini sedang siap-siap]

Tak banyak yang Ika bawa, cuma beberapa baju saja.

[Jangan lupa bawa baju seksi yang banyak]

Ika tersenyum.

"Senyum-senyum sendiri, Ka?"

Ika gelagapan kaget suaminya mendekat. Hp langsung ia masukkan ke dalam kantong.

"Kenapa, Ka?"

"Eh, anu, nggak papa, Pak."

"Kok kamu kaya gugup gitu. Sedang wa siapa tadi?"

"Eng..enggak, Pak. Beneran."

Berdebar-debar rasanya seperti maling yang kepergok.

"Boleh pinjam hpnya?"

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status