"Maksud kamu apa, Yo? Ika selingkuh sama Bapak?" tanya Yono tercengang. "Iya, Mas. Rumah tangga kami sudah hancur!" jawab Karyo kecewa. "Jadi Pak Tio juga godain Ika?" tanya Jannah dengan wajah tak percaya. "Emang kamu juga digodain?"Dulu Yono memberitahunya kalau istrinya juga digoda oleh Bapak, tapi ia belum percaya karena belum mendapatkan cerita yang utuh. "Eh, mm ...," Jannah memandang suaminya, ia ragu-ragu mau menjawab. "Iya, Yo. Jannah pernah digoda juga sama Bapak. Aku sudah muak banget sama kelakuan Bapak yang doyan banget sama perempuan! Aku pikir, masalah masa lalu yang kamu alami saat ini, pasti ada hubungannya sama Bapak. Orang itu pasti bermasalah dulunya dan masalahnya jatuh ke kita. Jadi ibaratnya kita tuh kena karma," papar Mas Yono sambil menyeruput kopi yang sudah hampir dingin. "Jadi menurut Mas Yono, masalahku ini karena kelakuan Bapak? Yang dimaksud oleh Kyai Hasyim itu masa lalu Bapak?" tanya Karyo m
"Bapak itu bukan Bapak kandung aku?" tanya Ayu takut-takut. Ia khawatir jawabannya akan terasa getir. Pak Karta dan Bu Fatun lagi-lagi saling berpandangan. "Sudah ceritakan saja semuanya, Bu. Anakmu juga berhak tahu yang sebenarnya," ucap Pak Karta. Ayu menelan air liurnya. Ada apa sebenernya? Kata "anakmu" terasa sangat menyakitkan. Meskipun Ayu juga pernah berpikiran kalau Pak Karta memang bukan bapaknya, tapi mendengar pengakuan keduanya ternyata memang menyakitkan. Selama ini Pak Karta memang tak terlalu dekat dengan Ayu, seperti ada satu dua hal yang menghalangi lelaki itu mempunyai hubungan dekat dengan Ayu. Lantas, mengalir sebuah cerita pilu tentang masa lalu ibunya. Karta, yang sudah lama menyukai Lasirah diam-diam, entah harus senang atau sedih, harus menikahi Lasirah, yang sudah dihamili Tio. Saat itu Karta marah, darahnya menggelegak. Ia hendak mencari kemana Tio kabur lantas membuat lelaki itu menyesali p
Bayi kecil itu diberikan pada Lasirah setelah Bu bidan yang lain membersihkan plasenta dan sisa-sisa darah.Akan tetapi wanita itu menolaknya. Ia tak ingin melihat anaknya sendiri. "Nggak mau, Bu. Bawa pergi jauh-jauh bayi itu! Aku nggak mau lihat," teriak Lasirah lantang. Orang-orang di ruangan itu saling berpandangan. Ada apa ini? Bu Minah, ibunya Lasirah segera membujuknya. "Ayo, Rah. Anaknya digendong dulu. Dipangku, terus coba ditempel di dadamu, biar belajar nyusu anaknya." "Nggak mau, Bu. Bawa pergi jauh-jauh bayi itu dari sini. Cepat, Bu!" bentak Lasirah. Dua bidan itu tak memaksa karena Lasirah semakin histeris. Melihat anaknya sendiri seperti melihat kotoran. Pak Karta memandang iba pada istrinya. Ia menghampiri bidan yang tadi membawa anaknya. "Gimana ini ya Bu? istri saya nggak mau nyusuin," tanya Pak karta pada Bu Fenti sambil melihat wajah tak berdosa, bayi mungil di gendongannya.
"Ika, tuh ada yang beli. Kok malah manyun sih diem aja dari tadi." Yuni yang ada di samping Ika menowel pundaknya. Ika sedang terlena dengan lamunan. Ia kaget mendengar teguran sahabatnya itu, "Ya Allah, yuun, kamu bikin kaget saja." Kesadaran Ika langsung kembali, lamunannya langsung buyar. Ia melihat pembeli di depannya sedang menatapnya, menunggu untuk dilayani tepatnya. "Iya, Bu. Aduuuh maaf Bu saya malah melamun begini. Monggo silakan mau beli kue apa, Bu?" Seperti kepergok, ah Ika jadi sangat malu. "Kue lemper sama putu ayu aja mba. Masing-masing 15 ribu saja." Ibu itu merogoh kantongnya untuk membayar kue. Sigap Ika pun membungkus kue-kue yang dipesan tadi. "Ini Bu kuenya." Sambil tersenyum semanis mungkin ia menyerahkan bungkusan kresek warna hitam. "Iya terima kasih, Mbak. Masih pagi Mbak, jangan melamun mbok nanti ada yang nempel." si pembeli menggoda sambil cekikikan. "Iiih, apa Ibu yang menempel, kok jadi seram amat?" Ika menimpali dengan wajah jenaka, ia
"Eh, Ika. Tumben ke sini sore-sore begini. Ko sendirian?" tanya ibu mertua ketika melihat Ika datang sendiri tanpa suami dan anak-anaknya. Sore itu akhirnya Ika memutuskan untuk pergi ke rumah mertuanya. Jarak rumah mereka tidak terlalu jauh. Rumahnya itu termasuk rumah yang cukup besar. Ada ibu mertua, bapak mertua, dan adik-adik dari suami Ika, Diana dan Miranda. Ada juga Nur yang sudah menikah yang tinggal berdempetan dengan rumah itu. "Iya, Bu. Aku ada perlu sebentar. Anak-anak sedang main di rumah tetangga, kalau Mas Karyo sedang mancing." jawab Ika. "Ada perlu apa, Ika?" Tanya bapak mertua yang muncul dari kamarnya. Pak Tio hanya menggunakan celana boxer dan kaos dalam. "Eh, pak. Tumben ada di rumah? Apa sedang libur bekerja?" Ika menyalami tangan mertuanya. "Iya, ini. Bapak libur lama. Proyek sedang libur." "Oh iya, Pak. Begini, pak Bu, Ika mau ngomong sama bapak sama ibu. Sudah lama Mas Karyo tidak bekerja. Dia sakit kepalanya. Katanya tidak boleh bekerja ter
"Masuk, Pak." Mertua Ika melenggang masuk ke dalam rumahnya. Waktu sudah menunjukkan pukul setengah 10 malam. Anak-anak Ika sudah tertidur sejak tadi. Wajah heran Ika tak bisa ia sembunyikan. "Anak-anak sama suami kamu sudah tidur, Ka?" tanya Pak Tio. Ia menelisik ke arah kamar. Matanya mengelilingi rumah Ika. Rumah itu mungil. Hanya ada dua kursi panjang dan satu meja di ruang tamu. Tanpa hiasan dinding maupun lemari. Ruangan itu terasa longgar. "Anak-anak sudah tidur, Pak. Tapi kalo Mas Karyo mungkin tidak pulang. Sudah beberapa hari ini dia tidak pulang, katanya tidur di tanggul." jawab Ika dengan nada agak kesal mengingat kelakuan suaminya itu. "Kamu kalau malam tidurnya sendirian yah, Ka?" Pertanyaan mertuanya itu agak membuat ia malu. Kenapa urusan begitu ditanyakan juga. "Ehm,
[Halo, Ika? Ada apa] Setelah Lydya mau dijanjikan akan diberikan uang hari ini, baru ia mau hengkang dari rumah Ika. Para tetangga sudah mulai mengintip dari jendela. Ika benar-benar malu. Bahkan dept kolektor saja tidak teriak-teriak kalau nagih hutang. [Ika butuh bantuan bapak. Teman-teman Ika datang ke rumah menagih uang arisan yang susah Ika pakai. Dulu uang itu Ika pakai untuk membayar uang sekolah anak-anak, Pak.] Suara tangis Ika terdengar melalui telepon. Pak Tio jadi nggak tega. Ia segera meminta izin kepada istrinya untuk mengunjungi temannya. Tapi rumah Ika lah tujuannya. **** "Maafkan Ika, Pak. Ika selalu merepotkan Bapak. Sebagian uang dari Bapak sudah Ika pakai untuk membayar hutang dan modal Ika berjualan." Mereka berdua terduduk di ruang tamu. Persoalan dengan Lydya sudah selesai. Setelah bapak mertuanya memberinya uang, ia langsung mengantarnya ke rumah Lydya. Dengan senyum sinis Lydya mene
Ika Bab 5 edit "Ikaaaa?" Yuni tergopoh-gopoh untuk masuk ke dalam rumah Ika. Ika yang sedang merapikan perabotan sisa membuat kue-kue dagangan sangat kaget. Tadi Ika meninggalkan Yuni di lapak dagangan. Ia pulang sebentar untuk menjemput anak-anaknya dari sekolah dan merapikan dapurnya yang kayak kapal pecah. Akhir-akhir ini dagangan Ika selalu habis, jadi ia percayakan saja kepada temannya itu sisa dagangannya . "Yun, ada apa kamu teriak-teriak?" tanya Ika. "Ikaaa, kamu dicariin Bu Kesih." Yuni masih berteriak kencang. "Hah? Aduuuhhhhh. Lusa Bu Lidya ke sini, sekarang tinggal Bu Kesih? Gawat ini, Bu Lidya pasti sudah cerita sama Bu Kesih nih. Dasar nenek lampir mulut ember. Katanya sudah janji nggak mau bilang yang lain. Mampus lah aku, Yun. Ika menoyor kepalanya sendiri. "Ini pasti uang arisan, kan?" tanya Yuni. "Kamu sih Ka. Uda