Share

Bab 3 Jadi Incaran Bapak Mertua

"Masuk, Pak."

Mertua Ika melenggang masuk ke dalam rumahnya. Waktu sudah menunjukkan pukul setengah 10 malam. Anak-anak Ika sudah tertidur sejak tadi. Wajah heran Ika tak bisa ia sembunyikan.

"Anak-anak sama suami kamu sudah tidur, Ka?" tanya Pak Tio. Ia menelisik ke arah kamar. Matanya mengelilingi rumah Ika. Rumah itu mungil. Hanya ada dua kursi panjang dan satu meja di ruang tamu. Tanpa hiasan dinding maupun lemari. Ruangan itu terasa longgar.

"Anak-anak sudah tidur, Pak. Tapi kalo Mas Karyo mungkin tidak pulang. Sudah beberapa hari ini dia tidak pulang, katanya tidur di tanggul." jawab Ika dengan nada agak kesal mengingat kelakuan suaminya itu.

"Kamu kalau malam tidurnya sendirian yah, Ka?"

Pertanyaan mertuanya itu agak membuat ia malu. Kenapa urusan begitu ditanyakan juga.

"Ehm, i-iya sendiri, Pak." Ika jadi gugup menjawabnya.

"Jadi nggak ada yang ngelonin dong yah, Ka?"

Mertuanya itu benar-benar membuatnya malu dengan pertanyaan yang sudah menjurus ke urusan ranjang Ika. Tapi Ika tidak enak kalau tidak merespon pertanyaan mertuanya.

"Iya Pak, sendiri juga gak papa. Mari pak duduk, nanti Ika bikinkan teh dulu ya." Ika berbalik badan menuju ke dapur. Agak lama ia menjerang air untuk dua gelas teh. Ia aduk-aduk berkali-kali. Rasanya tak mau ia menyuguhkan teh itu ke mertuanya. Tak menyangka kalau mertuanya malah menanyakan hal-hal tabu begitu.

"Masa sih nggak papa, Ka?"

emang kamu gak butuh belaian apa? Bapak mertuanya itu sudah mulai melantur omongannya. Ika jadi gerah. Ia baru sadar dari tadi mata mertuanya tertuju ke dadanya. Ada satu kancing bajunya yang terlepas sehingga buah dadanya sedikit menyembul keluar. Ika langsung sadar dan memperbaiki bajunya. Tapi dia malu sekali karena mertuanya malah melihatnya tanpa berkedip.

"Bapak mau apa ke sini malam-malam?" tanya Ika mencoba mengalihkan arah pembicaraan.

"Mmm, bapak mau ngasih kamu uang. Ini ada 500 ribu buat pegangan kamu. Maafkan anak saya ya, Ka. Anak saya gak bisa ngasih nafkah lahir batin sama kamu"

Ika memilih untuk tidak menjawab.

"Tapi, mmm, sebenarnya saya bisa kasih itu semua kalau kamu mau."

"Hah, maksudnya bagaimana yah, Pak?" Ika kaget mendengar penuturan mertuanya itu.

Melihat reaksi Ika yang sangat kaget, Pak Tio agak ragu untuk meneruskan kalimatnya. Tapi maksudnya sudah kepalang terlontarkan. Keinginan memiliki menantunya itu pun sudah tak terbendung, sejak anaknya membawa wanita ayu itu ke rumah.

"Ya begini, Ka. Saya bisa kasih kamu uang untuk membayar hutang-hutang kamu dan saya bisa kasih kamu jatah bulanan. Nggak hanya itu, mmmm mungkin kehangatan juga."

Ika sepenuhnya melongo mendengar penuturan sang mertua. Tubuhnya condong ke depan. Matanya melotot. Ia tidak bisa berkata-kata.

Mertuanya ini memang sudah terkenal kalau dia itu mata keranjang. Beberapa kali sudah Ibu mertuanya memergoki suaminya bermain dengan wanita lain di bedeng tempat proyekan berlangsung. Tapi entah kenapa mereka tidak pernah berpisah. Ia selalu menerima suaminya kembali.

Ika sepenuhnya bingung harus bagaimana merespon perkataan mertuanya itu. Mau bergerak saja rasanya kikuk. Ia memandang lekukan-lekukan kayu meja di depannya. Jadi benar kalau mertuanya ini mata keranjang? Sejak kapan Ika ada dalam pikiran lelaki tua ini?

'Aku sedang digoda oleh mertuaku sendiri? Ika berpikir keras. Tapi aku kan menantunya? Apa selama ini mertuanya ada hasrat dengan ku?'

"Ka? kok bengong. Bapak serius. Bapak mau bertanggung jawab atas nafkah lahir dan batin. Setiap bulan bapak akan kasih kamu uang untuk kebutuhan kamu. Bapak tahu Karyo sudah tidak pernah menyentuhmu. Apa kamu bisa hidup tanpa itu, Ka? Bapak juga bisa memuaskan kamu di ranjang. Sudah lama bapak ngeliatin kamu."

Jleb. Bagai ada pisau yang menancap di jantungnya. Ia ingin jantungnya tak usah berdetak saja saat itu. Mertuanya sendiri menginginkan dirinya.

"Bapak ini lagi bercanda apa bagaimana sih? Bapak sadar tidak sih kalau saya ini menantu bapak? Bagaimana kalau Mas Karyo tahu bapak ke sini buat ngomong begini ke saya?" Ika sekuat tenaga menahan emosi.

"Yasudah Ika. Mungkin ini terlalu terburu-buru buat kamu. Kamu bisa pikir-pikir dulu. Tapi bapak tahu kalau kamu juga membutuhkan seorang lelaki. Dan bapak bisa menggantikan peran Karyo buat kamu. Ini uangnya simpan dulu. Mungkin lain kali kamu mau kasih ijin ke bapak untuk bisa membahagiakan. Sekarang bapak mau pulang dulu."

Ika langsung merinding mendengar kata-kata bapak mertuanya itu. Dia bingung, apakah harus mengatakan hal ini ke suaminya atau tidak. Tapi suaminya sudah lama sekali tidak pulang. Ia juga tidak mau kalau mertuanya harus bertengkar dengan suaminya gara-gara dirinya.

Uang itu benar-benar berharga untuk Ika. Sebagian kebutuhan Ika bisa terpenuhi, begitu juga jajannya anak-anaknya. Sayangnya Ika masih punya banyak hutang jadi dia tetap banting tulang siang dan malam. Suaminya yang ditunggu pulang tetap tak terlihat keberadaanya.

***

"Ika, kamu bayar utangmu sekarang juga atau aku ambil motormu!" Hardik Lidia teman arisan Ika di depan rumahnya.

Hari masih pagi ketika teman arisannya, Lidya berteriak-teriak menagih hutang di depan rumah. Jantung Ika seperti dipompa, ia mengenali suara temannya itu. Ia tergopoh-gopoh keluar rumah takut kalau tetangganya akan terganggu dengan masalahnya. Tentu ia juga sedang menyelamatkan wajahnya dari gosip tetangga.

"Lidya, ya ampun. Ini masih pagi, Lyd. Aku sedang membuat kue. Kamu bisa nggak jangan teriak-teriak begitu dong? Ayo masuk dulu, Lyd."

Dengan susah payah ia menahan Lydya agar mau masuk ke dalam rumahnya. Tapi sepertinya Lydya datang memang bukan mencari kedamaian.

"Tak sudi aku masuk rumahmu, Ka! Kamu balikin semua uangku atau aku bawa semua ibu-ibu arisan ke sini sekarang juga."

Ika menarik nafas dalam. "Jangan begitu, Lyd. Kita kan teman. Aku pasti akan membayar uang kamu yang aku pakai."

Wajah merah Lydya tak bisa mereda. Seperti tebakannya sebelum ia datang, kalau Ika tak akan memberinya uang hari ini. Kemarahan semakin memuncak.

"Aku nggak mau tahu ya, Ka. Aku harus dapat uang hari ini. Semua teman-teman arisan sudah muak sama kamu. Kami tahu kalau uang kami ternyata dipake sama kamu kan."

"Sekarang arisan sudah bubar gara-gara kamu. Kalau mereka tahu uang mereka ada sama kamu, habis sudah hidup kamu."

Ika bergetar. Ia takut kalau teman-temannya benar-benar datang menggeruduk rumahnya.

"Aku minta maaf Lid, plis. Sekarang aku carikan uang untuk kamu ya." Ika memutar otak bagaimana ia bisa mendapatkan uang dalam waktu yang sangat singkat begini.

Akhirnya hanya ada satu nama yang bisa ia harapkan. Ia hanya bisa menghubungi bapak mertuanya.

"Halo, Pak. Ika butuh bantuan sekarang."

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status