Ika Bab 5 edit
"Ikaaaa?" Yuni tergopoh-gopoh untuk masuk ke dalam rumah Ika. Ika yang sedang merapikan perabotan sisa membuat kue-kue dagangan sangat kaget. Tadi Ika meninggalkan Yuni di lapak dagangan. Ia pulang sebentar untuk menjemput anak-anaknya dari sekolah dan merapikan dapurnya yang kayak kapal pecah. Akhir-akhir ini dagangan Ika selalu habis, jadi ia percayakan saja kepada temannya itu sisa dagangannya . "Yun, ada apa kamu teriak-teriak?" tanya Ika. "Ikaaa, kamu dicariin Bu Kesih." Yuni masih berteriak kencang. "Hah? Aduuuhhhhh. Lusa Bu Lidya ke sini, sekarang tinggal Bu Kesih? Gawat ini, Bu Lidya pasti sudah cerita sama Bu Kesih nih. Dasar nenek lampir mulut ember. Katanya sudah janji nggak mau bilang yang lain. Mampus lah aku, Yun. Ika menoyor kepalanya sendiri. "Ini pasti uang arisan, kan?" tanya Yuni. "Kamu sih Ka. Udah dibilangin duit arisan tuh bahaya. Kamu main ambil aja. Mereka pasti nyariin tuh duit. Sekarang Bu Lidya pasti sudah menyebarkan beritanya kalau uang arisan ada sama kamu, Ka. Buktinya Bu Kesih datang mencak-mencak. Katanya dagangan kamu mau digulingin kalau kamu nggak ngasih dia uang. Aduuh, aku jadi ikut pusing, Kaa." Tanpa disadari Yuni pun memegang kepalanya. Ini bukan masalahnya, tapi ia jadi ikut dikejar-kejar ibu-ibu arisan. "Ka, belum lagi ibu-ibu yang lain. Sudah dua yang datang, masih ada 7 lagi. Kalau semua ibu-ibu itu geruduk dagangan kita bisa habis, Ka. Untung aja aku nggak ikut nagih. Uang 100rb kan memang berharga untuk ibu-ibu, Ka. Bisa buat beli beras 2 mingguan." Yuni nyerocos mengomentari masalah Ika. "Bisa diem nggak, Yun? aku juga lagi pusing. Belum lagi cicilan bank harianku. Duuuuh aku kepingin nyemplung aja di laut." "Jangan, Ka. Kamu terlalu berharga. Nanti kamu jadi gak bayar hutangku, Ka." "Ya Allah, Yun. Udah kere begini masih aja dikasih cobaan temen yang kaya kamu." Ika mendorong tubuh temannya dengan kencang. Yuni terjerembab ke tanah. "Heh, kurang ajar kamu, Ka. Sakit tau! Tangan Yuni terjulur, "Angkat aku cepetan" Ika membalik badan, "Ogah" . Yuni bangkit sendiri. "Eh, enak aja ya kamu, Ka. Gini-gini juga aku yang selalu belain kamu kalau ada yang nagihin utang. Coba deh orang lain, udah ogah pasti temenan sama kamu." Terdiam, Ika tidak bisa menjawab. Perkataan temannya itu memang benar, selama ini cuma Yuni yang mau jadi temannya. Bahkan suaminya sudah meninggalkannya. Kalaupun suaminya di sini, ia tidak akan bisa membantu. Kini ia sudah tidak punya pegangan apapun. Satu-satunya orang yang akan menolongnya adalah bapak mertuanya. Tapi konsekwensinya adalah ia harus menyerahkan tubuhnya. Ika menarik nafas panjang. Tangannya gamang untuk menelpon bapak mertuanya. Berbagai pikiran berkecamuk dalam dirinya. 'Apalah bedanya aku dengan pelacur, aku menjual tubuhku untuk mendapatkan uang.' Tapi dia sudah tidak punya pilihan lain. "Ka, bengong mulu sih!" ternyata Yuni memperhatikan Ika sejak tadi. "Bu Lydya kemaren kamu sumpel mulutnya pakai apa?" "Hush, sembarangan kamu, Yun." Ika jadi gelagapan ditanyain sahabatnya. "Hmm, aku pinjem ke temen, Yun." "Bohong kamu! aku kan kenal temenmu siapa saja. Jujur aja lah. Kamu mana bisa sih bohong sama aku." Yuni membusungkan dadanya. "Sok tahu kamu, Yun." Ika membalas. Ia ragu kalau harus bercerita tentang hal ini. "Aku itu nggak ember, Ka." "Iya, aku tahu, Yun" Ika lirih menjawab. "Bapak mertuaku yang membantu, Yun." "Bapak mertua? Yuni kaget. "Tumbenan amat bapak kamu baik, Yun. Ibu mertua kamu aja pelit bukan main. Anaknya Nur aja ceritain ke orang-orang, sedangkan kamu, digoreng sampai gosong sama tuh orang." "Iya nih, Yun." Ika menunduk. Ia tak mungkin menceritakan lebih jauh hubungan mereka. "Yasudah minta tolong lagi aja sama mertuamu itu, Ka. Dia kan mandor proyek, duitnya masih banyak lah. Itung-itung dia gantiin anaknya untuk nafkahin kamu." Ceplosan Yuni malah bikin Ika kaget. Tetapi ia memilih untuk tidak meneruskan obrolan dengan Yuni. Ia hanya berjanji akan membayar hutang Bu Kesih segera. **** Akhirnya, nama Pak Tio terpampang di layar teleponnya. Tidak berjarak lama, suara yang ia kenal menyapanya. Mendengar suara bapak mertuanya, bulu kuduk Ika meremang. Ia tahu kemungkinan apa yang akan ia hadapi. "Halo, Ika? Kamu butuh uang?" Tanpa basa-basi pertanyaan itu terhujam dalam dirinya. "Halo, Pak. I..iya pak Ika butuh uang." Ika berkata ragu. "Berapa, Ka?" "Satu juta, Pak." Semakin lirih suara Ika terdengar. "Nanti malam bapak ke rumah kamu " Telepon di tutup. Nanti malam? Ika sudah menebak apa jalan pikiran mertuanya itu. *** Anak-anak Ika biasanya tertidur jam 9 malam setelah menonton televisi. Setelah menemani anak-anaknya, Ika ingin merebahkan badannya di kasur. Namun ia teringat kalau mertuanya akan ke sini. Ia beranjak dari kasur dan berdiri di depan cermin. Ia memperhatikan penampilannya. Benarkan ia masih menarik seperti kata bapak mertuanya? Tapi kenapa suaminya tidak pernah mau menyentuhnya? Ataukah suaminya hanya beralasan sakit selama ini. Ia juga tahu kalau di bedeng tempat pemancingan ikan banyak cewek-cewek yang bisa dipesan. Tapi kan suaminya tidak punya uang. Atau sebenarnya punya? Ketika pikirannya melayang jauh tiba-tiba tubuhnya terlonjak, ia kaget pintu diketuk oleh seseorang. Dadanya berdebar sangat kencang. Ia mematut penampilannya di cermin sekali lagi. Ia memakai baju pendek dengan kancing yang agak terbuka bagian atasnya. Rambutnya terikat ke atas. Rok pendek di bawah lutut membuat penampilannya terlihat feminim. Sekian detik ia menatap dirinya di cermin, ia baru sadar kenapa ia malah menyambut lelaki itu? Ia jadi seperti remaja yang akan pergi berkencan. Detak jantungnya semakin kencang. Ika keluar dari kamar dan membukakan pintu depan. "Masuk, Pak." Pak Tio masuk ke dalam rumah Ika. Ia memandang Ika dari atas ke bawah. Sesekali ia hentikan pandangannya ke arah belahan dada Ika. Ika yang sadar kalau sedang diperhatikan, tubuhnya jadi merasa panas Ada rasa malu yang menelusup. Ia sudah tak tahu seperti apa lagi jantungnya bertalu-talu. "Anak-anak sudah tidur, Ka?" tanya Pak Tio sambil meletakkan tubuhnya di kursi. "Sudah, Pak." Ika duduk di kursi di depan Pak Tio. "Ini yang kamu butuhkan. Bapak tambah jadi 1 juta 500." Pak Tio meletakkan setumpuk uang di depan Ika. Dengan gamang dan menunduk Ika mengambilnya. Ia merasa malu dan heran kepada dirinya sendiri. Kenapa ia malah merasa seperti sedang diapelin pacarnya, seperti mas Karyo dulu. Ia jadi merasa berhianat kepada suaminya. "Kamu sudah siap, Ka?" Ika masih menunduk. Pak Tio menggeser tubuhnya ke dekat menantunya itu."Kamu wangi banget, Ka." Pak Tio memuji menantunya. Wajah Ika memanas. Ika mulai memperhatikan penampilan mertuanya. Usianya sudah kepala 5, tapi penampilannya memang selalu rapi. Justru Karyo yang lebih muda tidak pernah memperhatikan penampilannya. Penampilan mertuanya selalu perlente. Kali ini ia mengenakan kemeja panjang bahan jeans biru muda dipadukan dengan celana jeans hitam. Rambutnya yang agak panjang disisir ke belakang, khas sekali dengan gaya mandor proyek. Wangi parfum selalu menguar dari tubuhnya. Sebenarnya Ika tahu kalau mertuanya ini memang suka menggoda daun-daun muda. Bahkan gosip mengatakan kalau ia menikahi ibu mertua karena ibu mertua sudah hamil duluan. Tetapi entah kenapa mereka belum berpisah sampai sekarang. Entah karena Ibu yang gak bekerja memang butuh uang bapak, atau karena bapak pintar merayu. Ika rasa dua-duanya berperan penting. Ika tadinya juga tidak me
Bab 7 "Ibu?" Buru-buru Ika mengelap air matanya. "Masuk, Bu." Wajah marah ditunjukkan oleh Ibu mertuanya."Kamu kenapa, Ka? Menangis kencang begitu kayak anak kecil saja. Paling juga masalah uang. Iya, kan?" sinis ibunya bertanya tentang keadaan menantunya. Ika menunduk. Sebaiknya ia meneruskan menggoreng kue donat saja. "Ditanya kok diem aja sih, Ka. Ibu ke sini mau bicara, Ka. Tadi suamimu ke rumah ibu." Ika memandang ibu mertuanya. 'Jadi suaminya pergi ke sana tadi.' "Kamu pinjam uang sama bapak?" Matanya melotot penuh amarah. Ika kaget, suaminya mengadu ke ibunya. Aduh, dalam hati, ibunya pasti marah-marah ini. "I...iya, Bu. Ika butuh sekali uang buat bayar hutang." Ika gugup tak berani memandang mata ibunya. "Karyo tadi bilang kamu pinjem uang sama bapak tadi malam. Ibu bukannya nggak mau bantu kamu, tapi kamu kalau pinjam terus nanti bapak jadi nggak punya uang. Bapak kan lagi
"Ka, senyum-senyum muluu dah dari tadi" Berkali-kali Yuni memergoki Ika sedang tersenyum melihat layar hpnya. "Dapet duda dari mana, Ka?" tambah Yuni dengan senyum meledek. Ika menoleh. "Duda?" "Iya, kamu kaya janda baru dapet duda baru. Kesengsem, kasmaran, kayak orang gila. Senyum-senyum sendiri liatin hp" Yuni menebak apa yang sahabatnya alami saat ini tanpa berpikir. "Yun, kamu kok....?" Ika memandang sejenak ke mata Yuni. "Kok apa? kok cantik banget?" jawab Yuni cekikikan. Kepingin Ika toyor tuh kepala sahabatnya, padahal tadinya mau bilang kok tahu, tapi nanti Ika malah ngaku sendiri. "Kamu kok sembarangan kalau ngomong? Pengin dijitak yah kepalanya!" jawab Ika."Eh, enak aja" Kepala Yuni mundur beserta badannya. "Kepala anak orang nih, masih ada emaknya. Entar aku bilangin ke emak aku lho" "Sono bilangin, paling kamu tambah dijitak" Ika ikut meledek Hari ini pasar lagi sepi sampai Ika dan Yuni hanya ngobrol ke sana ke sini ngga
Nur bangun seperti biasanya. Jam di kamarnya menunjukkan angka 7. Anak dan suaminya sudah bangun sejak pagi. Ia tak perlu repot bangun pagi atau membangunkan mereka. Adik-adiknya sudah sangat sigap membantunya menjaga Sheila, putri sematawayangnya. Ia juga tak perlu repot memasak, sarapan sudah tersedia di atas meja setiap paginya. Ibunya tak pernah sekalipun absen dalam menyiapkan sarapan. Suaminya juga sudah siap duduk di meja sarapan. Masuk kerja jam 8 pagi membuatnya harus cepat-cepat sarapan karena tempat kerja yang jauh. Sedangkan Nur masuk kerja lebih siang, jadi masih ada waktu untuk mandi dan berdandan rapi. Ibunya tak pernah menegur tentang tingkah laku Nur yang bak ratu itu. Pasalnya semua uang keluarga mengalir dari kran milik Nur dan Pak Tio. Suami Nur yang kerja di reparasi mesin AC tidak membantu banyak. Kehidupan di desa memang tak menyediakan gaji yang besar. Beda dengan bapaknya yang mandor proyek, tak hanya gaji yang mengalir dari pemilik
"Aku nggak mau mas dihina sama ibumu. Belum lagi adikmu, Nur. Mulutnya udah kayak seblak level 10, bikin mules" Ika mengadukan kelakuan iparnya. "Atau mas pinjemin dulu ke bapak?" Karyo berusaha meringankan beban istrinya."Eh, jangan. Udah nggak usah. Kan Ika udah hutang sama Bank Plecit. Duit itu udah cukup." Ika tiba-tiba tergagap, nama Pak Tio dibawa-bawa. "Tapi itu bunganya besar banget!" Karyo semakin khawatir. "Kamu nyicilnya gimana?" "Ee... nanti Ika pikirkan, mas. Sudah sana mas Karyo pergi saja"Karyo tercekat, ah kata-kata pergi jadi sangat menyakitkan bagi Karyo. Apa sudah tidak ada kata pulang untuk dia? "Ayo pulang, Ka" ragu-ragu Karyo mengajak istrinya pulang. Yuni yang sejak tadi pura-pura sok sibuk tapi sebenarnya menguping pembicaraan mereka jadi ikutan nyaut, "Iya pulang aja, Ka. Nanti dagangannya aku yang bawain, kayak biasanya"Mereka menoleh ke arah Yuni. Ika kecewa, kenapa Yuni malah membe
POV IkaKukira Karyo curiga dengan jawaban yang ku berikan tadi, ternyata dia tak menanyakan apapun. Sekarang dia sedang bersiap-siap bersama Iwan dan Azka untuk pergi ke pemancingan.Sebenarnya aku juga ingin ikut bersama mereka, siapa tahu bisa menjadi jalan agar hubunganku dan Mas Karyo membaik. Masih ada sejumput harapan kalau keadaan keluarga kami akan membaik. Meskipun aku bahkan belum tahu bagaimana cara menghadapi bapak mertuaku nanti. "Berangkat dulu ya, Bu" Karyo tersenyum. Mereka sudah siap di atas motor. Anak-anak sudah kegirangan sejak tadi, melambaikan tangan berkali-kali padaku. "Ibuu, besok-besok ikut, yaa" ajak Azka. "Asyik di sana bisa main pasir" aku hanya tersenyum dan melambaikan tangan. Batinku berharap, semoga memang ada hari esok untuk kita ber empat. Aku kembali masuk ke dalam rumah setelah motor mas Karyo pergi. Ponselku sedang berdering. Ada nama Bapak Mertua di sana. Tiba-tiba rasa enggan menggelayuti ku. Apa
"Pak mau beli es" rengek Iwan membuat Karyo geram. Sudah tiga kali Iwan merengek minta makan. Padahal dari tadi mereka sudah membeli berbagai minuman dan makanan. Ia jadi heran kayaknya anak bungsunya itu ngantuk bukannya lapar. "Iwan mau bobo yah?" tanya Karyo memastikan. "Iya, Pak. Iwan ngantuk." Pantas saja kalau anak kecil itu mengantuk sebab kakaknya sudah meminta pulang sejak tadi. Pasalnya dari pulang sekolah mereka langsung ikut ke pemancingan dan langsung bermain pasir. Badan mereka pasti sudah lelahdan sudah menuntut untuk diistirahatkan.Karyo menggendong Iwan. Azka mengikutinya di belakang menuju ke parkiran motor dekat warung. Seorang wanita keluar dari warung dan menyambut kedatangan mereka. "Sudah mau pulang?" wanita cantik itu bertanya dengan lembut. Senyum manis tersungging dari bibirnya yang merah. "Sudah, ini kayaknya pada ngantuk, capek" jelas Karyo sambil memperhatikan penampilan wanita di depannya. Pulasan m
Beberapa baju dipilih dan dimasukkan ke dalam tas besar yang akan dibawa ke Kota. Tiket pemberangkatan sudah dipegang. Besok jam 9 pagi Ika harus sudah ada di stasiun. Membeli tiket gampang saja, berpamitan kepada anak-anak lah yang susah. Mereka menangis kencang ber jam-jam. Anak-anak mulai bisa tenang waktu Ika berjanji kalau ia akan mengirim banyak uang dari kota sehingga mereka bisa membeli banyak mainan. "Ibu, Ika nitip anak-anak, ya. Ika cuma takut kalau mereka sakit" Ika menunduk meminta ijin pada ibunya. Ibunya menarik nafas panjang, enggan berkomentar perihal rumah tangga anaknya. Dari dulu Ika tak pernah ia ijinkan merantau karena ia khawatir pergaulan bebas di kota besar. Rasa kecewa tak bisa ia sembunyikan karena setelah menikah Ika malah memilih untuk merantau. Ia kecewa pada keputusan Ika tapi ia bahkan lebih kecewa pada menantunya yang kini duduk di pojok ruang tamu tanpa suara. "Karyo, anakku belum pernah m
Amarah Karta membuat Lasirah mencicit ketakutan. Ia keluar dari kamar dan duduk dengan memeluk kakinya sendiri di pojok rumah. Perkataan Karta menyeretnya jauh ke hari di mana Tio bisa begitu menyakitinya tanpa menyentuhnya. Ia berteriak kencang, sekencang mungkin agar sakit dalam dadanya cepat pergi. Suaranya bersahut-sahutan dengan suara tangis bayinya yang belum berhenti sejak tadi. Namun, malam itu ternyata menjadi titik balik di mana dirinya mulai kembali pada Lasirah yang mulai sadar. Teriakan Karta benar-benar ia serapi dengan hati-hati. Meski berat, ia mulai mau memegang bayinya sendiri. ..."Saat itulah Ibumu mulai bisa menerima keadaan kami. Dia mulai menyayangimu meski bayang-bayang orang itu masih menghantuinya di mimpi. Bapak tahu soal itu karena Ibumu sering merintih kesakitan saat tidur, kadang masih merapalkan namanya." Pak Karta mengakhiri ceritanya yang getir. Matanya mengembun, giginya mengatup, sekuat tenaga ia tah
Bayi kecil itu diberikan pada Lasirah setelah Bu bidan yang lain membersihkan plasenta dan sisa-sisa darah.Akan tetapi wanita itu menolaknya. Ia tak ingin melihat anaknya sendiri. "Nggak mau, Bu. Bawa pergi jauh-jauh bayi itu! Aku nggak mau lihat," teriak Lasirah lantang. Orang-orang di ruangan itu saling berpandangan. Ada apa ini? Bu Minah, ibunya Lasirah segera membujuknya. "Ayo, Rah. Anaknya digendong dulu. Dipangku, terus coba ditempel di dadamu, biar belajar nyusu anaknya." "Nggak mau, Bu. Bawa pergi jauh-jauh bayi itu dari sini. Cepat, Bu!" bentak Lasirah. Dua bidan itu tak memaksa karena Lasirah semakin histeris. Melihat anaknya sendiri seperti melihat kotoran. Pak Karta memandang iba pada istrinya. Ia menghampiri bidan yang tadi membawa anaknya. "Gimana ini ya Bu? istri saya nggak mau nyusuin," tanya Pak karta pada Bu Fenti sambil melihat wajah tak berdosa, bayi mungil di gendongannya.
"Bapak itu bukan Bapak kandung aku?" tanya Ayu takut-takut. Ia khawatir jawabannya akan terasa getir. Pak Karta dan Bu Fatun lagi-lagi saling berpandangan. "Sudah ceritakan saja semuanya, Bu. Anakmu juga berhak tahu yang sebenarnya," ucap Pak Karta. Ayu menelan air liurnya. Ada apa sebenernya? Kata "anakmu" terasa sangat menyakitkan. Meskipun Ayu juga pernah berpikiran kalau Pak Karta memang bukan bapaknya, tapi mendengar pengakuan keduanya ternyata memang menyakitkan. Selama ini Pak Karta memang tak terlalu dekat dengan Ayu, seperti ada satu dua hal yang menghalangi lelaki itu mempunyai hubungan dekat dengan Ayu. Lantas, mengalir sebuah cerita pilu tentang masa lalu ibunya. Karta, yang sudah lama menyukai Lasirah diam-diam, entah harus senang atau sedih, harus menikahi Lasirah, yang sudah dihamili Tio. Saat itu Karta marah, darahnya menggelegak. Ia hendak mencari kemana Tio kabur lantas membuat lelaki itu menyesali p
"Maksud kamu apa, Yo? Ika selingkuh sama Bapak?" tanya Yono tercengang. "Iya, Mas. Rumah tangga kami sudah hancur!" jawab Karyo kecewa. "Jadi Pak Tio juga godain Ika?" tanya Jannah dengan wajah tak percaya. "Emang kamu juga digodain?"Dulu Yono memberitahunya kalau istrinya juga digoda oleh Bapak, tapi ia belum percaya karena belum mendapatkan cerita yang utuh. "Eh, mm ...," Jannah memandang suaminya, ia ragu-ragu mau menjawab. "Iya, Yo. Jannah pernah digoda juga sama Bapak. Aku sudah muak banget sama kelakuan Bapak yang doyan banget sama perempuan! Aku pikir, masalah masa lalu yang kamu alami saat ini, pasti ada hubungannya sama Bapak. Orang itu pasti bermasalah dulunya dan masalahnya jatuh ke kita. Jadi ibaratnya kita tuh kena karma," papar Mas Yono sambil menyeruput kopi yang sudah hampir dingin. "Jadi menurut Mas Yono, masalahku ini karena kelakuan Bapak? Yang dimaksud oleh Kyai Hasyim itu masa lalu Bapak?" tanya Karyo m
Kala itu pagi sangat berkabut. Musim kemarau membawa hawa dingin yang sangat menusuk. Lasirah enggan untuk bangkit dari kasurnya. Ia memilih bergelung kembali di bawah selimut. Namun suara kasak kusuk orang yang sedang mengobrol terdengar sedikit menggangunya. Itu suara Ibu dan Bapak Lasirah, dan seseorang yang belum diketahui siapa. "Eh, ada tamu pagi-pagi. Siapa, yah? Jangan-jangan berita lelayu," gumam Lasirah seraya beranjak dari kasurnya. Di desa waktu itu berita lelayu tentang orang yang meninggal biasanya memang disebarkan pagi hari. Tiba-tiba ia berdebar-debar. Ia menempelkan telinganya di daun pintu kamarnya. Tak terdengar! Lalu ia mengendap-endap pergi ke dekat dapur dan mengintip. Ia membekap mulutnya karena ia melihat ibunya sedang menangis. Di samping Ibunya, bapaknya mengelus punggung Ibu tapi wajahnya tak bisa ditebak, entah marah, entah pilu. Sedangkan seseorang di sampingnya adalah Paman Karim yang juga tertunduk. "Paman Karim?" La
Pak Tio akhirnya bangkit dari duduknya karena beberapa pekerja mulai mendatanginya dan bertanya tentang keadaanya. "Pak Tio kenapa?" tanya Jajang seraya memegang pundak bosnya itu. Ia kebingungan karena tadi Pak Tio sedikit menjauh darinya untuk menerima telpon tapi setelah bercakap-cakap, lelaki itu tiba-tiba jatuh terduduk. Wajahnya berubah menjadi pucat dan pandangan matanya kosong. Ia berpikir, mungkin bosnya mendapatkan kabar yang kurang baik di telpon tadi. "Sudah-sudah kalian teruskan pekerjaan. Saya cuma sedikit pusing tadi," kata Pak Tio melambaikan tangannya, mengusir para bawahannya. Namun Jajang tak mengikuti perintah bosnya, ia tetap berdiri di sana. Ia masih khawatir dengan keadaan bosnya karena ia melihat kejadian itu dengan mata kepalanya sendiri. "Mari saya antar ke warung, Pak. Bisa minum teh hangat dulu," ajak Jajang. "Nggak, Jang. Ayo temenin saya ke bedeng saja. Tolong kamu pesankan teh hangat dan kamu bawa ke bedeng. Haru
Pak Kyai Hasyim terdiam cukup lama. Ketiga orang itu menunggu dengan hati yang berdebar-debar. Nur bahkan sempat berpikir kalau mungkin Pak Kyai Hasyim tertidur. Tapi saat ia melihat ke arah muridnya, lelaki itu hanya mengangguk dan tersenyum seperti sebelumnya. Ibu dan kakaknya juga terlihat sabar menunggu, jadi ia kembali fokus pada Pak Kyai Hasyim yang masih terpejam. "Semua yang terjadi di dunia ini ada sebab akibatnya," kata Pak Kyai Hasyim mulai membuka matanya. "Semua baik, semua buruk, semua sehat, semau sakit, pasti ada sebabnya. Masalah Mas Karyo ini masalah dari masa lalu yang belum selesai," ungkap Kyai Hasyim menatap ketiga orang di depannya. Mereka bertiga berpandangan satu sama lain mempertanyakan maksud dari perkataan Pak Kyai. Namun Karyo mulai tersulut emosinya karena setiap kali berobat, para Kyai selalu mengatakan tentang masalah masa lalu. "Pak Kyai, mohon maaf, tapi saya dan istri tidak punya masa lalu yang gelap. Saya justru bertemu istri saya waktu k
Kedua orang tua Karyo selalu bungkam jika ditanya perihal masa lalu ke keduanya. "Masa lalu apa?" jawab Bu Hasna ketus. "Nggak bener itu Kyai. Harusnya kan didoain aja biar sembuh bukan malah mengungkit masa lalu. Besok kita ganti saja Kyainya," lanjutnya. Karyo berdecak heran pada Ibunya. Dia sendiri yang mengajaknya berobat ke Kyai, tapi Ibu juga yang tidak percaya. Semenjak itu, Karyo dan Ibunya sudah tidak pernah berobat ke Kyai lagi. Beberapa hari di rumah, keadaan tubuh Karyo sudah mulai pulih. Tak banyak pekerjaan yang bisa ia lakukan di desa. Rutinitasnya hanya sekedar mengantar anak-anak ke sekolah dan di rumah. Istrinya juga sudah tak pernah menelponnya lagi, walaupun sekadar bertanya kabar anak-anak. Akhir-akhir ini Ika lebih memilih menelpon ibunya dari pada menelpon Karyo. Karyo pikir Ibunya hanya bercanda soal membawanya ke Kyai Hasyim, ternyata pagi itu Bu Hasna benar-benar datang bersama Nur ke rumah Karyo untuk menga
Aku harus bagaimana? Sekarang semua sudah terlambat. Nasi sudah menjadi bubur. Pernikahan kami sudah hancur lebur! Semua ini gara-gara ulahku. Demi sesuap nasi, ku jual harga diriku. "Pak Tio itu dari dulu seperti itu. Meskipun sudah punya istri cantik, tapi masih saja nyari-nyari yang lain. Lelaki tidak akan pernah puas dengan satu wanita. Atau mungkin ini semua adalah karma," imbuhnya. "Menangis lah dengan kencang setelah itu lupakan, Ka. Jadi wanita memang berat. Meskipun aku tahu pasti Pak Tio yang menggoda mu, tapi semua orang pasti akan menyalahkan mu." Ku dengar Bi Ijah pun mulai terisak-isak. Ia berdiri dan pergi ke kamar mandi. Ku lihat wajahnya basah setelah kembali. "Kamu juga boleh pulang, Ka, kalau kamu mau menyusul suamimu. Dari pada di sini nanti kamu jadi bahan jamahan Bapak Mertuamu," imbuhnya. Bahuku masih terguncang, tapi dengan tegas aku menolak, "Tidak, Bi. Aku sudah bertekad untuk menyelesaikan pekerjaan di