"Bapak itu bukan Bapak kandung aku?" tanya Ayu takut-takut. Ia khawatir jawabannya akan terasa getir. Pak Karta dan Bu Fatun lagi-lagi saling berpandangan. "Sudah ceritakan saja semuanya, Bu. Anakmu juga berhak tahu yang sebenarnya," ucap Pak Karta. Ayu menelan air liurnya. Ada apa sebenernya? Kata "anakmu" terasa sangat menyakitkan. Meskipun Ayu juga pernah berpikiran kalau Pak Karta memang bukan bapaknya, tapi mendengar pengakuan keduanya ternyata memang menyakitkan. Selama ini Pak Karta memang tak terlalu dekat dengan Ayu, seperti ada satu dua hal yang menghalangi lelaki itu mempunyai hubungan dekat dengan Ayu. Lantas, mengalir sebuah cerita pilu tentang masa lalu ibunya. Karta, yang sudah lama menyukai Lasirah diam-diam, entah harus senang atau sedih, harus menikahi Lasirah, yang sudah dihamili Tio. Saat itu Karta marah, darahnya menggelegak. Ia hendak mencari kemana Tio kabur lantas membuat lelaki itu menyesali p
Bayi kecil itu diberikan pada Lasirah setelah Bu bidan yang lain membersihkan plasenta dan sisa-sisa darah.Akan tetapi wanita itu menolaknya. Ia tak ingin melihat anaknya sendiri. "Nggak mau, Bu. Bawa pergi jauh-jauh bayi itu! Aku nggak mau lihat," teriak Lasirah lantang. Orang-orang di ruangan itu saling berpandangan. Ada apa ini? Bu Minah, ibunya Lasirah segera membujuknya. "Ayo, Rah. Anaknya digendong dulu. Dipangku, terus coba ditempel di dadamu, biar belajar nyusu anaknya." "Nggak mau, Bu. Bawa pergi jauh-jauh bayi itu dari sini. Cepat, Bu!" bentak Lasirah. Dua bidan itu tak memaksa karena Lasirah semakin histeris. Melihat anaknya sendiri seperti melihat kotoran. Pak Karta memandang iba pada istrinya. Ia menghampiri bidan yang tadi membawa anaknya. "Gimana ini ya Bu? istri saya nggak mau nyusuin," tanya Pak karta pada Bu Fenti sambil melihat wajah tak berdosa, bayi mungil di gendongannya.
Amarah Karta membuat Lasirah mencicit ketakutan. Ia keluar dari kamar dan duduk dengan memeluk kakinya sendiri di pojok rumah. Perkataan Karta menyeretnya jauh ke hari di mana Tio bisa begitu menyakitinya tanpa menyentuhnya. Ia berteriak kencang, sekencang mungkin agar sakit dalam dadanya cepat pergi. Suaranya bersahut-sahutan dengan suara tangis bayinya yang belum berhenti sejak tadi. Namun, malam itu ternyata menjadi titik balik di mana dirinya mulai kembali pada Lasirah yang mulai sadar. Teriakan Karta benar-benar ia serapi dengan hati-hati. Meski berat, ia mulai mau memegang bayinya sendiri. ..."Saat itulah Ibumu mulai bisa menerima keadaan kami. Dia mulai menyayangimu meski bayang-bayang orang itu masih menghantuinya di mimpi. Bapak tahu soal itu karena Ibumu sering merintih kesakitan saat tidur, kadang masih merapalkan namanya." Pak Karta mengakhiri ceritanya yang getir. Matanya mengembun, giginya mengatup, sekuat tenaga ia tah
"Ika, tuh ada yang beli. Kok malah manyun sih diem aja dari tadi." Yuni yang ada di samping Ika menowel pundaknya. Ika sedang terlena dengan lamunan. Ia kaget mendengar teguran sahabatnya itu, "Ya Allah, yuun, kamu bikin kaget saja." Kesadaran Ika langsung kembali, lamunannya langsung buyar. Ia melihat pembeli di depannya sedang menatapnya, menunggu untuk dilayani tepatnya. "Iya, Bu. Aduuuh maaf Bu saya malah melamun begini. Monggo silakan mau beli kue apa, Bu?" Seperti kepergok, ah Ika jadi sangat malu. "Kue lemper sama putu ayu aja mba. Masing-masing 15 ribu saja." Ibu itu merogoh kantongnya untuk membayar kue. Sigap Ika pun membungkus kue-kue yang dipesan tadi. "Ini Bu kuenya." Sambil tersenyum semanis mungkin ia menyerahkan bungkusan kresek warna hitam. "Iya terima kasih, Mbak. Masih pagi Mbak, jangan melamun mbok nanti ada yang nempel." si pembeli menggoda sambil cekikikan. "Iiih, apa Ibu yang menempel, kok jadi seram amat?" Ika menimpali dengan wajah jenaka, ia
"Eh, Ika. Tumben ke sini sore-sore begini. Ko sendirian?" tanya ibu mertua ketika melihat Ika datang sendiri tanpa suami dan anak-anaknya. Sore itu akhirnya Ika memutuskan untuk pergi ke rumah mertuanya. Jarak rumah mereka tidak terlalu jauh. Rumahnya itu termasuk rumah yang cukup besar. Ada ibu mertua, bapak mertua, dan adik-adik dari suami Ika, Diana dan Miranda. Ada juga Nur yang sudah menikah yang tinggal berdempetan dengan rumah itu. "Iya, Bu. Aku ada perlu sebentar. Anak-anak sedang main di rumah tetangga, kalau Mas Karyo sedang mancing." jawab Ika. "Ada perlu apa, Ika?" Tanya bapak mertua yang muncul dari kamarnya. Pak Tio hanya menggunakan celana boxer dan kaos dalam. "Eh, pak. Tumben ada di rumah? Apa sedang libur bekerja?" Ika menyalami tangan mertuanya. "Iya, ini. Bapak libur lama. Proyek sedang libur." "Oh iya, Pak. Begini, pak Bu, Ika mau ngomong sama bapak sama ibu. Sudah lama Mas Karyo tidak bekerja. Dia sakit kepalanya. Katanya tidak boleh bekerja ter
"Masuk, Pak." Mertua Ika melenggang masuk ke dalam rumahnya. Waktu sudah menunjukkan pukul setengah 10 malam. Anak-anak Ika sudah tertidur sejak tadi. Wajah heran Ika tak bisa ia sembunyikan. "Anak-anak sama suami kamu sudah tidur, Ka?" tanya Pak Tio. Ia menelisik ke arah kamar. Matanya mengelilingi rumah Ika. Rumah itu mungil. Hanya ada dua kursi panjang dan satu meja di ruang tamu. Tanpa hiasan dinding maupun lemari. Ruangan itu terasa longgar. "Anak-anak sudah tidur, Pak. Tapi kalo Mas Karyo mungkin tidak pulang. Sudah beberapa hari ini dia tidak pulang, katanya tidur di tanggul." jawab Ika dengan nada agak kesal mengingat kelakuan suaminya itu. "Kamu kalau malam tidurnya sendirian yah, Ka?" Pertanyaan mertuanya itu agak membuat ia malu. Kenapa urusan begitu ditanyakan juga. "Ehm,
[Halo, Ika? Ada apa] Setelah Lydya mau dijanjikan akan diberikan uang hari ini, baru ia mau hengkang dari rumah Ika. Para tetangga sudah mulai mengintip dari jendela. Ika benar-benar malu. Bahkan dept kolektor saja tidak teriak-teriak kalau nagih hutang. [Ika butuh bantuan bapak. Teman-teman Ika datang ke rumah menagih uang arisan yang susah Ika pakai. Dulu uang itu Ika pakai untuk membayar uang sekolah anak-anak, Pak.] Suara tangis Ika terdengar melalui telepon. Pak Tio jadi nggak tega. Ia segera meminta izin kepada istrinya untuk mengunjungi temannya. Tapi rumah Ika lah tujuannya. **** "Maafkan Ika, Pak. Ika selalu merepotkan Bapak. Sebagian uang dari Bapak sudah Ika pakai untuk membayar hutang dan modal Ika berjualan." Mereka berdua terduduk di ruang tamu. Persoalan dengan Lydya sudah selesai. Setelah bapak mertuanya memberinya uang, ia langsung mengantarnya ke rumah Lydya. Dengan senyum sinis Lydya mene
Ika Bab 5 edit "Ikaaaa?" Yuni tergopoh-gopoh untuk masuk ke dalam rumah Ika. Ika yang sedang merapikan perabotan sisa membuat kue-kue dagangan sangat kaget. Tadi Ika meninggalkan Yuni di lapak dagangan. Ia pulang sebentar untuk menjemput anak-anaknya dari sekolah dan merapikan dapurnya yang kayak kapal pecah. Akhir-akhir ini dagangan Ika selalu habis, jadi ia percayakan saja kepada temannya itu sisa dagangannya . "Yun, ada apa kamu teriak-teriak?" tanya Ika. "Ikaaa, kamu dicariin Bu Kesih." Yuni masih berteriak kencang. "Hah? Aduuuhhhhh. Lusa Bu Lidya ke sini, sekarang tinggal Bu Kesih? Gawat ini, Bu Lidya pasti sudah cerita sama Bu Kesih nih. Dasar nenek lampir mulut ember. Katanya sudah janji nggak mau bilang yang lain. Mampus lah aku, Yun. Ika menoyor kepalanya sendiri. "Ini pasti uang arisan, kan?" tanya Yuni. "Kamu sih Ka. Uda
Amarah Karta membuat Lasirah mencicit ketakutan. Ia keluar dari kamar dan duduk dengan memeluk kakinya sendiri di pojok rumah. Perkataan Karta menyeretnya jauh ke hari di mana Tio bisa begitu menyakitinya tanpa menyentuhnya. Ia berteriak kencang, sekencang mungkin agar sakit dalam dadanya cepat pergi. Suaranya bersahut-sahutan dengan suara tangis bayinya yang belum berhenti sejak tadi. Namun, malam itu ternyata menjadi titik balik di mana dirinya mulai kembali pada Lasirah yang mulai sadar. Teriakan Karta benar-benar ia serapi dengan hati-hati. Meski berat, ia mulai mau memegang bayinya sendiri. ..."Saat itulah Ibumu mulai bisa menerima keadaan kami. Dia mulai menyayangimu meski bayang-bayang orang itu masih menghantuinya di mimpi. Bapak tahu soal itu karena Ibumu sering merintih kesakitan saat tidur, kadang masih merapalkan namanya." Pak Karta mengakhiri ceritanya yang getir. Matanya mengembun, giginya mengatup, sekuat tenaga ia tah
Bayi kecil itu diberikan pada Lasirah setelah Bu bidan yang lain membersihkan plasenta dan sisa-sisa darah.Akan tetapi wanita itu menolaknya. Ia tak ingin melihat anaknya sendiri. "Nggak mau, Bu. Bawa pergi jauh-jauh bayi itu! Aku nggak mau lihat," teriak Lasirah lantang. Orang-orang di ruangan itu saling berpandangan. Ada apa ini? Bu Minah, ibunya Lasirah segera membujuknya. "Ayo, Rah. Anaknya digendong dulu. Dipangku, terus coba ditempel di dadamu, biar belajar nyusu anaknya." "Nggak mau, Bu. Bawa pergi jauh-jauh bayi itu dari sini. Cepat, Bu!" bentak Lasirah. Dua bidan itu tak memaksa karena Lasirah semakin histeris. Melihat anaknya sendiri seperti melihat kotoran. Pak Karta memandang iba pada istrinya. Ia menghampiri bidan yang tadi membawa anaknya. "Gimana ini ya Bu? istri saya nggak mau nyusuin," tanya Pak karta pada Bu Fenti sambil melihat wajah tak berdosa, bayi mungil di gendongannya.
"Bapak itu bukan Bapak kandung aku?" tanya Ayu takut-takut. Ia khawatir jawabannya akan terasa getir. Pak Karta dan Bu Fatun lagi-lagi saling berpandangan. "Sudah ceritakan saja semuanya, Bu. Anakmu juga berhak tahu yang sebenarnya," ucap Pak Karta. Ayu menelan air liurnya. Ada apa sebenernya? Kata "anakmu" terasa sangat menyakitkan. Meskipun Ayu juga pernah berpikiran kalau Pak Karta memang bukan bapaknya, tapi mendengar pengakuan keduanya ternyata memang menyakitkan. Selama ini Pak Karta memang tak terlalu dekat dengan Ayu, seperti ada satu dua hal yang menghalangi lelaki itu mempunyai hubungan dekat dengan Ayu. Lantas, mengalir sebuah cerita pilu tentang masa lalu ibunya. Karta, yang sudah lama menyukai Lasirah diam-diam, entah harus senang atau sedih, harus menikahi Lasirah, yang sudah dihamili Tio. Saat itu Karta marah, darahnya menggelegak. Ia hendak mencari kemana Tio kabur lantas membuat lelaki itu menyesali p
"Maksud kamu apa, Yo? Ika selingkuh sama Bapak?" tanya Yono tercengang. "Iya, Mas. Rumah tangga kami sudah hancur!" jawab Karyo kecewa. "Jadi Pak Tio juga godain Ika?" tanya Jannah dengan wajah tak percaya. "Emang kamu juga digodain?"Dulu Yono memberitahunya kalau istrinya juga digoda oleh Bapak, tapi ia belum percaya karena belum mendapatkan cerita yang utuh. "Eh, mm ...," Jannah memandang suaminya, ia ragu-ragu mau menjawab. "Iya, Yo. Jannah pernah digoda juga sama Bapak. Aku sudah muak banget sama kelakuan Bapak yang doyan banget sama perempuan! Aku pikir, masalah masa lalu yang kamu alami saat ini, pasti ada hubungannya sama Bapak. Orang itu pasti bermasalah dulunya dan masalahnya jatuh ke kita. Jadi ibaratnya kita tuh kena karma," papar Mas Yono sambil menyeruput kopi yang sudah hampir dingin. "Jadi menurut Mas Yono, masalahku ini karena kelakuan Bapak? Yang dimaksud oleh Kyai Hasyim itu masa lalu Bapak?" tanya Karyo m
Kala itu pagi sangat berkabut. Musim kemarau membawa hawa dingin yang sangat menusuk. Lasirah enggan untuk bangkit dari kasurnya. Ia memilih bergelung kembali di bawah selimut. Namun suara kasak kusuk orang yang sedang mengobrol terdengar sedikit menggangunya. Itu suara Ibu dan Bapak Lasirah, dan seseorang yang belum diketahui siapa. "Eh, ada tamu pagi-pagi. Siapa, yah? Jangan-jangan berita lelayu," gumam Lasirah seraya beranjak dari kasurnya. Di desa waktu itu berita lelayu tentang orang yang meninggal biasanya memang disebarkan pagi hari. Tiba-tiba ia berdebar-debar. Ia menempelkan telinganya di daun pintu kamarnya. Tak terdengar! Lalu ia mengendap-endap pergi ke dekat dapur dan mengintip. Ia membekap mulutnya karena ia melihat ibunya sedang menangis. Di samping Ibunya, bapaknya mengelus punggung Ibu tapi wajahnya tak bisa ditebak, entah marah, entah pilu. Sedangkan seseorang di sampingnya adalah Paman Karim yang juga tertunduk. "Paman Karim?" La
Pak Tio akhirnya bangkit dari duduknya karena beberapa pekerja mulai mendatanginya dan bertanya tentang keadaanya. "Pak Tio kenapa?" tanya Jajang seraya memegang pundak bosnya itu. Ia kebingungan karena tadi Pak Tio sedikit menjauh darinya untuk menerima telpon tapi setelah bercakap-cakap, lelaki itu tiba-tiba jatuh terduduk. Wajahnya berubah menjadi pucat dan pandangan matanya kosong. Ia berpikir, mungkin bosnya mendapatkan kabar yang kurang baik di telpon tadi. "Sudah-sudah kalian teruskan pekerjaan. Saya cuma sedikit pusing tadi," kata Pak Tio melambaikan tangannya, mengusir para bawahannya. Namun Jajang tak mengikuti perintah bosnya, ia tetap berdiri di sana. Ia masih khawatir dengan keadaan bosnya karena ia melihat kejadian itu dengan mata kepalanya sendiri. "Mari saya antar ke warung, Pak. Bisa minum teh hangat dulu," ajak Jajang. "Nggak, Jang. Ayo temenin saya ke bedeng saja. Tolong kamu pesankan teh hangat dan kamu bawa ke bedeng. Haru
Pak Kyai Hasyim terdiam cukup lama. Ketiga orang itu menunggu dengan hati yang berdebar-debar. Nur bahkan sempat berpikir kalau mungkin Pak Kyai Hasyim tertidur. Tapi saat ia melihat ke arah muridnya, lelaki itu hanya mengangguk dan tersenyum seperti sebelumnya. Ibu dan kakaknya juga terlihat sabar menunggu, jadi ia kembali fokus pada Pak Kyai Hasyim yang masih terpejam. "Semua yang terjadi di dunia ini ada sebab akibatnya," kata Pak Kyai Hasyim mulai membuka matanya. "Semua baik, semua buruk, semua sehat, semau sakit, pasti ada sebabnya. Masalah Mas Karyo ini masalah dari masa lalu yang belum selesai," ungkap Kyai Hasyim menatap ketiga orang di depannya. Mereka bertiga berpandangan satu sama lain mempertanyakan maksud dari perkataan Pak Kyai. Namun Karyo mulai tersulut emosinya karena setiap kali berobat, para Kyai selalu mengatakan tentang masalah masa lalu. "Pak Kyai, mohon maaf, tapi saya dan istri tidak punya masa lalu yang gelap. Saya justru bertemu istri saya waktu k
Kedua orang tua Karyo selalu bungkam jika ditanya perihal masa lalu ke keduanya. "Masa lalu apa?" jawab Bu Hasna ketus. "Nggak bener itu Kyai. Harusnya kan didoain aja biar sembuh bukan malah mengungkit masa lalu. Besok kita ganti saja Kyainya," lanjutnya. Karyo berdecak heran pada Ibunya. Dia sendiri yang mengajaknya berobat ke Kyai, tapi Ibu juga yang tidak percaya. Semenjak itu, Karyo dan Ibunya sudah tidak pernah berobat ke Kyai lagi. Beberapa hari di rumah, keadaan tubuh Karyo sudah mulai pulih. Tak banyak pekerjaan yang bisa ia lakukan di desa. Rutinitasnya hanya sekedar mengantar anak-anak ke sekolah dan di rumah. Istrinya juga sudah tak pernah menelponnya lagi, walaupun sekadar bertanya kabar anak-anak. Akhir-akhir ini Ika lebih memilih menelpon ibunya dari pada menelpon Karyo. Karyo pikir Ibunya hanya bercanda soal membawanya ke Kyai Hasyim, ternyata pagi itu Bu Hasna benar-benar datang bersama Nur ke rumah Karyo untuk menga
Aku harus bagaimana? Sekarang semua sudah terlambat. Nasi sudah menjadi bubur. Pernikahan kami sudah hancur lebur! Semua ini gara-gara ulahku. Demi sesuap nasi, ku jual harga diriku. "Pak Tio itu dari dulu seperti itu. Meskipun sudah punya istri cantik, tapi masih saja nyari-nyari yang lain. Lelaki tidak akan pernah puas dengan satu wanita. Atau mungkin ini semua adalah karma," imbuhnya. "Menangis lah dengan kencang setelah itu lupakan, Ka. Jadi wanita memang berat. Meskipun aku tahu pasti Pak Tio yang menggoda mu, tapi semua orang pasti akan menyalahkan mu." Ku dengar Bi Ijah pun mulai terisak-isak. Ia berdiri dan pergi ke kamar mandi. Ku lihat wajahnya basah setelah kembali. "Kamu juga boleh pulang, Ka, kalau kamu mau menyusul suamimu. Dari pada di sini nanti kamu jadi bahan jamahan Bapak Mertuamu," imbuhnya. Bahuku masih terguncang, tapi dengan tegas aku menolak, "Tidak, Bi. Aku sudah bertekad untuk menyelesaikan pekerjaan di