Ika Bab 5 edit "Ikaaaa?" Yuni tergopoh-gopoh untuk masuk ke dalam rumah Ika. Ika yang sedang merapikan perabotan sisa membuat kue-kue dagangan sangat kaget. Tadi Ika meninggalkan Yuni di lapak dagangan. Ia pulang sebentar untuk menjemput anak-anaknya dari sekolah dan merapikan dapurnya yang kayak kapal pecah. Akhir-akhir ini dagangan Ika selalu habis, jadi ia percayakan saja kepada temannya itu sisa dagangannya . "Yun, ada apa kamu teriak-teriak?" tanya Ika. "Ikaaa, kamu dicariin Bu Kesih." Yuni masih berteriak kencang. "Hah? Aduuuhhhhh. Lusa Bu Lidya ke sini, sekarang tinggal Bu Kesih? Gawat ini, Bu Lidya pasti sudah cerita sama Bu Kesih nih. Dasar nenek lampir mulut ember. Katanya sudah janji nggak mau bilang yang lain. Mampus lah aku, Yun. Ika menoyor kepalanya sendiri. "Ini pasti uang arisan, kan?" tanya Yuni. "Kamu sih Ka. Uda
"Kamu wangi banget, Ka." Pak Tio memuji menantunya. Wajah Ika memanas. Ika mulai memperhatikan penampilan mertuanya. Usianya sudah kepala 5, tapi penampilannya memang selalu rapi. Justru Karyo yang lebih muda tidak pernah memperhatikan penampilannya. Penampilan mertuanya selalu perlente. Kali ini ia mengenakan kemeja panjang bahan jeans biru muda dipadukan dengan celana jeans hitam. Rambutnya yang agak panjang disisir ke belakang, khas sekali dengan gaya mandor proyek. Wangi parfum selalu menguar dari tubuhnya. Sebenarnya Ika tahu kalau mertuanya ini memang suka menggoda daun-daun muda. Bahkan gosip mengatakan kalau ia menikahi ibu mertua karena ibu mertua sudah hamil duluan. Tetapi entah kenapa mereka belum berpisah sampai sekarang. Entah karena Ibu yang gak bekerja memang butuh uang bapak, atau karena bapak pintar merayu. Ika rasa dua-duanya berperan penting. Ika tadinya juga tidak me
Bab 7 "Ibu?" Buru-buru Ika mengelap air matanya. "Masuk, Bu." Wajah marah ditunjukkan oleh Ibu mertuanya."Kamu kenapa, Ka? Menangis kencang begitu kayak anak kecil saja. Paling juga masalah uang. Iya, kan?" sinis ibunya bertanya tentang keadaan menantunya. Ika menunduk. Sebaiknya ia meneruskan menggoreng kue donat saja. "Ditanya kok diem aja sih, Ka. Ibu ke sini mau bicara, Ka. Tadi suamimu ke rumah ibu." Ika memandang ibu mertuanya. 'Jadi suaminya pergi ke sana tadi.' "Kamu pinjam uang sama bapak?" Matanya melotot penuh amarah. Ika kaget, suaminya mengadu ke ibunya. Aduh, dalam hati, ibunya pasti marah-marah ini. "I...iya, Bu. Ika butuh sekali uang buat bayar hutang." Ika gugup tak berani memandang mata ibunya. "Karyo tadi bilang kamu pinjem uang sama bapak tadi malam. Ibu bukannya nggak mau bantu kamu, tapi kamu kalau pinjam terus nanti bapak jadi nggak punya uang. Bapak kan lagi
"Ka, senyum-senyum muluu dah dari tadi" Berkali-kali Yuni memergoki Ika sedang tersenyum melihat layar hpnya. "Dapet duda dari mana, Ka?" tambah Yuni dengan senyum meledek. Ika menoleh. "Duda?" "Iya, kamu kaya janda baru dapet duda baru. Kesengsem, kasmaran, kayak orang gila. Senyum-senyum sendiri liatin hp" Yuni menebak apa yang sahabatnya alami saat ini tanpa berpikir. "Yun, kamu kok....?" Ika memandang sejenak ke mata Yuni. "Kok apa? kok cantik banget?" jawab Yuni cekikikan. Kepingin Ika toyor tuh kepala sahabatnya, padahal tadinya mau bilang kok tahu, tapi nanti Ika malah ngaku sendiri. "Kamu kok sembarangan kalau ngomong? Pengin dijitak yah kepalanya!" jawab Ika."Eh, enak aja" Kepala Yuni mundur beserta badannya. "Kepala anak orang nih, masih ada emaknya. Entar aku bilangin ke emak aku lho" "Sono bilangin, paling kamu tambah dijitak" Ika ikut meledek Hari ini pasar lagi sepi sampai Ika dan Yuni hanya ngobrol ke sana ke sini ngga
Nur bangun seperti biasanya. Jam di kamarnya menunjukkan angka 7. Anak dan suaminya sudah bangun sejak pagi. Ia tak perlu repot bangun pagi atau membangunkan mereka. Adik-adiknya sudah sangat sigap membantunya menjaga Sheila, putri sematawayangnya. Ia juga tak perlu repot memasak, sarapan sudah tersedia di atas meja setiap paginya. Ibunya tak pernah sekalipun absen dalam menyiapkan sarapan. Suaminya juga sudah siap duduk di meja sarapan. Masuk kerja jam 8 pagi membuatnya harus cepat-cepat sarapan karena tempat kerja yang jauh. Sedangkan Nur masuk kerja lebih siang, jadi masih ada waktu untuk mandi dan berdandan rapi. Ibunya tak pernah menegur tentang tingkah laku Nur yang bak ratu itu. Pasalnya semua uang keluarga mengalir dari kran milik Nur dan Pak Tio. Suami Nur yang kerja di reparasi mesin AC tidak membantu banyak. Kehidupan di desa memang tak menyediakan gaji yang besar. Beda dengan bapaknya yang mandor proyek, tak hanya gaji yang mengalir dari pemilik
"Aku nggak mau mas dihina sama ibumu. Belum lagi adikmu, Nur. Mulutnya udah kayak seblak level 10, bikin mules" Ika mengadukan kelakuan iparnya. "Atau mas pinjemin dulu ke bapak?" Karyo berusaha meringankan beban istrinya."Eh, jangan. Udah nggak usah. Kan Ika udah hutang sama Bank Plecit. Duit itu udah cukup." Ika tiba-tiba tergagap, nama Pak Tio dibawa-bawa. "Tapi itu bunganya besar banget!" Karyo semakin khawatir. "Kamu nyicilnya gimana?" "Ee... nanti Ika pikirkan, mas. Sudah sana mas Karyo pergi saja"Karyo tercekat, ah kata-kata pergi jadi sangat menyakitkan bagi Karyo. Apa sudah tidak ada kata pulang untuk dia? "Ayo pulang, Ka" ragu-ragu Karyo mengajak istrinya pulang. Yuni yang sejak tadi pura-pura sok sibuk tapi sebenarnya menguping pembicaraan mereka jadi ikutan nyaut, "Iya pulang aja, Ka. Nanti dagangannya aku yang bawain, kayak biasanya"Mereka menoleh ke arah Yuni. Ika kecewa, kenapa Yuni malah membe
POV IkaKukira Karyo curiga dengan jawaban yang ku berikan tadi, ternyata dia tak menanyakan apapun. Sekarang dia sedang bersiap-siap bersama Iwan dan Azka untuk pergi ke pemancingan.Sebenarnya aku juga ingin ikut bersama mereka, siapa tahu bisa menjadi jalan agar hubunganku dan Mas Karyo membaik. Masih ada sejumput harapan kalau keadaan keluarga kami akan membaik. Meskipun aku bahkan belum tahu bagaimana cara menghadapi bapak mertuaku nanti. "Berangkat dulu ya, Bu" Karyo tersenyum. Mereka sudah siap di atas motor. Anak-anak sudah kegirangan sejak tadi, melambaikan tangan berkali-kali padaku. "Ibuu, besok-besok ikut, yaa" ajak Azka. "Asyik di sana bisa main pasir" aku hanya tersenyum dan melambaikan tangan. Batinku berharap, semoga memang ada hari esok untuk kita ber empat. Aku kembali masuk ke dalam rumah setelah motor mas Karyo pergi. Ponselku sedang berdering. Ada nama Bapak Mertua di sana. Tiba-tiba rasa enggan menggelayuti ku. Apa
"Pak mau beli es" rengek Iwan membuat Karyo geram. Sudah tiga kali Iwan merengek minta makan. Padahal dari tadi mereka sudah membeli berbagai minuman dan makanan. Ia jadi heran kayaknya anak bungsunya itu ngantuk bukannya lapar. "Iwan mau bobo yah?" tanya Karyo memastikan. "Iya, Pak. Iwan ngantuk." Pantas saja kalau anak kecil itu mengantuk sebab kakaknya sudah meminta pulang sejak tadi. Pasalnya dari pulang sekolah mereka langsung ikut ke pemancingan dan langsung bermain pasir. Badan mereka pasti sudah lelahdan sudah menuntut untuk diistirahatkan.Karyo menggendong Iwan. Azka mengikutinya di belakang menuju ke parkiran motor dekat warung. Seorang wanita keluar dari warung dan menyambut kedatangan mereka. "Sudah mau pulang?" wanita cantik itu bertanya dengan lembut. Senyum manis tersungging dari bibirnya yang merah. "Sudah, ini kayaknya pada ngantuk, capek" jelas Karyo sambil memperhatikan penampilan wanita di depannya. Pulasan m