Share

Bab 4 Suami yang Tak Berguna

[Halo, Ika? Ada apa]

Setelah Lydya mau dijanjikan akan diberikan uang hari ini, baru ia mau hengkang dari rumah Ika. Para tetangga sudah mulai mengintip dari jendela. Ika benar-benar malu. Bahkan dept kolektor saja tidak teriak-teriak kalau nagih hutang.

[Ika butuh bantuan bapak. Teman-teman Ika datang ke rumah menagih uang arisan yang susah Ika pakai. Dulu uang itu Ika pakai untuk membayar uang sekolah anak-anak, Pak.]

Suara tangis Ika terdengar melalui telepon. Pak Tio jadi nggak tega. Ia segera meminta izin kepada istrinya untuk mengunjungi temannya. Tapi rumah Ika lah tujuannya.

****

"Maafkan Ika, Pak. Ika selalu merepotkan Bapak. Sebagian uang dari Bapak sudah Ika pakai untuk membayar hutang dan modal Ika berjualan."

Mereka berdua terduduk di ruang tamu. Persoalan dengan Lydya sudah selesai. Setelah bapak mertuanya memberinya uang, ia langsung mengantarnya ke rumah Lydya. Dengan senyum sinis Lydya menerima uang darinya disertai janji yang entah akan ia tepati atau tidak. 'Aku tidak akan mengatakan apapun pada ibu-ibu yang lain.

Ika menunduk lesu menemui mertuanya yang masih ada di rumahnya. Sebenarnya

Ika merasa bersalah kepada mertuanya itu. Tidak ada lagi orang yang mau membantunya. Berkali-kali ia menghubungi suaminya, tapi tetap tidak ada jawaban. Sedangkan Pak Tio langsung datang dan membayar hutang Ika.

"Sudah lah Ika. Bapak sudah bilang kalau bapak memang mau menafkahi kamu"

Nafkah. Kata itu yang terus diulang-ulang oleh mertuanya. Ternyata mertuanya datang bukan dengan ikhlas hati, ada imbalan yang ia inginkan. Apa yang ia katakan semalam memang bukan gurauan seperti yang Ika harapkan.

"Bagaimana, Ka? Keadaan kamu sudah seperti ini sekarang. Serba susah kan. Saya juga sebenernya malu anak saya kayak gitu. Tapi kan mau bagaimana lagi. Kalau tidak ada lelaki di rumah ini, kamu bisa didatangi banyak orang nanti bagaimana?"

Ika semakin tertunduk mendengar tawaran Pak Tio. Ternyata mertuanya serius. Ia tidak mungkin mengkhianati suaminya meskipun suaminya seperti sudah mengkhianatinya sejak lama

Pun bagaimana nanti kata ibu mertuanya. Ia akan semakin tidak suka dengan Ika. Tetapi bantuan bapak mertuanya sudah terlalu banyak. Dan mendapatkan nafkah setiap bulan sungguh menjadi angan-angan Ika sejak lama.

Semakin ia menerima banyak bantuan dari mertuanya, semakin tertumpuk rasa tidak enak yang semakin tinggi. Sedangkan ia tahu kalau mertuanya selama ini membantunya karena menginginkan tubuhnya.

Ika hanya tertunduk, bingung.

"Bapak, apa bapak tega kayak begitu sama Ika? Ika kan menantu bapak, istri dari anak bapak sendiri. Masa bapak mau menggauli saya. Apa bapak nggak merasa bersalah juga sama ibu mertua? Apa kata orang nanti, Pak." kata Ika dengan suara parau. Ingin ia menangis kencang malam ini.

"Ika"

Tiba-tiba mertuanya beranjak dan berpindah duduk di samping Ika. Ika yang sedang terduduk di samping tembok tidak bisa menghindar. Tangan mertuanya mencoba memeluknya, tapi Ika menepisnya. Ika terpojok tidak bisa beranjak. Pria itu duduk mendempet tubuh Ika.

"Aku tahu ini berat." Pria itu berbisik di telinganya. Tangannya menyentuh tangan Ika. Bau nafas perokok langsung menguar di indra penciuman Ika tapi wangi tubuh mertuanya tak bisa dipungkiri membuat Ika teringat bau khas lelaki. Bulu kuduk Ika langsung meremang. Jantungnya berdetak tak karuan.

"Bapak mencoba untuk membantu." Ika sepenuhnya menegang di tempat. Entah kenapa bisikan lelaki itu benar-benar membuat Ika ingin memejamkan mata menikmati hembusan nafasnya.

"Semua orang tidak perlu tahu, sayang."

Tangannya sudah meremas tangan Ika sejak tadi. Ia ingin memberontak, tapi tenaganya seperti tenaga anak kecil di depan mertuanya.

"Bapak sudah lama menginginkan kamu."

Tangan Pak Tio yang satunya sudah melingkar di pundak Ika.

"Sayang sekali kalau wanita seksi kaya kamu harus merana sendiri tanpa sentuhan lelaki".

Desir darah Ika mengalir terjun bebas. Ingin ia menjerit menangis, tapi kenapa syahwat Ika mengkhianatinya. Ia menikmati bisikan dan pujian lelaki tua di sampingnya.

Tangis anak Ika membuyarkan suasana intim diantara mereka.

"Maaf, Pak. Ika mau menggendong Iwan dulu." Ika beranjak dari samping Pak Tio dengan susah payah.

Pak Tio memandang punggung Ika memasuki kamar. Pak Tio memutuskan untuk pulang.

***

"Aku pulang, Bu."

Karyo masuk ke rumah pada pagi harinya dalam keadaan lusuh. Sudah hampir seminggu ia tidak pulang.

Ika sedang sibuk membuat kue hanya menoleh sebentar ke arah suaminya. Setelah itu ia sepenuhnya mengabaikan keberadaan Karyo.

"Bikinkan aku kopi, Bu."

Ika hanya menoleh lagi ke arah suaminya sebentar kemudian melanjutkan pekerjaannya.

"Bu!! Kamu budeg yah? Suami pulang bukannya dibikinin minum malah sibuk sendiri" bentak Karyo.

Dibentak oleh suaminya membuat amarah yang sudah dipendam oleh Ika ingin terluapkan. Berbagai hal sulit harus dia lewati sendiri. Sekarang suaminya pulang minta dilayani? Tidak sudi!

Ia berdiri dan sepenuhnya menatap suaminya dengan tajam.

"Kamu nggak lihat pak aku lagi apa? Aku lagi berjuang buat hidup mati keluarga kita. Sedangkan kamu? Apa kamu tidak bisa ambil minum sendiri? Terus kamu ke mana saja selama ini? kamu masih mampu jadi kepala keluarga apa enggak?"

Semua amarah terasa seperti ingin merangsek keluar. Ika terduduk lemas. Kenyataan memukulnya dengan keras.

Merah padam wajah Karyo mendengar amarah istrinya. Ia ingin membalas amarah itu. Dadanya terasa panas. Jiwa lelakinya terasa terhina. Tetapi mulutnya sepenuhnya terkunci. Tak bisa ia berkata-kata membalas tuduhan istrinya. Apa yang sudah ia perbuat selama ini memang telah menyakiti istrinya. Ia hanya bisa terdiam. Menunduk.

Hening menyelimuti suasana ruangan.

Karyo melangkahkan kakinya keluar dari pintu rumahnya.

"Pak, mau kemana lagi?"

"Pergi." Lirih Karyo menjawab pertanyaan istrinya.

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status