"Kalau ngomong yang sopan, Gus." Kata Bi Ijah tiba-tiba muncul dari dapur dengan membawa gorengan yang baru matang.
Agus hanya tertawa cekakakan, "bercandaa, Bii." Meskipun Agus hanya menanggapinya dengan santai, tapi tidak dengan Ika. Tangan Ika gemetar, ada sakit yang tak bisa ia jelaskan. "Harusnya aku merasa sakit hati karena harga diriku disenggol, tapi kenapa aku malah merasa tersindir karena faktanya aku memang menjual tubuhku untuk uang" batin Ika. Ia juga merasa tidak nyaman dengan si Agus itu. Sejak ia di sini, Agus sudah berkali-kali berkali-kali tidak sopan. Padahal kan mereka baru kenal. Ika pikir apa memang sifat Agus yang ceplas-ceplos kalau ngomong, atau apa Agus tahu sesuatu tentang Ika. Kenapa kata-kata Agus selalu menyindir Ika? Meskipun Ika merasa terganggu dengan ulah Agus, ia merasa kalau ia harus kuat menghadapi berbagai perilaku orang-orang kota yang mungkin banyak yang nyeleneh. Ia tidak bis"Reyhan? Kamu Reyhan temenku waktu SD apa bukan? Aku Ika. Alika. SD Jogowarno. Inget nggak?" Aku meletakkan piring sarapan di depan lelaki itu. Aku tak menyangka bisa bertemu dengan teman lama di sini. Sudah lama sekali rasanya. Apa dia inget yah? Jangan-jangan wajahku berubah karena sudah punya anak 2 begini. "Eh, Alika ya. Iya inget. Dari tadi aku sedang mengingat-ingat, kok kayak kenal yah. Tapi aku lupa nama kamu. Kita satu kelas yah dulu? Kok kamu kerja di sini?" tanya Reyhan. "Iya ini, Han. Kok aku juga baru lihat kamu di sini. Biasanya makan di mana?" Tanyaku. "Oh kemarin aku puasa. Terus buka puasa di luar bedeng. Ada teman yang traktir." Ia mulai menyantap sarapan didepannya. Ia terlihat sangat lahap. Aku tersenyum. Aku masih ingat kalau Reyhan memang anak Pak Kyai di desaku dulu sebelum menikah. Yang aku heran kenapa dia kerja di proyek begini sedangkan ia bisa bekerja di desa karena sawah orang tuanya sangat ban
PoV Karyo Selepas telpon Ika dimatikan tadi malam, aku sama sekali tak bisa memejamkan mata. Rasa iba kepada istriku karena ia harus pergi merantau demi keluarga ini sebenarnya sangat menyakitkan ku. Terlebih Ika memang tidak pernah diperbolehkan oleh ibunya merantau semenjak masih gadis. Sekarang, karena keadaan, aku malah mengizinkannya pergi. Banyak orang bilang kalau sudah mengizinkan istri untuk bekerja jauh maka harus siap dengan kehilangan, atau perceraian. Bagiku hubungan kami tak akan pernah seperti itu. Aku akan berusaha mempertahankannya meskipun keadaan kami sekarang seperti ini. "Bapaaak, baju Azka kok belum disetrika?" teriak Azka dari dalam kamarnya. Teriakan demi teriakan di pagi hari sangat membuat jengah sebenarnya. Kadang Azka minta dibikinkan PR, baju yang terselip, kaus kaki yang lupa dicuci atau bahkan Iwan yang merengek minta sarapan padahal ia masih mengucek matanya yang penuh kotoran. "Iya nanti bapak
Dertt Derrt Getaran telepon membangunkan Karyo. Tangannya meraba di sekitar bantal, ketemu. Ia melihat sekilas, ada nama ibu mertua di sana. "Halo, Bu." "Halo! Kamu di mana Karyo?" Suara tinggi ibu mertuanya membuat kesadarannya kembali penuh. "Ya Allah! Aku malah ketiduran di pemancingan!" seru Karyo dalam hati, "Aduh! Anak-anak pasti ada sama Ibu." "Halo!" suara diujung telepon kembali melengking. "Iya, Bu. Karyo mau pulang ini." Tut. Telepon segera ia matikan. "Gimana aku bisa ceroboh begini," ia pukul kepalanya sendiri seraya matanya menyapu keadaan sekitar, ia ada di ruang belakang warung sendirian. Wanita yang bersamanya benar-benar telah membuainya sampai ia terlelap. "Mas, sudah bangun? Siapa yang menelpon?" suara wanita itu terdengar nyaring dari luar. Ada juga suara orang-orang yang bercakap-cakap. Ku ayunkan kaki keluar, ia sedang bersandar di meja sambil melemparkan senyum manis pada Karyo. Lelaki itu menggaruk-garu
POV Karyo"Ayu itu temanmu?" Aku benar-benar terkejut mendengar penuturan Jannah. Bagaimana mungkin Jannah bisa berteman dengan Ayu. Apakah Ayu selama ini menceritakan hubungan mereka. Jangan-jangan Mas Yono juga sudah tahu. "Iya. Dia temenku, temen deket waktu sekolah," entah alasan apa, seketika aku jadi merasa gelisah. "Hati-hati sama dia, Mas. Dia memang cantik, tapi dia bisa licik!" serunya. Mataku membulat mendengar seruan adik iparku itu. Sudah lama aku menjalin hubungan dengan Ayu. Hubungan kami tak punya nama. Hanya saja aku memang selalu ingin ke sana dan memadu kasih dengannya dan tak pernah ada harapan lebih untuk sampai menyebutnya pacar. Karena setahuku ia juga menjalin hubungan yang sama dengan lelaki lain juga. "Sudah banyak korbannya, dari dulu. Dia bercerita sendiri, Mas. Aku nggak mengada-ada." Aku jadi teringat waktu pertama kali bertemu dengan Ayu, entah ada magnet apa, wanita yang mengeringkan matanya padaku tiba-tiba
SDM 20 "Kamu kayak nggak tahu Bapak aja, Yo," ujar Yono seraya duduk tegak di depan Karyo. "Sebentar ya, aku ambil kopi dulu biar melek." Yono bangkit dan berjalan menuju dapur sedangkan Karyo sejak tadi menatapnya dengan mata melotot. "Sialan! Ditungguin dari tadi malah ada saja halangannya," batin Karyo. Suara jangkrik terdengar sangat nyaring. Rumah Yono berada di dekat sawah jadi udara terasa sangat dingin. Tadinya ini tanah orang tua Jannah, beberapa bulan setelah menikah Yono dan Jannah memutuskan untuk membangun rumah di atasnya. Meskipun tadinya pernikahan mereka ditentang, tapi aku salut dengan Yono yang membangun rumah tangganya dari nol, dan tentunya berhasil membuat Jannah yang liar jadi wanita rumahan. "Nih ngopi dulu!" Ia meletakkan secangkir kopi hitam pekat di depanku. Wanginya membuat mata langsung melek, adrenalin sedikit mengendur. "Kamu minum sana, Mas! Biar melek matanya, dari tadi ditanya ngelantur mulu," kataku pada Mas
POV Karyo "Hallo, Pak. Karyo mau kerja di situ, lagi butuh orang nggak?" Akhirnya ku putuskan untuk menelpon sendiri menanyakan tentang pekerjaan ke Bapak. Tapi entah kenapa wajah Bapak berubah gelisah setelah mendengar pertanyaanku. "Emang kamu sudah sehat, Yo?" tanya Bapak padaku sambil celingukan ke sana- ke sini seperti mencari sesuatu. "Sudah, Pak. Aku mau kerja. Kasihan Ika di situ sendiri. Ibunya khawatir soalnya Ika belum pernah merantau. Anak-anak mau ku titipkan pada Ibunya Ika," jawabku menjelaskan. Bapak belum juga menjawab, ia seperti mempertimbangkan sesuatu, apa mungkin kesehatanku? "Tenang, Pak. Karyo sudah sehat, aku bisa kok kerja disitu apa saja. Jadi tukang angkat- angkat juga bisa," imbuhku. Bapak masih terdiam, terlihat berpikir. "Kamu disitu aja, Yo. Nggak usah kerja di sini. Berat! Kasihan anak-anak kalau cuma sama Nininya," kata Bapakku. Aku jadi curiga, walupun aku sudah menduga kalau Bapak mungki
PoV Karyo Pagi itu aku benar-benar berangkat ke kota untuk menyusul Ika. Bapakku menjemput ku di stasiun kemudian kami langsung ke proyek. Sudah lama tak bertemu Ika membuat jantungku berdegup kencang, padahal dulu aku juga sering nggak pulang kalau di pemancingan, tapi kali ini rasanya berbeda. Aku kangen istriku. Selagi bapak menjemput ku di stasiun, dia sudah memberi banyak arahan. Nanti aku akan bekerja sebagai kuli dulu, belum bisa jadi tukang. Kerjaku mungkin akan kasar dan capek, tapi itu sudah jadi resiko pekerja baru sepertiku. Tempat tidur pun akan disatukan dengan pekerja lain, di bedeng-bedeng proyek. Meskipun aku sudah menikah dengan Ika, kami tetap tidak bisa bersama, kecuali kami memutuskan untuk mengontrak sendiri. Hal ini tentu belum terpikirkan olehku. Mungkin nanti akan ku bicarakan dulu dengan Ika. "Assalamualaikum!" Aku masuk ke dalam warung, suasananya sepi soalnya sekarang sudah jam 10 malam. Mungkin sudah banyak yang tidur.
"Lepasin tanganmu dari istriku!" hardikku pada lelaki itu. Seketika tangannya terlepas, ia mengangkat tangannya seperti menyerah. "Oh maaf Mas, saya cuma bercanda," jawabnya dengan senyum miring yang kutahu artinya meremehkan ku. Ia mengambil gelas kopi susunya dan beranjak pergi. Aku memandang Ika yang sedang gemetar memegang tangannya sendiri, pandangannya nanar ke mana-mana, matanya mengembung hampir menangis. Ku genggam tangannya kuat-kuat mencoba meredam ketakutan dalam dirinya serta emosi dalam diriku sendiri. "Itu Agus, Mas, yang pernah aku ceritain," Kulihat ia terengah-engah mengatakan itu setelah kami berpindah ke dapur karena orang-orang yang sedang makan di warung menatap kami berdua."Nggak apa-apa, Mas. Sudah tenang, ya. Ika cuma kaget tadi. Agus memang suka bercanda," Ika bergantian meyakinkanku karena ia melihatku memukul tanganku sendiri berkali-kali. "Iya, Mas Karyo. Agus emang sableng, kalau ngomong nggak pakai aturan.