POV Karyo
"Ayu itu temanmu?"Aku benar-benar terkejut mendengar penuturan Jannah. Bagaimana mungkin Jannah bisa berteman dengan Ayu. Apakah Ayu selama ini menceritakan hubungan mereka. Jangan-jangan Mas Yono juga sudah tahu."Iya. Dia temenku, temen deket waktu sekolah," entah alasan apa, seketika aku jadi merasa gelisah."Hati-hati sama dia, Mas. Dia memang cantik, tapi dia bisa licik!" serunya.Mataku membulat mendengar seruan adik iparku itu. Sudah lama aku menjalin hubungan dengan Ayu. Hubungan kami tak punya nama. Hanya saja aku memang selalu ingin ke sana dan memadu kasih dengannya dan tak pernah ada harapan lebih untuk sampai menyebutnya pacar. Karena setahuku ia juga menjalin hubungan yang sama dengan lelaki lain juga."Sudah banyak korbannya, dari dulu. Dia bercerita sendiri, Mas. Aku nggak mengada-ada." Aku jadi teringat waktu pertama kali bertemu dengan Ayu, entah ada magnet apa, wanita yang mengeringkan matanya padaku tiba-tibaSDM 20 "Kamu kayak nggak tahu Bapak aja, Yo," ujar Yono seraya duduk tegak di depan Karyo. "Sebentar ya, aku ambil kopi dulu biar melek." Yono bangkit dan berjalan menuju dapur sedangkan Karyo sejak tadi menatapnya dengan mata melotot. "Sialan! Ditungguin dari tadi malah ada saja halangannya," batin Karyo. Suara jangkrik terdengar sangat nyaring. Rumah Yono berada di dekat sawah jadi udara terasa sangat dingin. Tadinya ini tanah orang tua Jannah, beberapa bulan setelah menikah Yono dan Jannah memutuskan untuk membangun rumah di atasnya. Meskipun tadinya pernikahan mereka ditentang, tapi aku salut dengan Yono yang membangun rumah tangganya dari nol, dan tentunya berhasil membuat Jannah yang liar jadi wanita rumahan. "Nih ngopi dulu!" Ia meletakkan secangkir kopi hitam pekat di depanku. Wanginya membuat mata langsung melek, adrenalin sedikit mengendur. "Kamu minum sana, Mas! Biar melek matanya, dari tadi ditanya ngelantur mulu," kataku pada Mas
POV Karyo "Hallo, Pak. Karyo mau kerja di situ, lagi butuh orang nggak?" Akhirnya ku putuskan untuk menelpon sendiri menanyakan tentang pekerjaan ke Bapak. Tapi entah kenapa wajah Bapak berubah gelisah setelah mendengar pertanyaanku. "Emang kamu sudah sehat, Yo?" tanya Bapak padaku sambil celingukan ke sana- ke sini seperti mencari sesuatu. "Sudah, Pak. Aku mau kerja. Kasihan Ika di situ sendiri. Ibunya khawatir soalnya Ika belum pernah merantau. Anak-anak mau ku titipkan pada Ibunya Ika," jawabku menjelaskan. Bapak belum juga menjawab, ia seperti mempertimbangkan sesuatu, apa mungkin kesehatanku? "Tenang, Pak. Karyo sudah sehat, aku bisa kok kerja disitu apa saja. Jadi tukang angkat- angkat juga bisa," imbuhku. Bapak masih terdiam, terlihat berpikir. "Kamu disitu aja, Yo. Nggak usah kerja di sini. Berat! Kasihan anak-anak kalau cuma sama Nininya," kata Bapakku. Aku jadi curiga, walupun aku sudah menduga kalau Bapak mungki
PoV Karyo Pagi itu aku benar-benar berangkat ke kota untuk menyusul Ika. Bapakku menjemput ku di stasiun kemudian kami langsung ke proyek. Sudah lama tak bertemu Ika membuat jantungku berdegup kencang, padahal dulu aku juga sering nggak pulang kalau di pemancingan, tapi kali ini rasanya berbeda. Aku kangen istriku. Selagi bapak menjemput ku di stasiun, dia sudah memberi banyak arahan. Nanti aku akan bekerja sebagai kuli dulu, belum bisa jadi tukang. Kerjaku mungkin akan kasar dan capek, tapi itu sudah jadi resiko pekerja baru sepertiku. Tempat tidur pun akan disatukan dengan pekerja lain, di bedeng-bedeng proyek. Meskipun aku sudah menikah dengan Ika, kami tetap tidak bisa bersama, kecuali kami memutuskan untuk mengontrak sendiri. Hal ini tentu belum terpikirkan olehku. Mungkin nanti akan ku bicarakan dulu dengan Ika. "Assalamualaikum!" Aku masuk ke dalam warung, suasananya sepi soalnya sekarang sudah jam 10 malam. Mungkin sudah banyak yang tidur.
"Lepasin tanganmu dari istriku!" hardikku pada lelaki itu. Seketika tangannya terlepas, ia mengangkat tangannya seperti menyerah. "Oh maaf Mas, saya cuma bercanda," jawabnya dengan senyum miring yang kutahu artinya meremehkan ku. Ia mengambil gelas kopi susunya dan beranjak pergi. Aku memandang Ika yang sedang gemetar memegang tangannya sendiri, pandangannya nanar ke mana-mana, matanya mengembung hampir menangis. Ku genggam tangannya kuat-kuat mencoba meredam ketakutan dalam dirinya serta emosi dalam diriku sendiri. "Itu Agus, Mas, yang pernah aku ceritain," Kulihat ia terengah-engah mengatakan itu setelah kami berpindah ke dapur karena orang-orang yang sedang makan di warung menatap kami berdua."Nggak apa-apa, Mas. Sudah tenang, ya. Ika cuma kaget tadi. Agus memang suka bercanda," Ika bergantian meyakinkanku karena ia melihatku memukul tanganku sendiri berkali-kali. "Iya, Mas Karyo. Agus emang sableng, kalau ngomong nggak pakai aturan.
SDM 24Reyhan memapahku sampai ke warung. Bi Ijah yang dari jauh melihatku lemas tergopoh-gopoh mengambil alih tubuhku lalu kami duduk di kursi depan. "Ya Allah! Kenapa kamu, Ka?" Ia menatap nanar ke arah Reyhan mencari jawaban. "Nanti, Bi. Biar Ika saja yang cerita kalau sudah tenang. Aku mau sholat subuh dulu, Bi. Sudah telat ini tadinya mau ke masjid di luar proyek," ia mengangguk dan melangkah pergi. Bi Ijah berjalan ke dapur dan kembali membawa segelas teh hangat di atas nampan,"Minum dulu, Ka." Teh hangat itu sedikit membawa ketenangan, dan Bi Ijah sudah menuntut penjelasan dariku sejak tadi. "Agus, Bi. Dia mabok dan menyeretku. Untung ada Reyhan, tadi Agus dipukul Reyhan, Bi. Bagaimana ini?" tanyaku cemas. "Ya Allah Agus. Saya nggak nyangka kalau Agus bisa nekad begitu. Kita ngomong aja sama Pak Tio biar diproses. Udah sinting si Agus!" "Eh, jangan Bi. Yasudah biar aku saja yang ngomong sama Bapak, Bi." Pagi itu suasana warung
"Astaghfirullah!! Kamu nuduh aku ada main sama Bapakmu sendiri? Kok bisa sih Mas kamu kepikiran sampai ke situ. Kamu cemburu sama Bapakmu?" Istriku langsung tegak berdiri mendengar pertanyaanku tentang hubungannya dengan Bapakku. Ia mulai berkacak pinggang dan memalingkan wajahnya. Kenapa reaksinya semarah itu? Apakah aku sangat menyinggungnya? Padahal tadi aku membayangkan kalau dia akan menanggapi pertanyaanku dengan gurauan saja. "Maaf, Ka. Aku hanya bertanya," kini aku yang pergi meninggalkan wanita itu sendiri di kamarnya, "Mungkin memang aku terlalu menyakitinya dengan pertanyaanku tadi." Dengan kepala yang masih berat, aku berjalan ke arah bedeng para lelaki, aku ingin tidur. Esok paginya Reyhan menemui ku dengan membawa segelas teh hangat, "Sudah mendingan? ini diminum dulu tehnya!" serunya. Tidur semalam suntuk ternyata tak menghilangkan rasa sakit di kepalaku. Teh hangat yang kusesap perlahan sedikit memberikan udara pada otakku
Aku buru-buru mencari Bapak Mertua waktu Mas Karyo nanyain tentang hubungan kami. Seluruh area proyek sudah kuputari, tak ada satupun orang yang tahu keberadaan Pak Tio. Sementara itu aku tak berani mencari di bedeng laki-laki karena Mas Karyo sedang tidur di sana. Rasa gusar tak bisa ku hilangkan sampai aku kembali ke warung. Meskipun bibirku tersenyum melayani pembeli, otak dan hatiku mengelana entah kemana. Sampai malam hari saat giliran Bi Ijah yang berjaga, aku masih menatap nanar langit-langit bedeng. Waktu menunjukkan pukul 1 malam, kulihat pintu bedeng dibuka dari luar. Bunyi krieet khas pintu kayu membuat aku yang tadinya mencoba menutup mata jadi terjaga. "Pak?" Orang itu mendekat kepadaku dan mulai menciumi wajahku. "Pak, sebentar!" seruku. Gerakannya tak berhenti, ia melumat bibirku dengan menggebu. Akhirnya ku pegang kepalanya dan mendorongnya. "Pak, Mas Karyo tadi pingsan!" seruku sekali lagi. "Hah?! Kapan?" "Tadi sore. Bapak kemana? Ika udah cari kema
Aku harus bagaimana? Sekarang semua sudah terlambat. Nasi sudah menjadi bubur. Pernikahan kami sudah hancur lebur! Semua ini gara-gara ulahku. Demi sesuap nasi, ku jual harga diriku. "Pak Tio itu dari dulu seperti itu. Meskipun sudah punya istri cantik, tapi masih saja nyari-nyari yang lain. Lelaki tidak akan pernah puas dengan satu wanita. Atau mungkin ini semua adalah karma," imbuhnya. "Menangis lah dengan kencang setelah itu lupakan, Ka. Jadi wanita memang berat. Meskipun aku tahu pasti Pak Tio yang menggoda mu, tapi semua orang pasti akan menyalahkan mu." Ku dengar Bi Ijah pun mulai terisak-isak. Ia berdiri dan pergi ke kamar mandi. Ku lihat wajahnya basah setelah kembali. "Kamu juga boleh pulang, Ka, kalau kamu mau menyusul suamimu. Dari pada di sini nanti kamu jadi bahan jamahan Bapak Mertuamu," imbuhnya. Bahuku masih terguncang, tapi dengan tegas aku menolak, "Tidak, Bi. Aku sudah bertekad untuk menyelesaikan pekerjaan di