Si Kapuyuak membawa Puti Bungo Satangkai dan Antaguna ke kawasan pasar itu sendiri untuk menemukan tempat penginapan.Pasar itu mungkin tidak terlalu besar dan tidak seramai di daerah lain, tapi di sana juga ada penginapan.Antaguna tersenyum, lalu melirik Bungo. Yah, meskipun disebut tempat menginap, tapi kamar yang disediakan hanya ada dua saja.Tapi itu sudah cukup. Toh, mereka hanya butuh satu kamar saja.“Silakan, Orang Muda,” ucap sang pemilik penginapan setelah menerima sekeping uang perak dari Antaguna. “Maaf, kamar ini tidak sebaik di bandar-bandar besar.”“Tidak mengapa.” Antaguna tersenyum. “Oh, apakah Anda menyediakan makan dan minum juga di sini?”“Humm…” Sang pemilik, pria 40 tahun itu menggaruk kepala. “Sebenarnya tidak. Tapi bila kalian tidak keberatan, akan aku sediakan.”“Aah, terima kasih.” Antaguna menambahkan satu keping perak lagi pada si pemilik.“Terima kasih,” ucap si pemilik dengan wajah semringah. “Tunggulah barang sekejap. Akan aku persiapkan untuk kalian b
“A-Aku …” si Kapuyuak atau Armen hanya bisa tertunduk di dipan bambu satu-satunya.Antaguna dan Puti Bungo Satangkai saling lirik, mereka menempati kursi rotan yang sama seperti sebelumnya.“Uda!” ujarnya tiba-tiba sembari menatap dengan penuh harap pada Antaguna. Lalu beralih pada Bungo. “Be-Benarkah Uni dan Uda akan pergi ke tempat Datuak Ambisar itu?”Antaguna mengernyit. Tunggu dulu, pikirnya. Sepertinya ada yang dirahasiakan remaja yang satu ini dari mereka berdua.Dia melirik pada sang gadis, dan sang gadis juga merasakan hal yang sama.“Armen,” ujar Antaguna. “Apa yang sesungguhnya hendak kau katakan pada kami? Kau menyembunyikan sesuatu dari kami?”“Tu-Tujuan Uda,” Armen menjadi gugup sekaligus gelisah. “A-Apakah betul, Uda dan Uni hendak bergabung dengan aliran sesat itu?”Antaguna terkekeh sembari menggeleng-geleng ringan. “Kau tahu,” ujarnya, “untuk takaran anak sesusiamu, kau lebih berani daripada orang-orang yang aku temui pagi tadi.”Sepertinya untuk menyebut aliran yang
Benar dugaanku, pikir Puti Bungo Satangkai.“Kau—” Antaguna tidak dapat meneruskan kata-katanya.Banyak hal yang kini bermunculan di dalam kepalanya demi mendengar penuturan si Kapuyuak.Sementara, satu per satu air mata menitik jatuh ke lantai. Si Kapuyuak tidak dapat lagi menahan-nahan kesedihan yang selama ini ia tanggung di dalam tubuhnya yang kurus kerempeng itu.“M-Maafkan aku …”Bungo bangkit dari duduknya, lalu mendekati si Kapuyuak, duduk di dipan yang sama, di samping kanannya, merangkulnya dengan kasih sayang yang ia miliki.“Hei,” panggil Antaguna. “Apa yang terjadi?”Sang remaja menggeleng lemah. “A-Aku hanya tahu bahwa ibu kami mengikuti kekasihnya. A-Ayah kami sudah lama tiada.”“Jangan bilang pria itu mengajak ibumu untuk memasuki aliran sesat itu?”Dengan menahan kesedihan yang begitu besar, si Kapuyuak mengangguk.Bungo mengelus punggung sang remaja dengan lembut, mencoba memberikan ketenangan baginya.“Ta-Tapi,” ujarnya dengan terisak, lalu menghela napas lebih bany
Si wanita muda menggeram dan dengan cepat menghunus pedangnya. Tapi seorang rekannya yang pria langsung menahan gerakan tangannya.“Hentikan!” ujar pria muda tersebut. “Datuak Ambisar tidak menginginkan dia mati. Kau ingat?”“Cih!” wanita muda dengan sorot mata yang dingin itu kembali menyarungkan pedangnya. “Kalau bukan karena Datuak menghargai keterampilanmu, aku pasti sudah menebas batang lehermu, tabib busuk!”Sang tabib terkekeh. Lalu bangkit dan duduk berselonjor begitu saja, seolah-olah dia sedang duduk di tepi pantai. Lalu meludah lagi dan menggerak-gerakkan kipasnya dengan acuh tak acuh.“Kau pikir aku orang yang takut mati, begitukah?”Sang tabib tertawa-tawa lagi sementara wanita muda itu semakin menggeram, begitu juga dengan teman-temannya.“Kalian,” ujarnya seraya menunjuk-nunjuk keenam orang tersebut dengan kipas daun pandannya. “Baru berumur setahun jagung, dan lantas merasa telah memiliki kekuasaan hanya lantaran kalian bergabung dengan aliran sesat itu? Menyedihkan!”
Sementara itu di dalam rumah sang tabib, si Kapuyuak langsung menghampiri Ima yang sedang berbaring tenang di atas sebuah ranjang mambu yang berlapis kasur tipis. Setidaknya, itu lebih bagus daripada dia harus berbaring di dipan tanpa alas.“Ima,” panggil si Kapuyuak dengan berlutut di lantai, di dekat kepala sang adik.Tapi sepertinya gadis kecil itu sedang tertidur pulas. Setidaknya, itulah yang dapat ditangkap oleh Puti Bungo Satangkai yang menemani si Kapuyak.Yah, si gadis kecil hening dalam tidurnya. Mungkin pula sang tabib sengaja melakukan itu kepadanya agar dia mendapatkan istirahat yang baik setelah menjalani pengobatannya.Terbukti bahwa sang tabib sangat telaten dalam pekerjaannya. Ima tidur tanpa pakaian tapi juga dalam keadaan tertutup selimut tebal untuk menghangatkan tubuhnya.Dari bawah dipan itu sendiri, di lantainya, terdapat sebuah nampan bundar dan cekung. Di dalam nampan, ada rempah-rempah yang sedang terbakar pelan dan mengeluarkan asap tipis.Bungo mengernyit.
“Aku paham!” ujar sang tabib. “Baiklah. Apa yang kau inginkan sebagai pertukarannya?”“Rawat gadis kecil itu sampai sembuh,” jawab Antaguna. “Dan izinkan si Kapuyuak tinggal di sini.”“Hie, hei—”“Dia akan lebih tenang jika berada di dekat adiknya. Kuharap Anda bisa memahami hal ini.”“Argh … kau si sialan!” maki sang tabib. “Baiklah, baiklah. Berengsek! Entah mengapa juga aku menyetujui tawaran meragukan ini!”Antaguna melirik Puti Bungo Satangkai, tersenyum, dan mengedipkan sebelah matanya.Sang gadis hanya menghela napas dalam-dalam. Untuk sekarang, dia menyimpan saja satu dua hal yang hendak ia pastikan pada Antaguna.“Berapa lama?”“Entahlah,” jawab Antaguna dengan mengendikkan bahunya. “Siapa yang bisa tahu? Tapi yang pasti, kami berdua tentu tidak akan betah berlama-lama berada di sana.”Kembali pria tinggi besar melirik pada sang gadis seolah meminta persetujuan darinya.Sang tabib mendesah panjang. “Entah kalian akan berhasil—dengan apa pun tujuan kalian mendatangi si Ambisar
Pria enam puluh tahun dengan tubuh yang masih terawat baik itu tertawa-tawa ketika enam muda-mudi melaporkan tentang keangkuhan dan betapa keras kepalanya si tabib yang tinggal di satu pasar itu.Yah, tubuhnya dapat digolongkan cukup sempurna sebagai laki-laki. Tegap, berotot, dan terlihat padat meski di usia lebih dari setengah abad. Kecuali pada rambutnya yang sebagian besarnya sudah memutih.Dia adalah Datuak Ambisar yang bergelar si Gagak Api. Dia membawahi satu kelompok penjahat yang berkedok perguruan silat, juga sekaligus sebuah aliran yang telah mendapat cap buruk di tengah-tengah masyarakat.Saat ini, dia sedang berada di satu ruangan luas, duduk setengah berbaring di satu kursi kayu berukir dengan lapisan beledu merah terang. Dia hanya mengenakan celana komprang hitamnya itu saja, dan bertelanjang di bagian atas. Bulu-bulu halus di dada hingga ke pusarnya yang lebat itu pun sudah memutih semua.Sang datuak dilayani oleh dua wanita yang berpakaian sangat minim. Di kirinya seo
Jalan yang semakin menanjak di lereng sebelah utara Gunung Kerinci membuat Sikumbang dan kuda betina coklat keemasan itu mengerahkan kekuatan kaki mereka masing-masing untuk mengantarkan tuan mereka lebih jauh.Tapi sepertinya itu akan menjadi sia-sia jika terus memaksa kedua kuda itu. Setidaknya, inilah yang dipikirkan oleh Antaguna.“Hei!” panggilnya pada sang gadis. “Kurasa, akan lebih baik kita tidak menggunakan kuda untuk naik lebih tinggi.”Puti Bungo Satangkai menghela napas dalam-dalam seraya mengusap-usap leher kuda tunggangannya. Lalu dia mengangguk untuk menanggapi ucapan sang pria.“Ingat, Kumbang!” ucap Antaguna pada kuda jantan hitamnya. “Jangan kemana-mana, tetaplah di sini, tunggu panggilan dari kami.”Seolah memahami apa yang diucapkan tuannya, Sikumbag meringkik halus. Tapi sepertinya perhatian kuda jantan itu lebih tertuju pada kuda betina milik Bungo.“Hah, jantan sialan!” maki Antaguna dengan suara pelan.Bungo yang mendengar itu hanya bisa tersenyum-senyum. ‘Kali