“Kau!” Sang tabib menunjuk-nunjuk Antaguna dengan kipasnya. “Kau pasti hanya menggertakku!”Antaguna terkekeh. “Percaya atau tidak, itu terserah padamu.”“Tidak mungkin!” Sang tabib melirik pada sang gadis. “Aku tidak pernah mendengar mereka menerima murid, tidak seorang pun.”“Kau tanyakan saja sendiri pada dua sesepuh di Lembah Anai.”“Kau hanya menggertakku!” teriak sang tabib. “Bertahun-tahun aku memohon pada mereka untuk diajarkan ilmu pengobatan. Tidak, tidak … aku saja tidak berhasil, apalagi gadis yang satu ini. Tidak mungkin!”Antaguna tersenyum mendapati kegelisahan pada sang tabib, dia melirik pada Bungo, dan kembali mengedipkan sebelah matanya.‘Dasar!’Puti Bungo Satangkai akhirnya memahami tujuan dari Antaguna berkata demikian. Sejatinya, dia hanya ingin memberikan sedikit pelajaran pada si tabib hebat tapi angkuh itu.Memang benar, Bungo telah mendapat dua tiga pembelajaran dari dua sesepuh di Lembah Anai, atau yang lebih dikenal sebagai Raja dan Ratu Obat tersebut. Aka
Si Kapuyuak membawa Puti Bungo Satangkai dan Antaguna ke kawasan pasar itu sendiri untuk menemukan tempat penginapan.Pasar itu mungkin tidak terlalu besar dan tidak seramai di daerah lain, tapi di sana juga ada penginapan.Antaguna tersenyum, lalu melirik Bungo. Yah, meskipun disebut tempat menginap, tapi kamar yang disediakan hanya ada dua saja.Tapi itu sudah cukup. Toh, mereka hanya butuh satu kamar saja.“Silakan, Orang Muda,” ucap sang pemilik penginapan setelah menerima sekeping uang perak dari Antaguna. “Maaf, kamar ini tidak sebaik di bandar-bandar besar.”“Tidak mengapa.” Antaguna tersenyum. “Oh, apakah Anda menyediakan makan dan minum juga di sini?”“Humm…” Sang pemilik, pria 40 tahun itu menggaruk kepala. “Sebenarnya tidak. Tapi bila kalian tidak keberatan, akan aku sediakan.”“Aah, terima kasih.” Antaguna menambahkan satu keping perak lagi pada si pemilik.“Terima kasih,” ucap si pemilik dengan wajah semringah. “Tunggulah barang sekejap. Akan aku persiapkan untuk kalian b
“A-Aku …” si Kapuyuak atau Armen hanya bisa tertunduk di dipan bambu satu-satunya.Antaguna dan Puti Bungo Satangkai saling lirik, mereka menempati kursi rotan yang sama seperti sebelumnya.“Uda!” ujarnya tiba-tiba sembari menatap dengan penuh harap pada Antaguna. Lalu beralih pada Bungo. “Be-Benarkah Uni dan Uda akan pergi ke tempat Datuak Ambisar itu?”Antaguna mengernyit. Tunggu dulu, pikirnya. Sepertinya ada yang dirahasiakan remaja yang satu ini dari mereka berdua.Dia melirik pada sang gadis, dan sang gadis juga merasakan hal yang sama.“Armen,” ujar Antaguna. “Apa yang sesungguhnya hendak kau katakan pada kami? Kau menyembunyikan sesuatu dari kami?”“Tu-Tujuan Uda,” Armen menjadi gugup sekaligus gelisah. “A-Apakah betul, Uda dan Uni hendak bergabung dengan aliran sesat itu?”Antaguna terkekeh sembari menggeleng-geleng ringan. “Kau tahu,” ujarnya, “untuk takaran anak sesusiamu, kau lebih berani daripada orang-orang yang aku temui pagi tadi.”Sepertinya untuk menyebut aliran yang
Benar dugaanku, pikir Puti Bungo Satangkai.“Kau—” Antaguna tidak dapat meneruskan kata-katanya.Banyak hal yang kini bermunculan di dalam kepalanya demi mendengar penuturan si Kapuyuak.Sementara, satu per satu air mata menitik jatuh ke lantai. Si Kapuyuak tidak dapat lagi menahan-nahan kesedihan yang selama ini ia tanggung di dalam tubuhnya yang kurus kerempeng itu.“M-Maafkan aku …”Bungo bangkit dari duduknya, lalu mendekati si Kapuyuak, duduk di dipan yang sama, di samping kanannya, merangkulnya dengan kasih sayang yang ia miliki.“Hei,” panggil Antaguna. “Apa yang terjadi?”Sang remaja menggeleng lemah. “A-Aku hanya tahu bahwa ibu kami mengikuti kekasihnya. A-Ayah kami sudah lama tiada.”“Jangan bilang pria itu mengajak ibumu untuk memasuki aliran sesat itu?”Dengan menahan kesedihan yang begitu besar, si Kapuyuak mengangguk.Bungo mengelus punggung sang remaja dengan lembut, mencoba memberikan ketenangan baginya.“Ta-Tapi,” ujarnya dengan terisak, lalu menghela napas lebih bany
Si wanita muda menggeram dan dengan cepat menghunus pedangnya. Tapi seorang rekannya yang pria langsung menahan gerakan tangannya.“Hentikan!” ujar pria muda tersebut. “Datuak Ambisar tidak menginginkan dia mati. Kau ingat?”“Cih!” wanita muda dengan sorot mata yang dingin itu kembali menyarungkan pedangnya. “Kalau bukan karena Datuak menghargai keterampilanmu, aku pasti sudah menebas batang lehermu, tabib busuk!”Sang tabib terkekeh. Lalu bangkit dan duduk berselonjor begitu saja, seolah-olah dia sedang duduk di tepi pantai. Lalu meludah lagi dan menggerak-gerakkan kipasnya dengan acuh tak acuh.“Kau pikir aku orang yang takut mati, begitukah?”Sang tabib tertawa-tawa lagi sementara wanita muda itu semakin menggeram, begitu juga dengan teman-temannya.“Kalian,” ujarnya seraya menunjuk-nunjuk keenam orang tersebut dengan kipas daun pandannya. “Baru berumur setahun jagung, dan lantas merasa telah memiliki kekuasaan hanya lantaran kalian bergabung dengan aliran sesat itu? Menyedihkan!”
Sementara itu di dalam rumah sang tabib, si Kapuyuak langsung menghampiri Ima yang sedang berbaring tenang di atas sebuah ranjang mambu yang berlapis kasur tipis. Setidaknya, itu lebih bagus daripada dia harus berbaring di dipan tanpa alas.“Ima,” panggil si Kapuyuak dengan berlutut di lantai, di dekat kepala sang adik.Tapi sepertinya gadis kecil itu sedang tertidur pulas. Setidaknya, itulah yang dapat ditangkap oleh Puti Bungo Satangkai yang menemani si Kapuyak.Yah, si gadis kecil hening dalam tidurnya. Mungkin pula sang tabib sengaja melakukan itu kepadanya agar dia mendapatkan istirahat yang baik setelah menjalani pengobatannya.Terbukti bahwa sang tabib sangat telaten dalam pekerjaannya. Ima tidur tanpa pakaian tapi juga dalam keadaan tertutup selimut tebal untuk menghangatkan tubuhnya.Dari bawah dipan itu sendiri, di lantainya, terdapat sebuah nampan bundar dan cekung. Di dalam nampan, ada rempah-rempah yang sedang terbakar pelan dan mengeluarkan asap tipis.Bungo mengernyit.
“Aku paham!” ujar sang tabib. “Baiklah. Apa yang kau inginkan sebagai pertukarannya?”“Rawat gadis kecil itu sampai sembuh,” jawab Antaguna. “Dan izinkan si Kapuyuak tinggal di sini.”“Hie, hei—”“Dia akan lebih tenang jika berada di dekat adiknya. Kuharap Anda bisa memahami hal ini.”“Argh … kau si sialan!” maki sang tabib. “Baiklah, baiklah. Berengsek! Entah mengapa juga aku menyetujui tawaran meragukan ini!”Antaguna melirik Puti Bungo Satangkai, tersenyum, dan mengedipkan sebelah matanya.Sang gadis hanya menghela napas dalam-dalam. Untuk sekarang, dia menyimpan saja satu dua hal yang hendak ia pastikan pada Antaguna.“Berapa lama?”“Entahlah,” jawab Antaguna dengan mengendikkan bahunya. “Siapa yang bisa tahu? Tapi yang pasti, kami berdua tentu tidak akan betah berlama-lama berada di sana.”Kembali pria tinggi besar melirik pada sang gadis seolah meminta persetujuan darinya.Sang tabib mendesah panjang. “Entah kalian akan berhasil—dengan apa pun tujuan kalian mendatangi si Ambisar
Pria enam puluh tahun dengan tubuh yang masih terawat baik itu tertawa-tawa ketika enam muda-mudi melaporkan tentang keangkuhan dan betapa keras kepalanya si tabib yang tinggal di satu pasar itu.Yah, tubuhnya dapat digolongkan cukup sempurna sebagai laki-laki. Tegap, berotot, dan terlihat padat meski di usia lebih dari setengah abad. Kecuali pada rambutnya yang sebagian besarnya sudah memutih.Dia adalah Datuak Ambisar yang bergelar si Gagak Api. Dia membawahi satu kelompok penjahat yang berkedok perguruan silat, juga sekaligus sebuah aliran yang telah mendapat cap buruk di tengah-tengah masyarakat.Saat ini, dia sedang berada di satu ruangan luas, duduk setengah berbaring di satu kursi kayu berukir dengan lapisan beledu merah terang. Dia hanya mengenakan celana komprang hitamnya itu saja, dan bertelanjang di bagian atas. Bulu-bulu halus di dada hingga ke pusarnya yang lebat itu pun sudah memutih semua.Sang datuak dilayani oleh dua wanita yang berpakaian sangat minim. Di kirinya seo
Puti Bungo Satangkai duduk sembari memerhatikan Antaguna dengan dagunya bertopang pada telapak tangannya, dan sikunya bertopang pada lutut yang menekuk ke atas, di bagian depan sampan yang sedang meluncur ke arah barat.Sementara Antaguna, duduk di bagian ujung lain sampan, bagian belakang, sembari mendayung dan membawa sampan ke tengah-tengah laut.Pria besar dan berotot menjadi malu sendiri sebab selalu diperhatikan sang gadis, bahkan sembari tersenyum-senyum menatapnya.“Hei, ermm … apakah pulau itu masih jauh?” Antaguna membuang pandangan ke samping. Terlalu jengah diperhatikan seperti ini, pikirnya.Dan sang gadis hanya mengangguk saja sembari tetap tersenyum-senyum manja.“Kupikir tadinya kau bilang di seberang laut,” Antaguna mendesah panjang. “Ini bukan laut, tapi sebuah samudra, dasar gadis bodoh. Kau mengerjaiku!”Bungo terkikik dan menggeleng-geleng kecil yang semakin membuat Antaguna menjadi jengah dan bimbang. Bimbang sebab ingin saja pada saat itu dia menerkam sang gadis
Puti Bungo Satangkai, Antaguna, dan Sondang Tiur akhirnya tiba di Istana Minanga, di Batang Kuantan.Ketiganya disambut dengan cukup meriah oleh Rajo Bungsu dan orang-orang istana. Terlebih lagi, dengan keberhasilan Bungo yang mendapatkan semua kepingan Teratai Abadi. Meskipun, kegembiraan mereka sedikit terusik dengan kematian si Kumbang Janti.Hanya saja, baik Antaguna maupun Bungo sendiri tak hendak membicarakan tentang keburukan yang pernah dilakukan si Kumbang Janti sehingga membuat Antaguna cacat wajahnya. Tidak pula oleh Sondang Tiur yang juga mengetahui alasan di balik hal tersebut.Sama seperti jawaban Antaguna kepada Mantiko Sati dan Puti Pandan Sahalai di Ngarai Sianok, begitu pula yang mereka sampaikan keduanya kepada Rajo Bungsu dan orang banyak ketika sang raja bertanya perihal perubahan di wajah si pria tinggi besar.Rajo Bungsu dan Ratu Nan Sabatang, juga Gadih Cimpago sangat bersuka cita ketika mereka mendengar bahwa Bungo dan dua orang yang menemaninya bertemu dengan
‘Katakan padaku,’ Puti Bungo Satangkai menatap ke dalam mata Antaguna. ‘Kenapa kau merahasiakan tentang lukamu itu dariku?’“Bungo …” Antaguna menghela napas dalam-dalam. “Tidak ada gunanya diungkit-ungkit lagi. Aku sudah memberi tahu alasan di balik lukaku ini. Bahkan di depan abangmu, ingat?”‘Apakah kau pikir abangku dan aku sendiri begitu buta untuk tidak menyadari bahwa kau sengaja berbohong?’Sementara itu, Sondang Tiur sengaja menjauh dengan alasan mencari ikan untuk makan mereka di siang itu, di satu aliran sungai kecil yang jernih. Dia tahu dengan baik bahwa Bungo hanya ingin berbicara empat mata saja dengan Antaguna. Tentang, sesuatu yang bersifat sangat pribadi, mungkin, pikirnya.Antaguna mendesah halus dan menunduk.‘Hei!’ Bungo mendorong pelan bahu pria besar. ‘Katakan padaku! Kenapa?’Akan tetapi, sampai beberapa saat lamanya, Antaguna tak hendak memberi tahu alasan sesungguhnya kepada sang gadis.‘Hei, katakan padaku! Apakah kau masih menganggapku temanmu? Beri tahu ak
Kicau burung liar terdengar cukup menenangkan pikiran. Ditambah dengan pekik hewan dan suara aliran air di sungai, semua itu menemani sekumpulan orang yang sedang berdiri di satu titik, di sisi timur aliran sungai, di tengah-tengah lembah Ngarai Sianok.Puti Bungo Satangkai berlutut dengan menggenggam sejumput bunga liar yang indah dan masih basah oleh embun. Lalu disusul pula oleh sang kakak, Mantiko Sati, yang berlutut di samping kirinya.Sementara yang lainnya berdiri hening dengan kepala tertunduk.Kakak beradik itu meletakkan bunga-bunga liar di satu titik di permukaan tanah, di antara batu-batu kerikil yang lebih mencolok dengan warna kehitam-hitaman di antara lainnya.Di titik itulah di mana Zuraya pernah tergeletak tak berdaya dan mati. Di titik itu pula Bungo dilahirkan dengan sangat terpaksa. Di titik yang sama pula Inyiak Mudo lantas membakar jasad Zuraya.Mantiko Sati tidak pernah bisa menemukan jasad Zuraya ketika malam jahanam itu terjadi. Dia tidak tahu bahwa di titik i
Mantiko Sati lantas tersenyum lebar dengan gelengan kepalanya, membuat semua orang menjadi bertanya-tanya. Terutama, bagi Antaguna sendiri.“Uda?”“Wajahmu, Tarigan. Wajahmu.”Antaguna mulai merasakan sesuatu yang mungkin akan menyakitkan beberapa orang di antara mereka. Lagi, dia mereguk ludah sembari melirik Puti Bungo Satangkai dari sudut matanya, lalu tertunduk.“Terakhir kali kita bertemu,” kata Mantiko Sati. “Wajahmu masih terlihat gagah. Dan aku yakin, bekas luka di wajahmu itu adalah akibat dari terkena Cakar Kucing Emas, bukan?”Degh!Tidak Antaguna saja yang berdegup kencang jantungnya, tapi juga Bungo.Sang gadis yang dalam waktu belakangan ini cukup penasaran dengan kecacatan yang didapat Antaguna pada wajahnya memang ingin mengetahui cerita di balik itu semua. Hanya saja, semenjak kembali dari Pulau Telaga Tujuh, Antaguna sama sekali tidak mau menyinggung perihal bekas lukanya tersebut.“Uda, aku―”“Bisakah kau melepas bajumu, Tarigan?”Antaguna semakin menggigil. Bukan l
Puti Pandan Sahalai tertawa halus seraya mengusap bahu Sondang Tiur.“Baiklah, baiklah,” ucapnya. “Tapi, jangan sampai terdengar oleh suamiku.”“Kenapa?”Kebingungan si gadis Batak juga menjadi kebingungan Antaguna yang tentu saja mendengar percakapan keduanya.“Sejauh yang aku tahu,” lanjut Sondang Tiur. “Seluruh masyarakat di Minanga ini mengetahui bahwa seorang Mantiko Sati adalah pria rupawan yang sangat sopan dan halus budi bahasa. Kurasa dia tidak akan keberatan.”Lagi, mantan Ratu Minanga itu tertawa halus dan sangat merdu. “Oh, Tiur … kau hanya belum tahu saja bagaimana dalamannya!”“Oops …” Sondang Tiur terkikik.Dan Antaguna hanya bisa tersenyum sembari membuang muka. Dasar perempuan, pikirnya.Dan kemudian si pria berbadan besar membantu Sondang Tiur dan Puti Pandan Sahalai untuk memanggang daging yang tersedia di atas nampan kayu lebar, mempersiapkan makan malam bagi mereka semua.Malam itu berlalu dengan banyak kegembiraan. Sekaligus, ini adalah makan malam paling membaha
Pria rupawan mengernyit. Dia berhenti tepat dua langkah di hadapan Antaguna.Sementara itu, Puti Bungo Satangkai pun akhirnya menghentikan serangannya sebab dihalangi oleh Antaguna yang berlutut di tengah-tengah di antara dia dan si pria rupawan.‘Apa yang kau lakukan?!’ Bungo menggerak-gerakkan tangannya.“Bungo, jangan teruskan!”“Tarigan!” Pria rupawan memandang si gadis bisu sebelum kembali pada Antaguna. “Apa maksud dari semua ini?”“Uda, kumohon!”“Berdirilah! Kau tahu aku benci seseorang yang berlutut di hadapan orang lainnya, bukan?”Antaguna mengangguk dan berdiri. Bungo menghampirinya dengan tatapan menuntut penjelasan lebih.“Siapa gadis ini, Tarigan?”“Uda …” Antaguna melirik pada Bungo dan mengangguk.Bungo mengernyit. ‘Apa artinya ini?’“Bungo,” ucap pria tinggi besar dan berotot dengan menggenggam tangan sang gadis. Lalu melirik pria rupawan yang juga memaksa sang gadis untuk menatap pria yang sama. “Dia, Uda Buyung. Abangmu, Bungo.”‘Kau bilang apa?’ Bungo membelalak.
Pria kurus tiba-tiba terdiam dan membelalak. “K-Kau, kau …”‘Tunggulah di sini. Aku akan menghajar orang yang telah melukaimu!’Dan Puti Bungo Satangkai lantas menyerang si pria rupawan. Sementara pria bernama Fèng itu hanya bisa termangu sembari mengusap lelehan darah di sudut bibirnya dengan punggung tangannya.Fèng adalah pria yang sama yang pernah dijumpai oleh Bungo di satu hutan lebat, di seberang sungai di mana si Simpai Gilo tinggal. Pria yang nyaris sepenuhnya menjadi gila itu akhirnya merelakan kematian istrinya setelah bertemu dengan si gadis bisu tersebut.Alasan Bungo ingin melindunginya sebab si Simpai Gilo sendiri sepertinya telah mengawasi Fèng sebelum kematiannya. Atau lebih tepatnya, menjaga Fèng dan rutin memberikannya makanan.Inilah yang diyakini oleh sang gadis sehingga dia menyerang si pria rupawan tanpa tahu duduk permasalahan di antara keduanya terlebih dahulu.“Hei, Nona. Kau tidak harus―”Tapi ucapan si pria rupawan tidak didengar oleh Bungo. Sang gadis tela
Pria rupawan berputar-putar cepat di udara. Di satu ketinggian, dia merentangkan tangan dan kakinya dengan tiba-tiba sehingga gerakan berputar tubuhnya terhenti. Lalu dia menukik ke arah si pria kurus dan pucat.Pria kurus mengibaskan pedangnya ke samping.Swiing!Dan seketika, bilah pedang merah seolah dibungkus oleh lidah api.“Apa pun jurusmu, aku sudah siap menahan itu!” ucapnya dengan sangat percaya diri.Pria rupawan tersenyum lagi. Selagi tubuhnya meluncur ke bawah, dia melenting ke belakang, berjumpalitan sekali, lalu menukik lagi dengan lebih cepat.Pada satu ketinggian yang ia rasa pas, pria rupawan lantas menghantamkan cakar tangan kanannya ke arah si pria pucat di bawah.“Terima seranganku, kawan, Auman Membuncah Samudra!”“Serang aku!” teriak si pria kurus pucat.Swoosh!Lagi-lagi gelombang angin yang dahsyat disertai kilat-kilat kecil kebiru-biruan menderu dari cakar si pria rupawan. Bahkan, suara bergaung yang menyertai serangan itu sendiri laksana auman seekor harimau