"Kamu bisa jaga mulutmu, nggak? Bisa nggak ungkit-ungkit masa lalu saya nggak? Atau perlu diumumkan juga di hadapan umum kalau kamu menarik perhatian Safitri itu dengan cara menidurinya di hotel?" Akhirnya aku membuat seluruh tamu undangan menjadi ricuh. Suara riuh yang mendengar penuturanku barusan membuat gaduh acara ini. Mereka jadi saling ghibah satu sama lain, aku memang salah melakukan hal ini, tapi tidak ada cara lain untuk membungkam mulutnya."Ternyata oh ternyata, Dimas dan Safitri sudah berhubungan di luar nikah, pantas saja istrinya minta gugat cerai," celetuk salah satu orang."Heh! Wanita brengsek, lelucon macam apa ini? Kenapa merusak kebahagiaan orang lain?" Safitri protes dengan apa yang aku lakukan barusan, padahal Mas Dimas duluan yang telah menyulut emosiku.Kebanyakan manusia seperti itu, dia menginginkan orang lain malu, tapi tidak memikirkan perasaannya. Giliran balasan itu langsung telak di depannya, dia pun tidak menyadari itu bahwa dialah yang memulai duluan.
"Sabar dulu, Safitri, ada apa ini?" tanyaku penasaran.Dikarenakan Pak Pram kenal dengan wanita itu. Jadi aku putuskan untuk mengaktifkan speakernya. Ini supaya dia tahu bahwa rekannya bicara kasar padaku."Gara-gara kamu, Inggit, papaku koma!" Aku terkejut mendengarnya."Kenapa jadi aku yang harus disalahkan?" tanyaku."Seandainya tadi kamu tidak bicara macam-macam tentang kami, pasti papaku nggak akan seperti ini. Sialan kamu, Inggit!" Dia berteriak lagi dan mencaciku berkali-kali.Sehina itu kah aku? Sampai orang lain saja menghujat seperti itu. Aku tidak kenal dengan Safitri, tapi dia tetap mengatakan hal yang tidak baik terhadapku.Pak Pram mematikan sambungan teleponnya. Lalu menyuruhku memasukkan ponsel ke dalam tas."Udah, nggak usah didengarkan celotehan Safitri," ucap Pak Pram. "Pak Adam koma katanya? Berati aku harus jenguk ke rumah sakit," tambahnya."Ya, Pak. Aku boleh ikut?" tanyaku padanya."Jangan, nanti malah jadi runyam, aku menghormati Pak Adam, papanya Safitri, jadi
Setelah bicara dengan Mas Dimas melalui sambungan telepon. Aku dengarkan lagi apa yang tadi dia ucapkan. Sambil tersenyum aku mengantongi ponsel kembali. Lalu melanjutkan bermain dengan Jingga lagi.Aku dan Jingga sudah sangat dekat, padahal kami baru kenal dan hitungan perkenalan kami terbilang singkat. Namun, kami merasa sudah seperti kenal bertahun-tahun lamanya."Jingga pingin cepat-cepat satu rumah dengan Tante, aku ingin sama-sama dengan Tante terus, pokoknya Tante Inggit itu mama baru aku," cetus Jingga."Iya, tapi emang Jingga sayang sama Tante? Kenapa pilih Tante? Bukankah banyak wanita lain yang lebih sepadan, lebih cantik dan lebih pantas buat papa," ucapku. Sebenarnya ini bukan pertanyaan yang baik untuk Jingga, tapi aku sangat penasaran dengan alasannya yang sangat menginginkan aku untuk menjadi Mama barunya."Mama itu mirip sama Tante Inggit, meskipun banyak perbedaan, tapi sikap dan kelembutan Tante itu mirip sama mama, Papa yang bilang sih, bukan aku." Mata Jingga berb
"Titip Jingga ya, saya mau beli kado buat dia." Aku langsung menurunkan bahu, sebab gaya bicaranya seperti orang berada dalam kondisi terhimpit. Namun ternyata tidak terjadi sesuatu.Aku keluar sebentar supaya Jingga tidak dengar lagi obrolan kami. Aku menutup pintu kamarnya rapat-rapat, sebab pasti Pak Pram juga ingin beri kejutan untuk anaknya besok."Emang Pak Pram mau ngadoin apa? Terus tadi kenapa suaranya tersengal-sengal, bikin cemas aja," celetukku.Pak Pram terdengar menertawakanku. "Kamu mencemaskan saya ya?" tanyanya."Pak, kalau ditanya jangan balik tanya, tadi suara Pak Pram itu kan kayak orang panik, itu kenapa bisa gitu?" cecarku."Saya sengaja melakukan itu, pengen tahu aja respon kamu seperti apa," jawab Pak Pram."Hm, gitu ya, Pak. Tapi bercandanya nggak lucu, bikin orang lain jantungan tahu nggak?" Aku sengaja sedikit berani padanya."Kan kamu bukan orang lain, kamu itu calon istri saya. Jangan bilang kemarin lagi ya," pesan Pak Pram. "Orang tua saya nggak bisa ke J
Akhirnya aku mematikan sambungan teleponnya. Kemudian, aku kantongi lagi handphone milikku.Berselang kemudian, Pak Pram datang. Dia bicara denganku mengenai ulang tahun anaknya."Sebenarnya tadi aku pesan tempat untuk kita merayakan ulang tahun Jingga, tapi nggak tahu kamu suka atau tidak," ucap Pak Pram."Aku ikut aja Pak, yang terbaik untuk Jingga," jawabku agak sedikit murung, sebab mood ku hancur karena Mas Dimas."Kamu aneh hari ini, sepertinya ada yang kamu simpan, mau cerita nggak?" Pak Pram menebaknya, dan aku langsung menoleh ke arah laki-laki mapan yang sebenarnya tidak pantas denganku yang miskin."Nggak apa-apa Pak, hanya masalah harta gono gini aja, biasalah Mas Dimas serakah," jawabku."Sudah kuduga seperti itu ujungnya, karena orang seperti Dimas memang tujuannya hanya harta belaka," timpal Pak Pram."Ya udah saya Pak. Kasihan Ibu nungguin, mumpung malam ini nggak ada kelas, jadi bisa ketemu ibu sebelum dia tidur," tuturku pamit."Kalau kamu capek untuk kuliah berhenti
"Baik, terima kasih informasinya, Pak," jawab Mas Pram. Ya, aku harus mulai membiasakan diri memanggil dengan sebutan Mas.Aku langsung mengejar Mas Pram untuk bercerita siapa yang menghubunginya barusan. Ternyata pihak kepolisian, katanya sekretaris Mas Pram kecelakaan. Polisi menghubunginya karena di ponselnya ada kontak Mas Pram, keluarganya tidak ada yang bisa dihubungi."Kamu mau ke rumah sakit Mas?" tanyaku. "Maksudku sekretaris itu kan wanita, sepertinya tidak bagus kalau kamu yang datang ke sana sendirian, aku ikut ya," tambahku. Bukan aku cemburu tapi lebih takut calon suamiku terkena fitnah."Aku nggak ke rumah sakit kok, justru mau menugaskan sopir untuk ke rumahnya Dinda, aku mau memerintahkan sopir memberitahukan informasi ini, sebab pihak yang berwajib sudah memberi pesan tersebut," jawab Mas Pram.Aku bernapas lega, karena dua hal, satu bukan berita buruk yang berasal dari keluarganya, dan kedua karena Mas Pram tidak ke rumah sakit untuk menjadi penolong Dinda."Kalau b
Aku beritahukan pada Safitri bahwa Mas Dimas yang kini menjadi suaminya itu hanya ingin menguras hartanya saja. Aku berikan bukti yang pernah aku rekam tempo dulu saat Pak Adam mengalami sakit hingga koma."Ternyata benar apa kata papaku, Mas Dimas punya misi tersendiri," ucap Safitri. "Tapi aku sudah terlanjur menikah dengannya, bahkan aku Tengah mengandung anak Mas Dimas," tambah Safitri.Aku terkejut mendengarnya. Ternyata Safitri saat ini tengah berbadan dua. Itu artinya Mas Dimas tidak mandul, dan apakah itu berarti aku yang mandi? Sungguh pernyataan Safitri membuatku minder terhadap calon suamiku. "Inggit, saya sangat berterima kasih pada kamu, maafkan saya yang pernah menghina kamu. Sekarang lebih baik kamu kembali ke tempat Pram, nanti Mas Dimas dan Mama Dewi curiga." Sekarang Safitri berpihak padaku. Justru dia meminta maaf atas perbuatannya yang pernah ikut mencaci-makiku saat itu."Sama-sama. Aku hanya prihatin sebagai seorang wanita, aku hanya memposisikan diri kalau bera
Aku terkesiap mendengarnya. Begitu juga dengan Mas Pram, namun tidak dengan Mas Dimas, dia langsung membantah ucapan Safitri."Hei, kamu nggak lagi mimpi kan? Tadi sudah meminta bukti hingga aku harus membersihkan aula sebesar ini. Jangan buatku naik pitam, kesabaran laki-laki itu ada batasnya," cetus Mas Dimas.Mas Pram menarik pergelangan tanganku. Dia tidak menyukai aku jadi sorotan para tamu yang hadir di acara resepsi pernikahan Mas Dimas dan Safitri."Kita pulang, malu disorot seperti ini," ajak Mas Pram."Iya, Mas." Tanpa membantah aku ikuti perintah calon suamiku itu. Namun, ketika kaki ini melangkah, mantan mertuaku berteriak keras."Ini pasti hasutan Inggit, dia selalu aja iri dengan kebahagiaan Dimas, Inggit masih menginginkan Dimas jatuh ke pelukannya, makanya membuat hubungan kalian jadi retak!" Aku menoleh sambil menelan ludah. Ada lagi ulahnya, aku yang menjadi sasaran empuk di hadapan umum lagi."Mama nggak usah bawa-bawa Inggit, Mas Dimas yang harus minta maaf, terse