[Nggak usah merasa tersakiti, Mas. Itu karma buat kamu, telan aja.]Aku balas pesan darinya dengan berani, sebab sesekali ia harus diberi pelajaran, aku memang sering ditindas, tapi untuk sekarang, aku tidak mau lagi diinjak-injak olehnya. Kata-kata kasar yang sering dilontarkan untukku dan keluarga akan berbalik padanya. Aku yakin itu.[Sialan, wanita miskin tetaplah miskin, jangan berharap jadi orang kaya mendadak, itu mustahil.]Kata-katanya selalu menyakitkan hati, meskipun hanya dengan bentuk pesan, tapi tetap saja menorehkan luka yang terdalam. Aku menghela napas sebagai bentuk menahan diri dari emosi. Sebab, Jingga menatapku keheranan."Tante, aku ngomong dicuekin," protes Jingga. Aku tidak mengerti apa yang ia bicarakan saat aku berbalas pesan dengan Mas Dimas."Maaf, Sayang. Tadi kamu ngomong apa?" tanyaku penasaran."Tante, aku mau tidur, biasanya dielus-elus keningku," pinta Jingga.Aku pun melakukan permintaan anak dari Pak Pram itu. Sejenak aku melupakan apa yang Mas Dim
"Aku mandi duluan," ucap Pak Pram. Kemudian dia melangkah ke arah kamar mandi. Aku terpaku sambil mengulurkan tangan.Belum ada obrolan apa-apa ketika tadi Pak Pram memotong pembicaraanku dengan beranjak ke kamar mandi."Saya ke depan dulu, mau telepon rekan," ucap Pak Satria sambil pamit pada istrinya.Kemudian, aku yang masih ketakutan melihat sorotan mata ibu besar pun menunduk."Panggil saya, Mama ya, ingat, Mama, jangan ada embel-embel apapun," celetuk wanita yang berparas cantik, aku menoleh ke arahnya secara spontan, tubuhnya yang jenjang membuatku agak sedikit mendongak, iya, ibunya Pak Pram sangat tinggi sekali.Namun, ada yang masih aku cerna dari ucapannya barusan. Mama dia bilang? Aku disuruh panggil dengan sebutan mama? Apa ini tidak salah dengar? Aku dianggap anak?"Mama? Itu artinya aku diangkat sebagai anak?" tanyaku penasaran."Nggak usah pura-pura tidak tahu, Pram sudah bicara dengan kamu, kan?" Aku bergeming, seketika pikiran ini langsung mengingat obrolan tadi mal
Kemudian aku mengangkat sambungan telepon. Ternyata dari pihak pengadilan agama yang meminta kedatanganku untuk mediasi. Itu artinya Mas Dimas pun sudah mendapatkan telepon dari pihak pengadilan.Setelah bicara sebentar, aku kembali kumpul bersama Pak Pram dan yang lainnya."Sudah ada panggilan mediasi? Kalau nggak datang bisa langsung proses sidang," ucap Pak Satria.Aku hanya mengangguk sambil tersenyum. Namun tiba-tiba Jingga menarik pergelangan tanganku."Tante, di sini aja ya," pinta Jingga.Aku menoleh ke arah Pak Pram. Kemudian, dia yang berusaha menjelaskan pada Jingga."Hari ini Tante Inggit kerja dulu ya, sore ini ke sini lagi. Kan ada Eyang Uti," jawab Pak Pram."Ah Papa nggak seru," protes Jingga.Aku tersenyum sambil melepaskan tangan yang digenggam olehnya."Tante kerja dulu, Jingga sama Eyang ya, Tante yakin Eyang pingin main berdua dengan Jingga, kan sudah jauh-jauh datang dari Kalimantan," rayuku pada Jingga."Hm, iya, Eyang temani kamu dulu, biarin Tante sama Papa ja
Aku heran dengan Mas Dimas, kenapa dia masih saja mengurusi kehidupanku? Apa sebenarnya ada rasa cemburu di hatinya? Munafik memang, biasanya pria yang doyan jajan lebih mengutamakan nafsu dan kepuasan diri. Dia tidak bisa mengenal apa artinya cinta."Mas, sudah dapat panggilan mediasi? Artinya kamu paham, kan, kalau pernikahan kita sudah di ambang perceraian? Untuk apa kamu urus lagi urusanku?" Kali ini aku bicara dengan nada tinggi, daguku juga mendongak ketika mengatakan itu."Berani sekarang ya? Karena sudah dekat dengan orang kaya. Tapi lihatlah nanti, kamu akan tahu bagaimana rasanya menikah dengan orang kaya!" sahut Mas Dimas."Hah, aku nggak salah dengar? Bukankah kamu juga menginginkan menikah dengan orang kaya?" Aku balik bertanya."Beda. Jangan samakan aku dengan kamu. Level kita beda, kamu bakal diperlakukan jadi pembantu oleh Pak Pram!" kecam Mas Dimas."Hentikan, Dimas! Mentang-mentang sudah saya pecat, seenaknya aja kamu berkoar. Ini masih lingkungan rumah saya. Sekaran
"Ikut saya aja!" Pak Pram langsung menarik pergelangan tanganku.Aku pun mengekor di belakangnya. Kami masuk di dalam satu mobil. Pak Pram ada di depan bersama sopir, aku duduk di belakang.Sepanjang jalan, aku lihat matanya mencuri pandang dari kaca spion. Sesekali ia melemparkan pandangan ke arah ponselnya."Pak, kondisi Jingga sampai saat ini gimana? Sejujurnya saya sangat mencemaskannya," ucapku sambil mengusap telapak tangan yang beradu menjadi satu."Belum ada kabar, aku lagi mantengin handphone," jawab Pak Pram.Tiba-tiba ponselku yang berdering. Ada panggilan masuk dari ibu. Aku pun segera mengangkat teleponnya."Halo, Bu. Ada apa?" tanyaku padanya."Ibu bikin sup ayam nih, kamu ambil di jam makan siang ya, titip buat Jingga," tutur ibu."Bu, Jingga kondisinya lagi ngedrop, kayaknya untuk asupan makanan belum tentu bisa diterima tubuhnya," jawabku."Ya Allah, Ibu doakan dari sini ya, kasihan Jingga masih kecil dah sering masuk ke rumah sakit," imbuh ibu."Iya, aku juga ikut se
Aku tidak tahu ke depannya, apakah Jingga akan baik-baik saja, atau kondisinya akan memburuk? Namun hal yang aku takutkan adalah, menjadi penyebab dari memburuknya kondisi Jingga.Setidaknya jika aku mengindahkan permintaan Pak Pram dan keluarga. Tentu akan membuat kondisi Jingga menjadi lebih baik. "Baik, kalau gitu saya akan terima apa yang kalian semua pinta," ucapku membuat seisi ruangan mengucapkan rasa syukur. Aku yang mendengarnya pun turut terkejut karena mereka ternyata sangat bahagia atas keputusanku ini. Aku jadi penasaran, sebenarnya apa yang terjadi dengan Jingga, hingga mereka semua harus merelakan diri untuk membujukku, padahal aku ini bukan siapa-siapa, hanya saja mampu menarik perhatian Jingga.Nanti di saat yang tepat aku akan bertanya pada Pak Pram langsung."Kalau begitu sekarang Jingga makan lalu minum obat, nurut sama Tante, oke!" Aku mendekati Jingga sambil tersenyum."Mama, bukan Tante," jawab Jingga."Iya, apa saja yang menurut Jingga pantas," timpalku sambi
"Maksud kamu apa? Nyumpahin aku bangkrut?" Safitri ikut berkomentar."Nggak begitu, lihat saja dengan apa yang terjadi ke depannya, semua pasti ada balasannya," timpalku kemudian pergi.Aku melanjutkan kuliah seperti yang diungkapkan Pak Satria tempo hari. Bukan demi orang lain, tapi diri sendiri yang tidak mau dinilai bodoh. Pendidikan memang penting untuk menyeimbangkan pasangan. Aku masih ingin belajar, meskipun sudah dijamin menjadi istri Pak Pram. Namun, aku tidak ingin mempermalukan dirinya ketika teman atau rekannya menguji kepintaranku.***Tiap pagi aku bekerja di kantor Pak Pram, itu sudah menjadi hal biasa aku lakukan sekarang, justru saat ini aku sangat menikmati hal ini. Sebab, setelah aku menguasai bidang marketing ini, justru karyawan lebih menghormati. Itu tandanya bahwa manusia akan dihormati jika memiliki adab dan ilmu.Aku sadar dengan kebodohanku dulu, makanya aku anggap itu suatu pelajaran berharga yang wajib dipetik dan dijadikan pelajaran.Hari ini tepatnya sida
"Kamu bisa jaga mulutmu, nggak? Bisa nggak ungkit-ungkit masa lalu saya nggak? Atau perlu diumumkan juga di hadapan umum kalau kamu menarik perhatian Safitri itu dengan cara menidurinya di hotel?" Akhirnya aku membuat seluruh tamu undangan menjadi ricuh. Suara riuh yang mendengar penuturanku barusan membuat gaduh acara ini. Mereka jadi saling ghibah satu sama lain, aku memang salah melakukan hal ini, tapi tidak ada cara lain untuk membungkam mulutnya."Ternyata oh ternyata, Dimas dan Safitri sudah berhubungan di luar nikah, pantas saja istrinya minta gugat cerai," celetuk salah satu orang."Heh! Wanita brengsek, lelucon macam apa ini? Kenapa merusak kebahagiaan orang lain?" Safitri protes dengan apa yang aku lakukan barusan, padahal Mas Dimas duluan yang telah menyulut emosiku.Kebanyakan manusia seperti itu, dia menginginkan orang lain malu, tapi tidak memikirkan perasaannya. Giliran balasan itu langsung telak di depannya, dia pun tidak menyadari itu bahwa dialah yang memulai duluan.