Aku tidak tahu ke depannya, apakah Jingga akan baik-baik saja, atau kondisinya akan memburuk? Namun hal yang aku takutkan adalah, menjadi penyebab dari memburuknya kondisi Jingga.Setidaknya jika aku mengindahkan permintaan Pak Pram dan keluarga. Tentu akan membuat kondisi Jingga menjadi lebih baik. "Baik, kalau gitu saya akan terima apa yang kalian semua pinta," ucapku membuat seisi ruangan mengucapkan rasa syukur. Aku yang mendengarnya pun turut terkejut karena mereka ternyata sangat bahagia atas keputusanku ini. Aku jadi penasaran, sebenarnya apa yang terjadi dengan Jingga, hingga mereka semua harus merelakan diri untuk membujukku, padahal aku ini bukan siapa-siapa, hanya saja mampu menarik perhatian Jingga.Nanti di saat yang tepat aku akan bertanya pada Pak Pram langsung."Kalau begitu sekarang Jingga makan lalu minum obat, nurut sama Tante, oke!" Aku mendekati Jingga sambil tersenyum."Mama, bukan Tante," jawab Jingga."Iya, apa saja yang menurut Jingga pantas," timpalku sambi
"Maksud kamu apa? Nyumpahin aku bangkrut?" Safitri ikut berkomentar."Nggak begitu, lihat saja dengan apa yang terjadi ke depannya, semua pasti ada balasannya," timpalku kemudian pergi.Aku melanjutkan kuliah seperti yang diungkapkan Pak Satria tempo hari. Bukan demi orang lain, tapi diri sendiri yang tidak mau dinilai bodoh. Pendidikan memang penting untuk menyeimbangkan pasangan. Aku masih ingin belajar, meskipun sudah dijamin menjadi istri Pak Pram. Namun, aku tidak ingin mempermalukan dirinya ketika teman atau rekannya menguji kepintaranku.***Tiap pagi aku bekerja di kantor Pak Pram, itu sudah menjadi hal biasa aku lakukan sekarang, justru saat ini aku sangat menikmati hal ini. Sebab, setelah aku menguasai bidang marketing ini, justru karyawan lebih menghormati. Itu tandanya bahwa manusia akan dihormati jika memiliki adab dan ilmu.Aku sadar dengan kebodohanku dulu, makanya aku anggap itu suatu pelajaran berharga yang wajib dipetik dan dijadikan pelajaran.Hari ini tepatnya sida
"Kamu bisa jaga mulutmu, nggak? Bisa nggak ungkit-ungkit masa lalu saya nggak? Atau perlu diumumkan juga di hadapan umum kalau kamu menarik perhatian Safitri itu dengan cara menidurinya di hotel?" Akhirnya aku membuat seluruh tamu undangan menjadi ricuh. Suara riuh yang mendengar penuturanku barusan membuat gaduh acara ini. Mereka jadi saling ghibah satu sama lain, aku memang salah melakukan hal ini, tapi tidak ada cara lain untuk membungkam mulutnya."Ternyata oh ternyata, Dimas dan Safitri sudah berhubungan di luar nikah, pantas saja istrinya minta gugat cerai," celetuk salah satu orang."Heh! Wanita brengsek, lelucon macam apa ini? Kenapa merusak kebahagiaan orang lain?" Safitri protes dengan apa yang aku lakukan barusan, padahal Mas Dimas duluan yang telah menyulut emosiku.Kebanyakan manusia seperti itu, dia menginginkan orang lain malu, tapi tidak memikirkan perasaannya. Giliran balasan itu langsung telak di depannya, dia pun tidak menyadari itu bahwa dialah yang memulai duluan.
"Sabar dulu, Safitri, ada apa ini?" tanyaku penasaran.Dikarenakan Pak Pram kenal dengan wanita itu. Jadi aku putuskan untuk mengaktifkan speakernya. Ini supaya dia tahu bahwa rekannya bicara kasar padaku."Gara-gara kamu, Inggit, papaku koma!" Aku terkejut mendengarnya."Kenapa jadi aku yang harus disalahkan?" tanyaku."Seandainya tadi kamu tidak bicara macam-macam tentang kami, pasti papaku nggak akan seperti ini. Sialan kamu, Inggit!" Dia berteriak lagi dan mencaciku berkali-kali.Sehina itu kah aku? Sampai orang lain saja menghujat seperti itu. Aku tidak kenal dengan Safitri, tapi dia tetap mengatakan hal yang tidak baik terhadapku.Pak Pram mematikan sambungan teleponnya. Lalu menyuruhku memasukkan ponsel ke dalam tas."Udah, nggak usah didengarkan celotehan Safitri," ucap Pak Pram. "Pak Adam koma katanya? Berati aku harus jenguk ke rumah sakit," tambahnya."Ya, Pak. Aku boleh ikut?" tanyaku padanya."Jangan, nanti malah jadi runyam, aku menghormati Pak Adam, papanya Safitri, jadi
Setelah bicara dengan Mas Dimas melalui sambungan telepon. Aku dengarkan lagi apa yang tadi dia ucapkan. Sambil tersenyum aku mengantongi ponsel kembali. Lalu melanjutkan bermain dengan Jingga lagi.Aku dan Jingga sudah sangat dekat, padahal kami baru kenal dan hitungan perkenalan kami terbilang singkat. Namun, kami merasa sudah seperti kenal bertahun-tahun lamanya."Jingga pingin cepat-cepat satu rumah dengan Tante, aku ingin sama-sama dengan Tante terus, pokoknya Tante Inggit itu mama baru aku," cetus Jingga."Iya, tapi emang Jingga sayang sama Tante? Kenapa pilih Tante? Bukankah banyak wanita lain yang lebih sepadan, lebih cantik dan lebih pantas buat papa," ucapku. Sebenarnya ini bukan pertanyaan yang baik untuk Jingga, tapi aku sangat penasaran dengan alasannya yang sangat menginginkan aku untuk menjadi Mama barunya."Mama itu mirip sama Tante Inggit, meskipun banyak perbedaan, tapi sikap dan kelembutan Tante itu mirip sama mama, Papa yang bilang sih, bukan aku." Mata Jingga berb
"Titip Jingga ya, saya mau beli kado buat dia." Aku langsung menurunkan bahu, sebab gaya bicaranya seperti orang berada dalam kondisi terhimpit. Namun ternyata tidak terjadi sesuatu.Aku keluar sebentar supaya Jingga tidak dengar lagi obrolan kami. Aku menutup pintu kamarnya rapat-rapat, sebab pasti Pak Pram juga ingin beri kejutan untuk anaknya besok."Emang Pak Pram mau ngadoin apa? Terus tadi kenapa suaranya tersengal-sengal, bikin cemas aja," celetukku.Pak Pram terdengar menertawakanku. "Kamu mencemaskan saya ya?" tanyanya."Pak, kalau ditanya jangan balik tanya, tadi suara Pak Pram itu kan kayak orang panik, itu kenapa bisa gitu?" cecarku."Saya sengaja melakukan itu, pengen tahu aja respon kamu seperti apa," jawab Pak Pram."Hm, gitu ya, Pak. Tapi bercandanya nggak lucu, bikin orang lain jantungan tahu nggak?" Aku sengaja sedikit berani padanya."Kan kamu bukan orang lain, kamu itu calon istri saya. Jangan bilang kemarin lagi ya," pesan Pak Pram. "Orang tua saya nggak bisa ke J
Akhirnya aku mematikan sambungan teleponnya. Kemudian, aku kantongi lagi handphone milikku.Berselang kemudian, Pak Pram datang. Dia bicara denganku mengenai ulang tahun anaknya."Sebenarnya tadi aku pesan tempat untuk kita merayakan ulang tahun Jingga, tapi nggak tahu kamu suka atau tidak," ucap Pak Pram."Aku ikut aja Pak, yang terbaik untuk Jingga," jawabku agak sedikit murung, sebab mood ku hancur karena Mas Dimas."Kamu aneh hari ini, sepertinya ada yang kamu simpan, mau cerita nggak?" Pak Pram menebaknya, dan aku langsung menoleh ke arah laki-laki mapan yang sebenarnya tidak pantas denganku yang miskin."Nggak apa-apa Pak, hanya masalah harta gono gini aja, biasalah Mas Dimas serakah," jawabku."Sudah kuduga seperti itu ujungnya, karena orang seperti Dimas memang tujuannya hanya harta belaka," timpal Pak Pram."Ya udah saya Pak. Kasihan Ibu nungguin, mumpung malam ini nggak ada kelas, jadi bisa ketemu ibu sebelum dia tidur," tuturku pamit."Kalau kamu capek untuk kuliah berhenti
"Baik, terima kasih informasinya, Pak," jawab Mas Pram. Ya, aku harus mulai membiasakan diri memanggil dengan sebutan Mas.Aku langsung mengejar Mas Pram untuk bercerita siapa yang menghubunginya barusan. Ternyata pihak kepolisian, katanya sekretaris Mas Pram kecelakaan. Polisi menghubunginya karena di ponselnya ada kontak Mas Pram, keluarganya tidak ada yang bisa dihubungi."Kamu mau ke rumah sakit Mas?" tanyaku. "Maksudku sekretaris itu kan wanita, sepertinya tidak bagus kalau kamu yang datang ke sana sendirian, aku ikut ya," tambahku. Bukan aku cemburu tapi lebih takut calon suamiku terkena fitnah."Aku nggak ke rumah sakit kok, justru mau menugaskan sopir untuk ke rumahnya Dinda, aku mau memerintahkan sopir memberitahukan informasi ini, sebab pihak yang berwajib sudah memberi pesan tersebut," jawab Mas Pram.Aku bernapas lega, karena dua hal, satu bukan berita buruk yang berasal dari keluarganya, dan kedua karena Mas Pram tidak ke rumah sakit untuk menjadi penolong Dinda."Kalau b