Aku melihat ke arah jam tangan, masih pukul tiga sore, tapi Mas Dimas nyuruh aku datang ke rumahnya. Apa dia sudah pulang dari kantor?"Kamu nggak kerja, Mas?" tanyaku padanya."Aku cuti barusan, males, udah nggak semangat kerja, turun jabatan segala. Makanya kamu temui aku sekarang di rumah ya, kan kamu belum mulai aktif kerja," perintah Mas Dimas seenaknya.Aku menoleh ke arah Pak Pram dan Pak Satria. Ingin rasanya aku mengadu pada mereka, tapi Mas Dimas adalah suamiku, seharusnya aku tidak melulu bicara tentang rumah tanggaku pada orang lain. Ditambah perceraian belum resmi, seharusnya aku masih menjaga martabat Mas Dimas sebagai kepala keluarga."Ya udah, aku mau, tapi nggak di rumah, aku mau ketemu di satu tempat, Cafe Enak, gimana?" Aku menawarkan pilihan lain."Baiklah, aku setuju, satu jam lagi ya," seru Mas Dimas. Kemudian sambungan telepon pun terputus setelah kami menemukan kesepakatan.Usai mengangkat telepon, aku kembali ke tengah-tengah Pak Pram dan anaknya. Mereka suda
Kalau aku tahu tujuan utama Mas Dimas mengajakku bertemu untuk mengumpat dan segala macam, tentu takkan aku terima ajakannya. Aku pikir dia ingin membicarakan masalah pekerjaan ataupun masalah rumah tangga kami."Dimas, ini siapa?" Tiba-tiba saja Mama jujur ikut bicara."Ini yang nanti bakal jadi calon menantu Mama. Lebih baik dari Inggit," sahut Mas Dimas. "Oh Mama pikir kamu ngajak Mama bertemu dengan Inggit itu, mau membujuknya supaya balik ke rumah, makanya agak aneh tadi," sambung Mama Dewi dengan mimik wajah menyunggingkan senyuman miring.Sekarang aku paham, mereka merencanakan ini untuk menjatuhkan harga diriku di depan umum. Seisi cafe hampir menyaksikan kami berdebat. Sorotan mata pengunjung menuju ke arah kami semua."Aku rasa Pram itu kena pelet orang ini, lihat saja tubuhnya, kulitnya yang kusam, rasanya tidak mungkin Pram mau dengannya," sindir Safitri lagi.Dari tadi mereka berkicau seperti burung, sementara aku hanya menyaksikan sindiran pedas dari manusia yang tidak
"Jangan salah paham dulu, Bu, maksud saya bukan seperti itu. Nggak ada maksud untuk mempermainkan pernikahan," sahut Pak Pram. "Kita bicarakan kelanjutannya nanti setelah bertemu dengan papa," sambungnya lagi.Kami terdiam dan tidak bisa melanjutkan pertanyaan lagi. Sebab, apa peran sudah mengakhiri pembicaraan mengenai pernikahan ini.Bukannya ingin menolak, aku dan Pak Pram beda kasta. Aku hanya perempuan miskin yang diangkat derajatnya oleh keluarga Pak Satria dan Pak Pram, itu juga atas balas budi terhadap bapakku.Memang semua tidak ada yang tidak mungkin, tapi realitanya mana ada orang kaya yang menginginkan orang sepertiku menjadi istrinya, seperti yang disebutkan oleh Safitri saat bertemu ku tadi. Bahkan hanya dijadikan kepala marketing saja itu sudah mustahil, bagaimana jika dijadikan istri.Setelah melakukan perjalanan antara hotel dan rumah yang akan diberikan oleh Pak Pram, akhirnya kami tiba juga dalam waktu hanya satu jam. Jarak dari rumah Pak Pram ke rumah yang akan kam
[Nggak usah merasa tersakiti, Mas. Itu karma buat kamu, telan aja.]Aku balas pesan darinya dengan berani, sebab sesekali ia harus diberi pelajaran, aku memang sering ditindas, tapi untuk sekarang, aku tidak mau lagi diinjak-injak olehnya. Kata-kata kasar yang sering dilontarkan untukku dan keluarga akan berbalik padanya. Aku yakin itu.[Sialan, wanita miskin tetaplah miskin, jangan berharap jadi orang kaya mendadak, itu mustahil.]Kata-katanya selalu menyakitkan hati, meskipun hanya dengan bentuk pesan, tapi tetap saja menorehkan luka yang terdalam. Aku menghela napas sebagai bentuk menahan diri dari emosi. Sebab, Jingga menatapku keheranan."Tante, aku ngomong dicuekin," protes Jingga. Aku tidak mengerti apa yang ia bicarakan saat aku berbalas pesan dengan Mas Dimas."Maaf, Sayang. Tadi kamu ngomong apa?" tanyaku penasaran."Tante, aku mau tidur, biasanya dielus-elus keningku," pinta Jingga.Aku pun melakukan permintaan anak dari Pak Pram itu. Sejenak aku melupakan apa yang Mas Dim
"Aku mandi duluan," ucap Pak Pram. Kemudian dia melangkah ke arah kamar mandi. Aku terpaku sambil mengulurkan tangan.Belum ada obrolan apa-apa ketika tadi Pak Pram memotong pembicaraanku dengan beranjak ke kamar mandi."Saya ke depan dulu, mau telepon rekan," ucap Pak Satria sambil pamit pada istrinya.Kemudian, aku yang masih ketakutan melihat sorotan mata ibu besar pun menunduk."Panggil saya, Mama ya, ingat, Mama, jangan ada embel-embel apapun," celetuk wanita yang berparas cantik, aku menoleh ke arahnya secara spontan, tubuhnya yang jenjang membuatku agak sedikit mendongak, iya, ibunya Pak Pram sangat tinggi sekali.Namun, ada yang masih aku cerna dari ucapannya barusan. Mama dia bilang? Aku disuruh panggil dengan sebutan mama? Apa ini tidak salah dengar? Aku dianggap anak?"Mama? Itu artinya aku diangkat sebagai anak?" tanyaku penasaran."Nggak usah pura-pura tidak tahu, Pram sudah bicara dengan kamu, kan?" Aku bergeming, seketika pikiran ini langsung mengingat obrolan tadi mal
Kemudian aku mengangkat sambungan telepon. Ternyata dari pihak pengadilan agama yang meminta kedatanganku untuk mediasi. Itu artinya Mas Dimas pun sudah mendapatkan telepon dari pihak pengadilan.Setelah bicara sebentar, aku kembali kumpul bersama Pak Pram dan yang lainnya."Sudah ada panggilan mediasi? Kalau nggak datang bisa langsung proses sidang," ucap Pak Satria.Aku hanya mengangguk sambil tersenyum. Namun tiba-tiba Jingga menarik pergelangan tanganku."Tante, di sini aja ya," pinta Jingga.Aku menoleh ke arah Pak Pram. Kemudian, dia yang berusaha menjelaskan pada Jingga."Hari ini Tante Inggit kerja dulu ya, sore ini ke sini lagi. Kan ada Eyang Uti," jawab Pak Pram."Ah Papa nggak seru," protes Jingga.Aku tersenyum sambil melepaskan tangan yang digenggam olehnya."Tante kerja dulu, Jingga sama Eyang ya, Tante yakin Eyang pingin main berdua dengan Jingga, kan sudah jauh-jauh datang dari Kalimantan," rayuku pada Jingga."Hm, iya, Eyang temani kamu dulu, biarin Tante sama Papa ja
Aku heran dengan Mas Dimas, kenapa dia masih saja mengurusi kehidupanku? Apa sebenarnya ada rasa cemburu di hatinya? Munafik memang, biasanya pria yang doyan jajan lebih mengutamakan nafsu dan kepuasan diri. Dia tidak bisa mengenal apa artinya cinta."Mas, sudah dapat panggilan mediasi? Artinya kamu paham, kan, kalau pernikahan kita sudah di ambang perceraian? Untuk apa kamu urus lagi urusanku?" Kali ini aku bicara dengan nada tinggi, daguku juga mendongak ketika mengatakan itu."Berani sekarang ya? Karena sudah dekat dengan orang kaya. Tapi lihatlah nanti, kamu akan tahu bagaimana rasanya menikah dengan orang kaya!" sahut Mas Dimas."Hah, aku nggak salah dengar? Bukankah kamu juga menginginkan menikah dengan orang kaya?" Aku balik bertanya."Beda. Jangan samakan aku dengan kamu. Level kita beda, kamu bakal diperlakukan jadi pembantu oleh Pak Pram!" kecam Mas Dimas."Hentikan, Dimas! Mentang-mentang sudah saya pecat, seenaknya aja kamu berkoar. Ini masih lingkungan rumah saya. Sekaran
"Ikut saya aja!" Pak Pram langsung menarik pergelangan tanganku.Aku pun mengekor di belakangnya. Kami masuk di dalam satu mobil. Pak Pram ada di depan bersama sopir, aku duduk di belakang.Sepanjang jalan, aku lihat matanya mencuri pandang dari kaca spion. Sesekali ia melemparkan pandangan ke arah ponselnya."Pak, kondisi Jingga sampai saat ini gimana? Sejujurnya saya sangat mencemaskannya," ucapku sambil mengusap telapak tangan yang beradu menjadi satu."Belum ada kabar, aku lagi mantengin handphone," jawab Pak Pram.Tiba-tiba ponselku yang berdering. Ada panggilan masuk dari ibu. Aku pun segera mengangkat teleponnya."Halo, Bu. Ada apa?" tanyaku padanya."Ibu bikin sup ayam nih, kamu ambil di jam makan siang ya, titip buat Jingga," tutur ibu."Bu, Jingga kondisinya lagi ngedrop, kayaknya untuk asupan makanan belum tentu bisa diterima tubuhnya," jawabku."Ya Allah, Ibu doakan dari sini ya, kasihan Jingga masih kecil dah sering masuk ke rumah sakit," imbuh ibu."Iya, aku juga ikut se
"Iya, nanti dibicarakan dulu pada Pram dan Inggit ya," ucap Dion supaya anaknya berhenti merengek."Tirta, pernikahan itu bukan buat mainan, kamu harus mantapkan diri dulu, jangan karena cinta yang menggebu, kamu langsung minta lamaran," tutur Safitri menasihati."Iya, aku udah yakin. Ini pertama kali aku jatuh cinta, tolong, Mah," lirih Tirta lagi.Mereka diam sejenak."Mama sarankan kamu salat istikharah, oke," ucap Safitri sambil beranjak pergi, dia tidak meladeni anaknya lagi.Safitri masuk ke kamar. Dia mengetik pesan pada sahabatnya. Safitri mengajak Inggit berjumpa di satu cafe.Inggit kebetulan ada waktu luang besok, dia menyetujui dan menentukan waktu yang dikirimkan ke Safitri. Ya, mereka berencana akan bertemu di cafe besok. Kenapa tidak bicara melalui chat atau telepon? Urusan pernikahan adalah hal yang sakral, lagi pula Safitri ingin memastikan dulu apakah Inggit menerima jika anaknya menyukai Jingga.Mereka sudah saling kenal dan sangat dekat, jadi tidak ingin persahabat
"Tari, saya minta maaf atas kesalahan adik saya, Lian begitu berarti untuknya," ucap Haris. "Dan satu lagi yang ingin saya katakan padamu, I love you so much," terang Haris membuat Tari seketika terkejut. Kan bukan hanya Tari, tapi Dimas yang mendengarnya pun mencari sumber suara tersebut.'Haris dengan berani mengatakan hal itu di hadapan umum?' batin Dimas.Kemudian Haris berlalu pergi darinya. Dia diboyong ke sel tahanan oleh pihak yang berwajib.Semua telah selesai, keadilan telah ditegakkan. Yang jelas-jelas bersalah akan menjalani hukumannya. Lalu orang yang hanya menjadi boneka terbebaskan.Dion diminta menemui wartawan untuk sekadar bicara di depan khalayak ramai. "Saya hanya ingin mengatakan bahwa keputusan hakim tadi mutlak dan tidak bisa diganggu gugat, sesuai pertimbangan dan saksi, jadi saya ucapkan terima kasih yang sebesar-besarnya untuk para saksi dan keluarga yang telah mendampingi saya. Semoga para vendor dan rekan kerja lainnya, tetap akan menjalani kerjasama dengan
Safitri tiba di lapas tempat Chika ditahan. Dia langsung meminta izin untuk menemui Chika."Chika sedang proses pemeriksaan dokter ahli kejiwaan, kemarin dia sempat bunuh diri, lengannya sudah disayat-sayat," ucap salah seorang petugas.Safitri terdiam, matanya berkaca-kaca. Dia bahkan tidak mengetahui berita ini.Kemudian, Safitri mencari kebenarannya. Dia bahkan rela mencari tahu ke rumah sakit tempat saat ini Chika ditangani oleh dokter spesialis. Safitri yang ditemani oleh Tirta dengan mudah menemui Chika yang memang tengah diberikan penangan.Tirta menemui beberapa dokter, dan ternyata selain mengalami gangguan jiwa, ada hal yang dialami oleh Chika."Chika memiliki penyakit serius, ternyata dia menderita sakit kanker," terang Tirta pada mamanya."Ya Allah, ternyata dia sakit, pantas Haris pun terlihat frustasi tadi," timpal Safitri."Semoga keputusan hakim besok benar-benar bisa membebaskan Papa dari hukuman," jawab Tirta.Kemudian mereka pun pulang untuk memberikan informasi pa
Jadi semuanya diperintahkan untuk diam oleh Tari, mereka tidak boleh bicara supaya Dimas tidak menghindar lagi. Jingga dan yang lainnya disuruh keluar diam-diam boleh Pram. Mereka sekarang berada di luar karena Tari ingin bicara empat mata dengan Dimas."Dimas," ucap Tari akhirnya mengeluarkan suara.Saat itu juga Dimas melangkahkan kakinya. Dia terburu-buru ingin meninggalkan Tari yang tiba-tiba datang di dekatnya.Namun tangan Tari mencekal pergelangan tangan Dimas yang hendak melangkah."Mau ke mana? Aku ingin bicara empat mata, tolong jangan pergi," tutur Tari agak merendahkan nada bicaranya.Dimas hanya bisa terdiam, kemudian dia mundur kembali, Tari menuntunnya untuk duduk."Ada apa? Aku tidak mau membicarakan masalah mata, biarkan itu menjadi ladang pahala untukku," pinta Dimas."Iya, aku paham, maaf kalau tadi sudah menyecar kamu." Tari merendahkan bicaranya lagi."Terus mau ngomong apa? Aku rasa tidak ada yang bisa diobrolkan, hubungan kerja pun tidak ada," timpal Dimas."Ak
Tiba-tiba Pram dan yang lainnya berkumpul. Mereka sama-sama datang dengan pura-pura tidak mengetahui pertemuan yang sebenarnya disengaja."Loh Dimas ke sini?" tanya Pram dan yang lainnya."Kalian juga di sini?" tanya Dimas balik."Iya, aku dan Inggit ajak Tari ke sini," jawab Pram.Tari masih belum mendapatkan jawaban dari apa yang ditanyakan olehnya."Dimas, kamu belum menjawab," tegas Tari. Kemudian dia melirik ke arah semua yang tiba-tiba muncul. "Apa kalian sudah tahu kalau Dimas buta?" Tari bertanya pada Pram, Inggit dan yang lainnya.Yang ditanya oleh Tari tidak ada yang jawab. Mereka menunggu aba-aba dari Pram yang memberikan usul untuk membongkar ini semua.Tiba-tiba Tari teringat saat dia bertemu dengan Dimas di rumah Pram. Dia memicingkan matanya ke arah Ronald."Apa kamu sudah tahu kondisi papamu seperti ini?" tanya Tari.Ronald mengangguk. Kemudian dia menunduk."Jadi jawabannya kalian itu membohongiku?" tanya Tari.Ini yang ditakutkan oleh Dimas. Dia takut dituduh memanfa
Tari sempat berhenti, dia membuka kaca mobilnya, pandangannya tertuju pada Dimas."Dimas, kamu udah akur dengan Ronald?" tanya Tari tidak berprasangka apa-apa."Iya, alhamdulilah, aku pamit dulu," jawab Dimas datar yang kemudian disusul oleh Ronald melambaikan tangannya. Kemudian mereka bergegas pergi.Pram dan Inggit benar-benar terkejut melihatnya. Safitri juga yang tadinya hendak berangkat ke kantor polisi ikut tercenung sebentar.Kemudian, Tari turun dari mobilnya. Dia masih belum engeh dengan penglihatan Dimas."Kok kalian nggak bilang kalau Dimas di sini?" tanya Tari."Nggak enak, kamu sangat membenci dia," jawab Tari ngasal.Tari mengerutkan keningnya."Sejak kapan aku membenci orang? Nggak ah, kamu ngada-ngada," jawab Tari.Jantung mereka itu berdetak tak beraturan. Saat pertanyaan mengenai Dimas dilontarkan oleh Tari."Katanya mau ke sini sore, tiba-tiba datang pagi, kamu sengaja ngerjain kami?" tanya Safitri."Nggak kok, tadi abis dari makam, langsung aja deh ke sini," timpa
Perlahan mata Tari dibuka, awalnya dia agak samar-samar melihat ruangan yang ditempati. Namun perlahan, matanya melihat jelas dokter yang ada di dekatnya."Masyaallah," ucap Tari merasa terharu dengan kondisinya saat ini."Kamu udah benar-benar melihat?" tanya Safitri.Tanpa basa-basi lagi Tari langsung menyergap tubuh Safitri."Ya Allah. Alhamdulillah aku bisa melihat lagi, ini suatu keajaiban, terima kasih Tuhan, terima kasih Dokter, Safitri, aku juga mengucapkan terima kasih pada kamu dari keluarga," ungkap Tari membuat suasana menjadi haru. Air matanya pun mulai menetes membasahi pipi."Selamat ya, Bu Tari." Ucapan dokter mengingatkan Tari untuk menanyakan siapa yang telah mendonorkan matanya."Dok, maaf, saya harus tahu siapa yang mendonorkan mata untuk saya," ucap Tari.Dokter diam seketika. Safitri juga seperti itu, dia menatap dokter yang tengah terkejut dengan pertanyaan dari Tari."Hm, Tari, tim dokter rumah sakit hanya menjalankan tugasnya, kalau kamu ingin tahu siapa orang
Pram datang, dia tercengang ketika melihat sang istri tengah berada di hadapan Dimas.Inggit pun langsung menghampiri Pram yang baru saja datang."Aku akan jelaskan," ucap Inggit.Dengan sabar Pram pun mendengar penjelasan sang istri dari awal hingga akhir. Pram yang tadinya marah, kini dia mulai terharu dibuatnya. Mereka ikut menghampiri Dimas. Sekarang Pram sudah ada di hadapannya."Selalu ada hikmah di setiap kejadian. Tapi aku sangat salut dengan pengorbanan kamu untuk Tari," tutur Pram.Semua orang memuji kebaikan Dimas yang luar biasa. "Aku sendiri belum tentu bisa seperti kamu, Dimas," tambah Pram."Demi semuanya, aku ingin menebus semua kesalahanku yang telah banyak merugikan orang lain," ucap Dimas."Padahal kamu nggak melakukan kejahatan yang merugikan Tari dalam kecelakaan itu," timpal Pram."Tapi anakku masih menginginkan Dion bisa bebas dari hukuman, minimal dikurangi," jawab Dion lagi-lagi berhasil membuat air mata Ronald meleleh.Semua sudah dipikirkan secara matang-m
Bersyukur operasi berjalan dengan lancar. Suster pun keluar dan bilang pada Inggit dan Safitri bahwa dokter mengusulkan tetap di ruangan observasi tapi dihalangi dengan tirai.Kenapa mereka khawatir Tari tahu? Karena biasanya pasca bius sudah hilang, rasa nyeri akan terasa, di situlah suara Dimas akan terdengar di telinga Tari, ini yang dikhawatirkan oleh Inggit dan Safitri.Safitri dan Inggit masih menunggu mereka yang ada di ruangan observasi selama satu jam."Sus, usahakan jangan dibarengi mengeluarkan keduanya," pesan Inggit."Baik, Ibu," jawab suster.Kemudian mereka bersabar menunggu Tari keluar dari ruangan observasi. Keduanya menunggu dengan sukarela. Setelah satu jam berlalu, yang lebih dulu sadar itu Tari. Suster buru-buru memindahkan dirinya ke ruangan rawat inap atas izin dokter.Safitri dan Tari mengekor dari belakang ke arah ruangan rawat inap tempat Tari menjalani perawatan."Akhirnya kamu akan bisa melihat dunia, kapan kata dokter buka perban?" tanya Safitri ketika su