Suasana dingin malam ini, seolah tak terasa saat kedua insan saling menukar kehangatan di tengah kegiatan malam.
Dania Regita, seorang wanita berusia dua puluh delapan tahun merasa bahagia karena menikah dengan seorang pria yang menjadi kekasihnya semenjak mereka masih berkuliah. Ya, Dania dan Hadi Prayoga memutuskan untuk menikah walaupun mereka masih duduk di bangku kuliah. Pernikahan yang penuh cinta itu kini telah berjalan tujuh tahun. Namun, diantara keduanya masih belum dikarunia anak. Dania yang berprofesi sebagai dokter spesialis anak, lebih sering menghabiskan waktunya di rumah sakit. Tapi, meski begitu wanita yang memiliki rambut sebahu dengan kulit putih bersih itu tetap berusaha menjadi istri yang baik bagi suaminya. Selain cantik, Dania juga memiliki hati yang baik. Ia tidak pernah berburuk sangka kepada siapapun, jika tidak ada bukti yang akurat. Dania juga merasa bersyukur, di tujuh tahun pernikahan mereka, ia dan Hadi masih sama-sama saling mencintai meski belum ada buah hati di antara mereka. Seperti malam ini, Dania sedang menjalankan kodratnya sebagai seorang istri. Ia melayani Hadi dengan sepenuh hati, meski tubuhnya merasa lelah karena seharian bekerja di rumah sakit. “Ck … kenapa kamu gitu-gitu aja?” celetuk Hadi di tengah-tengah kegiatan mereka. Pria itu melepaskan penyatuan dan bangkit dari atas tubuh sang istri meski belum mencapai klimaks. “Maksudnya gimana, Mas?” Dania menatap wajah Hadi yang terlihat kesal. “Berhubungan sama kamu tuh monoton banget, gak kayak sama ….” Hadi menghentikan ucapannya, kedua bibir pria itu seketika mengatup. Sementara Dania yang masih berada di atas ranjang, bangkit dengan perlahan. Wanita itu menutupi sebagian tubuhnya dengan selimut tebal. “Kayak sama siapa, Mas?” Dania menatap ke arah suaminya yang kini tengah berpakaian. “Lupakan saja!” balas Hadi singkat. Setelah itu, ia berjalan ke arah balkon kamar sambil membawa sebatang rokok beserta korek. “Apa maksudnya?” gumam Dania, wanita itu terdiam dengan pikiran yang mulai diserang banyak pertanyaan. Apa maksud dari ucapan Hadi barusan? Dania terus kepikiran hal itu, sementara Hadi dengan santainya menghisap sebatang rokok di balkon kamar. Raut wajah pria itu seolah tanpa dosa, sedangkan Dania terdiam dengan beribu pertanyaan. Ia menatap curiga ke arah suaminya, namun wanita yang selalu bersikap lemah lembut itu tak lagi melempar pertanyaan. Dania merasa bersalah, karena malam ini ia tidak bisa memuaskan suaminya. Mungkin Hadi berbicara seperti itu, karena ia tidak mencapai kenikmatan. Dania mengakui kalau malam ini ia kurang bergairah, mungkin karena tubuhnya yang terasa lelah sehingga membuatnya terlihat pasrah. *** Keesokan paginya, seperti biasa Dania selalu bangun saat adzan subuh berkumandang. Ia menyiapkan pakaian untuk sang suami walaupun sebenarnya ia sendiri sangat sibuk. Namun, ia tetap ingin menjadi istri terbaik untuk suaminya. Walaupun Hadi hanya akan berangkat ke tempat usaha mereka, Dania tetap menyiapkan pakaian yang rapi untuk suaminya. Setelah menikah, Dania dan Hadi membangun sebuah usaha, yaitu toko oleh-oleh khas Surabaya, sesuai tempat tinggal mereka saat ini. Dania yang subik di rumah sakit, mempercayai Hadi untuk memegang usaha mereka. Ia tidak pernah tahu soal toko tersebut, karena Dania juga tak ingin mencampuri pekerjaan suaminya. “Sarapan dulu yuk, Mas!” ajaknya dengan bibir tersenyum. Ia ingin memberikan senyuman semanis mungkin untuk suaminya. Karena semalam Hadi merasa tidak puas disaat mereka berhubungan, mungkin dengan senyum manis pada wajahnya, bisa mengurangi rasa kecewa yang suaminya dapatkan semalam. “Iya, hari ini kamu pulang jam berapa?” tanya pria itu seraya duduk di kursi yang menghadap langsung pada meja makan. Di sana sudah tersedia berbagai hidangan, bukan Dania yang masak, melainkan mbok Darmi. Wanita berusia lima puluh tahun yang sudah bekerja di rumah itu semenjak Dania dan Hardi memutuskan untuk tinggal bersama. Awalnya, mbok Darmi bekerja di rumah orang tua Dania, karena anak majikannya pindah rumah, wanita yang tak lagi muda itu diutus oleh kedua orang tua Dania untuk bekerja di sana. Oleh karena itu, Dania juga cukup dekat dengan mbok Darmi. “Aku pulang sekitar jam lima sore, Mas,” Dania menjawab pertanyaan suaminya. “Oh, ya sudah,” balas Hadi singkat. Entah kenapa, pagi ini pria itu berbicara singkat, apa mungkin karena efek semalam ia tak mendapatkan kepuasan dari sang istri. “Kalau kamu, pulang seperti biasa ‘kan, Mas?” Dania menatap ke arah wajah tampan suaminya. Hadi memang memiliki wajah tampan, kulitnya putih bersih, tubuhnya tinggi dan berisi. Sangat perfek di mata Dania. Hal tersebut pula yang membuat Dania selalu jatuh cinta kepada suaminya. “Kurang tahu. Soalnya kerjaan di toko juga lumayan banyak. Hari ini ada beberapa barang yang datang. Emmm … aku pake uang kamu dulu ya,” tutur Hadi. “Buat apa, Mas?” Dania mengerutkan keningnya. Mereka memang memiliki satu rekening yang berisi tabungan bersama. Namun, di dalam rekening itu lebih banyak uang milik Dania, karena wanita itu sering memasukkan uang gajinya ke sana. “Untuk bayar beberapa barang. Kemarin ada yang ngambil barang dari toko, tapi belum dibayar. Nanti kalau udah dibayar, aku ganti,” tutur pria itu dengan wajah meyakinkan. “Ya udah, pake aja, Mas. Itu juga ‘kan uang kita bersama.” Dania lagi-lagi tersenyum manis. “Oke, makasih ya.” “Gak usah makasih juga, Mas. Tapi emmm … gimana kalau nanti sore kita ….” Tak lama kemudian ponsel Hadi berdering menandakan ada panggilan masuk. Pria itu segera membuka ponselnya, namun sedikit menjauhkan benda tersebut dari Dania. “Sebentar, aku angkat telpon dulu!” Hadi bangkit dari duduknya, pria itu berjalan ke belakang sambil menempelkan benda canggih tersebut pada telinganya. Dania memperhatikan punggung suaminya yang semakin menjauh. “Sejak kapan Mas Hadi nerima telpon sampe menjauh begini?” gumam Dania yang hanya terdengar oleh mbok Darmi yang sedang menuangkan air minum ke dalam gelas di atas meja makan. “Coba Non ikuti kalau penasaran,” celetuk mbok Darmi yang mendengar ucapan majikannya tadi. “Ah, nggak, Mbok. Paling itu telepon dari rekan Mas Hadi atau dari pelanggan toko.” Dania membalas dengan wajah yang berusaha tetap terlihat tenang.Seperti hari-hari sebelumnya, Dania berangkat ke rumah sakit tempatnya bekerja setelah berpamitan kepada sang suami. Sementara Hadi akan pergi ke toko. Di rumah yang berukuran cukup luas itu, kini hanya ada mbok Darmi seorang. Karena Dania dan Hadi belum dikarunia seorang anak meski pernikahan mereka sudah berjalan selama tujuh tahun. Dania tetap santai meski kadang ada ucapan orang lain yang kurang enak di dengar mengenai keturunan. Namun, baginya selama Hadi baik-baik saja dan tidak menuntut hal itu, bukan masalah besar untuknya. “Pagi!” ucapnya menyapa dua rekan kerja yang sama-sama berprofesi sebagai seorang dokter. “Pagi, Dania. Eh, kamu udah tau belum?” celetuk seorang dokter wanita yang bernama Almira, bisa dibilang Almira ini adalah teman dekat Dania ketika di rumah sakit. “Tahu apa?” Dania balik bertanya sambil mengerutkan keningnya. “Itu loh, artis yang selingkuh. Padahal istrinya cantik, baik, wanita karir, eh suaminya selingkuh sama perempuan spea
Dania tak ingin banyak pikiran dan berburuk sangka. Ia percaya penuh kepada suaminya. Mungkin Hadi tak ingin Dania datang ke rumah itu, karena merasa kepercayaan Dania padanya berkurang. Wanita cantik berambut sebahu itu menghela nafas perlahan, ia mengikuti suaminya untuk masuk ke dalam kamar. Terlihat, Hadi baru keluar dari kamar mandi. Kulit putihnya mengeluarkan aroma mawar dari sabun yang ia kenakan saat mandi. Rambut hitamnya masih meneteskan beberapa bulur air yang membuat wajah tampannya terlihat begitu fresh. Setiap kali melihat Hadi, perasaan Dania seperti saat mereka masih berpacaran semasa kuliah. Karena tidak banyak yang berubah dari pria itu. Hanya tubuhnya saja yang sedikit berisi, karena semasa kuliah, tubuh Hadi tidak kekar seperti sekarang. “Setelah ini mau makan, Mas?” tanya Dania secara baik-baik, bahkan wanita itu mengulas senyum pada bibir manisnya. “Tidak usah, aku sudah makan di luar sebelum pulang,” jawab Hadi sambil berpakaian. En
Langkah kaki Dania semakin mendekat, tangannya ia ulurkan untuk mengambil ponsel tersebut. Satu jengkal lagi tangan kanannya menyentuh benda canggih itu, namun tiba-tiba saja sebuah tangan kekar mendahuluinya. Refleks Dania menoleh ke arah Hadi yang kini telah berdiri di sampingnya. “Mas ….” Dania membeku sejenak, ia menatap wajah Hadi yang terlihat panik. Pria itu segera mematikan ponsel tersebut dan memasukkannya ke dalam saku celana dengan cepat. “Itu hp siapa, Mas? Itu hp kamu ya?” Dania mengeluarkan pertanyaan dengan kedua mata yang masih menatap intens ke arah suaminya. “Iya, ini hp aku,” jawab Hadi, pria itu menarik nafas dengan perlahan wajah tegangnya berubah tenang. “Sejak kapan kamu punya hp lagi? Kok kamu gak ngasih tahu aku?” Layaknya seorang istri yang ingin mengetahui tentang suaminya. Dania kembali melemparkan pertanyaan. “Emmm … ini belum lama sih, baru beberapa hari. Karena hp aku yang lama sudah lemot, jadi aku beli hp yang baru. Ini khusus pe
Dania pulang dari rumah sakit dengan rasa sedikit kecewa. Karena ia datang menjenguk mertuanya sekaligus ingin bertemu dengan suaminya. Namun, ternyata Hadi tidak ada di sana. Yang membuat Dania kepikiran ialah, kemana perginya Hadi? Bahkan, sampai Resti juga tidak mengetahuinya. Dania tiba di rumah sekitar pukul sembilan malam, karena perjalanan dari Gresik ke Surabaya cukup lumayan. “Selamat datang Tuan Putri!” sambut mbok Darmi seraya membuka pintu lebar-lebar untuk majikannya. “Terima kasih, Mbok. Oh iya, Mas Hadi belum datang ya? Kok mobilnya gak ada?” tanya Dania seraya menoleh ke arah garasi mobil. Di sana hanya ada mobilnya yang baru saja ia parkiran. “Belum, Non. Mungkin Tuan lagi sibuk,” jawab mbok Darmi dengan wajah menunduk. Wanita paruh baya itu seolah tak ingin melihat wajah sendu Dania yang membuatnya ikut merasa pilu. “Sibuk? Sibuk apa ya?” Dania berpikir sejenak. Jika dibilang sibuk, lebih sibuk dirinya di rumah sakit, karena pekerjaan Hadi han
Dania tak bisa tidur, sudah beberapa kali ia mencoba untuk terlelap, namun entah kenapa hatinya malah terasa gundah yang membuat ia tak bisa lelap ke alam mimpi. Dania membuka kedua mata, ia merubah posisi dari terlentang menjadi menghadap ke arah Hadi. Wanita itu memperhatikan wajah suaminya yang sedang tidur lelap. Wajah Hadi terlihat tenang seolah tak ada masalah apapun. Namun, entah kenapa hati Dania merasa seperti ada sesuatu yang tidak ia ketahui dari pria itu. Terlebih lagi, ucapan Hadi tadi sore, kembali terngiang di telinganya. Dania masih merasa heran, kenapa Hadi bisa sampai melontarkan kata-kata kasar padanya, bahkan sampai membawa-bawa kedua orang tuanya. Meski pria itu sudah meminta maaf, namun Dania tetap teringat dan terngiang kalimat kasar dari suaminya. “Kamu belum tidur?” Suara itu cukup mengejutkan Dania. Padahal ia sedang memperhatikan pria itu, tapi Dania hampir tak menyadari kalau Hadi telah membuka kedua matanya. “Eh, Mas ….” “Kenapa belum tidur?” Ha
Sejak tadi pagi, Dania terus kepikiran soal aroma parfum wanita yang menempel pada kemeja suaminya. Namun, wanita itu harus memaksakan diri untuk tetap fokus ketika mengobati pasien. Terlebih lagi saat ini sedang musim DBD dan banyak kalangan anak-anak yang terkena penyakit tersebut. Bahkan, delapan puluh persen pengidap DBD di rumah sakit tempat Dania bekerja adalah dari kalangan anak-anak. Saat jam makan siang, Dania menghubungi seseorang yang ia butuhkan saat ini. Dania merasa ia tak bisa lagi menahan semuanya sendiri, Dania membutuhkan seseorang yang bisa mendengarkan ceritanya. “Aku ke sana sekarang ya, Tante,” ucapnya pada seseorang di seberang telepon. Dania tak memiliki banyak waktu, oleh karena itu ia harus buru-buru. Wanita itu membuka jas dokternya dan membawa mobil dengan cepat. Dania datang ke sebuah cafe, di sana sudah ada seorang wanita yang menunggunya. “Mami …” panggilnya seraya berjalan mendekat ke arah wanita tersebut. Itu adalah tante Pradita, seorang wa