Langkah kaki Dania semakin mendekat, tangannya ia ulurkan untuk mengambil ponsel tersebut.
Satu jengkal lagi tangan kanannya menyentuh benda canggih itu, namun tiba-tiba saja sebuah tangan kekar mendahuluinya. Refleks Dania menoleh ke arah Hadi yang kini telah berdiri di sampingnya. “Mas ….” Dania membeku sejenak, ia menatap wajah Hadi yang terlihat panik. Pria itu segera mematikan ponsel tersebut dan memasukkannya ke dalam saku celana dengan cepat. “Itu hp siapa, Mas? Itu hp kamu ya?” Dania mengeluarkan pertanyaan dengan kedua mata yang masih menatap intens ke arah suaminya. “Iya, ini hp aku,” jawab Hadi, pria itu menarik nafas dengan perlahan wajah tegangnya berubah tenang. “Sejak kapan kamu punya hp lagi? Kok kamu gak ngasih tahu aku?” Layaknya seorang istri yang ingin mengetahui tentang suaminya. Dania kembali melemparkan pertanyaan. “Emmm … ini belum lama sih, baru beberapa hari. Karena hp aku yang lama sudah lemot, jadi aku beli hp yang baru. Ini khusus pekerjaan saja kok, kamu tidak usah curiga. Aku berangkat dulu.” Hadi mengusap pipi Dania sebelum ia kembali melangkah untuk keluar dari kamar. Pria itu meninggalkan Dania tanpa menunggu istrinya kembali berbicara. Padahal, lidah Dania sudah gatal ingin kembali melemparkan berbagai pertanyaan untuk suaminya. Namun, Hadi terlihat begitu buru-buru. Dania paham, mungkin Hadi buru-buru karena ingin segera menemui ibunya di rumah sakit. Dania berusaha menetralkan kembali pikirannya. Wanita itu menarik nafas dan membuangnya secara perlahan. Tak ingin terus bergelut dengan pikirannya sendiri, akhirnya Dania memutuskan untuk berangkat ke rumah sakit. Banyak pasien yang sedang menunggu dirinya. *** Dania menjalankan tugasnya seperti biasa, ia memeriksa dan mengatasi beberapa anak yang sedang sakit. Salah satu alasan Dania mengambil spesialis anak ialah, karena dirinya menyukai anak kecil. “Dokter cantik!” begitu panggilan anak-anak yang menjadi pasien di rumah sakit tersebut ketika menyapanya. Dania selalu menebar senyuman pada setiap anak-anak yang sedang terbaring di atas brankar pasien. Karena menurutnya, selain mengobati penyakit di tubuh anak-anak itu, Dania juga berusaha mengobati mental dan pikiran anak-anak yang mungkin saja sedang tidak baik-baik saja karena penyakit yang diderita. “Pasien DBD semakin hari semakin meningkat, Dok,” ucap seorang perawat yang mendampinginya ketika bertugas. “Iya, DBD sedang menyebar di Surabaya dan Gresik. Rumah sakit ini sebagai rumah sakit terbesar di Surabaya, bisa saja akan kebanjiran pasien DBD, terutama dari kalangan anak-anak. Jadi, kita juga harus siap siaga dan bekerja sebaik mungkin untuk menolong mereka,” balas Dania dengan tegas. Ya, begitulah Dania jika sedang bekerja dan menangani berbagai penyakit serius dari kalangan anak-anak. Wanita lemah lembut itu akan mendadak berubah tegas. *** Pukul empat sore, Dania mencoba menghubungi Hardi meskipun jam kerjanya belum selesai. Namun, ia menyempatkan diri untuk menghubungi suaminya terlebih dahulu walaupun hanya sekedar lewat pesan. Dania: Mas, kamu dimana? Dania terdiam sejenak, ia menatap layar ponselnya untuk menunggu balasan pesan dari sang suami. Setelah hampir sepuluh menit, ponselnya baru menerima notifikasi pesan masuk. Dania segera membukanya dengan penuh semangat, karena ia yakin pesan itu dari suaminya. Mas Hadi: Aku di rumah sakit, jenguk Ibu. Dania merasa lega setelah mendapat kabar dari suaminya. Mertuanya memang dirawat di rumah sakit yang berbeda, yaitu di daerah Gresik. Karena rumah keluarganya Hardi ada di Gresik. Pukul lima sore, Dania selesai bertugas, ia belum menerima pesan apapun lagi dari suaminya. Dania juga mencoba menghubungi Hadi, namun entah kenapa nomor teleponnya sama sekali tidak bisa dihubungi. “Halo, Mbok! Mas Hadi sudah pulang belum ya?” tanya Dania pada sebrang telepon. “Dalem, Non. Tuan sama sekali belum datang, Non. Dari pagi sampai saat ini Mbok dewekan bae. Nggak ada siapa-siapa, nggak ada duda juga yang nyamperin Mbok,” jelas mbok Darmi yang memang selalu memberikan guyonan di setiap kalimatnya. “Oh gitu, ya udah, terima kasih ya, Bi. Oh iya, kayaknya saya pulang agak malaman ya,” ucap Dania lagi sebelum memutuskan panggilan telepon itu. “Nggih, Non.” Dania menutup panggilan teleponnya dengan sang ART, setelah itu ia menjalankan mobilnya dan menuju ke sebuah tempat. Dania menyempatkan sholat Maghrib terlebih dahulu sebelum ia tiba di sebuah rumah sakit yang terletak di daerah Gresik. Sampai saat ini Hadi masih belum ada kabar, tapi Dania yakin suaminya ada di rumah sakit. Mungkin hp Hadi lowbat, karena ia juga belum punya nomor suaminya yang satu lagi. Wajar saja Hadi terus menemani ibunya, karena pria itu adalah satu-satunya anak lelaki. Dania memahami itu, oleh karenanya ia memilih untuk menyusul suaminya secara langsung sekaligus menjenguk sang mertua. Setelah tiba di rumah sakit itu, Dania langsung mencari ruangan yang ditempati oleh mertuanya. Dania masuk ke sebuah ruang rawat inap, setelah ia meminta izin terlebih dahulu. “Assalamualaikum,” ucapnya seraya membuka pintu ruangan tersebut. “Waalaikumsalam,” jawab seorang wanita yang berusia sekitar sembilan belas tahun, itu adalah adik bungsu Hadi. “Resti, gimana keadaan Ibu?” Dania mendekat ke arah wanita paruh baya yang sedang terbaring di atas brankar pasien. “Mbak Dania, ibu masih belum stabil,” jawab gadis itu dengan wajah sendu. Dania mencium tangan mertuanya yang sedang terkena stroke ringan. “Ibu cepat sehat ya!” Dania mengusap punggung tangan wanita yang mulai mengkerut, wanita tersebut hanya mengangguk sebagai respon. Dania mengedarkan pandangannya ke sekeliling ruangan itu, di sana tidak ada orang lain, selain Resti dan mertuanya. Lalu, kemana perginya Hadi? Bukanlah tadi sore pria itu ada di sana. Apa Hadi sudah pulang? “Emmm … Resti, Mas Hadi kemana ya? Apa sudah pulang?” tanya Dania dengan hati-hati. Ia juga harus menjaga ucapan, karena walaupun mertuanya sedang tidak bisa bicara, tetapi telinganya masih mendengar. “Mas Hadi? Mas Hadi udah pergi sejak tadi siang, Mbak,” jawab Resti yang membuat Dania cukup terkejut. “Sejak tadi siang? Bukannya pas jam empat sore Mas Hadi ada di sini?” tanya Dania lagi dengan dahi mengerut. “Nggak ada, Mbak. Dari sore sampai sekarang, aku cuma berdua sama Ibu. Mbak yang lain juga cuma datang tadi pagi doang,” jelas Resti yang membuat hati Dania seketika menjadi gundah gulana. Pikirannya kembali dihantam banyak pertanyaan. Kenapa Hadi bohong padanya? Lalu, kemana perginya pria itu saat ini? Apa ada sesuatu yang disembunyikan oleh Hadi?Dania pulang dari rumah sakit dengan rasa sedikit kecewa. Karena ia datang menjenguk mertuanya sekaligus ingin bertemu dengan suaminya. Namun, ternyata Hadi tidak ada di sana. Yang membuat Dania kepikiran ialah, kemana perginya Hadi? Bahkan, sampai Resti juga tidak mengetahuinya. Dania tiba di rumah sekitar pukul sembilan malam, karena perjalanan dari Gresik ke Surabaya cukup lumayan. “Selamat datang Tuan Putri!” sambut mbok Darmi seraya membuka pintu lebar-lebar untuk majikannya. “Terima kasih, Mbok. Oh iya, Mas Hadi belum datang ya? Kok mobilnya gak ada?” tanya Dania seraya menoleh ke arah garasi mobil. Di sana hanya ada mobilnya yang baru saja ia parkiran. “Belum, Non. Mungkin Tuan lagi sibuk,” jawab mbok Darmi dengan wajah menunduk. Wanita paruh baya itu seolah tak ingin melihat wajah sendu Dania yang membuatnya ikut merasa pilu. “Sibuk? Sibuk apa ya?” Dania berpikir sejenak. Jika dibilang sibuk, lebih sibuk dirinya di rumah sakit, karena pekerjaan Hadi han
Dania tak bisa tidur, sudah beberapa kali ia mencoba untuk terlelap, namun entah kenapa hatinya malah terasa gundah yang membuat ia tak bisa lelap ke alam mimpi. Dania membuka kedua mata, ia merubah posisi dari terlentang menjadi menghadap ke arah Hadi. Wanita itu memperhatikan wajah suaminya yang sedang tidur lelap. Wajah Hadi terlihat tenang seolah tak ada masalah apapun. Namun, entah kenapa hati Dania merasa seperti ada sesuatu yang tidak ia ketahui dari pria itu. Terlebih lagi, ucapan Hadi tadi sore, kembali terngiang di telinganya. Dania masih merasa heran, kenapa Hadi bisa sampai melontarkan kata-kata kasar padanya, bahkan sampai membawa-bawa kedua orang tuanya. Meski pria itu sudah meminta maaf, namun Dania tetap teringat dan terngiang kalimat kasar dari suaminya. “Kamu belum tidur?” Suara itu cukup mengejutkan Dania. Padahal ia sedang memperhatikan pria itu, tapi Dania hampir tak menyadari kalau Hadi telah membuka kedua matanya. “Eh, Mas ….” “Kenapa belum tidur?” Ha
Sejak tadi pagi, Dania terus kepikiran soal aroma parfum wanita yang menempel pada kemeja suaminya. Namun, wanita itu harus memaksakan diri untuk tetap fokus ketika mengobati pasien. Terlebih lagi saat ini sedang musim DBD dan banyak kalangan anak-anak yang terkena penyakit tersebut. Bahkan, delapan puluh persen pengidap DBD di rumah sakit tempat Dania bekerja adalah dari kalangan anak-anak. Saat jam makan siang, Dania menghubungi seseorang yang ia butuhkan saat ini. Dania merasa ia tak bisa lagi menahan semuanya sendiri, Dania membutuhkan seseorang yang bisa mendengarkan ceritanya. “Aku ke sana sekarang ya, Tante,” ucapnya pada seseorang di seberang telepon. Dania tak memiliki banyak waktu, oleh karena itu ia harus buru-buru. Wanita itu membuka jas dokternya dan membawa mobil dengan cepat. Dania datang ke sebuah cafe, di sana sudah ada seorang wanita yang menunggunya. “Mami …” panggilnya seraya berjalan mendekat ke arah wanita tersebut. Itu adalah tante Pradita, seorang wa
Suasana dingin malam ini, seolah tak terasa saat kedua insan saling menukar kehangatan di tengah kegiatan malam. Dania Regita, seorang wanita berusia dua puluh delapan tahun merasa bahagia karena menikah dengan seorang pria yang menjadi kekasihnya semenjak mereka masih berkuliah. Ya, Dania dan Hadi Prayoga memutuskan untuk menikah walaupun mereka masih duduk di bangku kuliah. Pernikahan yang penuh cinta itu kini telah berjalan tujuh tahun. Namun, diantara keduanya masih belum dikarunia anak. Dania yang berprofesi sebagai dokter spesialis anak, lebih sering menghabiskan waktunya di rumah sakit. Tapi, meski begitu wanita yang memiliki rambut sebahu dengan kulit putih bersih itu tetap berusaha menjadi istri yang baik bagi suaminya. Selain cantik, Dania juga memiliki hati yang baik. Ia tidak pernah berburuk sangka kepada siapapun, jika tidak ada bukti yang akurat. Dania juga merasa bersyukur, di tujuh tahun pernikahan mereka, ia dan Hadi masih sama-sama saling me
Seperti hari-hari sebelumnya, Dania berangkat ke rumah sakit tempatnya bekerja setelah berpamitan kepada sang suami. Sementara Hadi akan pergi ke toko. Di rumah yang berukuran cukup luas itu, kini hanya ada mbok Darmi seorang. Karena Dania dan Hadi belum dikarunia seorang anak meski pernikahan mereka sudah berjalan selama tujuh tahun. Dania tetap santai meski kadang ada ucapan orang lain yang kurang enak di dengar mengenai keturunan. Namun, baginya selama Hadi baik-baik saja dan tidak menuntut hal itu, bukan masalah besar untuknya. “Pagi!” ucapnya menyapa dua rekan kerja yang sama-sama berprofesi sebagai seorang dokter. “Pagi, Dania. Eh, kamu udah tau belum?” celetuk seorang dokter wanita yang bernama Almira, bisa dibilang Almira ini adalah teman dekat Dania ketika di rumah sakit. “Tahu apa?” Dania balik bertanya sambil mengerutkan keningnya. “Itu loh, artis yang selingkuh. Padahal istrinya cantik, baik, wanita karir, eh suaminya selingkuh sama perempuan spea
Dania tak ingin banyak pikiran dan berburuk sangka. Ia percaya penuh kepada suaminya. Mungkin Hadi tak ingin Dania datang ke rumah itu, karena merasa kepercayaan Dania padanya berkurang. Wanita cantik berambut sebahu itu menghela nafas perlahan, ia mengikuti suaminya untuk masuk ke dalam kamar. Terlihat, Hadi baru keluar dari kamar mandi. Kulit putihnya mengeluarkan aroma mawar dari sabun yang ia kenakan saat mandi. Rambut hitamnya masih meneteskan beberapa bulur air yang membuat wajah tampannya terlihat begitu fresh. Setiap kali melihat Hadi, perasaan Dania seperti saat mereka masih berpacaran semasa kuliah. Karena tidak banyak yang berubah dari pria itu. Hanya tubuhnya saja yang sedikit berisi, karena semasa kuliah, tubuh Hadi tidak kekar seperti sekarang. “Setelah ini mau makan, Mas?” tanya Dania secara baik-baik, bahkan wanita itu mengulas senyum pada bibir manisnya. “Tidak usah, aku sudah makan di luar sebelum pulang,” jawab Hadi sambil berpakaian. En