Dania tak ingin banyak pikiran dan berburuk sangka. Ia percaya penuh kepada suaminya.
Mungkin Hadi tak ingin Dania datang ke rumah itu, karena merasa kepercayaan Dania padanya berkurang. Wanita cantik berambut sebahu itu menghela nafas perlahan, ia mengikuti suaminya untuk masuk ke dalam kamar. Terlihat, Hadi baru keluar dari kamar mandi. Kulit putihnya mengeluarkan aroma mawar dari sabun yang ia kenakan saat mandi. Rambut hitamnya masih meneteskan beberapa bulur air yang membuat wajah tampannya terlihat begitu fresh. Setiap kali melihat Hadi, perasaan Dania seperti saat mereka masih berpacaran semasa kuliah. Karena tidak banyak yang berubah dari pria itu. Hanya tubuhnya saja yang sedikit berisi, karena semasa kuliah, tubuh Hadi tidak kekar seperti sekarang. “Setelah ini mau makan, Mas?” tanya Dania secara baik-baik, bahkan wanita itu mengulas senyum pada bibir manisnya. “Tidak usah, aku sudah makan di luar sebelum pulang,” jawab Hadi sambil berpakaian. Entah kenapa, hati Dania terasa dicubit setelah mendengar jawaban suaminya. Padahal, ia rela menahan lapar demi bisa makan malam bersama sang suami. Namun, jawaban Hadi barusan seolah meruntuhkan bayangannya untuk makan malam bersama. Terdengar agak lebai memang, namun bagi Dania saat-saat seperti inilah yang menjadi momen kebersamaan mereka. Karena selain itu, mereka sibuk dengan kegiatan masing-masing. “Kenapa kamu gak bilang sama aku, Mas kalau kamu makan di luar?” Dania menatap suaminya dengan wajah melas, seolah kehilangan harapan. “Dania, ayolah kita ini menikah bukan hanya setahun dua tahun, masa mau makan aja harus bilang kamu dulu? Kalau kamu lagi sibuk, gimana? Masa aku harus nunggu respon dari kamu dulu, kelaparan aku!” balas Hadi dengan nada yang terdengar meninggi, raut wajah pria itu terlihat kesal. Bahkan, ia sampai melemparkan handuk bekas dirinya pakai ke atas kasur dengan kasar. “Maaf, Mas ….” “Sudah, kalau kamu mau makan, makan saja sendiri, aku capek, mau istirahat!” Hadi naik ke atas kasur dan langsung merebahkan tubuhnya. Pria itu tak mendengarkan ucapan istrinya sampai selesai. Lagi-lagi Dania hanya menghela nafas berat, kenapa semakin hari sikap suaminya semakin berubah? Dania memilih keluar dari kamar, wanita itu kembali ke ruang makan. Walau bagaimanapun, malam ini ia harus makan, tubuhnya butuh asupan. “Tuan gak makan, Non?” tanya mbok Darmi yang masih berada di dapur, wanita paruh baya itu tidak akan meninggalkan dapur sebelum majikannya selesai makan. “Mas Hadi sudah makan, Bi. Biar saya saja yang makan sendiri.” Dania duduk dengan lesu. “Ya sudah, biar tak temani yok! Mau disuapi sekalian juga monggo,” ucap mbok Darmi dengan logat Jawa yang sangat kental. Kedua bibir tebal wanita itu mengembangkan senyum, ia tahu perasaan majikannya sedang tak enak, oleh karena itu dirinya memberikan guyonan agar majikannya tidak terlalu sedih. “Boleh, Bi. Temani saya makan di sini ya, biar gak terlalu sepi banget.” Dania menatap wajah wanita paruh baya yang mulai mengkerut itu. “Siap, Non. Kucing lapar dikasih makan, yo disantap.” Mbok Darmi langsung duduk di hadapan Dania sambil terkekeh yang membuat majikannya ikut mengembangkan senyum. “Mbok, kira-kira ada yang berbeda gak ya dari Mas Hadi?” tanya Dania secara tiba-tiba dengan wajah berpikir. “Opo yang beda, Non? Kumisnya makin tebal?” Mbok Darmi kembali memberikan guyonan. “Mbok bisa aja.” Dania terkekeh. “Wis ra popo, sing penting tetap ganteng to.” Wanita paruh baya itu menggoda majikannya. Terkadang, mereka berdua lebih terlihat seperti ibu dan anak. “Itu sih pasti, Mbok. Tapi, kayak ada yang aneh aja. Ah … aku gak mau berpikir negatif, paling Mas Hadi lagi banyak kerjaan aja. Jadinya agak sensitif. Ayo lanjut makan, Mbok.” Dania berusaha mengusir pikiran buruk yang hanya membuat dirinya menjadi gelisah saja. *** Semalam, Hadi tidur terlebih dahulu, bahkan setelah Dania selesai makan, suaminya sudah terbang ke alam mimpi. Sehingga malam yang sunyi itu mereka lalui tanpa obrolan hangat. Pagi ini, Dania kembali terbangun sebagai kodratnya seorang istri, ia menyiapkan pakaian untuk suaminya. Karena Dania menyukai orang yang rapi, ia tidak pernah membiarkan suaminya berpakaian kucel. Oleh karena itu, penampilan Hadi tetap terlihat sempurna. “Ibu sakit,” ucap Hadi seolah mengawali pembicaraan mereka pada pagi ini. “Kapan, Mas? Udah dibawa ke rumah sakit belum?” tanya Dania dengan raut wajah yang langsung terlihat cemas. Ia tahu mertuanya sedang menderita stroke ringan, hal itu juga yang membuat ibu dari Hadi sering bolak balik ke rumah sakit. “Tadi pagi, Resti ngabarin aku. Sekarang Ibu sudah di rumah sakit, tapi ya seperti yang kamu tahu, biaya rumah sakit ibu tidak ada yang menanggung. Aku sebagai anak lelaki satu-satunya, harus bertanggung jawab penuh terhadap ibuku,” tutur Hadi yang membuat Dania langsung paham kemana arah pembicaraan suaminya. Ini bukanlah yang pertama kali, hampir setiap bulan mertuanya masuk rumah sakit dan tentu saja Dania yang mengeluarkan dana untuk biaya perawatan mertuanya. Bagi Dania, orang tua Hadi adalah orang tuanya juga, oleh karena itu ia tidak pernah menolak ketika Hadi ingin membiayai semua pengobatan ibunya. Walaupun hampir semua uang yang dipakai itu adalah milik Dania. “Ya sudah, kamu pakai saja uang yang ada, Mas. Pengobatan ibu lebih penting,” balas Dania yang terdengar legowo. “Oke, terima kasih, Sayang.” Hadi mendekatkan wajahnya lalu memberikan ciuman singkat pada kening sang istri. Hati Dania langsung terasa sejuk, dengan perlakuan kecil seperti itu saja, ia sudah benar-benar merasa dicintai. “Aku berangkat dulu ya, karena mau jenguk ibu di rumah sakit. Kamu kalau mau jenguk, nanti saja kalau sudah senggang.” Hadi segera mengambil kunci mobilnya. “Iya, Mas.” Dania mengulurkan tangan dan mencium punggung tangan sang suami. Setelah itu, Hadi segera keluar dari kamar dan akan berangkat. Dania masih berada di dalam kamar, ia memperhatikan suaminya yang semakin menjauh. Namun, dering telepon membuatnya langsung menoleh. Ia melihat ke arah sebuah ponsel yang tergeletak di atas nakas. Itu bukan ponsel mikirnya, tapi juga bukan ponsel yang biasa dikenakan oleh Hadi. “Mas Hadi beli hp baru ya? Kok perasaan beda?” Dania melangkah mendekat ke arah nakas. Ia memperhatikan ponsel berwarna biru Dongker tersebut, itu bukan ponsel yang biasa dikenakan suaminya. Karena ponsel pria itu berwarna hitam bukan biru Dongker seperti yang saat ini Dania lihat. Dering telepon yang tak kunjung berhenti membuat Dania semakin merasa penasaran. Siapa yang melakukan panggilan telepon pada ponsel tersebut? Dan sejak kapan Hadi mempunyai ponsel baru? Kenapa pria itu tidak memberitahunya? Tiba-tiba Dania diterpa berbagai pertanyaan dari pikirannya sendiri. Langkah kakinya semakin mendekat, ia akan segera mengambil ponsel tersebut.Langkah kaki Dania semakin mendekat, tangannya ia ulurkan untuk mengambil ponsel tersebut. Satu jengkal lagi tangan kanannya menyentuh benda canggih itu, namun tiba-tiba saja sebuah tangan kekar mendahuluinya. Refleks Dania menoleh ke arah Hadi yang kini telah berdiri di sampingnya. “Mas ….” Dania membeku sejenak, ia menatap wajah Hadi yang terlihat panik. Pria itu segera mematikan ponsel tersebut dan memasukkannya ke dalam saku celana dengan cepat. “Itu hp siapa, Mas? Itu hp kamu ya?” Dania mengeluarkan pertanyaan dengan kedua mata yang masih menatap intens ke arah suaminya. “Iya, ini hp aku,” jawab Hadi, pria itu menarik nafas dengan perlahan wajah tegangnya berubah tenang. “Sejak kapan kamu punya hp lagi? Kok kamu gak ngasih tahu aku?” Layaknya seorang istri yang ingin mengetahui tentang suaminya. Dania kembali melemparkan pertanyaan. “Emmm … ini belum lama sih, baru beberapa hari. Karena hp aku yang lama sudah lemot, jadi aku beli hp yang baru. Ini khusus pe
Dania pulang dari rumah sakit dengan rasa sedikit kecewa. Karena ia datang menjenguk mertuanya sekaligus ingin bertemu dengan suaminya. Namun, ternyata Hadi tidak ada di sana. Yang membuat Dania kepikiran ialah, kemana perginya Hadi? Bahkan, sampai Resti juga tidak mengetahuinya. Dania tiba di rumah sekitar pukul sembilan malam, karena perjalanan dari Gresik ke Surabaya cukup lumayan. “Selamat datang Tuan Putri!” sambut mbok Darmi seraya membuka pintu lebar-lebar untuk majikannya. “Terima kasih, Mbok. Oh iya, Mas Hadi belum datang ya? Kok mobilnya gak ada?” tanya Dania seraya menoleh ke arah garasi mobil. Di sana hanya ada mobilnya yang baru saja ia parkiran. “Belum, Non. Mungkin Tuan lagi sibuk,” jawab mbok Darmi dengan wajah menunduk. Wanita paruh baya itu seolah tak ingin melihat wajah sendu Dania yang membuatnya ikut merasa pilu. “Sibuk? Sibuk apa ya?” Dania berpikir sejenak. Jika dibilang sibuk, lebih sibuk dirinya di rumah sakit, karena pekerjaan Hadi han
Dania tak bisa tidur, sudah beberapa kali ia mencoba untuk terlelap, namun entah kenapa hatinya malah terasa gundah yang membuat ia tak bisa lelap ke alam mimpi. Dania membuka kedua mata, ia merubah posisi dari terlentang menjadi menghadap ke arah Hadi. Wanita itu memperhatikan wajah suaminya yang sedang tidur lelap. Wajah Hadi terlihat tenang seolah tak ada masalah apapun. Namun, entah kenapa hati Dania merasa seperti ada sesuatu yang tidak ia ketahui dari pria itu. Terlebih lagi, ucapan Hadi tadi sore, kembali terngiang di telinganya. Dania masih merasa heran, kenapa Hadi bisa sampai melontarkan kata-kata kasar padanya, bahkan sampai membawa-bawa kedua orang tuanya. Meski pria itu sudah meminta maaf, namun Dania tetap teringat dan terngiang kalimat kasar dari suaminya. “Kamu belum tidur?” Suara itu cukup mengejutkan Dania. Padahal ia sedang memperhatikan pria itu, tapi Dania hampir tak menyadari kalau Hadi telah membuka kedua matanya. “Eh, Mas ….” “Kenapa belum tidur?” Ha
Sejak tadi pagi, Dania terus kepikiran soal aroma parfum wanita yang menempel pada kemeja suaminya. Namun, wanita itu harus memaksakan diri untuk tetap fokus ketika mengobati pasien. Terlebih lagi saat ini sedang musim DBD dan banyak kalangan anak-anak yang terkena penyakit tersebut. Bahkan, delapan puluh persen pengidap DBD di rumah sakit tempat Dania bekerja adalah dari kalangan anak-anak. Saat jam makan siang, Dania menghubungi seseorang yang ia butuhkan saat ini. Dania merasa ia tak bisa lagi menahan semuanya sendiri, Dania membutuhkan seseorang yang bisa mendengarkan ceritanya. “Aku ke sana sekarang ya, Tante,” ucapnya pada seseorang di seberang telepon. Dania tak memiliki banyak waktu, oleh karena itu ia harus buru-buru. Wanita itu membuka jas dokternya dan membawa mobil dengan cepat. Dania datang ke sebuah cafe, di sana sudah ada seorang wanita yang menunggunya. “Mami …” panggilnya seraya berjalan mendekat ke arah wanita tersebut. Itu adalah tante Pradita, seorang wa
Suasana dingin malam ini, seolah tak terasa saat kedua insan saling menukar kehangatan di tengah kegiatan malam. Dania Regita, seorang wanita berusia dua puluh delapan tahun merasa bahagia karena menikah dengan seorang pria yang menjadi kekasihnya semenjak mereka masih berkuliah. Ya, Dania dan Hadi Prayoga memutuskan untuk menikah walaupun mereka masih duduk di bangku kuliah. Pernikahan yang penuh cinta itu kini telah berjalan tujuh tahun. Namun, diantara keduanya masih belum dikarunia anak. Dania yang berprofesi sebagai dokter spesialis anak, lebih sering menghabiskan waktunya di rumah sakit. Tapi, meski begitu wanita yang memiliki rambut sebahu dengan kulit putih bersih itu tetap berusaha menjadi istri yang baik bagi suaminya. Selain cantik, Dania juga memiliki hati yang baik. Ia tidak pernah berburuk sangka kepada siapapun, jika tidak ada bukti yang akurat. Dania juga merasa bersyukur, di tujuh tahun pernikahan mereka, ia dan Hadi masih sama-sama saling me
Seperti hari-hari sebelumnya, Dania berangkat ke rumah sakit tempatnya bekerja setelah berpamitan kepada sang suami. Sementara Hadi akan pergi ke toko. Di rumah yang berukuran cukup luas itu, kini hanya ada mbok Darmi seorang. Karena Dania dan Hadi belum dikarunia seorang anak meski pernikahan mereka sudah berjalan selama tujuh tahun. Dania tetap santai meski kadang ada ucapan orang lain yang kurang enak di dengar mengenai keturunan. Namun, baginya selama Hadi baik-baik saja dan tidak menuntut hal itu, bukan masalah besar untuknya. “Pagi!” ucapnya menyapa dua rekan kerja yang sama-sama berprofesi sebagai seorang dokter. “Pagi, Dania. Eh, kamu udah tau belum?” celetuk seorang dokter wanita yang bernama Almira, bisa dibilang Almira ini adalah teman dekat Dania ketika di rumah sakit. “Tahu apa?” Dania balik bertanya sambil mengerutkan keningnya. “Itu loh, artis yang selingkuh. Padahal istrinya cantik, baik, wanita karir, eh suaminya selingkuh sama perempuan spea