"Jadi, kapan kau akan menikah?" tanyanya dengan suara yang getir. Aku tahu, mendengarkan perkataanku adalah kepahitan yang ingin dia hindari. Dulu dia pernah begitu menghangatkan hariku tapi tiba-tiba dengan garangnya ia pergi demi wanita lain, ironis sekali."Dua Minggu lagi, di tanggal dua puluh September," jawabku santai."Oh, saat cuacanya sedang bagus.""Iya, semoga keadaan mendukung. Baiklah, kalau begitu, aku pergi dulu." Membuka pintu mobil dan hendak naik ke atasnya."Eh, tunggu.""Ada apa lagi?""Seperti yang kau tahu kalau aku sudah jatuh miskin. Aku mau kehilangan teman-teman dan keluarga, yang kumiliki hanya ibu dan ayah yang kini sama-sama sakit.""Jadi?""Uhm, Aku sangat malu karena mendengarkan perkataan Dinda dan tidak bertanya lebih dulu padamu, Aku menyesal menyalahkanmu dengan mempermalukanmu di hadapan calon suamimu, maukah kau tetap berteman denganku.""Aku tidak berniat memutuskan silaturahmi, tapi ada baiknya, kita tidak berjumpa lagi, mengingat aku juga haru
Seperti yang kuduga, aku telat karena mereka. Saat tiba di kantor, Adrian nampak gelisah, begitu melihatku masuk, lelaki itu langsung menyambangi diri ini."Aku gelisah, Karena Kau belum sampai juga aku telepon bunda dan beliau bilang kalau kau sudah jalan sejam yang lalu, kuutus supir untuk memeriksa di sekolah anakmu, ternyata kau di sana.""Iya, Mas.""Kudengar ada masalah.""Tidak ada, Mas. Hanya tentang wanita yang lupa minum obat dan berteriak di jalanan.""Kalau cuma orang gila biasa aku tidak akan peduli, masalahnya wanita itu memprovokasi dirimu.""Aku tidak terpancing dengan orang gila," jawabku sambil berjalan santai di sisinya."Bagaimana kau bisa sesantai ini?""Sudah biasa," balasku, kami menuju ke lift, Mas Adrian menekan tombolnya lalu kami masuk ke dalamnya."Aku sangat cemas karnamu. Aku khawatir wanita itu menyerangmu." Lelaki itu menatapku sambil menyentuh bahu ini."Dia memang menyerangku tapi aku membalas dengan pukulan di mentalnya.'"Aku yakin widi sangat kere
"Kau baik baik saja?" tanya Mas Adrian saat aku menepi sejenak, duduk di balkon kamar rawat sambil menatap cakrawala."Iya, Mas." Aku membenahi posisi duduk dan memberinya isyarat agar duduk di dekatku. Dia menggeser kursi lalu menjatuhkan diri sambil menghela nafas."Farisa sudah tidur," lapornya."Terima kasih Mas, terima kasih sudah menemani dan memberinya kenyamanan. Bagaimana rapatmu yang kau tinggalkan di kantor.""Aku mengatasinya lewat video call. Ketika ada teknologi yang tidak membatasi ruang dan waktu, kenapa aku harus repot-repot. Aku bisa menjaga anakku sekaligus menyelesaikan tugasku."Hati ini meleleh dengan perasaan yang tiba-tiba sangat menyukainya, sikapnya membuatku menerimanya jauh lebih banyak dari sebelumnya. Aku tersenyum menanggapinya."Terima kasih, aku terharu dengan kebaikanmu Mas.""Jangan terus berterima kasih, bilamana aku sudah jadi suamimu dan melayani keluarga, Aku khawatir mulut itu akan berbusa karena terus mengucapkan terima kasih," candanya."E
Aku masih terpikirkan tentang wajah sedih dan tangisan mas Widi di ujung lorong. Bahkan aku terus terus terpikirkan sampai sudah kembali di kamar dan keluargaku."Ada apa kau tercenung dan nampak tak fokus?" tanya Mas Adrian."Ah, tidak ada.""Apa karena kedatangan Widi tadi?" Sepertinya Mas Adrian menangkap ketidaknyamanan dari bertemu dengan mantan Suamiku itu. "Tidak juga, Mas.""Aku berharap agar kau selalu nyaman dan perilaku orang-orang di sekitar tidak mempengaruhimu," ucapnya sambil menepuk punggung tanganku, "kalau begitu aku pulang dulu.""Iya, Mas, hati hati, aku tidak akan terpengaruh dengan apapun.""Aku ingin sekali tetap di sini dan menjaga kalian, tapi, karena kita belum menikah jadi aku tidak punya alasan untuk seperti itu. Aku harus menjaga adab. Istirahatlah," ujar Mas Adrian yang kemudian berpamitan dan mengajak kedua orang tuanya pulang. *"Yah, aku rasa kita tidak perlu menunda pernikahan antara Adrian dan Syifa, anak itu sangat baik dan dia cocok jadi menan
Dua hari setelah itu.Setelah kejadian di Rumah Sakit mas Widi sempat mengirimkan pesan padaku yang minta maaf atas sikap dan ke aroganan istrinya. Dia minta maaf padaku dan Adrian. Kami bilang tak masalah.*"Bu, ada wanita yang tempo hari di kantornya Direktur! Dia mengendap-ngendap dari lobby utama dan memaksa masuk. Kami sudah mencegah, tapi dia bersi keras." Staf dari lobby utama naik ke lantai dua, mencari dan memberitahuku. Kebetulan aku sedang di ruang arsip saat itu. "Di mana wanita itu?" Aku tahu wanita yang dimaksud oleh staff ku itu adalah Dinda. Aku tak mengerti, Kenapa dia terus datang dan mengganggu kehidupan kami."Di ruangan direktur.""Apa Pak direkturnya ada?""Iya, Bu, kebetulan tadi ada tamu. Pak Adrian, lalu menyuruh kliennya untuk menunggu di ruang istirahat khusus kamu. "Astaga, kurang ajar sekali. Wanita itu datang di waktu yang tidak tepat tidak di saat Mas Adrian sedang menemui klien pentingnya. Dia pasti merangsek masuk dan mengoceh tidak karuan sehingga
Kami sudah berpindah dan tinggal di hotel 3 hari sebelum acara digelar, kami sengaja pindah lebih cepat untuk melakukan gladi resi untuk persiapan puncak acara. Aku juga jadi lebih mudah untuk mengawasi pemasangan dekorasi, memeriksa persiapan meja katering dan menempatkan segala sesuatu sesuai dengan keinginan dan arahanku.Malam sebelum puncak acara kami sekeluarga besar melakukan makan malam, berdoa untuk kelancaran acara, serta memastikan bahwa semua orang dalam keadaan fit dan sehat.*Pukul empat pagi tim MUA sudah datang. Mereka membangunkanku dan menyuruhku untuk segera mandi karena akan dirias dan disanggul. Sesudah mandi aku didudukkan kemudian mulai dirias, calon suamiku datang ke kamar sambil melakukan siaran langsung dan menyuruh diriku untuk tersenyum."Calon istriku, ayo tersenyum menghadap kamera," ucapnya sambil menggoda, orang-orang yang kebetulan sedang menyiapkan gaun dan keperluan pengantin dalam kamarku tertawa.Setelah selesai dirias dan dipakaikan pakaian a
Malam romantis kami berlangsung penuh makna dan susahnya pagi menyambut dan membuat diriku seakan berada dalam suasana baru yang lebih menyenangkan dan penuh cinta. Aku sangat bahagia."Apa kau sudah bangun?" tanya Mas Adrian yang berbaring di sisiku dan memandang wajah ini dengan lekat. Dia membelaiku, menyingkap anak rambut yang menutupi mata ini. "Ya, aku sudah bangun sejak tadi, mandi dan sholat subuh kemudian berbaring lagi di sisimu.""Aku senang karena sekarang sudah ada pendamping yang menghangatkan tidurku," ucapnya. Jarak antara wajahku dan wajahnya hanya beberapa senti saja."Senang juga memilikimu sebagai suami."Sekali lagi ia mendekatkan wajahnya ke wajahku dan mendaratkan sebuah kecupan yang hampir saja menempel sebelum tiba-tiba anak-anak mengetuk pintu.Tok tok.Aku dan Mas Adrian tersentak kaget lalu tertawa. Kami biarkan anak-anak yang mengetuk pintu masuk ke dalam ruangan kami."Om, bunda, kami mau pulang duluan dengan kakek dan nenek." "Oh, sungguhkah?""I
"Hei, apa kabar?"Aku berdiri sambil menggenggam tas belanja sementara anak-anak juga terdiam dan saling melirik satu sama lain."Apa kabar kalian," ucap Mas Widi dengan suara bergetar. Penampilannya terlihat lusuh, pakaian yang dulu dibeli olehku kini masih dikenakan olehnya alih alih dia pakai pakaian baru karena sudah menikah dengan wanita kaya. "Kami baik, tapi sepertinya kau tidak sedang baik baik saja? Apa yang kau lakukan di sini?""Ya, aku yakin Ayah tidak sedang bekerja di tempat ini, jadi kenapa ayah mengikuti kami?""Oh, mungkin aku salah, aku kebetulan lewat dekat sini dan tak sengaja melihat kalian.""Apa yang Ayah lakukan di sini?""Tidak ada, hanya sedang mencari pekerjaan.""Kenapa harus di sini keberadaan Ayah di sekitar sini? Keberadaan ayah akan membuat Bunda tidak nyaman," ucap Faris dengan tegas. Anak sulung itu menatap ayahnya dengan ekspresi datar. Bukan karena dia membencinya tapi aku menangkap sikap itu sebagai bentuk cara melindungi ibunya sendiri."Ayah