Dua hari kemudian.Aku sengaja membeli bunga lili dan lavender juga sedikit mawar merah untuk kurangkai di sebuah buket lalu kubawakan untuk Syifa yang keadaannya sudah mulai membaik di rumah sakit.Kutemui wanita yang sudah mulai pulih itu dan sudah bisa duduk serta tersenyum di tempat tidurnya."Apa kabarmu?" tanyaku. Aku menyalaminya dan dia menyambutku dengan senyum hangat, kondisi dirinya yang sedang hamil 6 bulan membuatnya nampak sulit bergerak dan sedikit gemuk."Aku baik. Aku semakin membaik.""Bagaimana dengan lukanya.""Memang nyeri, tapi aku baik baik saja," balasnya."Kau memang kuat.""Alhamdulillah.""Tapi kenapa kau mau melakukan itu untuk melindungiku. Andai kau biarkan saja lelaki itu menyerangku agar kau tidak mengalami hal seperti ini?""Tidak, Mas, aku merasa berguna menyelamatkanmu.""Tapi kau juga punya bayi di dalam perutmu bagaimana kalau bayi itu sampai meninggal gara-gara aku? Aku yakin suamimu tidak akan memaafkanku.""Tidak, Adrian tidak menyalahkanmu, dia
Saat polisi menggiring Dinda keluar dari rumah sakit banyak orang-orang yang memperhatikan peristiwa itu. Mereka berkerumun dan membicarakan peristiwa yang bagaikan drama itu. Berulang kali Dinda mencoba melepaskan diri dan menjerit serta berteriak. Dia bilang dia tidak bisa ditangkap karena keluarganya akan segera melindunginya tapi itu tidak urung membuat polisi terus membawa wanita itu ke atas mobil patroli dan meluncur pergi. Kuhela napas pelan setelah keadaan mulai mereda, orang-orang kembali ke ruangan dan posisi mereka, pun Syifa yang sudah dibaringkan di tempat tidur dan ditenangkan oleh suaminya."Maafkan aku, andai aku tidak datang kemari untuk menjenguk Syifa mungkin Dinda juga tidak akan datang dan melakukan itu.""Jangan salahkan dirimu," ujar Syifa.Usai menyelimuti Syifa Adrian mendekatiku Dia memberi isyarat agar kami berdua bicara ke suatu tempat. "Ayo kita bicara fisiknya sambil mengarahkanku dan membukakan pintu untukku. Kami berjalan perlahan ke arah balkon da
Kudengar pembicaraan saat berkunjung terakhir kali ke kantor polisi, berdasarkan pasal 354 dan 353 KUHP tentang penganiayaan berat dan penganiayaan berencana, maka Dinda terancam dituntut dengan hukuman empat tahun penjara dan denda. Usut punya usut, wanita itu sejak awal memang sudah merencanakan untuk mencelakakan orang lain, ditambah dengan keterangan saksi dan laporan pria yang ditangkap kemarin, bahwa dia memang dibayar oleh Dinda agar menusuk diriku dan mencelakakan diri ini.*Jangan tanya seberapa besar keluarganya berusaha untuk menyelamatkan wanita itu dari tuntutan penjara. Berulang kali staff dari keluarganya mencoba menemuiku dan meyakinkan diri ini untuk tidak memberikan kesaksian, aku juga diiming-imingi uang dan rumah baru juga pekerjaan yang layak tapi aku menolaknya.Pada akhirnya lelaki yang sudah lelah membujuk diriku itu kemudian berkata,"Mengingat betapa baiknya hubungan Anda di masa lalu dengan Nyonya Dinda. Saya rasa Anda harus mulai bermurah hati kepadanya.
Bismillah jangan lupa like comment dan subscribe ya Bunda. Semoga cerita ini bisa memberikan hiburan serta membuat pembaca bermain dengan pikirannya. Hihihi 🥰🙏*Aneh sekaligus niat sekali, kusebut niat sekali seseorang melakukan itu, karena berarti, sekali mengirim pesan mereka harus mengirimkan uang juga. Itupun minimal sepuluh ribu per transaksi, sepuluh ribu dikalikan sepuluh pesan, seratus pesan dan ... ah, aku tak habis pikir, betapa relanya seseorang mengorbankan uangnya demi tetap terhubung dengan orang yang seharusnya tidak mereka hubungi.*"Sayang, sudah gajian belum, aku ingin beli alat sekolah anak dan belanja dapur," ucapku pada Mas Widi. Lelaki yang sedang asyik mengesap kopi beringsut dari meja makan, ia mengulum senyum lalu merogoh dompetnya dan memberiku sejumlah uang."Tumben, ditanya dulu baru ngasih?" Kutatap mata dokter berusia 35 tahun itu, tatapan kami beradu, netranya yang selalu meneduhkan membuat hatiku bergetar serta senyum di bibirnya yang cerah
Ya, entah apa yang harus kulakukan. Rasanya aku tidak percaya dengan apa yang kulihat, ingin menepis bahwa semua yang kulihat hanya mimpi... tapi sekali lagi aku menjepit wajah dan semuanya masih kenyataan yang sama.Bukti transferan itu masih terpampang nyata di depan mata, meski aku terus menggulir ke bawah, bukti transfer itu tidak ada habis-habisnya, bahkan mungkin ratusan kali dalam sehari, tidak habis, dan tak kuasa lagi kubaca hingga air mata ini menetes begitu saja. Aku berusaha menyembunyikan perasaan di dekatnya, menghapus air mataku secepat mungkin. Parahnya, aku terbelalak dengan semua bukti yang ada, sedang suamiku ada di sisiku.Ya Allah, jantungku bergemuruh.Pertanyaannya ... berapa banyak uang yang harus dikeluarkan, kalaupun uang itu bolak-balik ditransfer dalam jumlah yang sama, bukankah ada biaya transaksi?Tapi ah, tapi mereka sama-sama memakai bank yang sama, jadi, gratis. Sumpah, ini kreatif. Aku ingin tertawa tapi aku sedih dan tidak menyangka.Astaga ...
Selagi aku kalut dia memelukku dan mendusal-dusal bibirnya di leher serta bahuku, dia mencoba menyentuh tubuhku dan menggoda diri ini. Sebenarnya aku mudah saja tertarik dengan aktivitas itu, tapi entah kenapa aku makin kalut kalau ingat rentetan pesan yang baru kubaca tadi, tak habis pikir diri ini kenapa dia dan si misterius itu pakai M-banking.Siapa yang bilang kangen dan bilang kemarin enak itu? Apanya yang enak, coklat?Ataukah mereka habis berkencan dan semuanya nikmat?Astagfirullah, jangan, jangan!Suamiku adalah lelaki baik yang taat agama, serta penuh dengan kejujuran. Dia kesayangan semua orang, kesayangan orang tuanya dan juga orang tuaku, bahkan kalau hari raya dan semua keluarga berkumpul para keponakan dan sepupu-sepupunya yang masih muda akan mengerubunginya saking sayangnya mereka kepada Mas Widi. Suamiku juga lelaki yang lembut dan penuh kasih sayang, dia juga tidak pernah pelit untuk berbagi. Apakah mungkin lelaki itu menghianatiku?Apakah mungkin seseorang yang
Keesokan paginya,Kusambut nafas pagi dengan bangun lebih cepat untuk mandi menunaikan salat subuh. Mesin melipat sajadah aku langsung pergi ke dapur dan mulai sibuk menyiapkan sarapan untuk ketiga anggota keluargaku. Farisa Putriku yang duduk di taman kanak-kanak harus membawa kotak makanan karena guru mereka menyarankan anak-anak untuk bawa bekal sendiri.Kuletakkan nasi goreng dan kudapan juga meletakkan sedikit cemilan dan susu kotak ke dalam kotak bekal kedua putra putriku. Lalu kubuatkan kopi untuk Mas Widi juga menyiapkan roti lapis dan nasi goreng sosis kesukaannya."Kamu sudah masak Sayang?"Mas Widi yang terlihat masih kuyup karena baru bangun tidur mendekat dan mencium pipiku."Pergilah mandi agar kau tidak bau," ucapku sambil tersenyum."Ya sepertinya aku akan buang air besar dan ambil waktu lama, jadi usahakan agar sarapanku itu tetap hangat," ucapnya dengan wajah masih lesu."Iya, iya, cepatlah," jawabku.Saat tahu dia sudah masuk ke dalam kamar mandi dengan cepat aku
Aku terpaksa minta maaf kepada sepupuku karena aku tidak bisa membantunya untuk melayani para tamu di acara syukuran. Tadinya aku hendak beramah-tamah dengan keluarga tapi ada yang hal yang lebih penting yang harus segera kuketahui untuk meredakan keresahan di dalam hatiku.Aku pergi ke Rumah Sakit Bakti Nusa, sebuah rumah sakit pemerintah kota di mana suamiku mengabdikan dirinya. Sudah lama suamiku bekerja di sini, posisinya sudah seperti dokter yang disegani karena pelayarannya yang selalu tepat dan efisien. Katanya dia bisa membantu menyembuhkan sembilan dari 10 pasien. Sungguh, itu sebuah pencapaian dan bentuk dedikasi.Kukenakan masker seperti biasa dan mencoba mencari ruangan suamiku dengan menyusuri lorong. Tidak, dia dokter umum, ruangannya pasti di UGD atau sekitarnya. Di tempat ramai itu, mau tidak mau aku pasti akan ketahuan dan terlihat olehnya. Aku harus memantau dari jauh. Dulu, dia bilang akan ambil studi untuk bidang spesialis sehingga ia bisa jadi residen untuk dokte