“Argh, sial! Aku kesiangan!”
Pijar, wanita yang tengah tergopoh-gopoh bersiap menuju kantor itu mengumpat. Dia kesiangan, di saat hari pertama kedatangan presdir baru di kantornya. Padahal, sebagai seorang sekretaris pribadi, dia seharusnya telah tiba lebih dulu untuk mempersiapkan segala hal untuk bosnya.
“Semua ini gara-gara pria brengsek itu!” umpatnya lagi, merujuk pada mantan kekasihnya yang kemarin baru saja mengakhiri hubungan mereka.
Setahun menjalin kasih, Pijar tak tahu jika orang tua mantannya tak pernah sekalipun memberikan restu. Kemudian, alih-alih berkata jujur dan mengajak untuk berjuang bersama, pria itu bersikap pecundang dengan memilih lari dengan wanita lain yang diinginkan orangtuanya.
Sekarang, dia hanya berharap bos barunya bisa memaklumi dan memaafkan keterlambatannya kali ini.
Jam telah menunjukkan pukul 9 pagi lebih sedikit. Dengan napas yang masih tersengal karena berlarian mengejar waktu, Pijar mengatur napas dan membenahi penampilannya sebelum akhirnya memasuki ruangan besar milik sang bos.
“Permisi, Pak.”
Pijar bisa melihat sosok tinggi berdiri membelakanginya dengan angkuh. Kedua tangannya dijejalkan ke dalam saku celananya, rambutnya disisir rapi ke belakang. Aura dinginnya terasa membekukan.
Ucapan Pijar seolah hanyalah angin lalu. Lelaki itu tetap pada posisinya berdiri, tampak tidak tertarik dengan kedatangan sang sekretaris pribadi. Apa yang harus dia lakukan sekarang? Lelaki itu pastilah menilai dirinya tidak kompeten karena keterlambatannya. Pijar meremas kedua tangannya, mencari ide untuk bisa menarik perhatian sang bos. Setidaknya agar dia tidak diabaikan.
Pijar melangkah dengan jantung bertalu keras. “Maaf atas keterlambatan saya. Perkenalkan, saya Pijar, sekretaris pribadi Bapak–” Lelaki itu berbalik dan menatapnya dengan dingin. Untuk beberapa saat, tubuh Pijar terpaku, kalimatnya bahkan menggantung begitu melihat sosok lelaki yang akan menjadi bosnya ini. “Elang,” ujarnya lirih.
‘Kenapa dia? Apa yang harus aku lakukan?’
Elang bukanlah sosok asing di hidup Pijar. Mereka pernah menghabiskan waktu yang cukup lama menjalin kasih. Sayang, karena masalah besar yang menimpa keluarganya, gadis itu menyerah dan merasa rendah diri untuk terus berada di sisi lelaki itu.
Kesalahpahaman kemudian semakin merembet, kala Elang menemukan alibi lain di balik keputusan Pijar untuk mengakhiri hubungan mereka, berbekal sebuah foto dirinya bersama seorang lelaki lain yang entah bagaimana bisa sampai di tangan lelaki itu.
Waktu itu, Pijar tidak memiliki kesempatan untuk menjelaskan. Kala itu, dia terlalu sibuk mengurus hidupnya yang seketika berubah drastis karena masalah yang tengah dihadapi. Dan rupanya, ketika kembali dipertemukan … lelaki itu masih menaruh dendam padanya.
Berdiri di hadapan Elang bukan perkara mudah. Ada rasa takut dari trauma masa lalu yang kembali terbayang. Namun, Pijar sadar … jika kali ini hubungan mereka hanyalah sekretaris dan atasan. Untuk itu, dia mencoba bersikap profesional.
“Pak, saya minta maaf atas keterlambatan saya. Saya ….” Pijar tidak melanjutkan ucapannya ketika lelaki itu kembali menatapnya dengan sinis dari balik singgasana.
“Keluar!” katanya dengan dingin. Suara baritonnya itu seolah mengaung di seluruh ruangan.
Wajah Pijar memerah. Delapan tahun bekerja di perusahaan ini, baru kali ini dia mendapat bentakan keras dari atasan karena keterlambatannya datang.
“Saya benar-benar minta maaf, Pak. Saya janji–”
“Kamu tidak dengar saya? Keluar!” usir lelaki itu sekali lagi.
Pijar mengangguk kaku setelah itu. Dia tidak ingin mendebat lagi lelaki yang berstatus sebagai bosnya tersebut.
Dia pikir, mungkin Elang butuh sedikit waktu untuk meredakan emosiya, tapi ketika dia hampir keluar, suara bosnya kembali terdengar membuat Pijar mengeratkan rahangnya kuat. “Kamu dipecat!”
“Dipecat?” Pijar mengulang kembali perkataan bosnya.
Awalnya, Pijar berpikir rasional, tidak mungkin sang atasan mencampurkan urusan pribadi dengan pekerjaan. Namun, melihat bagaimana Elang dengan enteng mengucapkan kata-kata barusan, Pijar jadi sanksi kalau lelaki itu mampu bersikap profesional.
Alih-alih keluar dari ruangan bosnya, Pijar justru membalikkan tubuhnya menatap Elang yang kini juga tengah menatapnya.
“Apa ini ada kaitannya dengan masa lalu?” Sejujurnya, ada perasaan takut yang dia rasakan ketika menatap netra tajam Elang. Lelaki itu benar-benar terlihat muak dan begitu siap melenyapkannya hanya dari tatapan.
Sayangnya, Elang menutup mulutnya rapat-rapat. Lelaki itu tidak memberikan reaksi apa pun pada kalimat yang Pijar ucapakan selain wajahnya yang datar.
Pijar menghela napas panjang, lalu kembali berujar, “Kalau ini tentang keterlambatan saya, saya minta maaf. Saya berjanji, ini yang terakhir.”
Lelaki yang dulu pernah memberikan tatapan lembut itu kini mendengus. Tatapannya kini tidak lagi memancarkan cinta, tetapi dendam yang membara.
“Saya tidak bekerja dengan pengkhianat. Selagi saya masih berbaik hati, maka pergilah. Sebelum hidupmu hancur di sini.”
Wajah Pijar memerah sepenuhnya. Dari ucapan Elang, kebencian lelaki itu sepertinya sudah tidak tertolong lagi.
Kendati demikian, Pijar bukanlah perempuan yang akan merengek dengan keadaan. Kalimat hidupnya akan hancur yang dikatakan Elang justru membuat dia penasaran, apa yang akan dilakukan Elang untuk menghancurkannya?
“Saya bukan pengkhianat. Dan saya tidak pernah berkhianat.” Pijar mengepalkan dua tangannya di sisi tubuh, guna menghalau emosinya yang siap meledak.
“Bahkan saya memiliki bukti kalau kamu berkhianat,” ujar lelaki itu dengan dingin.
Tatapan Elang kembali mengintimidasinya. Pijar tahu, Elang mencoba mengungkit masa lalu mereka yang berakhir buruk. Namun, kini mereka berada di kantor. Hubungan mereka pun bukan lagi sekadar pasangan kekasih, melainkan bos dan sekretaris pribadi.
Untuk itu, Pijar tidak ingin terpancing. “Apa Bapak punya bukti jika saya pernah membocorkan rahasia perusahaan? Jika tidak, Bapak tidak berhak menilai saya sebagai pengkhianat!” ujarnya dengan lantang.
“Saya tidak peduli. Di mata saya, kamu tetaplah pengkhianat, dan saya berhak memutuskan kerja sama dengan pengkhianat sepertimu.” Elang lalu menelepon seseorang setelah mengatakan itu.
Tak lama, seorang lelaki yang merupakan seorang manajer HRD datang. “Bapak membutuhkan sesuatu?” tanyanya pada Elang.
“Saya membutuhkan sekretaris.”
Kalimat itu membuat manajer tersebut kebingungan. Lelaki itu menoleh ke arah Pijar dengan tatapan penuh tanya. “Tapi, Mbak Pijar adalah sekretaris Bapak,” tegas Manajer.
“Saya membutuhkan sekretaris yang kompeten.”
Pijar seketika menatap tajam ke arah Elang. Bagaimana mungkin ucapan itu keluar dari mulut Elang ketika Pijar bahkan belum menunjukkan kinerjanya di depan lelaki itu? Beruntung untuk Pijar, Manajer itu mengatakan hal yang membuat Elang menutup mulutnya dengan rahang mengerat.
“Maafkan saya, Pak. Tanpa mengurangi rasa hormat saya, Bapak tidak diizinkan mengganti sekretaris Bapak.” Manajer HRD tersebut berkata lugas, seolah tidak terpengaruh oleh tatapan mengintimidasi yang diberika oleh Elang. “Pak Gema sudah mengaturnya dan mempercayakan Mbak Pijar untuk mendampingi Bapak.”
‘T-tunggu! Jadi, Pak Gema dan Elang… mereka….’
Manajer HRD kembali undur diri. Dalam waktu beberapa detik, tatapan Elang dan Pijar saling beradu.
Pijar dengan tatapan terkejutnya, sementara Elang dengan kilatan amarah.
“Saya telah memberikan kamu pilihan untuk pergi. Sekarang, lihatlah … seberapa kuat kamu akan bertahan di neraka yang akan saya ciptakan, Pijar Kemuning!”
***
“Selamat siang, Nona Aurora.” Pijar berdiri dengan sikap siap di hadapan wanita cantik bergestur angkuh yang sekarang berdiri di hadapannya. Perintah Elang yang aneh untuk hari ini adalah dia yang harus menjemput kekasih pria itu di bandara. “Saya Pijar, sekretaris pribadi Pak Elang. Saya datang menjemput Anda.”Tidak lupa, dia menyodorkan bunga lili yang dibawanya itu kepada Aurora dengan sopan. Alih-alih diterima, kekasih bosnya itu justru menatap sengit ke arah Pijar.“Aku menyukai bunga mawar. Kamu tidak tahu itu?”Pijar terkejut ketika mendengar ucapan Aurora. Dia yakin tidak salah dengar kalimat perintah yang diucapkan Elang sebelum dirinya berangkat ke bandara. Lelaki itu jelas-jelas mengatakan kalau dia harus membawa bunga lili untuk Aurora, bukan bunga mawar.Menekan kekesalannya, Pijar menyadari sesuatu. ‘Sial! Dia mengerjaiku!’ Elang sengaja melakukannya agar dia mendapatkan masalah. Namun, tentu saja dia tidak bisa menyalahkan Elang di hadapan kekasihnya. Untuk itu, Pijar
Keesokan harinya, Pijar masuk ke kantor seperti biasa seolah tidak pernah terjadi apa pun. Semua pekerjaannya dilakukan dengan profesional tanpa berbicara sepatah kata pun.Hingga satu kesempatan … Elang kembali menyulut ketegangan.“Hari ini, datang dan minta maaflah kepada Aurora. Merendahlah di depannya.” Begitu katanya tanpa perasaan.Sesaat, Pijar kembali memutar ingatan, ketika Elang memerintahkannya menjemput Aurora.“Siapkan bunga lili dan Americano.” Pijar mengulang perintah yang diucapkan lelaki itu kala menyuruhnya menjemput Aurora tempo hari.“....”Di hadapannya, Elang terdiam. Lelaki itu tidak membantah kalimatnya, membuat Pijar pun semakin berani menatap bosnya dan membelot.“Anda yang salah mengatakan bunga yang disukai oleh kekasih Anda. Anda yang ingin mencelakainya dengan meminta saya memberikan Americano, sedangkan Aurora memiliki penyakit lambung akut.” Pijar menatap Elang yang sekarang rahangnya terlihat mengetat erat. Kendati demikian, dia tidak gentar dan kemba
“Kamu sudah benar-benar keterlaluan, Elang!”Pijar marah, sebab ketika dia berhasil keluar dari bar, dia tidak menemukan mobil Elang yang tadi membawa mereka ke sini.Lelaki itu benar-benar meninggalkannya di tempat yang belum pernah dia datangi, dan membiarkan Pijar terkurung bersama teman-temannya yang brengsek. Elang sungguh keterlaluan, sepertinya rasa iba sudah tidak ada lagi di dalam hatinya. Tertutup dengan kebencian yang memenuhi nalurinya. Pijar kemudian melihat jam di tangannya dan waktu masih pukul tujuh malam. Pijar pun berniat menuju suatu tempat di mana dia bisa mengakhiri semua masalah yang dihadapinya malam ini juga.Menggunakan taksi, Pijar menghabiskan satu jam perjalanan untuk sampai ke tempat yang dulu pernah dia datangi. Pijar memantapkan niat sebelum akhirnya melangkah pasti ke dalam rumah mewah tersebut.“Pijar?” Lelaki paruh baya yang menemuinya itu tampak terkejut. “Apa ada hal yang penting sampai kamu datang ke sini?” tanyanya dengan ekspresi penasaran.Pijar
Elang melemparkan ponselnya ke hadapan Pijar. Sebuah portal berita online dengan judul ‘Seorang Model Cantik Ternyata Berkelakuan Buruk. Melemparkan Bunga dan Minuman ke Dalam Tempat Sampah’ terpampang di sana. “Karena ulahmu waktu itu, Aurora harus mendapatkan masalah.” Elang berujar kesal. “Kesalahan yang kamu buat tempo hari menjadi besar karena nama Aurora yang sedang bersinar. Bagaimana kamu akan bertanggung jawab?” Pijar mendongak menatap Elang. Tidak ada gelegak amarah yang terlihat dalam tatapannya. “Maaf, tapi kenapa saya harus bertanggung jawab atas masalah orang lain?” tanyanya masih dengan suara yang tenang, sama sekali tidak terprovokasi. “Kalau Bapak lupa, semua itu bukan kesalahan yang sengaja saya buat.” Berbanding terbalik dengan Pijar yang tenang, di hadapannya … Elang justru terlihat semakin kesal. Amarahnya merangkak ke puncak usai mendengar keberanian sang sekretaris dalam menjawabnya. “Buatlah klarifikasi atas hal tersebut dan katakan kalau Aurora tidak bers
Pijar tidak mengerti kenapa sejak dia masuk ke dalam gedung kantornya, semua orang menatapnya sambil berbisik-bisik. Menatap Pijar dengan tatapan aneh dan jijik. Pijar yang belum memahami situasi itu hanya tampak tak acuh dan memilih pergi ke ruangannya. Lantai paling atas adalah ruangan-ruangan petinggi perusahaan dan salah satunya ruangan Elang berada. Beruntung, dia bertemu dengan sekretaris manajer yang tak lain adalah temannya. Perempuan itu menarik Pijar untuk bisa berbicara berdua. “Kamu udah tahu apa yang sedang trending di kantor ini?” tanya perempuan itu dengan serius. Menatap Pijar fokus. “Kamu terlibat cinta segitiga dengan Pak Elang dan Aurora?” Pertanyaan itu membuat Pijar membelalakkan matanya. “Nggak sama sekali.” Pijar berucap tegas. “Aku nggak punya hubungan apa pun dengan Pak Elang kecuali hanya hubungan kerja.” “Kamu harus lihat ini.” Vira memberikan ponselnya kepada Pijar. “Kamu terlibat skandal dengan Aurora. Dia yang mengatakan kalau kamu selalu mendekati
“Apa benar, itu kesalahpahaman?” Yang lain menimpali. Ekspresi-ekspresi penasaran itu muncul di wajah mereka masing-masing. Mengharapkan jawaban dari mulut Pijar secara langsung. Berbeda dengan Aurora yang sudah mengeluarkan segenap jiwanya untuk berakting, Pijar tampak tidak terpengaruh dengan wajah dinginnya. Elang tidak menyangka kalau Aurora akan melakukan semua ini di depan perusahaannya. Jawaban itu belum diberikan oleh Pijar ketika pertanyaan lain muncul. “Saya dengar, Infinity akan menjadi ‘rumah’ baru untuk Aurora ketika nanti Aurora kembali ke Indonesia. Bagaimana tanggapan Bapak?” Microphone itu di dekatkan di bibir Elang agar lelaki itu bisa segera menjawab. “Seharusnya kalau teman-teman media ingin wawancara, harus membuat janji terlebih dulu kepada kami.” Pijar akhirnya bersuara dan pasang badan. Elang, Aurora, dan manajer Aurora serta para wartawan yang berkerumun itu menatap langsung kepada Pijar dengan ekspresi terkejut. “Kami punya jadwal meeting dan kami harus
Gosip yang beredar di kantor terkait Pijar yang selalu menggoda Elang itu semakin santer terdengar setelah Pijar menolak memberikan keterangan terkait sifat Aurora kepada wartawan. Mereka percaya kalau itu dilakukan oleh Pijar atas dasar kecemburuan. Dengan begitu, citra baik Pijar seolah memudar setiap harinya. Hal ini membuat Pijar seolah terdesak oleh hal yang tidak seharusnya. Jika dia mengungkapkan kebenaran bagaimana sifat asli Aurora, itu hanya akan membuat nama baiknya semakin buruk di kantor. Jika dia menutup masalah itu rapat-rapat, Aurora akan merasa berada di atas angin. Pijar seperti tengah makan buah simalakama. “Dulu waktu sama Pak Gema, dia kelihatan banget baiknya. Nggak ada yang ingin didapetin. Sekarang ganti sama Pak Elang ya berubah lah. Secara, Pak Elang itu ganteng banget.” Langkah kaki Pijar terhenti ketika mendengar obrolan karyawan Infinity. Lorong yang sepi memudahkan Pijar mendengar obrolan tersebut tanpa perlu susah payah. “Kalau dibandingkan Auror
“Apa yang kamu lakukan di sini?” Pijar tidak menyangka kalau pagi ini akan mendapatkan tamu tak diundang yang datang ke rumahnya. Pijar akan berangkat ke kantor ketika dia mendapati Aurora berdiri di depan pagar rumahnya dengan wajah penuh amarah. Pijar tidak meminta perempuan itu masuk dan menginjak halaman rumahnya, karena itu dia memilih keluar dan menemui Aurora di luar pagar. “Apa yang aku lakukan di sini?” Aurora bergumam dengan suara tajam. “Aku ingin memberikanmu ini!” Perempuan itu menampar Pijar tepat di pipinya dan memukul Pijar membabi buta tanpa ampun. “Lepaskan!” Pijar berusaha untuk melepaskan rambutnya dari tangan Aurora, tetapi perempuan itu sama sekali tidak mau melepaskan. Dia bahkan semakin erat meremas surai halur Pijar dengan tarikan. Pijar merasa, kepalanya akan ikut terlepas karena ulah perempuan itu. Di pagi seperti ini, tidak akan ada orang yang bisa menolong mereka. Meskipun perumahan Pijar bukanlah perumahan elit, tetapi warga di sana benar-benar menjag