“Apa benar, itu kesalahpahaman?” Yang lain menimpali. Ekspresi-ekspresi penasaran itu muncul di wajah mereka masing-masing. Mengharapkan jawaban dari mulut Pijar secara langsung.
Berbeda dengan Aurora yang sudah mengeluarkan segenap jiwanya untuk berakting, Pijar tampak tidak terpengaruh dengan wajah dinginnya. Elang tidak menyangka kalau Aurora akan melakukan semua ini di depan perusahaannya.
Jawaban itu belum diberikan oleh Pijar ketika pertanyaan lain muncul. “Saya dengar, Infinity akan menjadi ‘rumah’ baru untuk Aurora ketika nanti Aurora kembali ke Indonesia. Bagaimana tanggapan Bapak?” Microphone itu di dekatkan di bibir Elang agar lelaki itu bisa segera menjawab.
“Seharusnya kalau teman-teman media ingin wawancara, harus membuat janji terlebih dulu kepada kami.” Pijar akhirnya bersuara dan pasang badan. Elang, Aurora, dan manajer Aurora serta para wartawan yang berkerumun itu menatap langsung kepada Pijar dengan ekspresi terkejut. “Kami punya jadwal meeting dan kami harus pergi sekarang. Kalau ingin mendapatkan klarifikasi, silakan buat janji terlebih dulu.”
Pijar bisa melihat wajah Aurora seketika memerah karena amarah. Dia yang sengaja memanggil para wartawan dan menjebak Pijar itu tampak tidak terima. Segera, dengan berpura-pura, dia mendekati Pijar dan memeluk lengan sekretaris Elang itu sok akrab.
“Pijar, kamu hanya perlu sedikit berbicara kebenaran dan masalah itu selesai. Tidak perlu menunggu lain kali.” Aurora sedikit mencubit lengan Pijar dengan kuat agar Pijar bisa diajak bekerja sama. Namun, Aurora salah target. Pijar tidak mudah ditaklukkan hanya dengan rencana bodoh seperti itu.
Pijar menyeringai ketika dia menatap Aurora yang ada di sampingnya saat berkata, “Tentu saya bisa mengatakan yang sebenarnya, tapi apa kamu yakin kalau saya bicara kamu bisa menyelamatkan karirmu?” bisik Pijar tak acuh membuat Aurora menggeram marah.
“Maaf tema-teman wartawan, kami benar-benar tidak punya banyak waktu.” Pijar mengeluarkan kartu nama. “Kalian bisa menghubungi saya untuk mendapatkan klarifikasi yang kalian butuhkan.”
Kini tatapan Pijar mengarah pada Elang yang sejak tadi bungkam seribu bahasa. “Mari, Pak. Jangan sampai kita telat sampai di tempat meeting.”
Hal itu membuat Elang menatap Pijar sedikit lama sebelum dia mengangguk meninggalkan kerumunan. Bahkan lelaki itu sama sekali tidak menoleh kepada Aurora untuk sekedar berpamitan.
Suasana di dalam mobil itu terlalu hening sepanjang perjalanan menuju restoran tempat mereka meeting. Namun, entah kenapa, Elang sesekali menatap Pijar yang duduk di kursi depan. Ada perasaan aneh yang menelusup di dalam hati lelaki itu yang tak bisa dijabarkan. Tidak, dia tak sedang jatuh cinta kepada Pijar. Itu tidak akan pernah terjadi. Hanya saja, ada sebuah rasa sesak yang tiba-tiba menelusup.
***
“Kebetulan kita bertemu di sini.” Senyum Gema merekah lebar melihat Elang dan Pijar selesai meeting di restoran tersebut. Gema bersama Almeda pergi berdua untuk makan siang. “Pijar, lama kita mengobrol. Mama nggak keberatan ‘kan kalau kita meminta mereka untuk bergabung?” Gema bertanya kepada sang istri.
“Tentu saja tidak. Pijar, saya juga sudah lama tidak mengobrol dengan kamu.”
Elang yang berada di sana tidak pernah menyangka kalau sebenarnya kedua orang tuanya sangat dekat dengan Pijar. Setelah mereka berempat duduk di satu meja, Almeda segera mengobrol dengan Pijar.
“Pijar, bagaimana kerja dengan Elang? Apa dia menyusahkan?” tanya perempuan itu ingin tahu.
Pijar tersenyum. “Semua bisa diatasi, Bu.” Pijar tidak akan mengatakan hal apa yang sudah dilakukan oleh Elang kepadanya karena itu adalah sebuah konsekuensi yang sudah pantas diterima olehnya ketika memutuskan untuk bekerja dengan Elang.
“Bagus kalau begitu, saya lega mendengarnya.” Gema menimpali. “Saya dengar, akan ada model yang masuk ke Infinity. Perempuan itu cukup terkenal dan salah satu asset. Apa benar begitu?”
Gema sudah menyerahkan sepenuhnya urusan perusahaan kepada Elang setelah dia sudah memilih untuk pensiun. Namun, bukan berarti dia lepas tangan dan tidak tahu apa yang terjadi di perusahaannya karena Gema terus memantau semua urusan Perusahaan.
“Kami masih berdiskusi. Belum benar-benar fix. Lagi pula, dia akan balik ke luar negeri setelah masa liburannya di Indonesia sudah selesai.” Elang memberi penjelasan.
“Baguslah. Ingat, Elang. Di perusahaan Infinity adalah agensi nomor satu. Kualitas si model harus nomor satu, etikanya harus punya, dan tentu saja penilaian lain-lainnya harus memenuhi. Papa tahu kalau dia adalah temanmu, tapi kamu tidak boleh serta merta menerimanya karena hubungan tersebut. Karena bisnis tidak ada kata teman.”
Elang tidak menjawab karena ayahnya sudah memberikan ultimatum. Dia hanya mengangguk dan tak ada perdebatan setelah itu.
Sehabis makan siang, Elang dan Pijar kembali ke kantor. Kerumunan wartawan tentu juga sudah tidak ada lagi di sana. Sayangnya, Aurora justru berada di ruangan Elang tanpa meminta izin terlebih dulu kepada si empunya. Elang yang sebenarnya tidak suka jika wilayah pribadinya itu dimasuki oleh orang lain, tentu saja tampak tak senang.
“Aurora, kamu tidak pulang?” tanya Elang setelah itu. Aurora yang tadinya duduk di sofa ruangan Elang pun berdiri.
“Bisa-bisanya kamu meninggalkanku dengan para wartawan itu tanpa sepatah kata pun, Elang? Aku seperti orang bodoh di sana dan dianggap gila oleh mereka semua!” Aurora murka di depan Elang. “Di mana dia? Di mana perempuan itu sekarang!” Teriakannya menggema di seluruh ruangan besar tersebut enggan menyebut nama Pijar.
Elang bergeming. Menatap Aurora dengan wajah dingin seolah dia tidak tertarik dengan perempuan itu.
“Siapa yang memintamu datang di ruanganku?” tanya Elang setelah itu, “siapa yang mengizinkanmu untuk masuk ke sini tanpa permisi?”
Aurora sedikit terkejut dengan ucapan Elang, selanjutnya dia menyembunyikan keterkejutannya. “Apa kamu akan mempermasalahkan masalah sepele ini, Elang? Urusanku jauh lebih penting.” Kali ini nada suara Aurora merendah. Dia jelas tidak ingin membuat Elang murka. “Aku melakukan semua ini demi kita. Kalau nama baikku buruk dan aku masuk ke Infinity, maka itu hanya akan membuat masalah baru bagi perusahaan. Oleh karena itu, aku ingin membersihkan namaku.”
Elang lagi-lagi tidak menanggapi perempuan itu dan memilih duduk di kursinya. Setelah itu dia memanggil Pijar untuk masuk ke dalam ruangannya. Pijar muncul di ruangan Elang setelah itu, lalu dia berdiri dengan sopan di depan Elang.
“Apa yang perlu saya kerjakan, Pak?” tanyanya.
“Kamu sudah dihubungi oleh para wartawan itu tadi?” Elang memastikan.
“Ada banyak yang menghubungi saya, tapi saya belum membalasnya.”
“Pijar sudah ada di sini, apa yang ingin kamu katakan, Aurora?” Elang justru melemparkan pertanyaan itu kepada Aurora. “Pijar sudah pernah bilang kalau dia tak akan konfirmasi tentang masalah itu. Jadi, apa yang kamu inginkan?”
“Mau tidak mau, dia harus mau!” putus Aurora, “semua masalah ini ada karena dia. Pijar terlalu angkuh.”
“Karena itu kamu membuat drama murahan dengan mengatakan saya tertarik dengan Pak Elang? Kamu bilang karena saya cemburu denganmu lantas saya membuat namamu buruk?” Pijar kali ini memberikan atensi sepenuhnya kepada Aurora. “Drama murahan yang kamu ciptakan tidak akan berpengaruh apa pun kepada saya, Nona. Kamu tidak bisa menekan saya untuk melakukan sesuatu yang tidak saya kehendaki, atau kamu justru akan tenggelam lebih dalam dalam kubangan masalah.”
Pijar menyeringai kecil. “Mau coba?”
***
Elang ini siapa sih? Kalau Baca buku Dicampakkan Setelah Malam Pertama pasti tahu kok siapa dia. Happy Reading, Guys!!!
Gosip yang beredar di kantor terkait Pijar yang selalu menggoda Elang itu semakin santer terdengar setelah Pijar menolak memberikan keterangan terkait sifat Aurora kepada wartawan. Mereka percaya kalau itu dilakukan oleh Pijar atas dasar kecemburuan. Dengan begitu, citra baik Pijar seolah memudar setiap harinya. Hal ini membuat Pijar seolah terdesak oleh hal yang tidak seharusnya. Jika dia mengungkapkan kebenaran bagaimana sifat asli Aurora, itu hanya akan membuat nama baiknya semakin buruk di kantor. Jika dia menutup masalah itu rapat-rapat, Aurora akan merasa berada di atas angin. Pijar seperti tengah makan buah simalakama. “Dulu waktu sama Pak Gema, dia kelihatan banget baiknya. Nggak ada yang ingin didapetin. Sekarang ganti sama Pak Elang ya berubah lah. Secara, Pak Elang itu ganteng banget.” Langkah kaki Pijar terhenti ketika mendengar obrolan karyawan Infinity. Lorong yang sepi memudahkan Pijar mendengar obrolan tersebut tanpa perlu susah payah. “Kalau dibandingkan Auror
“Apa yang kamu lakukan di sini?” Pijar tidak menyangka kalau pagi ini akan mendapatkan tamu tak diundang yang datang ke rumahnya. Pijar akan berangkat ke kantor ketika dia mendapati Aurora berdiri di depan pagar rumahnya dengan wajah penuh amarah. Pijar tidak meminta perempuan itu masuk dan menginjak halaman rumahnya, karena itu dia memilih keluar dan menemui Aurora di luar pagar. “Apa yang aku lakukan di sini?” Aurora bergumam dengan suara tajam. “Aku ingin memberikanmu ini!” Perempuan itu menampar Pijar tepat di pipinya dan memukul Pijar membabi buta tanpa ampun. “Lepaskan!” Pijar berusaha untuk melepaskan rambutnya dari tangan Aurora, tetapi perempuan itu sama sekali tidak mau melepaskan. Dia bahkan semakin erat meremas surai halur Pijar dengan tarikan. Pijar merasa, kepalanya akan ikut terlepas karena ulah perempuan itu. Di pagi seperti ini, tidak akan ada orang yang bisa menolong mereka. Meskipun perumahan Pijar bukanlah perumahan elit, tetapi warga di sana benar-benar menjag
Hanya dalam satu hari, Infinity dibuat goyah oleh berita-berita tak sedap yang dikeluarkan oleh Aurora. Dia mengaku dianiaya oleh Pijar sampai dia terluka. Infinity adalah perusahaan besar, seharusnya bisa mendidik karyawannya agar tidak melakukan kekerasan kepada calon model mereka. “Aku benar-benar tidak tahu kenapa dia melakukan ini. Aku hanya ingin berbicara baik-baik kepadanya, tapi dia justru bersikap kasar kepadaku.” Begitu kata Aurora sambil menangis tersedu. “Aku tahu, Elang lebih memilihku daripada dia dan dia sepertinya nggak terima. Dia memperlakukanku dengan sangat buruk karena cemburu. Dan tentang bunga yang aku buang, kami sudah berbicara secara baik-baik, tapi dia justru menyuruhku membuangnya.” Pijar mematikan ponselnya dengan tarikan napas panjang. Aurora benar-benar melibatkan Infinity dalam masalahnya dengan Pijar. Tentu ini sangat menjengkelkan. Pijar masih terpekur di tempat duduknya ketika telepon di depannya berbunyi. Elang memintanya masuk ke dalam ruanganny
“Itulah kenapa saya sempat ingin mundur dari posisi saya sebagai sekretaris Pak Elang, Pak.” Sudah kepalang tanggung, tidak perlu menutupinya lagi. Pijar juga perempuan biasa, dia memang selalu bersikap tegas dan cenderung garang. Namun, ada satu waktu di mana dia tak bisa menyembunyikan sesuatu hanya untuk melindungi orang lain. Ketika dia terus didesak atas sesuatu yang tidak seharusnya, dia juga bisa berontak. Elang yang berada di samping Pijar itu mengeratkan rahangnya kuat mendengar ucapan Pijar. Ada gejolak aneh yang membuatnya merasa belum puas membalas perbuatan Pijar di masa lalu. Gema menatap Elang dengan kernyitan di dahinya, tetapi tidak ada apa pun yang keluar dari bibirnya. “Pacaran?” tanya Gema setelahnya tampak sedikit ragu. Pijar mengangguk. Menarik napasnya panjang sebelum mengeluarkan kembali suaranya. “Iya, Pak.” Kali ini Gema yang benar-benar terkejut. Bahkan untuk beberapa saat, tidak ada dari mereka yang berbicara. Pijar tampaknya sedikit gugup. Gadis itu
“Aku dengar, Aurora sudah kembali ke luar negeri.” Vira bertanya saat makan siang bersama dengan Pijar di tempat biasa. Menikmati indahnya pemandangan kota dari ketinggian. Sebungkus nasi Padang menemani makan siang mereka. Pijar mengedikkan bahunya tak acuh. “Bagus deh, semoga dia berjaya di tempat yang seharusnya.” Pijar tidak begitu peduli dengan perempuan gila tersebut. Sudah ada banyak hal yang dilakukan oleh perempuan itu untuk membuatnya kesal. “Tapi, orang-orang di kantor ini sepertinya masih bersikap kurang baik sama kamu, Jar.” “Siapa yang peduli, Vir. Yang penting kamu nggak kaya mereka udah cukup.” Sejak awal, Pijar memang tidak begitu dekat dengan orang-orang di kantornya. Dia memang berteman baik kepada semua karyawan Infinity, tapi bukan berarti langsung lengket sampai curhat sana-sini. Berhubungan baik dengan banyak orang itu adalah sebuah keharusan, tetapi bukan berarti dia harus menganggap mereka sahabat. Tidak ada dari mereka yang tahu bagaimana kehidupan pribad
“Kita pergi ke Bandung sekarang!” Tidak ada angin tidak ada hujan, tiba-tiba saja lelaki itu mengajak Pijar pergi keluar. Ekspresi kelam yang ditunjukkan itu menandakan ada sesuatu yang tidak beres. Apa yang terjadi? Itu adalah pertanyaan Pijar yang ditelan tanpa ingin bertanya kepada sang bos. “Apa kita akan menginap?” Pijar tidak bertanya tentang tujuan mereka ke sana dan memilih bersikap professional. Jika mereka akan menginap, itu artinya, Pijar perlu menyiapkan beberapa barang untuk dibawanya pergi. “Tidak. Kalau urusan di sana selesai, kita langsung pulang.” Pijar mengangguk, lalu bertanya lagi. “Apakah ada dokumen yang perlu kita bawa, Pak?” “Tidak!” Setelah mengatakan itu, Elang memberikan kode agar mereka segera berangkat. Pijar memasukkan beberapa barang yang diperlukan ke dalam tasnya sebelum mengekori Elang. Di luar gedung, seorang supir sudah menunggu untuk mengantar mereka. Pijar sebenarnya diliputi rasa penasaran yang tinggi karena kepergian mereka yang t
Label pengkhianat yang diberikan Elang kepada Pijar tampaknya tidak akan pernah hilang. Jujur saja, Pijar tidak begitu mengerti kenapa Elang mengatakan itu kepadanya berulang kali seolah dirinya pernah melakukannya. Akan tetapi, Pijar tidak ingin menjelaskan apa pun kepada Elang tentang dirinya. Penilaian Elang terhadapnya tidak akan pernah berubah karena lelaki itu sudah terlanjur membencinya. Pijar menerima panggilan tersebut kemudian menempelkan ponselnya di telinganya, tetapi Elang justru memintanya untuk me-loudspeaker. Kesal, Pijar melakukan permintaan bosnya tersebut bahkan meletakkan ponselnya di tengah-tengah meja. “Assalamualaikum, Bun,” ucap Pijar kepada si penelpon. “Waalaikumsalam.” Suara seorang perempuan terdengar dari seberang sana. “Masih di kantor, Nak?” tanyanya dengan suara lembut. Elang sedikit tercenung meskipun ekspresinya sama sekali tidak berubah. Dia tetap mendengar obrolan Pijar dengan seseorang di seberang sana yang notabennya adalah ibunya. “Ini lagi
Sudah pukul satu malam ketika Pijar sudah masuk ke dalam ruangan Elang selama tiga kali dan semua laporan yang dibuatnya dianggap salah. Tidak satu pun pekerjaan Pijar yang Elang anggap benar dan itu harus direvisi berulang kali. Lelah, kantuk, bahkan rasa lapar sudah menyerangnya. Pijar ingin segera pulang, tetapi dia tak akan bisa pergi selama Elang tidak mengizinkan pergi. Janji yang pernah dikatakan oleh Gema tentang akan memindahkan dia mendampingi bagian lain pun tidak pernah lagi diungkit. Sejujurnya, Pijar bertahan di sana karena memang gaji yang diberikan lebih besar dari perusahaan lain. Terlebih lagi, dia sudah delapan tahun bekerja di sana dan kenyamanan itu sudah didapatkan. “Kamu tidur, Jingga?” Elang keluar dari ruangannya mengejutkan Jingga yang terkantuk-kantuk di depan komputer. Kedua tangannya masih berada di atas keyboard laptop, tetapi matanya sudah tertutup rapat. “Maaf, Pak.” Pijar terlonjak kaget dan mencoba untuk membuka matanya lebar-lebar. Dia segera bera