Gosip yang beredar di kantor terkait Pijar yang selalu menggoda Elang itu semakin santer terdengar setelah Pijar menolak memberikan keterangan terkait sifat Aurora kepada wartawan. Mereka percaya kalau itu dilakukan oleh Pijar atas dasar kecemburuan. Dengan begitu, citra baik Pijar seolah memudar setiap harinya. Hal ini membuat Pijar seolah terdesak oleh hal yang tidak seharusnya.
Jika dia mengungkapkan kebenaran bagaimana sifat asli Aurora, itu hanya akan membuat nama baiknya semakin buruk di kantor. Jika dia menutup masalah itu rapat-rapat, Aurora akan merasa berada di atas angin. Pijar seperti tengah makan buah simalakama.
“Dulu waktu sama Pak Gema, dia kelihatan banget baiknya. Nggak ada yang ingin didapetin. Sekarang ganti sama Pak Elang ya berubah lah. Secara, Pak Elang itu ganteng banget.”
Langkah kaki Pijar terhenti ketika mendengar obrolan karyawan Infinity. Lorong yang sepi memudahkan Pijar mendengar obrolan tersebut tanpa perlu susah payah.
“Kalau dibandingkan Aurora dengan Pijar, ya kebanting banget. Aurora itu model yang sudah diakui, tapi Pijar hanya orang beruntung yang bisa dekat dengan keluarga pemilik perusahaan. Nggak sepadan.” Yang lain menimpali.
Pijar mengepalkan tangannya dengan kuat mendengar obrolan tersebut dengan rasa kesal yang membumbung tinggi di dalam kepalanya. Dua orang yang perlu disalahkan dalam hal ini adalah Elang dan Aurora. Mereka yang menciptakan masalah ini akhirnya ada.
“Apa yang kamu lakukan di sana?” Suara lain tiba-tiba terdengar. Pijar menoleh ke belakang dan mendapati Elang ada di belakangnya. Tidak segera menjawab, Pijar mencoba melongokkan kepalanya untuk melihat orang-orang yang sedang bergosip tadi dan sudah tidak ada di sana.
Sial! Pijar tengah melamun sampai dia tak mendengar orang-orang itu sudah pergi dari tempatnya.
“Tidak ada.” Pijar menjawab Elang setelah itu. Dia meneruskan jalannya untuk masuk ke dalam lift kemudian diikuti oleh Elang di belakangnya.
Di dalam kotak besi tersebut, keheningan memerangkap keduanya. Pijar enggan untuk berbicara dengan bosnya karena dia tahu, lelaki itu hanya akan membuat mood-nya memburuk. Pijar merasa, bersatunya Elang dengan Aurora benar-benar bisa mengobrak-abrikkan ketenangan yang selama ini dia miliki.
Sampai di lantai paling atas di mana ruangan Elang berada, mereka keluar dari lift. Kali ini Elang yang berjalan lebih dulu diikuti oleh Pijar. Melewati ruangan-ruangan petinggi perusahaan dengan keheningan semakin mencekam. Hanya terdengar suara sepatu Pijar yang beradu dengan lantai marmer.
Hampir hari itu Pijar bekerja dengan tenang ketika sebuah berita kembali ketika Aurora kembali membuat masalah. Perempuan itu membuat pengakuan di social media dan mengatakan secara gamblang tentang hubungan yang terjadi antara dirinya dan Elang. Berita itu yang tadinya hanya dikonsumsi oleh satu perusahaan Infinity pun akhirnya menyebar.
Ada tangis pilu yang dikeluarkan untuk membuat semua orang percaya kepadanya. Tadinya Pijar ingin menahan lidahnya untuk tidak menyebarkan sifat asli Aurora, tetapi kini saatnya dia bersuara. Menghubungi seorang wartawan yang pernah menghubunginya, dia akan membuat pengakuan yang sebenarnya. Nama baiknya sedang dipertaruhkan sekarang.
***
“Papa membesarkan nama perusahaan ini, tidak sekali pun Papa memiliki skandal seperti ini, Elang.” Mengetahui tentang berita tidak menyenangkan itu, akhirnya Gema segera menemui Elang di kantor. “Kamu tahu Mama Permata, dia adalah perempuan hebat yang Papa kejar untuk bisa bernaung di Infinity dulunya, tetapi hal seperti ini sama sekali tidak terjadi.”
Gema tampak tidak bersahabat jika ada sesuatu tidak menyenangkan menghantam perusahaannya. Karena itu melibatkan Pijar, maka Pijar juga berada di ruangan Elang. Berhadapan dengan bos besarnya dan mendengarkan protes keras dari lelaki itu.
“Pijar, kamu bisa jelaskan kejadian yang sebenarnya?” tanya Gema.
Pijar mengangguk dan segera menjelaskan apa yang terjadi. Tentu saja dia memangkas ceritanya di bagian Elang yang sebenarnya adalah dalang dari masalah ini. Pijar tidak ingin mengambil kesempatan untuk menjelekkan Elang di depan sang ayah. Bahkan Elang saja sedikit terkejut dengan pengakuan Pijar.
“Maafkan saya, Pak. Tetapi saya tidak bisa membiarkan orang lain menginjak harga diri saya. Tidak ada yang bisa membantu saya kecuali diri saya sendiri,” ucap Pijar dengan tegas.
“Kamu akan mengungkapkan semuanya kepada wartawan?” tanya Gema setelah itu. Ingin tahu jalan apa yang akan diambil oleh mantan sekretarisnya itu.
“Seharusnya dia tidak membuat fitnah seperti ini hanya untuk menutupi masalahnya. Jadi, saya harus bertindak tegas.” Pijar tidak mengatakan secara gamblang tentang jawaban yang akan diberikan. Jadi, dia mengambil kata penuh makna.
“Baiklah. Perjuangkan apa pun yang memang bisa membuat namamu kembali bagus, karena itu adalah jalan satu-satunya membersihkan namamu.”
Elang yang sejak tadi berada di sana pun hanya diam. Untuk kali ini, dia memilih untuk membiarkan Pijar berbuat sesukanya. Dia hanya ingin tahu apa yang akan dikatakan oleh perempuan itu ketika dia berada di depan wartawan.
Sore hari ketika jadwal pulang sudah tiba, Pijar akhirnya berhadapan dengan para wartawan itu sendirian. Karena semua orang sudah termakan oleh gossip yang diciptakan oleh Aurora, maka dia hanya bisa mengandalkan dirinya sendiri untuk menghadapi rentetan pertanyaan yang para wartawan ajukan.
“Saya tidak akan berbicara banyak hal. Yang pasti, pertama; saya tidak pernah memiliki hubungan spesial apa pun dengan Pak Elang seperti yang dibicarakan Aurora di media. Beliau adalah bos saya dan hubungan kami hanya sebatas profesionalisme kerja. Kemudian yang kedua; Aurora mengatakan kalau kejadian di bandara itu hanya salah paham, itu tidak benar. Ada sebuah kesalahan informasi tentang bunga tersebut. Dia menyukai bunga mawar, sedangkan seseorang yang ingin menjebak saya dengan mengatakan kalau Aurora menyukai bunga lili, karena itu saya membawakannya. Dan seperti yang ada di berita saat itu, dia sengaja melemparkan bunga tersebut ke tong sampah tanpa berpikir dua kali.”
Pijar berhenti berbicara setelah itu. Rasa kesal yang dia rasakan seolah sedikit demi sedikit memudar setelah dia mengatakan kejadian yang sebenarnya. Kegaduhan antar wartawan itu seketika mencuat.
“Dia sekarang menangis-nangis mengatakan kalau insiden di bandara itu dikaitkan dengan ketidak senangan saya kepada dia, itu benar-benar bohong. Urusan cinta Aurora dengan bos saya bukanlah urusan saya. Tapi dia menuduh saya yang tidak-tidak. Dia membuat nama saya buruk di depan banyak orang. Jadi, saya harap, penjelasan saya kali ini bisa memenuhi rasa penasaran teman-teman semua. Terima kasih.”
Pijar menunduk sebelum dia berbalik untuk pergi dari tempat itu. Saat para wartawan itu ingin mengejarnya, dua satpam kantor itu segera menghadang mereka. Pijar lantas bisa segera keluar dari kerumunan dan masuk ke dalam mobilnya.
Elang yang sejak tadi menatap Pijar itu hanya terdiam di tempatnya. Tatapannya tidak terbaca, tetapi seringaiannya terlukis di bibirnya.
“Pijar, keberanianmu sungguh luar biasa. Tapi kamu tidak tahu bagaimana Aurora akan kembali membalasmu setelah ini.”
***
“Apa yang kamu lakukan di sini?” Pijar tidak menyangka kalau pagi ini akan mendapatkan tamu tak diundang yang datang ke rumahnya. Pijar akan berangkat ke kantor ketika dia mendapati Aurora berdiri di depan pagar rumahnya dengan wajah penuh amarah. Pijar tidak meminta perempuan itu masuk dan menginjak halaman rumahnya, karena itu dia memilih keluar dan menemui Aurora di luar pagar. “Apa yang aku lakukan di sini?” Aurora bergumam dengan suara tajam. “Aku ingin memberikanmu ini!” Perempuan itu menampar Pijar tepat di pipinya dan memukul Pijar membabi buta tanpa ampun. “Lepaskan!” Pijar berusaha untuk melepaskan rambutnya dari tangan Aurora, tetapi perempuan itu sama sekali tidak mau melepaskan. Dia bahkan semakin erat meremas surai halur Pijar dengan tarikan. Pijar merasa, kepalanya akan ikut terlepas karena ulah perempuan itu. Di pagi seperti ini, tidak akan ada orang yang bisa menolong mereka. Meskipun perumahan Pijar bukanlah perumahan elit, tetapi warga di sana benar-benar menjag
Hanya dalam satu hari, Infinity dibuat goyah oleh berita-berita tak sedap yang dikeluarkan oleh Aurora. Dia mengaku dianiaya oleh Pijar sampai dia terluka. Infinity adalah perusahaan besar, seharusnya bisa mendidik karyawannya agar tidak melakukan kekerasan kepada calon model mereka. “Aku benar-benar tidak tahu kenapa dia melakukan ini. Aku hanya ingin berbicara baik-baik kepadanya, tapi dia justru bersikap kasar kepadaku.” Begitu kata Aurora sambil menangis tersedu. “Aku tahu, Elang lebih memilihku daripada dia dan dia sepertinya nggak terima. Dia memperlakukanku dengan sangat buruk karena cemburu. Dan tentang bunga yang aku buang, kami sudah berbicara secara baik-baik, tapi dia justru menyuruhku membuangnya.” Pijar mematikan ponselnya dengan tarikan napas panjang. Aurora benar-benar melibatkan Infinity dalam masalahnya dengan Pijar. Tentu ini sangat menjengkelkan. Pijar masih terpekur di tempat duduknya ketika telepon di depannya berbunyi. Elang memintanya masuk ke dalam ruanganny
“Itulah kenapa saya sempat ingin mundur dari posisi saya sebagai sekretaris Pak Elang, Pak.” Sudah kepalang tanggung, tidak perlu menutupinya lagi. Pijar juga perempuan biasa, dia memang selalu bersikap tegas dan cenderung garang. Namun, ada satu waktu di mana dia tak bisa menyembunyikan sesuatu hanya untuk melindungi orang lain. Ketika dia terus didesak atas sesuatu yang tidak seharusnya, dia juga bisa berontak. Elang yang berada di samping Pijar itu mengeratkan rahangnya kuat mendengar ucapan Pijar. Ada gejolak aneh yang membuatnya merasa belum puas membalas perbuatan Pijar di masa lalu. Gema menatap Elang dengan kernyitan di dahinya, tetapi tidak ada apa pun yang keluar dari bibirnya. “Pacaran?” tanya Gema setelahnya tampak sedikit ragu. Pijar mengangguk. Menarik napasnya panjang sebelum mengeluarkan kembali suaranya. “Iya, Pak.” Kali ini Gema yang benar-benar terkejut. Bahkan untuk beberapa saat, tidak ada dari mereka yang berbicara. Pijar tampaknya sedikit gugup. Gadis itu
“Aku dengar, Aurora sudah kembali ke luar negeri.” Vira bertanya saat makan siang bersama dengan Pijar di tempat biasa. Menikmati indahnya pemandangan kota dari ketinggian. Sebungkus nasi Padang menemani makan siang mereka. Pijar mengedikkan bahunya tak acuh. “Bagus deh, semoga dia berjaya di tempat yang seharusnya.” Pijar tidak begitu peduli dengan perempuan gila tersebut. Sudah ada banyak hal yang dilakukan oleh perempuan itu untuk membuatnya kesal. “Tapi, orang-orang di kantor ini sepertinya masih bersikap kurang baik sama kamu, Jar.” “Siapa yang peduli, Vir. Yang penting kamu nggak kaya mereka udah cukup.” Sejak awal, Pijar memang tidak begitu dekat dengan orang-orang di kantornya. Dia memang berteman baik kepada semua karyawan Infinity, tapi bukan berarti langsung lengket sampai curhat sana-sini. Berhubungan baik dengan banyak orang itu adalah sebuah keharusan, tetapi bukan berarti dia harus menganggap mereka sahabat. Tidak ada dari mereka yang tahu bagaimana kehidupan pribad
“Kita pergi ke Bandung sekarang!” Tidak ada angin tidak ada hujan, tiba-tiba saja lelaki itu mengajak Pijar pergi keluar. Ekspresi kelam yang ditunjukkan itu menandakan ada sesuatu yang tidak beres. Apa yang terjadi? Itu adalah pertanyaan Pijar yang ditelan tanpa ingin bertanya kepada sang bos. “Apa kita akan menginap?” Pijar tidak bertanya tentang tujuan mereka ke sana dan memilih bersikap professional. Jika mereka akan menginap, itu artinya, Pijar perlu menyiapkan beberapa barang untuk dibawanya pergi. “Tidak. Kalau urusan di sana selesai, kita langsung pulang.” Pijar mengangguk, lalu bertanya lagi. “Apakah ada dokumen yang perlu kita bawa, Pak?” “Tidak!” Setelah mengatakan itu, Elang memberikan kode agar mereka segera berangkat. Pijar memasukkan beberapa barang yang diperlukan ke dalam tasnya sebelum mengekori Elang. Di luar gedung, seorang supir sudah menunggu untuk mengantar mereka. Pijar sebenarnya diliputi rasa penasaran yang tinggi karena kepergian mereka yang t
Label pengkhianat yang diberikan Elang kepada Pijar tampaknya tidak akan pernah hilang. Jujur saja, Pijar tidak begitu mengerti kenapa Elang mengatakan itu kepadanya berulang kali seolah dirinya pernah melakukannya. Akan tetapi, Pijar tidak ingin menjelaskan apa pun kepada Elang tentang dirinya. Penilaian Elang terhadapnya tidak akan pernah berubah karena lelaki itu sudah terlanjur membencinya. Pijar menerima panggilan tersebut kemudian menempelkan ponselnya di telinganya, tetapi Elang justru memintanya untuk me-loudspeaker. Kesal, Pijar melakukan permintaan bosnya tersebut bahkan meletakkan ponselnya di tengah-tengah meja. “Assalamualaikum, Bun,” ucap Pijar kepada si penelpon. “Waalaikumsalam.” Suara seorang perempuan terdengar dari seberang sana. “Masih di kantor, Nak?” tanyanya dengan suara lembut. Elang sedikit tercenung meskipun ekspresinya sama sekali tidak berubah. Dia tetap mendengar obrolan Pijar dengan seseorang di seberang sana yang notabennya adalah ibunya. “Ini lagi
Sudah pukul satu malam ketika Pijar sudah masuk ke dalam ruangan Elang selama tiga kali dan semua laporan yang dibuatnya dianggap salah. Tidak satu pun pekerjaan Pijar yang Elang anggap benar dan itu harus direvisi berulang kali. Lelah, kantuk, bahkan rasa lapar sudah menyerangnya. Pijar ingin segera pulang, tetapi dia tak akan bisa pergi selama Elang tidak mengizinkan pergi. Janji yang pernah dikatakan oleh Gema tentang akan memindahkan dia mendampingi bagian lain pun tidak pernah lagi diungkit. Sejujurnya, Pijar bertahan di sana karena memang gaji yang diberikan lebih besar dari perusahaan lain. Terlebih lagi, dia sudah delapan tahun bekerja di sana dan kenyamanan itu sudah didapatkan. “Kamu tidur, Jingga?” Elang keluar dari ruangannya mengejutkan Jingga yang terkantuk-kantuk di depan komputer. Kedua tangannya masih berada di atas keyboard laptop, tetapi matanya sudah tertutup rapat. “Maaf, Pak.” Pijar terlonjak kaget dan mencoba untuk membuka matanya lebar-lebar. Dia segera bera
Sebelumnya, Elang bahkan tidak pernah protes dengan wewangian di dalam ruangannya tersebut. Entah karena ingin mengubah suasana ruangannya, atau memang hanya ingin sekedar membuat Pijar kesal, tidak ada yang tahu.Pijar tidak banyak bicara ketika membuka salah satu lemari kecil, lalu mengeluarkan beberapa pengharum ruangan di sana. “Ini ada beberapa varian, Pak. Silakan Bapak bisa pilih.” Elang mengambil satu per satu sebelum mencium aromanya. Sayangnya, semuanya ditolak mentah-mentah. “Tidak ada yang cocok!” Begitu katanya dengan cuek. “Saya ingin aroma manis dan manly, semuanya aromanya feminim.” Pijar bukan penjual parfum. Dia bahkan tidak tahu bagaimana dia bisa mencarikan aroma yang diinginkan oleh bosnya tersebut. Ini masih jam kantor sedangkan pekerjaannya masih menumpuk di atas meja kerjanya. Oleh karena itu, Pijar mencoba bernegosiasi. “Sepulang kerja, saya bisa mencarikan pengharum ruangan untuk Bapak. Tapi, sekarang saya harus mengerjakan pekerjaan saya yang masih bany