Pijar tidak mengerti kenapa sejak dia masuk ke dalam gedung kantornya, semua orang menatapnya sambil berbisik-bisik. Menatap Pijar dengan tatapan aneh dan jijik. Pijar yang belum memahami situasi itu hanya tampak tak acuh dan memilih pergi ke ruangannya. Lantai paling atas adalah ruangan-ruangan petinggi perusahaan dan salah satunya ruangan Elang berada.
Beruntung, dia bertemu dengan sekretaris manajer yang tak lain adalah temannya. Perempuan itu menarik Pijar untuk bisa berbicara berdua.
“Kamu udah tahu apa yang sedang trending di kantor ini?” tanya perempuan itu dengan serius. Menatap Pijar fokus. “Kamu terlibat cinta segitiga dengan Pak Elang dan Aurora?” Pertanyaan itu membuat Pijar membelalakkan matanya.
“Nggak sama sekali.” Pijar berucap tegas. “Aku nggak punya hubungan apa pun dengan Pak Elang kecuali hanya hubungan kerja.”
“Kamu harus lihat ini.” Vira memberikan ponselnya kepada Pijar. “Kamu terlibat skandal dengan Aurora. Dia yang mengatakan kalau kamu selalu mendekati Elang yang sudah jelas kekasihnya.”
Pijar bisa melihat bagaimana Aurora menangis-nangis karena merasa kesal dengan Pijar. Di sekelilingnya ada beberapa karyawan Infinity yang tampak menguatkan gadis itu. Drama itu benar-benar tampak menyayat hati dengan akting Aurora yang cukup mumpuni.
“Jadi, karena ini mereka menatapku merendahkan?” tanya Pijar terlebih pada dirinya sendiri.
“Jujur aku nggak percaya kalau kamu seperti itu. Makanya aku tanya sama kamu secara langsung. Syukurlah kalau memang kamu nggak punya hubungan apa pun dengan Pak Elang.” Vira menunjukkan kelegaannya. Vira adalah teman seperjuangannya sejak awal mereka bekerja di Infinity. Namun, karir Pijar menanjak lebih cepat dan dijadikan sekretaris pribadi oleh Gema sebelum sekarang bersama dengan Elang.
“Terima kasih ya, Vir. Kamu udah percaya sama aku.”
“Aku jelas percaya sama kamu dibandingkan dengan ucapan Aurora. Kita kerja saja sekarang, masalah lainnya kita bicarakan saja nanti.” Pijar mengangguk dan mengembalikan ponsel Vira kepada sang pemilik.
Pijar masuk ke dalam ruangannya dan memulai aktivitasnya. Dia mulai mengecek pekerjaan yang harus diselesaikan. Elang datang dengan wajah suram seperti biasa. Terkadang, Pijar bertanya-tanya kenapa lelaki itu selalu menunjukkan wajah seperti itu seolah beban hidupnya begitu besar.
“Masuk!” perintah Elang kepada Pijar dengan suara dingin. Tanpa banyak bertanya, Pijar langsung mengikuti lelaki itu. Berdiri tepat di depan meja kerja Elang tanpa mengatakan apa pun.
“Kamu tahu akibatnya kalau kamu tidak mendengar ucapan saya?” Elang yang sudah duduk di singgasananya itu segera mengeluarkan pertanyaan kepada Pijar dengan nada dingin. “Saya harus terlibat skandal murahan seperti ini.”
Elang tidak meneriaki Pijar karena bukan tabiat lelaki itu beradu urat leher ketika berbicara. Namun, kata-kata yang keluar dari mulutnya tak lebih dari sebuah pedang yang selalu menusuk hati orang lain.
“Skandal murahan itu kekasih Bapak sendiri yang buat. Itulah yang bisa dia lakukan untuk membalas saya. Seharusnya saya yang dirugikan di sini dengan berita tak benar yang disampaikan oleh kekasih Bapak.”
“Ini adalah awal, Pijar. Awal dia membalas dendamnya. Kalau kamu tidak segera meminta maaf, maka Infinity yang akan dirugikan dengan berita buruk ini. Kamu seharusnya paham tentang itu. Harga dirimu tidak sebanding dengan nama besar Infinity!”
Tusukan tajam ucapan Elang itu mau tak mau membuat Pijar sakit hati. Harga dirinya tidak bisa dibandingkan dengan apa pun di dunia ini. Dia bisa kehilangan uang dan kekayaan, tetapi sebagai seorang perempuan, dia tak bisa kehilangan harga dirinya. Itulah kenapa Pijar tidak akan membiarkan orang lain memperlakukannya dengan buruk dan menginjaknya tanpa perasaan.
“Bapak memang ahli dalam bicara,” jawab Pijar tanpa rasa takut sama sekali, “sekarang Bapak harus berpikir lebih jauh lagi, seandainya Bapak hari itu tidak mengerjai saya, semua ini tidak akan terjadi. Sampai mati pun, saya tidak akan meminta maaf kepada Aurora. Bila perlu, saya akan membuat namanya semakin rendah dan diinjak oleh orang lain.”
Pijar tidak membual. Selama ini dia hanya diam tanpa memberikan perlawanan yang berarti kepada Aurora. Namun, jika perempuan itu membuat berita yang macam-macam, maka sudah bisa dipastikan, sifat iblis yang tersembunyi di dalam diri Pijar akan keluar menghancurkan semuanya.
Elang marah mendengar ucapan Pijar. Tatapan matanya semakin tajam menghunus. Sikap angkuh yang dimiliki oleh Pijar tidak pernah hilang sejak dulu. Lantas, ingatan Elang melayang pada kejadian tak menyenangkan di masa lalu kemudian mengungkitnya.
“Saya curiga kamu melakukan ini karena kamu cemburu dengan Aurora. Kamu iri dengannya karena sekarang dia dekat dengan saya.”
Pijar menatap semakin dingin ke arah Elang seolah lelaki itu sedang mengigau. Ekspresinya sangat datar tidak terpengaruh sama sekali dengan ucapan yang dilontarkan oleh bosnya tersebut.
“Kalau tidak ada yang ingin Bapak katakan lagi, saya akan keluar sekarang.”
“Itu adalah kata-kata yang selalu kamu keluarkan ketika kamu merasa kalah berdebat!” Elang cepat menjawab, mengintimidasi sosok cantik di depannya. “Bilang saja kalau yang saya katakan adalah sebuah kebenaran. Kenapa? Kamu menyesal sudah pernah memutuskan saya dan memilih orang lain?”
Pijar diam tidak menanggapi. Pijar sudah mengubur dalam-dalam kehidupan asmaranya di masa lalu dan tidak ingin mengingatnya. Tidak bisa dipungkiri, setelah kembalinya Elang ke dalam kehidupannya, ingatan masa lalu itu sedikit demi sedikit menguar dari gembok memorinya.
“Apa kita akan membahas masa lalu sekarang?” tanya Pijar balik menantang Elang, “kalau memang itu yang Bapak inginkan, mari kita selesaikan semuanya sekarang. Tentu saja dengan catatan, Bapak tidak menyesal sudah mendengarkan kenyataan yang terjadi.”
“Saya tidak sudi mendengar cerita usang tak berguna seperti itu. Satu yang pasti, di mata saya, kamu adalah perempuan rendah dan pengkhianat.” Elang tampak berapi-api ketika mengatakan itu yang membuat Pijar harus menarik napasnya panjang agar tidak meledak dalam emosi.
“Ya, anggap saja begitu. Saya adalah pengkhianat dan Bapak adalah lelaki suci. Apa itu sudah membuat Bapak puas?”
Semakin Elang menekan Pijar, semakin Pijar berani menghadapinya. Tidak ada rasa takut meskipun di dalam hati Pijar penuh dengan lahar emosi. Elang menduga karena sang ayahnya lah yang membuat Pijar berani kepadanya.
Menegakkan tubuhnya, Pijar mengubah dirinya dalam mode professional. “Pukul sebelas nanti, kita ada meeting di luar. Saya akan mempersiapkan dokumen yang dibutuhkan. Selamat bekerja, Pak. Saya kembali ke meja saya terlebih dulu.” Setelah mengatakan itu, Pijar begitu saja meninggalkan Elang dengan kemarahan yang melambung tinggi.
Elang menggebrak meja kerjanya dengan kuat untuk melampiaskan kekesalannya. “Sialan!” katanya mengerang marah. “Aku tidak akan tinggal diam, Pijar. Kamu akan kalah tak lama lagi.”
Tarikan napasnya dilakukan berulang-ulang agar dia merasa lebih baik sebelum dia memulai pekerjaannya. Pukul sepuluh, Pijar kembali ke ruangan Elang dan mengingatkan untuk pergi meeting. Perjalanan membutuhkan waktu satu jam sehingga mereka harus berangkat sekarang. Tanpa kata, Elang beranjak dan pergi begitu saja. Pijar sampai mengejar lelaki itu di belakang.
Hal tak terduga terjadi ketika mereka sampai di depan gedung Infinity, beberapa wartawan datang dengan Aurora di sana. Langkah Elang melambat karena itu.
“Oh, itu, Elang.” Aurora menyadari kedatangan Elang, lalu menarik lelaki itu ke sampingnya. “Lang, mereka hanya ingin tahu kebenaran tentang berita di bandara saat itu. Oh, dan ini adalah Pijar, sekretaris Elang. Kami sudah sepakat untuk menjelaskan jika semua itu hanyalah kesalah pahaman.”
Aurora memberikan tatapan tajam kepada Pijar yang tidak diketahui orang lain. Pijar dijebak oleh perempuan itu dengan cara murahan seperti ini. Segera saja, wartawan mengeroyoknya dengan pertanyaan.
“Mbak, bisa dijelaskan kejadian sesungguhnya di bandara saat itu kenapa bunga yang Mbak berikan dibuang oleh Aurora?”
***
Follow IG untuk udate terbaru seputar Novel saya ya, @Loyceloyce24 TT : @Loyce
“Apa benar, itu kesalahpahaman?” Yang lain menimpali. Ekspresi-ekspresi penasaran itu muncul di wajah mereka masing-masing. Mengharapkan jawaban dari mulut Pijar secara langsung. Berbeda dengan Aurora yang sudah mengeluarkan segenap jiwanya untuk berakting, Pijar tampak tidak terpengaruh dengan wajah dinginnya. Elang tidak menyangka kalau Aurora akan melakukan semua ini di depan perusahaannya. Jawaban itu belum diberikan oleh Pijar ketika pertanyaan lain muncul. “Saya dengar, Infinity akan menjadi ‘rumah’ baru untuk Aurora ketika nanti Aurora kembali ke Indonesia. Bagaimana tanggapan Bapak?” Microphone itu di dekatkan di bibir Elang agar lelaki itu bisa segera menjawab. “Seharusnya kalau teman-teman media ingin wawancara, harus membuat janji terlebih dulu kepada kami.” Pijar akhirnya bersuara dan pasang badan. Elang, Aurora, dan manajer Aurora serta para wartawan yang berkerumun itu menatap langsung kepada Pijar dengan ekspresi terkejut. “Kami punya jadwal meeting dan kami harus
Gosip yang beredar di kantor terkait Pijar yang selalu menggoda Elang itu semakin santer terdengar setelah Pijar menolak memberikan keterangan terkait sifat Aurora kepada wartawan. Mereka percaya kalau itu dilakukan oleh Pijar atas dasar kecemburuan. Dengan begitu, citra baik Pijar seolah memudar setiap harinya. Hal ini membuat Pijar seolah terdesak oleh hal yang tidak seharusnya. Jika dia mengungkapkan kebenaran bagaimana sifat asli Aurora, itu hanya akan membuat nama baiknya semakin buruk di kantor. Jika dia menutup masalah itu rapat-rapat, Aurora akan merasa berada di atas angin. Pijar seperti tengah makan buah simalakama. “Dulu waktu sama Pak Gema, dia kelihatan banget baiknya. Nggak ada yang ingin didapetin. Sekarang ganti sama Pak Elang ya berubah lah. Secara, Pak Elang itu ganteng banget.” Langkah kaki Pijar terhenti ketika mendengar obrolan karyawan Infinity. Lorong yang sepi memudahkan Pijar mendengar obrolan tersebut tanpa perlu susah payah. “Kalau dibandingkan Auror
“Apa yang kamu lakukan di sini?” Pijar tidak menyangka kalau pagi ini akan mendapatkan tamu tak diundang yang datang ke rumahnya. Pijar akan berangkat ke kantor ketika dia mendapati Aurora berdiri di depan pagar rumahnya dengan wajah penuh amarah. Pijar tidak meminta perempuan itu masuk dan menginjak halaman rumahnya, karena itu dia memilih keluar dan menemui Aurora di luar pagar. “Apa yang aku lakukan di sini?” Aurora bergumam dengan suara tajam. “Aku ingin memberikanmu ini!” Perempuan itu menampar Pijar tepat di pipinya dan memukul Pijar membabi buta tanpa ampun. “Lepaskan!” Pijar berusaha untuk melepaskan rambutnya dari tangan Aurora, tetapi perempuan itu sama sekali tidak mau melepaskan. Dia bahkan semakin erat meremas surai halur Pijar dengan tarikan. Pijar merasa, kepalanya akan ikut terlepas karena ulah perempuan itu. Di pagi seperti ini, tidak akan ada orang yang bisa menolong mereka. Meskipun perumahan Pijar bukanlah perumahan elit, tetapi warga di sana benar-benar menjag
Hanya dalam satu hari, Infinity dibuat goyah oleh berita-berita tak sedap yang dikeluarkan oleh Aurora. Dia mengaku dianiaya oleh Pijar sampai dia terluka. Infinity adalah perusahaan besar, seharusnya bisa mendidik karyawannya agar tidak melakukan kekerasan kepada calon model mereka. “Aku benar-benar tidak tahu kenapa dia melakukan ini. Aku hanya ingin berbicara baik-baik kepadanya, tapi dia justru bersikap kasar kepadaku.” Begitu kata Aurora sambil menangis tersedu. “Aku tahu, Elang lebih memilihku daripada dia dan dia sepertinya nggak terima. Dia memperlakukanku dengan sangat buruk karena cemburu. Dan tentang bunga yang aku buang, kami sudah berbicara secara baik-baik, tapi dia justru menyuruhku membuangnya.” Pijar mematikan ponselnya dengan tarikan napas panjang. Aurora benar-benar melibatkan Infinity dalam masalahnya dengan Pijar. Tentu ini sangat menjengkelkan. Pijar masih terpekur di tempat duduknya ketika telepon di depannya berbunyi. Elang memintanya masuk ke dalam ruanganny
“Itulah kenapa saya sempat ingin mundur dari posisi saya sebagai sekretaris Pak Elang, Pak.” Sudah kepalang tanggung, tidak perlu menutupinya lagi. Pijar juga perempuan biasa, dia memang selalu bersikap tegas dan cenderung garang. Namun, ada satu waktu di mana dia tak bisa menyembunyikan sesuatu hanya untuk melindungi orang lain. Ketika dia terus didesak atas sesuatu yang tidak seharusnya, dia juga bisa berontak. Elang yang berada di samping Pijar itu mengeratkan rahangnya kuat mendengar ucapan Pijar. Ada gejolak aneh yang membuatnya merasa belum puas membalas perbuatan Pijar di masa lalu. Gema menatap Elang dengan kernyitan di dahinya, tetapi tidak ada apa pun yang keluar dari bibirnya. “Pacaran?” tanya Gema setelahnya tampak sedikit ragu. Pijar mengangguk. Menarik napasnya panjang sebelum mengeluarkan kembali suaranya. “Iya, Pak.” Kali ini Gema yang benar-benar terkejut. Bahkan untuk beberapa saat, tidak ada dari mereka yang berbicara. Pijar tampaknya sedikit gugup. Gadis itu
“Aku dengar, Aurora sudah kembali ke luar negeri.” Vira bertanya saat makan siang bersama dengan Pijar di tempat biasa. Menikmati indahnya pemandangan kota dari ketinggian. Sebungkus nasi Padang menemani makan siang mereka. Pijar mengedikkan bahunya tak acuh. “Bagus deh, semoga dia berjaya di tempat yang seharusnya.” Pijar tidak begitu peduli dengan perempuan gila tersebut. Sudah ada banyak hal yang dilakukan oleh perempuan itu untuk membuatnya kesal. “Tapi, orang-orang di kantor ini sepertinya masih bersikap kurang baik sama kamu, Jar.” “Siapa yang peduli, Vir. Yang penting kamu nggak kaya mereka udah cukup.” Sejak awal, Pijar memang tidak begitu dekat dengan orang-orang di kantornya. Dia memang berteman baik kepada semua karyawan Infinity, tapi bukan berarti langsung lengket sampai curhat sana-sini. Berhubungan baik dengan banyak orang itu adalah sebuah keharusan, tetapi bukan berarti dia harus menganggap mereka sahabat. Tidak ada dari mereka yang tahu bagaimana kehidupan pribad
“Kita pergi ke Bandung sekarang!” Tidak ada angin tidak ada hujan, tiba-tiba saja lelaki itu mengajak Pijar pergi keluar. Ekspresi kelam yang ditunjukkan itu menandakan ada sesuatu yang tidak beres. Apa yang terjadi? Itu adalah pertanyaan Pijar yang ditelan tanpa ingin bertanya kepada sang bos. “Apa kita akan menginap?” Pijar tidak bertanya tentang tujuan mereka ke sana dan memilih bersikap professional. Jika mereka akan menginap, itu artinya, Pijar perlu menyiapkan beberapa barang untuk dibawanya pergi. “Tidak. Kalau urusan di sana selesai, kita langsung pulang.” Pijar mengangguk, lalu bertanya lagi. “Apakah ada dokumen yang perlu kita bawa, Pak?” “Tidak!” Setelah mengatakan itu, Elang memberikan kode agar mereka segera berangkat. Pijar memasukkan beberapa barang yang diperlukan ke dalam tasnya sebelum mengekori Elang. Di luar gedung, seorang supir sudah menunggu untuk mengantar mereka. Pijar sebenarnya diliputi rasa penasaran yang tinggi karena kepergian mereka yang t
Label pengkhianat yang diberikan Elang kepada Pijar tampaknya tidak akan pernah hilang. Jujur saja, Pijar tidak begitu mengerti kenapa Elang mengatakan itu kepadanya berulang kali seolah dirinya pernah melakukannya. Akan tetapi, Pijar tidak ingin menjelaskan apa pun kepada Elang tentang dirinya. Penilaian Elang terhadapnya tidak akan pernah berubah karena lelaki itu sudah terlanjur membencinya. Pijar menerima panggilan tersebut kemudian menempelkan ponselnya di telinganya, tetapi Elang justru memintanya untuk me-loudspeaker. Kesal, Pijar melakukan permintaan bosnya tersebut bahkan meletakkan ponselnya di tengah-tengah meja. “Assalamualaikum, Bun,” ucap Pijar kepada si penelpon. “Waalaikumsalam.” Suara seorang perempuan terdengar dari seberang sana. “Masih di kantor, Nak?” tanyanya dengan suara lembut. Elang sedikit tercenung meskipun ekspresinya sama sekali tidak berubah. Dia tetap mendengar obrolan Pijar dengan seseorang di seberang sana yang notabennya adalah ibunya. “Ini lagi