Elang melemparkan ponselnya ke hadapan Pijar. Sebuah portal berita online dengan judul ‘Seorang Model Cantik Ternyata Berkelakuan Buruk. Melemparkan Bunga dan Minuman ke Dalam Tempat Sampah’ terpampang di sana.
“Karena ulahmu waktu itu, Aurora harus mendapatkan masalah.” Elang berujar kesal. “Kesalahan yang kamu buat tempo hari menjadi besar karena nama Aurora yang sedang bersinar. Bagaimana kamu akan bertanggung jawab?”
Pijar mendongak menatap Elang. Tidak ada gelegak amarah yang terlihat dalam tatapannya.
“Maaf, tapi kenapa saya harus bertanggung jawab atas masalah orang lain?” tanyanya masih dengan suara yang tenang, sama sekali tidak terprovokasi. “Kalau Bapak lupa, semua itu bukan kesalahan yang sengaja saya buat.”
Berbanding terbalik dengan Pijar yang tenang, di hadapannya … Elang justru terlihat semakin kesal. Amarahnya merangkak ke puncak usai mendengar keberanian sang sekretaris dalam menjawabnya.
“Buatlah klarifikasi atas hal tersebut dan katakan kalau Aurora tidak bersalah.” Itu sebuah perintah yang sangat menyakitkan untuk Pijar. “Aurora akan berada di bawah agensi kita. Itu artinya, citra dia yang buruk akan mempengaruhi perusahaan. Dan itu karena kamu!”
“Saya menolak!” Pijar tegas berucap. “Kalau Bapak ingin membuat nama Aurora kembali baik, saya pikir Bapak bisa lakukan itu sendiri.”
Rahang lelaki itu mengetat erat. Kepalan tangan yang ia bulatkan di sisi tubuhnya mengisyaratkan lelaki itu tengah menahan diri agar Pijar tidak jadi samsak kemarahannya.
Kesalahan masa lalu Pijar benar-benar membuat apa pun yang dilakukan wanita itu selalu salah di matanya. Apalagi, dengan penolakan dan sikap berani gadis itu sekarang … semakin menyulut api dendam seorang Elang.
“Dengar, Pijar. Saya tahu kamu berani membantah karena Pak Gema ada di belakangmu. Tapi, kamu juga harus tahu, saya tidak akan pernah membiarkanmu tenang sedikitpun kalau kamu tidak bisa diajak bekerja sama!”
Pijar belum sempat membalas ucapan Elang ketika pintu kokoh ruangan besar tersebut terbuka, memunculkan Aurora yang kali ini diikuti oleh sang manajer.
Wajah gadis itu pun begitu merah. Raut wajahnya yang masam jelas menunjukkan jika wanita itu tengah marah. Tanpa mengatakan apa pun, Aurora merangsek maju untuk meraup kerah kemeja Pijar dan menyudutkannya di meja kerja Elang.
“Gara-gara kamu, nama baikku tercoreng. Kamu sebaiknya segera klarifikasi, katakan berita itu tidak benar … atau aku tidak akan segan membawa nama Infinity dalam hal ini!”
Sama seperti Elang, Aurora pun mengancam Pijar dengan membawa serta nama agensi mereka–Infinity.
Sayangnya, meski peringatan itu terlihat begitu keras … Pijar terlihat tidak terpengaruh. Ia justru melepaskan tangan Aurora dari kerah bajunya sambil menatap gadis itu tajam. Seringaiannya muncul seolah mengejek sang model.
“Tentu, tapi … apa aku boleh menambahkan hal lainnya?” pancing Pijar dengan wajah sinisnya. “Misalnya seperti betapa kasarnya dirimu dalam memperlakukan orang lain, kamu yang tidak mengerti etika … atau kamu yang adalah seorang pembohong ulung?”
“Sialan! Kamu ingin membuat masalah denganku!” Tangan Aurora terangkat untuk menampar Pijar, tetapi tangan Pijar bisa mencegah tangan mulus itu mendarat di pipinya.
Pijar menahan tangan Aurora di udara sebelum dia melepaskannya dan memberikan sedikit dorongan. Beruntung, sang manajer sigap menahan tubuh sang kekasih sehingga sang model tidak jatuh ke belakang.
“Apa yang kamu lakukan!” Sang manajer bersuara lantang. “Kalau sampai terjadi sesuatu dengan Aurora, kamu bahkan tidak akan bisa menanganinya!”
Pijar sudah tidak peduli lagi pada Aurora yang semestinya adalah aset besar perusahaan.
“Ajari modelmu itu untuk bersikap baik. Popularitasnya tidak akan berguna jika sifat buruknya lebih besar dari bakatnya!”
“Sialan! Apa katamu?!” Aurora tidak terima mendapatkan perkataan buruk dari Pijar. Lagi-lagi, perempuan itu ingin melawan Pijar, tetapi tubuhnya masih ditahan oleh sang manajer.
Aurora memutar tubuhnya menghadap Elang dan berteriak ke arah lelaki itu. “Elang! Aku benar-benar muak dengan perempuan ini. Kalau masalah di berita itu merembet, aku benar-benar akan melibatkan perusahaanmu.”
Berbeda dengan Aurora yang sudah dipenuhi dengan amarah, Pijar masih terlihat tidak terpengaruh sama sekali. Aurora bukanlah apa-apa baginya. Ucapan perempuan itu hanyalah sampah basi yang tidak bermakna bagi Pijar.
Bahkan, dia tidak peduli jika sampai kasus ini membuatnya dipecat. Untuk Pijar, mencari pekerjaan baru yang bisa menghargainya akan lebih mudah dibanding membuat dua orang di hadapannya ini bisa melihatnya dengan mata terbuka.
“Kalau tidak ada yang ingin kalian katakan lagi, saya permisi keluar. Masih ada banyak pekerjaan penting yang perlu saya bereskan.”
Pijar menegakkan tubuhnya sebelum berjalan pergi, tetapi suara Elang menghentikannya. “Berhenti!” katanya dengan dingin. Lelaki itu memutari meja kerjanya dan berdiri di samping Aurora. “Lakukan klarifikasi dan saya akan membayarmu untuk pekerjaan itu!”
Mendengar hal itu, Pijar mendengus pelan. Lagi-lagi mereka berbicara tentang uang, seolah dia begitu murahan karena bisa dibujuk dengan nominal tertentu.
Pijar lantas berbalik untuk menatap satu per satu orang yang ada di sana. Keberaniannya sudah tidak tertandingi.
“Saya bersedia melakukannya,” ucapnya membuat Aurora tampak sumringah, “tapi Aurora harus meminta maaf kepada saya tentang semua hal yang pernah dilakukan. Kesalahan di bandara, tamparan, dan makian yang sudah dilontarkan untuk saya. Atau kalau perlu, dia harus berlutut. Jika itu tidak dilakukan, maka jangan harap saya akan melakukan klarifikasi.”
“Apa kamu bilang? Hei … siapa kamu sampai-sampai kamu memintaku untuk berlutut!” Aurora merah padam ketika berteriak marah. Perempuan itu bahkan tidak pernah direndahkan oleh siapa pun seumur hidupnya, tetapi Pijar melakukannya sekarang. “Sampai mati pun aku tidak akan melakukannya!” jeritnya sampai urat-urat di wajahnya menyembul keluar.
Pijar mengedikkan bahunya tak acuh. Dia menjawab, “Kalau begitu, saya juga tidak akan memberikan klarifikasi atas apa pun.”
Setelah mengatakan itu, Pijar tidak lagi menunggu jawaban dari siapa pun. Tidak ada jawaban pula yang keluar dari mereka, sebab yang terdengar setelahnya hanyalah umpatan untuk Pijar.
Namun lagi-lagi, Pijar tidak peduli. Dia justru merasa lega, sebab kekesalan Aurora yang sempat gagal dia balas … telah berbalas.
Siapa pun orang yang sudah memberitakan masalah ini di portal online, Pijar berterima kasih atas itu. Tanpa mengotori tangannya, dia sudah bisa membuat Aurora kalang kabut tak keruan memikirkan pamornya.
Setelah kembali ke meja kerjanya, Pijar bahkan segera mengecek kebenaran berita itu sendiri. Bukan hanya narasi, ternyata ada foto-foto yang menjelaskan kronologi perbuatan Aurora kala itu, semua terpampang di sana. Pantas saja Aurora seperti kebakaran jenggot.
Pintu ruangan Elang terbuka, Aurora keluar diikuti oleh sang manajer. Dengan wajah marah, dia menunjuk Pijar, “Kamu akan mendapatkan ganjarannya. Tunggu saja apa yang bisa aku lakukan untuk membalasmu.”
Pijar menyeringai. “Dengan senang hati saya akan menunggunya.”
***
Pijar tidak mengerti kenapa sejak dia masuk ke dalam gedung kantornya, semua orang menatapnya sambil berbisik-bisik. Menatap Pijar dengan tatapan aneh dan jijik. Pijar yang belum memahami situasi itu hanya tampak tak acuh dan memilih pergi ke ruangannya. Lantai paling atas adalah ruangan-ruangan petinggi perusahaan dan salah satunya ruangan Elang berada. Beruntung, dia bertemu dengan sekretaris manajer yang tak lain adalah temannya. Perempuan itu menarik Pijar untuk bisa berbicara berdua. “Kamu udah tahu apa yang sedang trending di kantor ini?” tanya perempuan itu dengan serius. Menatap Pijar fokus. “Kamu terlibat cinta segitiga dengan Pak Elang dan Aurora?” Pertanyaan itu membuat Pijar membelalakkan matanya. “Nggak sama sekali.” Pijar berucap tegas. “Aku nggak punya hubungan apa pun dengan Pak Elang kecuali hanya hubungan kerja.” “Kamu harus lihat ini.” Vira memberikan ponselnya kepada Pijar. “Kamu terlibat skandal dengan Aurora. Dia yang mengatakan kalau kamu selalu mendekati
“Apa benar, itu kesalahpahaman?” Yang lain menimpali. Ekspresi-ekspresi penasaran itu muncul di wajah mereka masing-masing. Mengharapkan jawaban dari mulut Pijar secara langsung. Berbeda dengan Aurora yang sudah mengeluarkan segenap jiwanya untuk berakting, Pijar tampak tidak terpengaruh dengan wajah dinginnya. Elang tidak menyangka kalau Aurora akan melakukan semua ini di depan perusahaannya. Jawaban itu belum diberikan oleh Pijar ketika pertanyaan lain muncul. “Saya dengar, Infinity akan menjadi ‘rumah’ baru untuk Aurora ketika nanti Aurora kembali ke Indonesia. Bagaimana tanggapan Bapak?” Microphone itu di dekatkan di bibir Elang agar lelaki itu bisa segera menjawab. “Seharusnya kalau teman-teman media ingin wawancara, harus membuat janji terlebih dulu kepada kami.” Pijar akhirnya bersuara dan pasang badan. Elang, Aurora, dan manajer Aurora serta para wartawan yang berkerumun itu menatap langsung kepada Pijar dengan ekspresi terkejut. “Kami punya jadwal meeting dan kami harus
Gosip yang beredar di kantor terkait Pijar yang selalu menggoda Elang itu semakin santer terdengar setelah Pijar menolak memberikan keterangan terkait sifat Aurora kepada wartawan. Mereka percaya kalau itu dilakukan oleh Pijar atas dasar kecemburuan. Dengan begitu, citra baik Pijar seolah memudar setiap harinya. Hal ini membuat Pijar seolah terdesak oleh hal yang tidak seharusnya. Jika dia mengungkapkan kebenaran bagaimana sifat asli Aurora, itu hanya akan membuat nama baiknya semakin buruk di kantor. Jika dia menutup masalah itu rapat-rapat, Aurora akan merasa berada di atas angin. Pijar seperti tengah makan buah simalakama. “Dulu waktu sama Pak Gema, dia kelihatan banget baiknya. Nggak ada yang ingin didapetin. Sekarang ganti sama Pak Elang ya berubah lah. Secara, Pak Elang itu ganteng banget.” Langkah kaki Pijar terhenti ketika mendengar obrolan karyawan Infinity. Lorong yang sepi memudahkan Pijar mendengar obrolan tersebut tanpa perlu susah payah. “Kalau dibandingkan Auror
“Apa yang kamu lakukan di sini?” Pijar tidak menyangka kalau pagi ini akan mendapatkan tamu tak diundang yang datang ke rumahnya. Pijar akan berangkat ke kantor ketika dia mendapati Aurora berdiri di depan pagar rumahnya dengan wajah penuh amarah. Pijar tidak meminta perempuan itu masuk dan menginjak halaman rumahnya, karena itu dia memilih keluar dan menemui Aurora di luar pagar. “Apa yang aku lakukan di sini?” Aurora bergumam dengan suara tajam. “Aku ingin memberikanmu ini!” Perempuan itu menampar Pijar tepat di pipinya dan memukul Pijar membabi buta tanpa ampun. “Lepaskan!” Pijar berusaha untuk melepaskan rambutnya dari tangan Aurora, tetapi perempuan itu sama sekali tidak mau melepaskan. Dia bahkan semakin erat meremas surai halur Pijar dengan tarikan. Pijar merasa, kepalanya akan ikut terlepas karena ulah perempuan itu. Di pagi seperti ini, tidak akan ada orang yang bisa menolong mereka. Meskipun perumahan Pijar bukanlah perumahan elit, tetapi warga di sana benar-benar menjag
Hanya dalam satu hari, Infinity dibuat goyah oleh berita-berita tak sedap yang dikeluarkan oleh Aurora. Dia mengaku dianiaya oleh Pijar sampai dia terluka. Infinity adalah perusahaan besar, seharusnya bisa mendidik karyawannya agar tidak melakukan kekerasan kepada calon model mereka. “Aku benar-benar tidak tahu kenapa dia melakukan ini. Aku hanya ingin berbicara baik-baik kepadanya, tapi dia justru bersikap kasar kepadaku.” Begitu kata Aurora sambil menangis tersedu. “Aku tahu, Elang lebih memilihku daripada dia dan dia sepertinya nggak terima. Dia memperlakukanku dengan sangat buruk karena cemburu. Dan tentang bunga yang aku buang, kami sudah berbicara secara baik-baik, tapi dia justru menyuruhku membuangnya.” Pijar mematikan ponselnya dengan tarikan napas panjang. Aurora benar-benar melibatkan Infinity dalam masalahnya dengan Pijar. Tentu ini sangat menjengkelkan. Pijar masih terpekur di tempat duduknya ketika telepon di depannya berbunyi. Elang memintanya masuk ke dalam ruanganny
“Itulah kenapa saya sempat ingin mundur dari posisi saya sebagai sekretaris Pak Elang, Pak.” Sudah kepalang tanggung, tidak perlu menutupinya lagi. Pijar juga perempuan biasa, dia memang selalu bersikap tegas dan cenderung garang. Namun, ada satu waktu di mana dia tak bisa menyembunyikan sesuatu hanya untuk melindungi orang lain. Ketika dia terus didesak atas sesuatu yang tidak seharusnya, dia juga bisa berontak. Elang yang berada di samping Pijar itu mengeratkan rahangnya kuat mendengar ucapan Pijar. Ada gejolak aneh yang membuatnya merasa belum puas membalas perbuatan Pijar di masa lalu. Gema menatap Elang dengan kernyitan di dahinya, tetapi tidak ada apa pun yang keluar dari bibirnya. “Pacaran?” tanya Gema setelahnya tampak sedikit ragu. Pijar mengangguk. Menarik napasnya panjang sebelum mengeluarkan kembali suaranya. “Iya, Pak.” Kali ini Gema yang benar-benar terkejut. Bahkan untuk beberapa saat, tidak ada dari mereka yang berbicara. Pijar tampaknya sedikit gugup. Gadis itu
“Aku dengar, Aurora sudah kembali ke luar negeri.” Vira bertanya saat makan siang bersama dengan Pijar di tempat biasa. Menikmati indahnya pemandangan kota dari ketinggian. Sebungkus nasi Padang menemani makan siang mereka. Pijar mengedikkan bahunya tak acuh. “Bagus deh, semoga dia berjaya di tempat yang seharusnya.” Pijar tidak begitu peduli dengan perempuan gila tersebut. Sudah ada banyak hal yang dilakukan oleh perempuan itu untuk membuatnya kesal. “Tapi, orang-orang di kantor ini sepertinya masih bersikap kurang baik sama kamu, Jar.” “Siapa yang peduli, Vir. Yang penting kamu nggak kaya mereka udah cukup.” Sejak awal, Pijar memang tidak begitu dekat dengan orang-orang di kantornya. Dia memang berteman baik kepada semua karyawan Infinity, tapi bukan berarti langsung lengket sampai curhat sana-sini. Berhubungan baik dengan banyak orang itu adalah sebuah keharusan, tetapi bukan berarti dia harus menganggap mereka sahabat. Tidak ada dari mereka yang tahu bagaimana kehidupan pribad
“Kita pergi ke Bandung sekarang!” Tidak ada angin tidak ada hujan, tiba-tiba saja lelaki itu mengajak Pijar pergi keluar. Ekspresi kelam yang ditunjukkan itu menandakan ada sesuatu yang tidak beres. Apa yang terjadi? Itu adalah pertanyaan Pijar yang ditelan tanpa ingin bertanya kepada sang bos. “Apa kita akan menginap?” Pijar tidak bertanya tentang tujuan mereka ke sana dan memilih bersikap professional. Jika mereka akan menginap, itu artinya, Pijar perlu menyiapkan beberapa barang untuk dibawanya pergi. “Tidak. Kalau urusan di sana selesai, kita langsung pulang.” Pijar mengangguk, lalu bertanya lagi. “Apakah ada dokumen yang perlu kita bawa, Pak?” “Tidak!” Setelah mengatakan itu, Elang memberikan kode agar mereka segera berangkat. Pijar memasukkan beberapa barang yang diperlukan ke dalam tasnya sebelum mengekori Elang. Di luar gedung, seorang supir sudah menunggu untuk mengantar mereka. Pijar sebenarnya diliputi rasa penasaran yang tinggi karena kepergian mereka yang t