“Kamu sudah benar-benar keterlaluan, Elang!”
Pijar marah, sebab ketika dia berhasil keluar dari bar, dia tidak menemukan mobil Elang yang tadi membawa mereka ke sini.
Lelaki itu benar-benar meninggalkannya di tempat yang belum pernah dia datangi, dan membiarkan Pijar terkurung bersama teman-temannya yang brengsek. Elang sungguh keterlaluan, sepertinya rasa iba sudah tidak ada lagi di dalam hatinya. Tertutup dengan kebencian yang memenuhi nalurinya. Pijar kemudian melihat jam di tangannya dan waktu masih pukul tujuh malam. Pijar pun berniat menuju suatu tempat di mana dia bisa mengakhiri semua masalah yang dihadapinya malam ini juga.
Menggunakan taksi, Pijar menghabiskan satu jam perjalanan untuk sampai ke tempat yang dulu pernah dia datangi. Pijar memantapkan niat sebelum akhirnya melangkah pasti ke dalam rumah mewah tersebut.
“Pijar?” Lelaki paruh baya yang menemuinya itu tampak terkejut. “Apa ada hal yang penting sampai kamu datang ke sini?” tanyanya dengan ekspresi penasaran.
Pijar tersenyum sopan. “Sebelumnya saya minta maaf, Pak. Tapi, saya tidak bisa menjadi sekretaris Pak Elang lagi.” Pijar bahkan tanpa basa-basi mengatakan tujuan kedatangannya.
“Apa yang terjadi? Kenapa tiba-tiba kamu menyerah?” Lelaki paruh baya itu segera bertanya kepada Pijar tentang keputusannya.
“Kalau Bapak berkenan, saya siap Bapak pindahkan menjadi sekretaris manajer. Tapi, izinkan saya untuk bisa mundur dari sekretaris Pak Elang.” Alih-alih menjawab pertanyaan ayah Elang, Pijar justru meneruskan ucapannya dengan ekspresi serius.
Tatapannya menyorot lurus pada lelaki paruh baya tersebut. Ada perasaan lelah yang terasa menggelayut di dalam hatinya. Padahal, sepanjang dia bekerja di bawah komando ayah Elang, tidak pernah sekalipun dia berpikir untuk mundur. Namun, kali ini tiba-tiba dia merasa takut. Takut jika sesuatu kelam di masa lalu kembali terjadi.
Pijar menunduk. Pikirannya berkecamuk. Kalau Elang tahu dia mendatangi sang ayah, lelaki itu pasti akan menertawakannya. Bagaimana tidak, ketika Elang memecatnya di pertemuan pertama, Pijar begitu yakin untuk tetap berada di sisi Elang sebagai sekretaris pribadinya. Toh saat itu, Elang juga sudah memeringatkannya, tetapi Pijar kukuh bertahan. Namun, kini … baru beberapa minggu sejak hari itu, dia telah menyerah.
“Tolong bertahanlah, Pijar,” pinta Gema membuyarkan lamuan Pijar, “kalian seumuran, kan? Kamu pasti tahu bagaimana menghadapi Elang.” Suara Gema itu membuat Pijar mendongak. “Itulah kenapa saya ingin kamu yang menjadi sekretarisnya dan berada di sisinya.”
Pijar ragu ketika menjawab. “Tapi, Pak. Ini sulit.”
“Tidak ada yang sulit. Saya yakin kamu lebih dari mampu menghadapi Elang. Saya percaya sama kamu.”
Pijar menatap Gema dengan tatapan sulit diartikan. Dia sebenarnya tidak paham kenapa Gema bersikeras untuk membuatnya ‘menemani’ putranya. Seperti ada sebuah hal yang disembunyikan.
Mungkinkah Gema tahu sesuatu tentang dirinya dan Elang di masa lalu? Atau ada kepentingan lain yang tengah mereka upayakan? Namun, Pijar sanksi. Sebab, dari segi mana pun dia tidak sepadan dan tidak penting untuk sampai diperhitungkan seperti ini.
Namun, karena segala tanya di pikirannya belum menemukan jawaban, akhirnya Pijar mengangguk.
“Baiklah, Pak. Saya akan tetap berada di posisi saya sekarang. Maaf kalau saya mengganggu istirahat Bapak dengan datang ke sini.” Setidaknya, ini adalah caranya untuk bisa membalas kebaikan Gema selama ini. Lelaki itu begitu baik kepadanya.
“Tidak masalah.” Gema menggeleng. “Sebenarnya saya masih penasaran dengan masalah yang terjadi antara kamu dengan Elang. Barangkali … kamu berkenan untuk mengatakannya?”
“Maaf, Pak. Saya tidak bisa mengatakannya,” tolak Pijar dengan sopan. Jika dia memutuskan untuk bertahan, maka biarlah perlakukan buruk Elang itu menjadi rahasianya. “Kalau begitu, saya permisi pamit.”
***
“Apa yang kamu katakan kepada ayah saya?”
Pertanyaan itu keluar dari mulut Elang ketika Pijar baru saja masuk ke dalam ruangan lelaki itu. Tatapan tajam dan jijik itu lagi-lagi dilemparkan kepada Pijar. Kedua lengannya ditumpukan di lengan kursi, dengan gerstur tenang, tetapi menuntut sebuah jawaban.
“Saya tidak mengatakan apa pun.” Pijar menjawab sopan.
“Sifat pembohong memang tidak akan pernah hilang,” ucap Elang sinis.
“Saya mengatakan yang sebenarnya.” Pijar sudah memantapkan dirinya jika dia harus bisa lebih tegar lagi menghadapi manusia iblis seperti Elang. Lihatlah, bahkan lelaki itu sama sekali tidak meminta maaf kepadanya atas kejadian semalam.
“Kamu terlalu berani, Pijar Kemuning!” Elang menekan ucapannya saat mengatakan nama lengkap Pijar. “Jangan karena di belakangmu ada ayah saya, lantas kamu bersikap tidak tahu diri.”
“Kalau saya tidak tahu diri, lalu bagaimana dengan Bapak?” Pijar ingin meminta penjelasan kepada Elang atas perlakukan lelaki itu semalam. “Bapak meninggalkan saya dengan manusia-manusia hidung belang itu sendirian. Bapak berharap saya dilecehkan sehingga itu akan membuat Bapak bahagia?”
Bayangan kejadian semalam berkelebat di mata Pijar. Seandainya dia tidak bisa keluar dari ruangan itu, apa yang akan terjadi? Hanya dengan membayangkan saja, perasaan Pijar dipenuhi oleh rasa sakit.
“Bukankah kamu sudah biasa digilir? Kamu tidak mungkin puas dengan satu lelaki, ‘kan?” Elang menjawab santai. “Jadi jangan munafik kalau sebenarnya kamu juga menyukainya.”
“Saya bukan pelacur!” Pijar mengatakan itu dengan tegas. Matanya memerah karena amarah. “Bapak tidak bisa menilai saya seburuk itu.”
“Saya tahu siapa kamu!” ucap Elang tegas, “jadi jangan menyembunyikan kebusukanmu itu di belakangku.” Elang menegakkan tubuhnya. “Keluar! Kamu mengotori pemandanganku.” usirnya dengan dingin.
“Bapak hanya bisa menilai saya dari kacamata buram yang Bapak gunakan dan menganggap apa pun yang Bapak tahu di permukaan adalah kebenaran. Padahal, Bapak tidak tahu apa pun tentang saya!”
Setelah mengatakan itu, Pijar berbalik untuk pergi dari hadapan Elang dengan menutup pintu ruangan itu sedikit keras. Wanita itu tidak melihat bagaimana kata-katanya lagi-lagi mampu membuat Elang mengepalkan tangannya dan bahkan memukul meja kerja lelaki itu dengan kuat guna melampiaskan kekesalan.
“Pijar!” gumamnya begitu marah, “sungguh, kamu terlalu berani untuk menyerangku sekarang. Aku tidak akan membiarkanmu hidup bahagia.”
***
Elang melemparkan ponselnya ke hadapan Pijar. Sebuah portal berita online dengan judul ‘Seorang Model Cantik Ternyata Berkelakuan Buruk. Melemparkan Bunga dan Minuman ke Dalam Tempat Sampah’ terpampang di sana. “Karena ulahmu waktu itu, Aurora harus mendapatkan masalah.” Elang berujar kesal. “Kesalahan yang kamu buat tempo hari menjadi besar karena nama Aurora yang sedang bersinar. Bagaimana kamu akan bertanggung jawab?” Pijar mendongak menatap Elang. Tidak ada gelegak amarah yang terlihat dalam tatapannya. “Maaf, tapi kenapa saya harus bertanggung jawab atas masalah orang lain?” tanyanya masih dengan suara yang tenang, sama sekali tidak terprovokasi. “Kalau Bapak lupa, semua itu bukan kesalahan yang sengaja saya buat.” Berbanding terbalik dengan Pijar yang tenang, di hadapannya … Elang justru terlihat semakin kesal. Amarahnya merangkak ke puncak usai mendengar keberanian sang sekretaris dalam menjawabnya. “Buatlah klarifikasi atas hal tersebut dan katakan kalau Aurora tidak bers
Pijar tidak mengerti kenapa sejak dia masuk ke dalam gedung kantornya, semua orang menatapnya sambil berbisik-bisik. Menatap Pijar dengan tatapan aneh dan jijik. Pijar yang belum memahami situasi itu hanya tampak tak acuh dan memilih pergi ke ruangannya. Lantai paling atas adalah ruangan-ruangan petinggi perusahaan dan salah satunya ruangan Elang berada. Beruntung, dia bertemu dengan sekretaris manajer yang tak lain adalah temannya. Perempuan itu menarik Pijar untuk bisa berbicara berdua. “Kamu udah tahu apa yang sedang trending di kantor ini?” tanya perempuan itu dengan serius. Menatap Pijar fokus. “Kamu terlibat cinta segitiga dengan Pak Elang dan Aurora?” Pertanyaan itu membuat Pijar membelalakkan matanya. “Nggak sama sekali.” Pijar berucap tegas. “Aku nggak punya hubungan apa pun dengan Pak Elang kecuali hanya hubungan kerja.” “Kamu harus lihat ini.” Vira memberikan ponselnya kepada Pijar. “Kamu terlibat skandal dengan Aurora. Dia yang mengatakan kalau kamu selalu mendekati
“Apa benar, itu kesalahpahaman?” Yang lain menimpali. Ekspresi-ekspresi penasaran itu muncul di wajah mereka masing-masing. Mengharapkan jawaban dari mulut Pijar secara langsung. Berbeda dengan Aurora yang sudah mengeluarkan segenap jiwanya untuk berakting, Pijar tampak tidak terpengaruh dengan wajah dinginnya. Elang tidak menyangka kalau Aurora akan melakukan semua ini di depan perusahaannya. Jawaban itu belum diberikan oleh Pijar ketika pertanyaan lain muncul. “Saya dengar, Infinity akan menjadi ‘rumah’ baru untuk Aurora ketika nanti Aurora kembali ke Indonesia. Bagaimana tanggapan Bapak?” Microphone itu di dekatkan di bibir Elang agar lelaki itu bisa segera menjawab. “Seharusnya kalau teman-teman media ingin wawancara, harus membuat janji terlebih dulu kepada kami.” Pijar akhirnya bersuara dan pasang badan. Elang, Aurora, dan manajer Aurora serta para wartawan yang berkerumun itu menatap langsung kepada Pijar dengan ekspresi terkejut. “Kami punya jadwal meeting dan kami harus
Gosip yang beredar di kantor terkait Pijar yang selalu menggoda Elang itu semakin santer terdengar setelah Pijar menolak memberikan keterangan terkait sifat Aurora kepada wartawan. Mereka percaya kalau itu dilakukan oleh Pijar atas dasar kecemburuan. Dengan begitu, citra baik Pijar seolah memudar setiap harinya. Hal ini membuat Pijar seolah terdesak oleh hal yang tidak seharusnya. Jika dia mengungkapkan kebenaran bagaimana sifat asli Aurora, itu hanya akan membuat nama baiknya semakin buruk di kantor. Jika dia menutup masalah itu rapat-rapat, Aurora akan merasa berada di atas angin. Pijar seperti tengah makan buah simalakama. “Dulu waktu sama Pak Gema, dia kelihatan banget baiknya. Nggak ada yang ingin didapetin. Sekarang ganti sama Pak Elang ya berubah lah. Secara, Pak Elang itu ganteng banget.” Langkah kaki Pijar terhenti ketika mendengar obrolan karyawan Infinity. Lorong yang sepi memudahkan Pijar mendengar obrolan tersebut tanpa perlu susah payah. “Kalau dibandingkan Auror
“Apa yang kamu lakukan di sini?” Pijar tidak menyangka kalau pagi ini akan mendapatkan tamu tak diundang yang datang ke rumahnya. Pijar akan berangkat ke kantor ketika dia mendapati Aurora berdiri di depan pagar rumahnya dengan wajah penuh amarah. Pijar tidak meminta perempuan itu masuk dan menginjak halaman rumahnya, karena itu dia memilih keluar dan menemui Aurora di luar pagar. “Apa yang aku lakukan di sini?” Aurora bergumam dengan suara tajam. “Aku ingin memberikanmu ini!” Perempuan itu menampar Pijar tepat di pipinya dan memukul Pijar membabi buta tanpa ampun. “Lepaskan!” Pijar berusaha untuk melepaskan rambutnya dari tangan Aurora, tetapi perempuan itu sama sekali tidak mau melepaskan. Dia bahkan semakin erat meremas surai halur Pijar dengan tarikan. Pijar merasa, kepalanya akan ikut terlepas karena ulah perempuan itu. Di pagi seperti ini, tidak akan ada orang yang bisa menolong mereka. Meskipun perumahan Pijar bukanlah perumahan elit, tetapi warga di sana benar-benar menjag
Hanya dalam satu hari, Infinity dibuat goyah oleh berita-berita tak sedap yang dikeluarkan oleh Aurora. Dia mengaku dianiaya oleh Pijar sampai dia terluka. Infinity adalah perusahaan besar, seharusnya bisa mendidik karyawannya agar tidak melakukan kekerasan kepada calon model mereka. “Aku benar-benar tidak tahu kenapa dia melakukan ini. Aku hanya ingin berbicara baik-baik kepadanya, tapi dia justru bersikap kasar kepadaku.” Begitu kata Aurora sambil menangis tersedu. “Aku tahu, Elang lebih memilihku daripada dia dan dia sepertinya nggak terima. Dia memperlakukanku dengan sangat buruk karena cemburu. Dan tentang bunga yang aku buang, kami sudah berbicara secara baik-baik, tapi dia justru menyuruhku membuangnya.” Pijar mematikan ponselnya dengan tarikan napas panjang. Aurora benar-benar melibatkan Infinity dalam masalahnya dengan Pijar. Tentu ini sangat menjengkelkan. Pijar masih terpekur di tempat duduknya ketika telepon di depannya berbunyi. Elang memintanya masuk ke dalam ruanganny
“Itulah kenapa saya sempat ingin mundur dari posisi saya sebagai sekretaris Pak Elang, Pak.” Sudah kepalang tanggung, tidak perlu menutupinya lagi. Pijar juga perempuan biasa, dia memang selalu bersikap tegas dan cenderung garang. Namun, ada satu waktu di mana dia tak bisa menyembunyikan sesuatu hanya untuk melindungi orang lain. Ketika dia terus didesak atas sesuatu yang tidak seharusnya, dia juga bisa berontak. Elang yang berada di samping Pijar itu mengeratkan rahangnya kuat mendengar ucapan Pijar. Ada gejolak aneh yang membuatnya merasa belum puas membalas perbuatan Pijar di masa lalu. Gema menatap Elang dengan kernyitan di dahinya, tetapi tidak ada apa pun yang keluar dari bibirnya. “Pacaran?” tanya Gema setelahnya tampak sedikit ragu. Pijar mengangguk. Menarik napasnya panjang sebelum mengeluarkan kembali suaranya. “Iya, Pak.” Kali ini Gema yang benar-benar terkejut. Bahkan untuk beberapa saat, tidak ada dari mereka yang berbicara. Pijar tampaknya sedikit gugup. Gadis itu
“Aku dengar, Aurora sudah kembali ke luar negeri.” Vira bertanya saat makan siang bersama dengan Pijar di tempat biasa. Menikmati indahnya pemandangan kota dari ketinggian. Sebungkus nasi Padang menemani makan siang mereka. Pijar mengedikkan bahunya tak acuh. “Bagus deh, semoga dia berjaya di tempat yang seharusnya.” Pijar tidak begitu peduli dengan perempuan gila tersebut. Sudah ada banyak hal yang dilakukan oleh perempuan itu untuk membuatnya kesal. “Tapi, orang-orang di kantor ini sepertinya masih bersikap kurang baik sama kamu, Jar.” “Siapa yang peduli, Vir. Yang penting kamu nggak kaya mereka udah cukup.” Sejak awal, Pijar memang tidak begitu dekat dengan orang-orang di kantornya. Dia memang berteman baik kepada semua karyawan Infinity, tapi bukan berarti langsung lengket sampai curhat sana-sini. Berhubungan baik dengan banyak orang itu adalah sebuah keharusan, tetapi bukan berarti dia harus menganggap mereka sahabat. Tidak ada dari mereka yang tahu bagaimana kehidupan pribad