Keesokan harinya, Pijar masuk ke kantor seperti biasa seolah tidak pernah terjadi apa pun. Semua pekerjaannya dilakukan dengan profesional tanpa berbicara sepatah kata pun.
Hingga satu kesempatan … Elang kembali menyulut ketegangan.
“Hari ini, datang dan minta maaflah kepada Aurora. Merendahlah di depannya.” Begitu katanya tanpa perasaan.
Sesaat, Pijar kembali memutar ingatan, ketika Elang memerintahkannya menjemput Aurora.
“Siapkan bunga lili dan Americano.” Pijar mengulang perintah yang diucapkan lelaki itu kala menyuruhnya menjemput Aurora tempo hari.
“....”
Di hadapannya, Elang terdiam. Lelaki itu tidak membantah kalimatnya, membuat Pijar pun semakin berani menatap bosnya dan membelot.
“Anda yang salah mengatakan bunga yang disukai oleh kekasih Anda. Anda yang ingin mencelakainya dengan meminta saya memberikan Americano, sedangkan Aurora memiliki penyakit lambung akut.” Pijar menatap Elang yang sekarang rahangnya terlihat mengetat erat. Kendati demikian, dia tidak gentar dan kembali melanjutkan ucapannya. “Lalu ketika semua ucapan Anda salah, kenapa saya yang harus merendah di depannya?”
Elang melotot, marah. “Ini bukan masalah bunga dan minuman itu. Tapi kamu sudah menjambaknya.”
“Saya hanya membalas perbuatannya, sebab saya tidak bersedia diinjak-injak oleh orang yang bahkan baru mengenal saya!”
Seberapa keras pun Elang menekannya, Pijar akan semakin keras memberontak. Pijar akan membuktikan pada lelaki itu, jika dia bukanlah wanita yang mudah ditindas.
Elang kembali terdiam, kendati wajahnya masih menunjukkan kemarahan.
Tidak melihat perdebatan ini akan berakhir jika terus menimpali Elang, Pijar pun undur diri. “Kalau tidak ada yang Bapak butuhkan lagi, saya akan kembali bekerja.”
Setelah perdebatan tersebut, ketegangan antara Pijar dan Elang berangsur menghilang. Bahkan, terlalu tenang sampai-sampai membuat Pijar keheranan. Tidak ada panggilan atau perintah yang membuatnya harus berurusan langsung dengan Elang yang angkuh.
Hingga suatu hari, di mana jam nyaris menunjukkan waktu pulang, suara bariton Elang mengagetkannya. “Kita meeting di luar.” Begitulah Elang memberikan perintah.
Pijar melihat jam yang ada di pergelangan tangannya. Sudah pukul empat sore. Dan yang lebih anehnya lagi adalah, Elang seharusnya tidak memiliki jadwal meeting di jam sekarang. Namun, Pijar tetap melakukan perintah lelaki itu. Dia bergegas memasukkan barang yang diperlukan, lalu menyusul langkah Elang dari belakang.
Punggung lebar Elang membuat Pijar berdesir hebat. Ada sebuah ingatan yang muncul di kepalanya, tapi dia segera menolak untuk terus tenggelam dalam memori yang lalu. Sepanjang perjalanan, tidak ada yang berbicara. Elang memilih menyetir sendiri tanpa supir. Pijar menjadi sedikit tidak nyaman, tapi dia tetap bertahan.
Sesuatu membuat kening Pijar mengerut, kala Elang menerima panggilan dari seseorang. Kalimat laki-laki itu begitu mencurigakan, membuat Pijar semakin meneguhkan penilaian … jika ada maksud tersembunyi di balik meeting yang dikatakan lelaki itu padanya.
“Siapkan saja tempatnya. Jangan lupa anggur yang aku pesan. Sebentar lagi aku sampai.” Begitu Elang berbicara dengan seseorang di seberang sana.
Kecurigaan Pijar terbukti ketika mobil Elang berhenti di sebuah bar mewah di mana hanya kaum elite saja yang bisa memasukinya.
Suara musik terdengar sampai ke luar. Ragu, Pijar menoleh pada Elang yang baru saja keluar dari mobil. Lantas dia bertanya, “Bapak yakin akan meeting di tempat seperti ini?” Keraguan yang ada di dalam mata Pijar sungguh tidak bisa disembunyikan. Ada rasa takut yang menggantung di dalam sanubari.
“Kita masuk!” Perintah Elang tanpa menjawab ucapan Pijar.
Sepatu bertumit runcing yang digunakan Pijar sedikit membuatnya kewalahan kala mengikuti langkah Elang. Sesekali dia harus berlari untuk bisa mengejar langkah Elang. Sampai di dalam gedung tersebut, suara musik menggelegar luar biasa. Pijar harus menutup matanya beberapa kali karena mendengar suara berisik yang memenuhi gendang telinganya.
Tiba-tiba saja dia merasa ketakutan itu menghantuinya.
‘Tenang, Pijar. Tidak akan terjadi apa-apa,’ sugestinya di dalam hati untuk menenangkan dirinya sendiri.
Kepalanya seakan berputar melihat lalu lalang orang-orang yang ada di sana. Terlebih, kenangan kelam di masa lalu tiba-tiba membuat ketakutannya semakin membuncah.
‘Tidak, tolong jangan sekarang!’ ucapnya lagi pada diri sendiri.
Pijar memeluk tasnya untuk mencari pegangan yang kuat agar dirinya tidak ambruk. Beruntung, setelah dia masuk ke dalam ruangan, suara berisik itu teredam sempurna. Jantungnya yang tadinya bertalu-talu itu pada akhirnya bisa berdetak dengan normal.
Di dalam ruangan itu sudah ada tiga lelaki yang langsung menyambut kedatangan Elang. Mereka tersenyum ketika melihat Pijar, dan itu adalah sebuah senyum culas yang membuat Pijar merasa tidak nyaman. Semoga saja, Elang tidak melakukan hal-hal yang terlalu jauh untuk menghancurkannya.
“Kamu membawa barang bagus, Elang.” Salah satu dari mereka berbicara. “Siapa namamu?” Tatapan lelaki itu mengarah pada Pijar dan Pijar mengangguk sopan.
“Saya Pijar, saya sekretaris pribadi Pak Elang.”
“Waw!” Satu orang yang lainnya bersuara. “Dia terlalu cantik kalau cuma jadi sekretaris. Sudah berhasil lo bawa ke ranjang, Lang?”
Wajah Pijar seketika menggelap. Ucapan lelaki itu merendahkannya. Tadinya, dia berharap bosnya bisa membelanya dengan bantahan. Namun, Elang diam seolah tidak mendengar kalimat hinaan tersebut. Lelaki itu memilih membaca dokumen yang temannya itu serahkan kepadanya.
“Revisi lagi.” Elang meletakkan map itu di depan temannya. “Nominalnya terlalu tinggi. Kalau mau kerja sama kita berjalan, lo harus buat proposalnya lebih teliti lagi.”
“Astaga, Elang. Bisnis ini pasti akan menguntungkan kita. Ayolah, bukankah kita sudah berteman lama?!” Lelaki yang tadi terus menatap Pijar itu akhirnya menoleh pada Elang.
“Tidak ada teman dalam bisnis.” Elang menarik napasnya panjang setelah itu. “Mana anggurnya?”
Setelahnya, teman-teman Elang itu tidak berkutik lagi dengan penolakan tersebut. Map disingkirkan, kini mereka mulai berpesta. Pijar tidak tahu apa fungsinya dia berada di sana. Sejak tadi, Elang bahkan tidak membicarakan tentang inti dari meeting tersebut, kecuali hanya membaca proposal yang diberikan kepadanya.
“Gue ke toilet dulu.” Elang beranjak dari tempat duduknya setelah menenggak beberapa gelas anggur. Namun, Pijar segera menahan jas yang dikenakan oleh Elang.
“Kalau sudah tidak ada yang perlu saya kerjakan di sini, boleh saya pergi, Pak?” tanyanya. Pijar takut ditinggalkan sendiri bersama dengan tiga orang yang sejak tadi menatapnya penuh dengan kelicikan.
Elang melepaskan tangan Pijar dari jasnya sedikit menyentak. “Tetaplah di sini. Aku tidak lama.”
Lelaki itu lantas keluar dari ruangan tersebut meninggalkan Pijar bersama tiga lelaki yang mengaku sebagai teman-temannya. Sejenak, suasana di dalam ruangan itu hening. Satu lelaki yang duduk tepat di samping Pijar segera beraksi. Lelaki itu merangkul Pijar dan sedikit menempelkan tubuhnya.
“Maaf, Pak. Tolong jangan begini.” Pijar bergeser untuk menghindari lelaki itu.
“Ayolah. Jangan jual mahal. Katakan, sudah berapa kali kamu naik ke ranjang Elang? Kami kenal betul siapa Elang, dan bagaimana liarnya bocah itu.” Senyum licik serta kikikan tawa segera terdengar dari tiga laki-laki di sana.
“Saya sekretaris. Bukan pelacur.” Pijar berusaha untuk tidak terpancing emosi.
Namun, laki-laki itu justru mencekal tangan Pijar dengan erat. “Kamu pikir kami tidak tahu sisi buruk kalian–para sekretaris? Hanya sedikit dari kalian yang tidak tergoda oleh bos kalian. Dan kita berbicara tentang Elang. Tidak ada perempuan yang bisa menolak lelaki seperti itu. Dia tampan dan banyak uang. Aku juga yakin kalau kamu pun tidak akan mungkin menolaknya Elang, ‘kan.” Tangan lelaki itu semakin meremas tangan Pijar. “Aku tidak keberatan kalau harus berbagi dengan Elang.”
Pijar berdiri dengan satu hentakan keras. Cekalan tangan lelaki itu terlepas. Tas tangannya digenggam erat-erat. “Saya permisi.”
Pijar sudah resah menunggu kedatangan Elang, tetapi lelaki itu tak kunjung datang. Siapa yang tahu kalau lelaki itu justru meninggalkannya?
“Siapa bilang kamu boleh pergi!” Lelaki itu menghalangi Pijar. Sedangkan dua yang lainnya hanya menjadi penonton. Bahkan dengan santainya menyesap anggurnya seolah di depannya tidak terjadi apa-apa. “Kita belum melakukan sesuatu yang menyenangkan, Nona.” Seringaian licik itu terlihat di bibirnya, menambah kesan menakutkan.
Pijar tidak memiliki pilihan lain. Dia memecahkan satu gelas di atas meja lalu mengacungkannya di depan lelaki itu. Seringaiannya muncul menyembunyikan ketakutan yang dirasakan. “Mari kita lakukan sesuatu yang menyenangkan itu, dan saya tidak akan segan melukai Anda.”
***
“Kamu sudah benar-benar keterlaluan, Elang!”Pijar marah, sebab ketika dia berhasil keluar dari bar, dia tidak menemukan mobil Elang yang tadi membawa mereka ke sini.Lelaki itu benar-benar meninggalkannya di tempat yang belum pernah dia datangi, dan membiarkan Pijar terkurung bersama teman-temannya yang brengsek. Elang sungguh keterlaluan, sepertinya rasa iba sudah tidak ada lagi di dalam hatinya. Tertutup dengan kebencian yang memenuhi nalurinya. Pijar kemudian melihat jam di tangannya dan waktu masih pukul tujuh malam. Pijar pun berniat menuju suatu tempat di mana dia bisa mengakhiri semua masalah yang dihadapinya malam ini juga.Menggunakan taksi, Pijar menghabiskan satu jam perjalanan untuk sampai ke tempat yang dulu pernah dia datangi. Pijar memantapkan niat sebelum akhirnya melangkah pasti ke dalam rumah mewah tersebut.“Pijar?” Lelaki paruh baya yang menemuinya itu tampak terkejut. “Apa ada hal yang penting sampai kamu datang ke sini?” tanyanya dengan ekspresi penasaran.Pijar
Elang melemparkan ponselnya ke hadapan Pijar. Sebuah portal berita online dengan judul ‘Seorang Model Cantik Ternyata Berkelakuan Buruk. Melemparkan Bunga dan Minuman ke Dalam Tempat Sampah’ terpampang di sana. “Karena ulahmu waktu itu, Aurora harus mendapatkan masalah.” Elang berujar kesal. “Kesalahan yang kamu buat tempo hari menjadi besar karena nama Aurora yang sedang bersinar. Bagaimana kamu akan bertanggung jawab?” Pijar mendongak menatap Elang. Tidak ada gelegak amarah yang terlihat dalam tatapannya. “Maaf, tapi kenapa saya harus bertanggung jawab atas masalah orang lain?” tanyanya masih dengan suara yang tenang, sama sekali tidak terprovokasi. “Kalau Bapak lupa, semua itu bukan kesalahan yang sengaja saya buat.” Berbanding terbalik dengan Pijar yang tenang, di hadapannya … Elang justru terlihat semakin kesal. Amarahnya merangkak ke puncak usai mendengar keberanian sang sekretaris dalam menjawabnya. “Buatlah klarifikasi atas hal tersebut dan katakan kalau Aurora tidak bers
Pijar tidak mengerti kenapa sejak dia masuk ke dalam gedung kantornya, semua orang menatapnya sambil berbisik-bisik. Menatap Pijar dengan tatapan aneh dan jijik. Pijar yang belum memahami situasi itu hanya tampak tak acuh dan memilih pergi ke ruangannya. Lantai paling atas adalah ruangan-ruangan petinggi perusahaan dan salah satunya ruangan Elang berada. Beruntung, dia bertemu dengan sekretaris manajer yang tak lain adalah temannya. Perempuan itu menarik Pijar untuk bisa berbicara berdua. “Kamu udah tahu apa yang sedang trending di kantor ini?” tanya perempuan itu dengan serius. Menatap Pijar fokus. “Kamu terlibat cinta segitiga dengan Pak Elang dan Aurora?” Pertanyaan itu membuat Pijar membelalakkan matanya. “Nggak sama sekali.” Pijar berucap tegas. “Aku nggak punya hubungan apa pun dengan Pak Elang kecuali hanya hubungan kerja.” “Kamu harus lihat ini.” Vira memberikan ponselnya kepada Pijar. “Kamu terlibat skandal dengan Aurora. Dia yang mengatakan kalau kamu selalu mendekati
“Apa benar, itu kesalahpahaman?” Yang lain menimpali. Ekspresi-ekspresi penasaran itu muncul di wajah mereka masing-masing. Mengharapkan jawaban dari mulut Pijar secara langsung. Berbeda dengan Aurora yang sudah mengeluarkan segenap jiwanya untuk berakting, Pijar tampak tidak terpengaruh dengan wajah dinginnya. Elang tidak menyangka kalau Aurora akan melakukan semua ini di depan perusahaannya. Jawaban itu belum diberikan oleh Pijar ketika pertanyaan lain muncul. “Saya dengar, Infinity akan menjadi ‘rumah’ baru untuk Aurora ketika nanti Aurora kembali ke Indonesia. Bagaimana tanggapan Bapak?” Microphone itu di dekatkan di bibir Elang agar lelaki itu bisa segera menjawab. “Seharusnya kalau teman-teman media ingin wawancara, harus membuat janji terlebih dulu kepada kami.” Pijar akhirnya bersuara dan pasang badan. Elang, Aurora, dan manajer Aurora serta para wartawan yang berkerumun itu menatap langsung kepada Pijar dengan ekspresi terkejut. “Kami punya jadwal meeting dan kami harus
Gosip yang beredar di kantor terkait Pijar yang selalu menggoda Elang itu semakin santer terdengar setelah Pijar menolak memberikan keterangan terkait sifat Aurora kepada wartawan. Mereka percaya kalau itu dilakukan oleh Pijar atas dasar kecemburuan. Dengan begitu, citra baik Pijar seolah memudar setiap harinya. Hal ini membuat Pijar seolah terdesak oleh hal yang tidak seharusnya. Jika dia mengungkapkan kebenaran bagaimana sifat asli Aurora, itu hanya akan membuat nama baiknya semakin buruk di kantor. Jika dia menutup masalah itu rapat-rapat, Aurora akan merasa berada di atas angin. Pijar seperti tengah makan buah simalakama. “Dulu waktu sama Pak Gema, dia kelihatan banget baiknya. Nggak ada yang ingin didapetin. Sekarang ganti sama Pak Elang ya berubah lah. Secara, Pak Elang itu ganteng banget.” Langkah kaki Pijar terhenti ketika mendengar obrolan karyawan Infinity. Lorong yang sepi memudahkan Pijar mendengar obrolan tersebut tanpa perlu susah payah. “Kalau dibandingkan Auror
“Apa yang kamu lakukan di sini?” Pijar tidak menyangka kalau pagi ini akan mendapatkan tamu tak diundang yang datang ke rumahnya. Pijar akan berangkat ke kantor ketika dia mendapati Aurora berdiri di depan pagar rumahnya dengan wajah penuh amarah. Pijar tidak meminta perempuan itu masuk dan menginjak halaman rumahnya, karena itu dia memilih keluar dan menemui Aurora di luar pagar. “Apa yang aku lakukan di sini?” Aurora bergumam dengan suara tajam. “Aku ingin memberikanmu ini!” Perempuan itu menampar Pijar tepat di pipinya dan memukul Pijar membabi buta tanpa ampun. “Lepaskan!” Pijar berusaha untuk melepaskan rambutnya dari tangan Aurora, tetapi perempuan itu sama sekali tidak mau melepaskan. Dia bahkan semakin erat meremas surai halur Pijar dengan tarikan. Pijar merasa, kepalanya akan ikut terlepas karena ulah perempuan itu. Di pagi seperti ini, tidak akan ada orang yang bisa menolong mereka. Meskipun perumahan Pijar bukanlah perumahan elit, tetapi warga di sana benar-benar menjag
Hanya dalam satu hari, Infinity dibuat goyah oleh berita-berita tak sedap yang dikeluarkan oleh Aurora. Dia mengaku dianiaya oleh Pijar sampai dia terluka. Infinity adalah perusahaan besar, seharusnya bisa mendidik karyawannya agar tidak melakukan kekerasan kepada calon model mereka. “Aku benar-benar tidak tahu kenapa dia melakukan ini. Aku hanya ingin berbicara baik-baik kepadanya, tapi dia justru bersikap kasar kepadaku.” Begitu kata Aurora sambil menangis tersedu. “Aku tahu, Elang lebih memilihku daripada dia dan dia sepertinya nggak terima. Dia memperlakukanku dengan sangat buruk karena cemburu. Dan tentang bunga yang aku buang, kami sudah berbicara secara baik-baik, tapi dia justru menyuruhku membuangnya.” Pijar mematikan ponselnya dengan tarikan napas panjang. Aurora benar-benar melibatkan Infinity dalam masalahnya dengan Pijar. Tentu ini sangat menjengkelkan. Pijar masih terpekur di tempat duduknya ketika telepon di depannya berbunyi. Elang memintanya masuk ke dalam ruanganny
“Itulah kenapa saya sempat ingin mundur dari posisi saya sebagai sekretaris Pak Elang, Pak.” Sudah kepalang tanggung, tidak perlu menutupinya lagi. Pijar juga perempuan biasa, dia memang selalu bersikap tegas dan cenderung garang. Namun, ada satu waktu di mana dia tak bisa menyembunyikan sesuatu hanya untuk melindungi orang lain. Ketika dia terus didesak atas sesuatu yang tidak seharusnya, dia juga bisa berontak. Elang yang berada di samping Pijar itu mengeratkan rahangnya kuat mendengar ucapan Pijar. Ada gejolak aneh yang membuatnya merasa belum puas membalas perbuatan Pijar di masa lalu. Gema menatap Elang dengan kernyitan di dahinya, tetapi tidak ada apa pun yang keluar dari bibirnya. “Pacaran?” tanya Gema setelahnya tampak sedikit ragu. Pijar mengangguk. Menarik napasnya panjang sebelum mengeluarkan kembali suaranya. “Iya, Pak.” Kali ini Gema yang benar-benar terkejut. Bahkan untuk beberapa saat, tidak ada dari mereka yang berbicara. Pijar tampaknya sedikit gugup. Gadis itu