Bab 1
Bali, O5 Juni 2015
"Aku menghabiskan waktuku di pantai Kelingking Nusa Peninda, Bali, bersama teman temanku untuk berlibur. Kami menginap di villa. Udaranya yang sejuk mengikis hingga ketulang. Aku berdiri dipinggiran puncak, menikmati pemandangan dengan teropong.
Teropong itu menangkap mahkluk yang paling indah yang belum pernah ku lihat. Seorang gadis tertawa riang menari di pinggir laut. Rambut panjangnya terurai indah mengikuti angin. Mataku terpaku.
"Apa yang kau lihat?" temanku menghampiri sambil meminta teropong.
"Bercanda! Perempuan?" Kekehnya dengan nada meledek menatap kearah teropong.
"Wanita mahluk yang indah untuk mata. Tapi juga bisa menghancurkan hidup kita."
"Berhentilah menggurui. Kau tahu dimana gadis itu?" tanyaku.
"Serius mau ke sana ? Itu sangat mudah, kita hanya perlu mengelilingi pantai."
Aku pergi begitu saja tak ingin membuang waktu.
"Heiii...Aku ikut!"
Aku tahu dia mengikuti dari belakang menaiki motor yang dia sewa. Rasa penasaran membuat ku mempercepat tarikan motorku.
Aku harus sampai di sana dengan cepat sebelum gadis itu hilang. Wajahnya masih sangat jelas di pikiranku.BRUG!
Terjadi kecelakaan di jalan raya. Semua kendaraan terjebak tidak bisa lewat. Darah yang mengalir membasahi jalanan. Suara ambulance membuat semakin mencekam.
"Apa yang terjadi di depan sana ?"
"Terjadi kecelakaan di depan!"
"Kasian sekali."
Jalanan kota menjadi macet tak terkendali.
**
Jakarta.
Lima tahun kemudian.Thalita menatap bayangannya di cermin dan mulai gelisah. Hari ini adalah hari pertunangannya, impiannya sejak dulu. Menikah dengan Morgan Alfaro, kekasihnya sejak SMA. Sampai saat ini Thalita masih tidak percaya Morgan melamarnya. Thalita mengenakan kebaya modern, warnanya akan senada dengan batik Morgan. Thalita sudah menyiapkan dengan detail pakaian mereka.
Morgan Alfaro bukan pria kaya raya. Dia hanya seorang karyawan biasa di perusahaan. Pernikahan bukan untuk membuat wanita menjadi tanggung jawab penuh laki-laki untuk membiayai hidupnya. Thalita memiliki pekerjaan sebagai pegawai mall terkenal di Jakarta. Ia bertekad tidak akan berhenti bekerja dan akan membantu suaminya mencari uang. Itu adalah prinsip bukan keterpaksaan.
Di depannya sudah ada Renata dan Davina yang menemaninya di hotel untuk merias diri. Mereka menggunakan gaun berwarna merah maroon yang senada.
"Kau cantik sekali, Lita."suara Renata penuh kekaguman. Gadis berambut layer itu adalah teman SMA sekaligus teman sekerjanya.
"Apa aku tidak kelihatan aneh, Ree?" tanya Thalita. Dia sangat tegang. Acara pertunangan saja membuatnya gugup sekali. Telapak tangannya sudah berpeluh.
"Ya ampun. Aku masih belum percaya kau akan bertunangan, Thalita,” Davina duduk di samping Renata menatap lekat temannya itu. Gadis berwajah bulat itu sangat cantik. Teman SMA Thalita juga.
“Oh Tuhan, aku sangat gugup. Sungguh.” Thalita menarik nafas dalam-dalam.
“Tenangkan dirimu, Thalita. Ini belum mulai lagi. Semua akan akan lancar, percayalah.” Davina menenangkan. Thalita mengangguk angguk mantap dengan senyuman manisnya.
"Morgan sangat beruntung mendapatkan mu. Hm, tapi kenapa kalian tiba-tiba ingin menikah? Jangan bilang kau enggak virgin lagi makanya buru-buru menikah.” Renata bercanda.
Davina dan Thalita membulatkan mata pada Renata. Bicara gadis itu terlalu ceplas-ceplos.
"Jangan bicara sembarangan Ree. Aku sayang Morgan. Apa pun kekurangan dia aku terima. Tapi, bukan berarti aku menyerahkan segalanya Ree!" balas Thalita sedikit kesal.
"Okay. Baiklah...Jangan terlalu serius Thalita. Aku hanya bercanda," Renata tertawa untuk menghilangkan ketegangan.
"Kau membuatku semakin tegang Ree."
"Tenanglah sayang semua akan lancar." Renata mengusap bahu Thalita pelan.
Thalita menatap ke cermin kembali, memastikan semua yang ia kenakan sudah terlihat sempurna.
Thalita meraih kedua tangan temannya,” Jantungku berdebar kencang sekali.”
"Kamu hanya nervous Thalita. Dan itu wajar," Davina menepuk tiga kali tangan Thalita.
"Aku cukup kaget Morgan menyewa gedung ini untuk acara pertunangan kalian,"ujar Renata. Mengingat Morgan hanya pegawai biasa. Menyewa gedung dan kamar hotel yang ditempati Thalita untuk berias. Biayanya pasti tidak sedikit.
"Entahlah dari mana uangnya.
Tapi, aku menghargai usaha Morgan," Thalita menyembunyikan kekesalannya. Sudah pukul 7.00 malam. Tapi Morgan belum juga terlihat batang hidungnya. Sudah berulang kali Thalita mengingatkan Morgan untuk datang tepat waktu. Hari ini hari spesial untuk mereka. Pikirannya terhenti saat mendengar ketukan pintu.Totoktok!
Morgan masuk dengan baju biasa. Celana jeans dan kaus putih polos membuat Thalita terperanjat. Laki-laki itu mendekati Thalita. Renata dan Davina juga kaget dengan penampilan Morgan.
"Apa yang kau lakukan, Morgan? Kenapa bajumu belum diganti!" Thalita menekan ucapannya.Dia sudah berdiri menghadap Morgan.
"Kita perlu bicara Thalita."Morgan melirik Renata dan Davina. Merasa tidak nyaman.
"Kami keluar dulu supaya kalian bisa bicara berdua.” Renata menarik tangan Davina untuk keluar dari kamar.
Thalita memandang Morgan dengan tajam dan penuh tanda tanya.
"Ada masalah ?” tanya Thalita.
"Maaf aku harus pergi. Bisakah kita undur acara ini?” Morgan meminta. Tangannya meraih tangan Thalita yang sudah berdiri sejajar dengannya. Laki-laki bermata biru itu sedang menatap Thalita dengan memelas. Thalita meradang.
"Tidak mungkin! Orangtuaku ada di luar menunggu kita," tukas Thalita,"Seharusnya ini enggak kau lakukan kalau kau belum siap."
"Bukan aku belum siap Thalita. Tapi, ada sesuatu hal...Aku bermain judi untuk mendapatkan uang biaya acara kita. Polisi sebentar lagi akan datang. Maaf aku juga sudah meminjam uang,” suara Morgan pelan dan hati-hati.
"Morgan! Jangan bercanda,” lirih Thalita tidak percaya. Dia hampir limpung
"Semua ini untukmu. Maaf caraku salah,” ucap Morgan penuh sesal.
"Astagaa Morgan...Seharusnya enggak seperti ini! Kau mengacaukan segalanya. Dan kau bilang polisi...” cela Thalita, "Aku enggak perlu kesempurnaan. Seharusnya acara ini biasa saja. Cukup kita dan keluarga. enggak perlu gedung dan acara mewah." Thalita menangis. Kedua tangannya menutup wajahnya. Ia lupa wajahnya yang sudah penuh makeup.
"Aku harus pergi Thalita. Aku harus lari dari sini. Sebelum polisi datang." ucap Morgan. Membuat Thalita kembali melihat Morgan. Dirinya seperti mendapat serangan petir.
"Dengar! Kau enggak perlu lari. Aku akan menunggumu dan membantu membayar hutangmu.” pinta Thalita. Tangannya meraih Morgan yang hendak pergi.
"Persetan dengan semua ini! Aku akan masuk penjara. Dan kau bilang menunggu!" Morgan melepaskan tangan Thalita. "Aku tidak akan masuk penjara. Kau yang akan menghentikan acara ini.” Morgan pergi keluar dengan terburu-buru.
"Morgan..." Thalita mengejar Morgan. Tidak perduli tatapan orang yang melihat dengan wajah prihatin. Air mata Thalita mengalir deras.
"Morgan...!" Thalita berjalan di lorong gedung. Dia tidak menemukan Morgan. Semua mata melihat padanya dengan pandangan heran.
Tidak mungkin Morgan berada di tempat ramai. Dia sedang mencoba kabur. Dia seorang buronan sekarang. Thalita berlari ke arah taman di belakang gedung. Bajunya membuat susah bergerak. Malam itu sangat mengerikan baginya. Bagaimana bisa Morgan meninggalkannya pada malam pertunangan mereka.
"Morgan..."teriak Thalita frustasi. Hembusan angin malam semakin menusuk. Pepohonan dan lampu seakan menemani dukanya. Tidak ada seorang pun.
"Morgan..."Thalita melangkah mundur. Matanya menyapu sekililing. Wajahnya sudah sangat kacau. Make-up yang luntur karena air mata.
Brakkkkkk!
Thalita menabrak seseorang di belakangnya.
"Morgan..!"
"Kau mencari seseorang ? Say baby..."
"Maaf." ucap Thalita. Dia hanya melihat sekilas. Saat tahu laki-laki itu bukan Morgan. Dia langsung pergi tidak peduli pada orang yang dia tabrak.
"Arion..."
Arion masih terperangah tidak percaya dengan apa yang ia lihat. Namun, suara itu membuyarkan lamunan Arion. Andre sudah ada di belakangnya.
"Apa semuanya sudah beres, Andre? Aku mau semua selesai seperti apa yang aku inginkan." suara Arion tegas. Dia kembali normal dengan sifat perfeksionisnya.
"Seperti apa yang sudah kau perintahkan,” jawab Andre. Dia mengikuti Arion di belakang.
Andre salah satu kepercayaan Arion. Sepupu sekaligus sekertaris Arion. Andre tidak perlu memanggil dengan embel-embel 'pak' atau semacamnya. Itu sudah ditetapkan Arion.
"Aku tahu kau akan memberikan yang terbaik. Jangan lupa untuk mengatur ulang jadwalku. Kita akan menunda keberangkatan,” ucap Arion duduk dengan santai di ruang kerjanya. Matanya hampa memikirkan sesuatu.
"Apa kau pasti? Ini jadwal yang sangat penting Arion. Kita akan sangat rugi, jika jadwal ini diundur." Andre menatap Arion.
"Tidak ada yang lebih penting dari urusan ku. Bahkan, kau lebih tau dari siapa pun." Arion memastikan kata-katanya tidak bisa diganggu-gugat.
"Baik. Aku akan mengatur ulang." kata Andre."Tadi Faradita menelpon. Apa mau aku sambungkan padanya."tanya Andre.
Faradita Caramel.
"Tidak perlu. Dia akan sangat sibuk di Singapure dengan aktivitas shopingnya. Biarkan saja," ucap Arion. Jeda sejenak. "Aku akan menelponnya nanti." Arion berubah pikiran. Dia akan memberikan kabar pada gadis itu. Sebelum gadis itu memberikan masalah.
"Terserah padamu. Kau bisa melakukan apa pun yang kau mau,” jawab Andre mengangkat kedua tangannya. Menyerah.
"Hei...Berani sekali kau bicara pada bosmu seperti itu.” Arion mengerutkan dahinya.
Andre menarik kursi di depannya untuk duduk sambil tertawa, Arion menatapnya dengan geram. Untunglah laki-laki itu sepupunya kalau tidak Arion tidak akan segan untuk memecatnya tanpa uang pesangon.
"Kau bisa mencari orang lain untuk menggantikan posisiku,” ucap Andre.
Arion tertawa kecil,"Jangan pernah berharap Andre. Kau tidak akan bisa keluar dari pekerjaan mu,” tegas Arion. Baginya Andre lebih dari sekedar karyawan. Arion selalu puas dengan hasil pekerjaan Andre. Bahkan ke luar negeri juga Arion akan mengikut sertakan Andre. Arion tidak akan melepaskan siapa pun yang dia rasa sangat penting. Andre adalah salah satu orang itu.
"Apa kau sudah memikirkan berkali kali lipat tentang rencanamu?” ulang Andre. Sepertinya dia tidak terlalu menyetujui pikiran Arion yang sekarang.
"Kau mau menantangku,” ucap Arion, tajam memandang Andre.
"Aku tidak berani."
**
Arion menatap ke luar dari kaca kamarnya. Pemandangan malam bertabur bintang. Semua bangunan terlihat kecil dari tempatnya melihat. Lampu-lampu di kota menambah cantik malam itu. Ingatannya kembali pada lima tahun lalu. Hari dimana dia kecelakaan. Wajah gadis itu yang selalu menemaninya saat terbaring di rumah sakit. Gadis itu ikut berperan untuk membangunkannya.
Pukul tiga pagi. Arion mengambil handphone dari atas nakas. Dia tidak perduli dengan jam orang tidur. Baginya kehendaknya adalah yang terpenting.
"Arion! Apa kau tidak melihat jam?” Andre mengerang dari balik ponselnya.
"Aku bosmu! Jam berapa pun aku menelepon itu terserah padaku,” ucap Arion tidak peduli.
"Perkataanmu selalu saja begitu. Baiklah...Apa yang ingin kau katakan."
"Apa perintahku semua sudah kau lakukan?” ucap Arion .
"Astaga...Demi Tuhan Arion. Sudah berulang kali kau mengatakan padaku.”
"Aku hanya ingin memastikan Andre. Kau cukup mengatakan sudah atau belum,” suara Arion memaksa.
"Sudah! Alamat rumah. Di mana dia bekerja. Siapa teman-temannya. Bahkan ukuran sepatunya. Aku sudah mencari tahu sedetail itu,” ucap Andre dengan nada kesal.
"Bagus. Kau boleh tidur.”
"Terima kasih untuk kemurahan hatimu.” Andre menahan emosi.
Arion mematikan ponselnya. Matanya masih segar tak ingin terlelap. Sesuatu yang ingin ia miliki pasti akan ia dapatkan apa pun caranya.
***
"Thalita! Manager memanggilmu.” panggil Renata dari belakang. Thalita menghentikan tangannya yang sedang menyusun pakaian untuk di pajang. "Ada apa?” "Entahlah, aku pun enggak tahu,” jawab Renata. Dia mengambil alih pekerjaan Thalita. Thalita berjalan ke ruang manager. Mall ini belum buka, biasanya sebelum pukul 9 semua staf dan karyawan sudah mempersiapkan pembukaan mall. Thalita menatap Ronald dengan mata menyala. Keputusan Ronald belum bisa dia terima. Bisa-bisanya Ronald memecatnya. Jangan bilang masalah pribadi dijadikan alasan. Thalita pernah menolak perasaan Ronald. "Keputusan sudah final Thalita. Percuma kau memaksa,"ucap Ronald, setengah pantatnya duduk di atas meja dengan tangan berlipat. "Memecat orang tanpa alasan yang kuat. Tidak masuk akal. Aku ti
Thalita tidak tidur semalam suntuk. Matanya sudah ada lingkar hitam. Dia tidak tenang, sekejap berdiri sekejap duduk. Kemudian berdiri lagi dan mengelilingi tempat tidur. Arion belum lagi datang semenjak terakhir mereka bertemu, laki-laki itu serius mengurungnya di sini. Ucapan Arion masih terngiang di telinga Thalita. Bedebah, laki-laki itu sakit jiwa!KREKK!Thalita menoleh dengan cepat ke arah pintu yang terbuka. Seorang wanita bertubuh subur membawa troly. Cleaning service. Thalita mengambil kesempatan untuk mengintip keluar. Melihat siapa yang menjaga. Dari cela ia melihat keadaan yang aman, seulas senyum tipis terlukis di bibirnya."Maaf ...Saya mau bersihiin kamar ini."Thalita mengangguk. Dia mencari high heels yang dia lempar pada Arion tempo hari. Thalita mengendap-endap keluar dari kamar dengan mata penuh waspada. Ini adalah kesempatan untuknya lari. Siapa yang tahu laki-laki itu punya rencana jahat padanya. Menjual organ tubuhnya atau me
Dua hari setelah perencanaan pernikahan dadakan Thalita dan Arion. Setelah rasa kaget yang mereka berikan pada keluarga Thalita. Arion berhasil meluluhkan kedua orangtua Thalita dengan pelunasan hutang dan juga rumah baru untuk mereka. Pernikahan itu berjalan cepat. Arion dan Thalita menandatangani surat nikah di KUA seperti menandatangani surat biasa. Andre yang menjadi saksi mereka hanya dapat mengelus dada.Kedua orang itu membuat orang yang menyaksikan terheran heran. Thalita dengan pakaian casual, sedangkan Arion mengenakan kacamata hitam."Kenapa pasportku bisa cepat selesai? Apa kau sudah merencanakan dari awal?" Thalita menautkan alisnya pada Arion. Mereka sudah berada di bandara Soekarno Hatta."Sudah kubilang. Apapun keputusanmu. Aku akan tetap membawamu pergi," ucap Arion menarik tangan Thalita menuju check in."Aku bisa sendiri. Lepaskan tanganmu," bentak Thalita. Laki laki itu melepaskannya tangannya setelah mendapat pandangan sinis ora
Batu caves, Malaysia. Thalita duduk di batuan memandang patung Murugan yang tinggi tidak jauh di depannya. Burung burung merpati berterbangan di sekeliling. Hanya bisa memandang tapi tidak bisa meraih satu pun merpati yang ada di depan itu. Bibir Thalita gemetar. Dia iri melihat burung merpati yang bisa terbang bebas. Freedom. Kapan kebebasan seperti dulu bisa dinikmati lagi. Thalita mengenang masa lalu, sebelum dia bertemu dengan Arion. "Kalian enggak capek berdiri terus ?” tanya Thalita pada kedua laki-laki berwarna hitam itu. Entahlah dari mana Arion mendapatkan Bodyguard sehitam mereka. Kemana Thalita pergi mereka selalu mengikuti. "You tak payah pikir pasal kami. Kita orang punya tugas buat jaga you,” ucap laki-laki berkumis. Mereka berdua orang India dari logatnya Thalita bisa tebak. "Terserahlah. Kalian past
Pagi-pagi Arion sudah mengelilingi kamar. Ia mencari Thalita. Saat bangun tidur dia tidak mendapatkan Thalita di kamar. Ia bergegas menuju kolam renang, mungkin saja Thalita ingin berenang pagi ini. Sampai di sana tidak terlihat istrinya. Arion mendengus kesal dan saat ia berbalik melihat Thalita baru saja masuk. Entah mengapa, tidak melihat Thalita pagi hari membuat perasaannya ada yang kurang. Setidaknya dia sekarang sudah memperistri gadis itu, walaupun belum pernah ia sentuh. Sial! Keadaan itu sangat menyiksanya. "Kemana saja kau pergi?" teriak Arion. Dia sangat posesif. Saat melihat wanitanya sudah di depannya. "Gym." "Gym? Kenapa kau pergi ke sana?!" Thalita tidak peduli raungan Arion. Dia mengelap keringatnya dan masuk ke kamar mandi. Setelah berganti baju Thalita melihat meja makan suda
Phuket, Thailand.Thalita berdiri di anak tangga pesawat. Matanya menyisir sekeliling. Dia masih belum percaya semudah itu Arion bisa membawanya ke sini. Kali ini Arion membawanya dengan pesawat pribadi."Thalita! Cepatlah turun," teriak Arion dari bawah.Thalita dengan santai menuruni tangga bak ratu. Dia bukan sedang mengagumi kekayaan laki-laki itu. Dari awal mereka berangkat, Thalita sudah membuat emosi Arion. Terlambat bangun. Tidak mau pergi. Bahkan dia mogok makan. Thalita memang suka membangkang pada Arion. Dia selalu mencari cara untuk memancing emosi Arion.Shitt!Arion mendatangi Thalita dan mengangkat gadis itu seperti karung beras. Thalita meronta-ronta membuat Arion harus memukul pantat gadis itu. Di luar bandara sudah ada supir yang menjemput mereka. Dari perjalanan sampai ke hotel mereka selalu berdebat ."Aku ingin kamar sendiri," pinta Thalita
Apartmen South Moritz begitu mewah. Pada malam hari pemandangan dari balkon sangat indah dihiasi lampu berwarna-warni. Thalita berdiri di tepi jendela apartment itu melihat panorama Jakarta. Matanya kosong menatap pemandangan di luar jendela. Tangannya gemetar, menahan perasaannya. Hampir sebulan Thalita tinggal di sini. Seakan baru semalam berlaku. Dia tidak bisa meninggalkan Arion, karena waktu mereka belum habis, setahun. Perjanjian mereka. Harusnya dia senang Arion jarang pulang. Laki-laki itu kembali ke rumah orang-tuanya. Arion belum memperkenalkan Thalita pada orangtuanya. Ya, pernikahan mereka masih dirahasiakan oleh media bahkan keluarga Arion juga tidak tahu. Tapi, ia tidak perduli itu. Karena pernikahan mereka hanya sementara. Entah
Bab 9 Merindukan Arion pulang ke rumah dari bermain golf bersama client. Andre mengikuti dari belakang membawa alat-alat Arion. Kadang Arion bertingkah menyebalkan saat dalam mood yang tidak baik. Sekertaris membawakan tas berisi alat golf. Apa-apaan! Andre mengeluh dalam hati. Langkah Arion terhenti. Dia melihat ke ruang tamu. Faradita Caramel, gadis itu sedang berbincang dengan Ratna, Ibunya. "Eh... Arion sudah pulang? Sini. Fara dari tadi nungguin kamu," panggil Ratna. Dia mendatangi Arion dan memaksa bertemu Faradita. Arion berasa serba salah. Wanita itu mengenakan dress casual. Dari atas sampai bawah semua berjenama yang dipakai Faradita. Wanita itu cantik. Matanya biru dengan hidung yang mancung sempurna. Harusnya ia senang melihat gadis itu. Dari dulu gadis itu selalu berada di sekitarnya, mengganggu ha
"Cepat Thalita! Kau selalu lama kalau sudah berdandan.” Arion berdiri dengan kesal menunggu Thalita di luar mobil. “Iya, maaf-maaf.” Thalita dengan cepat memasukkan anting di telinganya. Arion membuatnya tergesa-gesa sedari tadi di hotel. Thalita keluar dari mobil dengan wajah cemberut, lalu bergegas mengikuti langkah Arion. Di satu sisi tampak Renata sedang sibuk mengamati hidangan. Rasanya semua ingin ia makan. Kapan lagi ia menikmati bermacam-macam hidangan seperti ini. Ardi berdiri di pinggiran dengan wajah cemberut pura-pura tidak melihat kelakuan pacarnya. Mereka semua sedang ada di sebuah perayaaan. Andre dan Fara mengundang ke acara pernikahan mereka yang diadakan di Bali. Dengan suasana out door membuat acara semakin meriah. Thalit
Arion menatap takjub bayi mungil didalam gendongan Ratna. Benar-benar sangat tampan dan menggemaskan. Thalita telah memberinya seorang anak laki-laki, tepat pukul 10 pagi tadi dengan normal. “Kau sekarang seorang ayah, Arion,” ucap Ratna dengan mata berbinar-binar. Arion menatap anaknya dengan penuh kebahagiaan. Mereka masih di rumah sakit. Thalita masih tertidur pulas di ranjangnya.Terima kasih Thalita untuk hadiahmu yang terindah. “Kau telah memilih nama untuk anakmu?” tanya Ferdinand.Arion mengangguk,” Arsenio Kyler Ortega.” Ferdinand menyukai nama itu. Kelak Arsenio akan menjadi anak yang membanggakan. Laki-laki yang bertanggung jawab. Mata Arion tidak berkedip dari wajah mungil itu. &
Arion memberikan embun pada kaca oleh mulutnya, lalu mengelap dengan tangannya. Ia mendekatkan wajahnya ke depan kaca, matanya dengan tajam menyapu ruangan di balik kaca. Hatinya was-was dengan kesal. "Apa dia sudah pulang? Tapi kenapa tidak ada yang memberitahuku,” gumam Arion seorang diri. "Atau dia diculik lagi. Ah, wanita itu selalu membuatku khawatir.” Thalita yang ada di belakang Arion tersenyum geli melihat pemandangan di depannya. Tapi dia tidak akan memperlihatkan wajahnya yang senang melihat Arion.Hai baby, kau lihat nak, ayahmu datang. Tingkahnya sangat menggemaskan. Thalita berdehem. Mata mereka saling bertemu, lumayan lama mereka saling menatap meluapkan rasa rindu yang mengusik sanubari.
Thalita menonton standup comedy. Untungnya dia dapat kamar VVIP jadi kamarnya mempunyai service lebih, seperti kulkas dan tv. Hari ini tidak ada yang menungguinya di rumah sakit. Davina dan Renata lagi ada pekerjaan. Thalita tertawa terbahak-bahak menonton comedian Dodit sampai perutnya keram kebanyakan ketawa. Tiba-tiba suara ketukan pintu kamarnya terdengar. Thalita memelankan suara televisi-nya. "Tumben Renata ketuk pintu. Biasanya asal main nyelonong,” gumam Thalita. Dia memperhatikan pintu menunggu orang yang mengetuk pintunya masuk ke dalam. Thalita terkesiap melihat orang yang sedang masuk ke dalam dan menutup kembali pintu yang dia buka. Matanya terpaku pada Fara, tunangan bapa bayinya. "Kenapa
Di sinilah Arion sekarang, di depan Fara dengan keadaan yang canggung. Tadi dia datang ke rumah Fara tanpa memberi tahu Fara dan langsung mengajak tunangannya itu untuk keluar. Mereka makan di restoran Eropa. Arion menyukai masakan Perancis begitu juga dengan Fara. Karena Thalita sekarang lidah Arion terbiasa dengan masakan Indonesia banget ala-ala kampung. Apalagi lalapan dan sambel terasi. “Kenapa makanmu sangat rakus, tidak biasanya. Kau tidak diet? Berat badanmu akan naik jika cara makanmu seperti ini,” ucap Arion menatap Fara lalu menggeleng. "Aku butuh tenaga,” sahut Fara, meminum mineralnya dan lanjut melahap hidangannya lagi. "Okey, kalau kurang aku bisa pesanin lagi.” Arion meletakkan sendoknya dan hanya menjadi penonton untuk Fara. Mungkin Fara sudah terlalu banyak pik
"Ini sudah seminggu kau di rumah sakit Lit, seminggu juga kau menolak kedatangan Arion. Yakin, kau enggak mau nemuin Arion,” ucap Renata yang menemani Thalita di rumah sakit.Maaf ya nak, kita enggak boleh ketemu bapa kamu sekarang. Thalita hanya tersenyum tipis saja mendengar protesan Renata bukan cuma Renata tapi Davina juga setiap hari mengingatkan Thalita dengan ucapan berbau Arion. Tubuh Thalita masih lemah dan masih memerlukan infus untuk membantu memulihkan kondisinya, untunglah keadaan bayi dalam perutnya baik-baik saja . Davina dan Renata bergantian menjaga Thalita. Orang tua Arion juga datang dan Thalita menyambut dengan hangat kecuali Arion. "Inget ya Lit, bapa dari sijabang bayi itu Arion. Dia berhaklah liha
Darah terasa menderu dan menerjang naik hingga ke puncak kepala ketika menggenggam foto-foto tersebut dengan erat sebelum meremukkannya dengan kasar, entah siapa yang mengirim padanya. Foto Thalita yang sedang disekap dengan ikatan tali dan mulut yang disumpal."Beraninya kau melakukan itu pada Thalita!" erangnya dengan hidung kembang kempis. Arion mengambil jaket dan juga kunci mobil di nakas, dengan cepat dia mengambil mobilnya yang ada di bagasi bawah. Arion tahu tempat yang ada di foto itu, mereka dengan sengaja memberikan petunjuk lokasi atau terlalu bodoh. Tidak perduli apa rencana Morgan baginya yang terpenting menemukan Thalita. Kini Arion berada di gerbong kereta api yang tak terpakai, sekitaran tampak sepi
MorganThalita menelan ludah seakan tidak percaya laki-laki itu menculiknya. Dia bukan Morgan yang Thalita kenal, bukan Morgan yang pernah menjadi tunangannya, bukan Morgan yang pernah tersenyum padanya dan bukan Morgan yang meninggalkan acara pertunangan mereka.Dia Morgan, tapi dengan suara yang terdengar tajam. Morgan yang membuat bulu kudu Thalita merinding. Morgan menarik tali lampu meja yang tergantung, kini Thalita bisa melihat dengan jelas wajah Morgan yang menyeringai."Masi ingat dulu kau melarangku ngerokok, melarangku minum dan juga kau akan marah kalau aku begadang. Karena takut aku jatuh sakit."Kalau saja mulut Thalita tidak disumpal dia akan menjerit meraung-raung hingga orang luar bisa mendengar. Thalita membrontak namun semua itu percuma.Morgan menarik ingusnya dengan menggesek telunjuknya ke hidung, tidak ada cairan walaupun suara itu nyaring. Dia seperti orang
Thalita hamil Deva terbelalak. Namun ekpresi-nya berubah menjadi santai dan tertawa sinis."Se-brengsek itu aku dalam pikiran kalian! Aku tidak sejahat itu. Aku tahu aku salah tapi, aku---“ "Jangan coba menipuku Deva Mahendra!” Arion kembali menarik kerah Deva dengan wajah ingin membunuh. Andre dan Ardi kembali memisahkan mereka supaya tidak terjadi hal yang tidak diinginkan. "Aku memang membencimu, Arion Ortega. Keluargamu yang kaya raya itu sudah membuat keluargaku hancur! Kau kecelakaan dan semua menyalahkan aku, karena apa? Kau adalah anak yang terbuat dari sendok emas yang sangat berharga! Fara, dia sama sekali tidak menganggap aku ada di saat aku dulu selalu ada untuknya, karena kau aku dikirim ke Sydney. Orangtuaku takut keluargamu yang berpengaruh itu men