Sejak menikah dengan Mas Arya, Alyasha tidak penah sekalipun mencampuri urusan bisnis suaminya. Menurutnya, mereka memiliki keahlian di bidang masing-masing. Mas Arya dengan perusahaannya, Alyasha dengan kariernya di bidang modelling. Dengantidak saling mencampuri pekerjaan masing-masing, mereka berarti saling menghormati satu sama lain.
Sesekali, Alyasha akan mampir di kantor untuk sekedar menemui Mas Arya, atau terkadang sambil membawakan bekal yang dibuatnya dengan mencobai menu baru yang ia tonton di Yutube yang menurutnya menarik.
Mereka berdua telah berpacaran sekian tahun lamanya sebelum memutuskan untuk melanjutkan ke jenjang pernikahan. Semua karyawan perusahaan mengenal Alyasha. Demikian juga Alyasha, ia mengenal hampir semua orang yang bekerja di Royal Garmen Company. Bahkan, ia juga sampai hapal nama sekuriti maupun cleaning service yang sering membersihkan kantor suaminya.
Alyasha sangat mengagumi Mas Arya. Parasnya yang tampan, dan tubuh proporsional yang bisa membuat wanita manapun tidak bisa untuk mengalihkan pandangan darinya. Bahkan, setelah mereka menikah pun, Alyasha beberapa kali memergoki wanita lain yang mencuri-curi pandang ke arah suaminya. Meski Mas Arya jelas-jelas menggandeng tangannya, atau merangkulnya, itu tidak lantas membuat mereka berhenti mlirik suaminya.
Beruntungnya Alyasha, Mas Arya tampak tidak pernah memedulikan wanita lain manapun. Pandangannya hanya tertuju kepada Alyasha seorang. Senyum maupun cintanya hanya untuk Alyasha seorang. Terkadang, Alyasha merasakan kepuasan tersendiri melihat bagaimana Mas Arya memperlakukannya, sementara para wanita itu hanya bisa menggigit bibir sambil memandang iri.
Tidak hanya perihal penampilan luar yang membuat Alyasha jatuh cinta berkali-kali. Sifat Mas Arya yang berpendirian dan bertanggung jawab, juga sikapnya yang santun serta teramat penyayang, membuat Alyasha merasa tidak ada lagi lelaki lain yang lebih baik darinya.
Mas Arya tidak akan pernah mau mengakui hasil kerja keras orang lain sebagai miliknya. Sekalipun ayahnya telah memiliki sebuah perusahaan besar yang siap diwariskan kepadanya, Mas Arya lebih memilih untuk merintis perusahaannya sendiri dari nol. Merasai jatuh bangun, pahit manis perjuangan untuk mengembangkan perusahaan hingga sampai sebesar sekarang.
Ia adalah sosok laki-laki yang idaman wanita manapun. Setiap kali memikirkan Mas Arya dan keluarga kecilnya, Alyasha senantiasa merasa betapa beruntungnya ia, lelaki seperti Mas Arya memilih untuk bersama dengan wanita sepertinya.
Hari itu, Alyasha mendapat day off dari perusahaan. Ia telah bekerja selama dua minggu penuh tanpa mengambil libur sekalipu, Dan bosnya, Lars, mencak-mencak menyuruhnya untuk tidak bekerja terlalu keras. Meski Alyasha menikmati pekerjaannya, dan tidak merasa bekerja keras sama sekali, ia mengiyakan saja saat Lars memerintahkannya untuk mengambil libur.
Setelah menjemput Annanda dari TK, Alyasha berniat memberi kejutan pada sang suami dengan menghampirinya ke kantor. Berbekal masakan rumah yang ia taruh dalam box makan siang, Alyasha mengangguk pada resepsionis yang menyapanya dan langsung menuju kantor Mas Arya.
Ruang kantor Mas Arya berada di lantai paling atas. Mas Arya menggunakan seluruh area lantai atas sebagai kantornya. Ia tidak terlalu suka bekerja di keramaian di mana banyak karyawan-karyawan lain berlalu lalang. Area yang sunyi membantunya lebih berkonsentrasi.
Kantornya sendiri dilengkapi dengan ruang tamu, dan balkoni. Bahkan, ada juga ruang tidur kecil yang Mas Arya sering gunakan dulu sewaktu ia masih baru membangun perusahaannya karena ia sering sampai harus bermalam di kantor. Begitu menikahi Alyasha, Mas Arya tidak lagi pernah bermalam di perusahaan. Ia lebih memilih untuk pulang dan menghabiskan waktu dengan keluarga.
Alyasha sedikit mengerutkan dahi melihat ada sebuah ruang lain di samping pintu kantor Mas Arya. Memang, ia sudah cukup lama tidak mengunjungi Mas Arya ke sini, jadi ia tidak tahu soal ruangan baru itu. Alyasha akan menanyakannya nanti pada Mas Arya.
Alyasha mengetuk pintu pelan. Tidak ada sahutan dari seberang pintu, ia berpikir mungkin Mas Arya tidak mendengarnya. Mungkin ia sedang di toilet, atau terlalu berkonsentrasi pada pekerjaan sehingga tidak menyadari suara ketukan pintu.
Alyasha membuka pintu perlahan dan langsung memasuki ruangan. Kantor Mas Arya yang luas memiliki kaca buram setinggi orang dewasa untuk memisahkan ruang kerja dengan balkoni dan ruang tamu. Alyasha tidak menemukan siapapun di ruang kerjanya.
"Mas?" panggil Alyasha sambil melangkah menuju ruang tamu. Resepsionis di kantor depan tidak memberitahu kalau hari ini Mas Arya bertemu dengan seorang tamu, jadi, Alyasha cukup yakin ia tidak akan menemukan siapa-siapa di sana. Mungkin Mas Arya sedang di toilet, pikirnya.
Jantung Alyasha hampir terasa seperti berhenti ketika melihat Mas Arya sedang duduk di salah satu sofa ruang tamu bersama seorang perempuan. Mereka duduk sangat berdekatan. Bahkan, tangan Mas Arya terlihat memegang kedua sisi wajah wanita itu. Wajah mereka begitu dekat.
Dari tempatnya berdiri, Alyasha hanya bisa melihat punggung Mas Arya, sementara wajah wanita itu dihalangi sepenuhnya oleh tubuh Mas Arya. Melihat posisi ambigu mereka yang seperti sedang berciuman, A;yasha merasa seluruh tubuhnya melemas.
"Mas...." ucapnya dengan suara bergetar. Lunch box ditangannya dicengkeram erat samapai menggeretak.
Mas Arya langsung menoleh kepadanya. Ada raut terkejut di sana ketika ia melihat Alyasha, namun, langsung ditutupi dengan wajah sumringah.
"Alya?"
Mas Arya langsung bangkit menghampirinya. Alyasha memerhatikan wanita tidak dikenal yang masih duduk di sofa dengan bibir memerah dan bekas lipstik yang sedikit pudar. Ada air yang sekilas tampak menggenangi mata wanita itu. Tampak seakan mereka memang sedang melakukan apa yang ada dalam pikiran Alyasha.
Wanita itu buru-buru membenahi kemeja dan rambutnya, lalu tersenyum pada Alyasha.
"Kamu tidak bilang mau mampir," Mas Arya meraih lunch box dari tangan Alyasha, masih sambil tersenyum, sama sekali tidak memerhatikan ekspresi di wajah sang istri.
Alyasha berusaha menarik napas dan menenangkan diri. Ia menelan ludah yang terasa kering dan bertanya, "siapa itu, Mas?"
Mas Arya menatap Alyasha bingung, kemudian menoleh pada wanita yang berdiri di belakang mereka. Kesadaran tampak di wajahnya.
"Oh, iya, kamu belum mengenal sekretaris baruku, ya." Mas Arya menggestur si wanita untuk mendekat. "Ini Jesselyn. Jessy. Sekretaris baru yang sudah bekerja sekitar lima bulan. Jessy, ini Alya, istriku."
Jesselyn mengulurkan tangan terlebih dahulu. Alyasha menatap tangan itu beberapa saat, kemudian menjabatnya sekilas.
"Jessy. Saya sudah mendengar banyak tentang Mbak Alya dari Pak Arya."
"Alyasha," jawab Alyasha singkat, tanpa tersenyum.
"Jessy, kalau kamu sudah mendingan, kamu balik ke kantormu dulu. Nanti kita bicarakan soal schedule rapat untuk besok," kata Mas Arya.
"Baik, Pak."
Jesselin mengangguk dan berlalu pergi.
Alyasha menarik napas dalam-dalam. Mas Arya memerhatikan wajahnya, dan baru menyadari warna muka Alyasha yang sedikit pucat. Ia segera menuntun istrinya untuk duduk di sofa.
"Kamu nggak apa-apa? Wajahmu agak pucat," kata Mas Arya sambil menyentuh dahinya.
Alyasha menggigit bibir, ia bertanya agak ragu, "Tadi.... Mas lagi ngapain sama Jesselyn?"
Merasa pertanyaannya terlalu terlihat curiga, ia menambahkan, "Aku ganggu diskusi kalian, ya?"
"Enggak, kok. Itu tadi Jessy ngambil berkas di lemari paling atas, terus berkasnya jatuh, nggak sengaja kena mukanya dia. Jadi, Mas periksa kalau-kalau ada lebam. Syukurlah, dia baik-baik aja. Cuma katanya matanya agak perih kemasukan debu."
Alyasha merasa agak lega setelah mendengar penjelasan Mas Arya. Ia juga jadi merasa bersalah karena menduga yang tidak-tidak tentang suaminya.
Tetapi, cara Jesselyn menatap Alyasha tadi terasa seperti sedang membandingkan dirinya dengan Alyasha. Juga caranya tersenyum kepada Mas Arya....
Alyasha menggeleng, berusaha mengenyahkan pikiran-pikiran negatif yang muncul di benaknya. Ia segera meraih lunch box yang ia bawa dan menemani Mas Arya menikmati makan siang buatannya.
"Mau ke mana, Alya?" tanya Aryadi ketika melihat Alyasha sudah berdandan cantik siap keluar rumah."Ah, aku lupa bilang, Mas. Hari ini ada gathering sama teman-teman di Agency. Perayaan karena kemarin Agency berhasil dapet penghargaan untuk kategori Best Model Achievements Award."Selama beberapa saat, Aryadi menatap Alyasha tanpa mengatakan sepatah kata pun. Akhir-akhir ini Alyasha sering sekali pergi keluar. Bahkan, di saat weekend di mana mereka sekeluarga harusnya menghabiskan waktu bersama, Alyasha harus berangkat ke kantor. Annanda memang hanya akan bertanya sekali. Begitu tahu ibunya pergi bekerja, gadis kecil itu tidak akan menanyakan apa-apa lagi. Namun, ayahnya tahu bahwa Annanda rindu untuk menghabiskan waktu dengan sang ibu."Akhir-akhir ini kamu sibuk banget," komentar Aryadi."Iya, Mas. Soalnya, mau menjelang musim Summer Fashion," Alyasha
Pagi itu Alyasha menggeliat perlahan. Kepalanya terasa berat dan berdenyut-denyut nyeri. Kenapa ia bisa sakit kepala? Alyasha tidak ingat.Tempat tidur yang ia tempati terasa aneh di bawah tubuh. Tidak terasa seperti ranjangnya yang biasa. Tangan halusnya meraba di atas kasur, mencari tubuh hangat Mas Arya yang biasa selalu menemani tidurnya.Tangannya tidak menemukan apapun. Apa Mas Arya bangun lebih dulu? Perlahan, ia membuka mata, mengamati sekeliling ruangan.Ini bukan kamar tidurnya.Mata Alyasha membelalak seketika. Terperanjat, ia cepat-cepat turun dari kasur. Hampir jatuh terjungkal karena selimut yang membelit kaki.Alyasha meneliti ruangan dengan panik. Tidak ada siapapun di sana kecuali dirinya. Dengan sebelah tangan, ia memijat pelipis untuk mengurangi rasa pening. Bagaimana ia bisa sampai ke mari?Alyasha berusaha mengingat apa yang telah terjadi di malam sebelumnya. Ia ingat ia pergi untuk menghadirigathering&nbs
"Mas," panggil Alyasha dengan kepala tertunduk.Ia berdiri kikuk di ambang pintu kamar cadangan yang telah dihuni Mas Arya selama seminggu lebih. Awalnya, Alyasha mendiamkannya. Merasa mungkin Mas Arya butuh ruang, atau ini mungkin semacam hukuman baginya. Namun, kian hari, rasa bersalah Alyasha semakin menjadi-jadi hingga tak tertahankan. Akhirnya, hari ini ia memberanikan diri untuk berbicara dengan suaminya."Mas, boleh aku masuk?"Mas Arya sedang berbaring di kasur memunggunginya. Namun, Alyasha tahu ia hanya sedang berpura-pura tidur. Alyasha memasuki kamar dengan langkah pelan-pelan da duduk di tepi ranjang, di belakang punggung suaminya."Mas," panggilnya lagi. Kali ini memberanikan diri menyentuh pundak sang suami. Ia bisa mer
Alyasha memasuki restoran kelas menengah Itu dengan langkah anggun. Ada senyum yang terbentuk di bibirnya. Satu-satunya hal yang mengindikasikan bahwa ia tengah tidak sabar untuk bertemu seseorang adalah gerak kepalanya yang menoleh pelan kesana kemari.Mas Arya meneleponnya hari itu. Menanyakan jika Alyasha punya waktu untuk makan siang bersama.Tentu saja Alyasha mengiyakan. Hubungannya dengan Mas Arya sudah jauh membaik daripada sebelumnya. Alyasha tidak mau mengecewakan suaminya lagi.Langkah kaki Alyasha terhenti ketika matanya menemukan sosok sang suami. Hanya saja, Mas Arya tidak sedang sendiri, ada seseorang yang sedang duduk di sampingnya. Jessy, si sekretaris. Jarak mereka kelewat dekat di mata Alyasha. Rasa tidak sukanya pada Jessy bertambah satu tingkat.Ia melihat Jessy meraih napkin, dan mengatakan sesuatu yang tidak bisa didengar Alyasha dari jaraknya berdiri. Lalu, wanita itu mengusap sudut bibir Mas Arya dengan napkin. P
"Itu sudah yang ketiga belas," ucap Juan tidak sabaran.Ia menghentikan gerakan Alyasha yang hendak menuang isi dari botolwhiskeyke gelasnya lagi. Alyasha sudah tampak setengah sadar, masih juga berusaha meneis tangan Juan. Wajahnya memerah di bawah remang lampu bar."Juan, berikan padaku!" Alyasha merebut botolwhiskeyitu dari tangan Juan, dan dengan penuh kemenangan menuangkan ke gelasnya. Ia menghabiskan isinya dengan sekali teguk."Kamu akan mabuk.""Tentu saja," sahut Alyasha santai. Ia melambaikan tangannya ke sekeliling ruangan. "Bukankah setiap orang datang ke sini memang untuk mabuk? Untuk melupakan sejenak masalah mereka?"Juan meren
"Di mana ibumu?" tanya Aryadi pada putranya yang tengah mengusap sisa makanan di sudut bibir Annanda.Arion mengangkat wajah untuk menatap ayahnya. Ia memiringkan kepala, bingung."Tidak tahu, Yah. Ibu belum turun untuk sarapan."Aryadi menghabiskan waktu lembur semalaman di kantor karena pekerjaan yang lumayan menumpuk. Ia sempat mengirim pesan pada Alyasha, namun sang istri tidak membalas pesannya.Ia pergi ke kamar tidur mereka. Namun tidak menemukan siapapun di sana. Tempat tidur masih rapi tanpa ada tanda-tanda ditempati semalam.Aryadi kembali keluar dan duduk di meja makan bersama anak-anaknya."Apa ibu tidak pulang semalam?"
Suasana hati Aryadi seharian semakin memburuk.Ia tidak bisa menghubungi Alyasha sama sekali. Sebagian dari dirinya masih berusaha menyangkal perselingkuhan yang dilakukan sang istri meskipun bukti yang ia lihat dengan matanya sendiri tidak terbantahkan.Sebagian dirinya yang merasa terluka karena telah dikhianati, dipenuhi amarah yang demikian besar. Amarah yang belum pernah Aruadi rasakan sebelumnya.Ia sangat mencintai Alyasha. Ia tidak pernah melakukan sesuatu yang membuat sang istri merasa tidak terpuaskan dalam segi apapun. Lalu kenapa Alyasha mengkhianatinya?Kenapa Alyasha merasa ia berhak mengkhianati Aryadi?!Aryadi membanting gelas ke lantai hingga pecah berkeping-keping. Jesselyn yang kebetulan memasuki ruangan tepat pada saat itu memekik terkejut.Jesselyn terpaku di tempatnya berdiri. Aryadi menatapnya dengan mata menyala-nyala marah."P-Pak...." ujar Jesselyn terbata.Mata Aryadi memicing."Saya- saya cuma
Arion adalah seorang anak yang bertanggung jawab. Di usianya yang baru menginjak empat belas tahun, ia sudah bisa diandalkan untuk mengurus diri sendiri sekaligus adiknya yang masih duduk di kelas dua sekolah dasar. Well, teknisnya, Arion sudah belajar mengurus Annanda sejak bayi. Jadi, tidak begitu sulit baginya. Lagipula adiknya yang satu itu sangat anteng dan tidak cerewet seperti anak kecil lainnya. Annanda adalah seorang gadis cilik yang periang dan manis. Ia tidak pernah menyusahkan orang lain. Annanda juga sangat penurut pada Arion. Apapun yang Arion katakan, ia memercayai sang kakak seratus persen. Arion sangat menyayangi Annanda. Adiknya itu seperti dunianya dalam versi mini. Ia akan melakukan apa saja demi Annanda. Arion ingin melindunginya hingga mereka tumbuh dewasa bersama-sama. Meskipun beberapa bulan belakangan kedua orang tua mereka selalu sibuk dan jarang memiliki waktu untuk mereka, Arion tidak keberatan. Ia bisa memenuhi sem