"Di mana ibumu?" tanya Aryadi pada putranya yang tengah mengusap sisa makanan di sudut bibir Annanda.
Arion mengangkat wajah untuk menatap ayahnya. Ia memiringkan kepala, bingung.
"Tidak tahu, Yah. Ibu belum turun untuk sarapan."
Aryadi menghabiskan waktu lembur semalaman di kantor karena pekerjaan yang lumayan menumpuk. Ia sempat mengirim pesan pada Alyasha, namun sang istri tidak membalas pesannya.
Ia pergi ke kamar tidur mereka. Namun tidak menemukan siapapun di sana. Tempat tidur masih rapi tanpa ada tanda-tanda ditempati semalam.
Aryadi kembali keluar dan duduk di meja makan bersama anak-anaknya.
"Apa ibu tidak pulang semalam?" tanyanya lagi.
Arion mengerutkan kening, berusaha mengingat-ngingat.
"Sepertinya tidak, Yah."
Sudah beberapa minggu belakangan kedua orang tua mereka jarang berada di rumah. Arion dan Annanda sudah mulai terbiasa. Arion karena ia sudah merasa cukup besar dan ia merasa bertanggung jawab dengan adiknya. Dan Annanda pada dasarnya memang bukan anak kecil yang manja dan menuntut banyak perhatian.
Aryadi mengurut pelipis, merasa sakit kepala mulai menyerang karena tidak mendapat cukup tidur di malam sebelumnya.
Akhir-akhir ini Alyasha sangat jarang berada di rumah. Aryadi merasa sang istri entah mengapa menjaga jarak darinya. Meski Alyasha selalu bersikap seperti biasa saat berada di sekitarnya, namun, Aryadi tetap merasa seperti ada sesuatu yang hilang.
"Arion, kamu antar Annanda ke sekolah bersama Mang Tito, ya."
"Iya, Yah."
Mang Tito adalah nama supir mereka. Aryadi perlu menelan aspirin untuk sakit kepalanya dan mengistirahatkan diri, jadi ia tidak bisa mengantar anak-anaknya ke sekolah hari ini.
Annanda memerhatikan sang ayah untuk beberapa saat, sebelum memutuskan untuk bertanya pelan,
"Apa Ayah akan pergi bekerja lagi?"
"Kenapa?" tanya Aryadi sambil tersenyum. "Apa Nanda merindukan Ayah?"
Annanda mengangguk pelan.
"Ayo kemari, Little Princess," Aryadi membuka lengannya untuk menyambut sang putri.
Annanda turun dari kursi dan memeluk ayahnya. "Kalau Ayah tidak bekerja, Ayah harus istirahat di rumah, ya."
Aryadi terkekeh. "Iya. Nanda belajar yang rajin di sekolah, oke? Pulang nanti kita main bersama."
Annanda mengangguk bersemangat. Arion menggandeng tangan sang adik ketika mereka pergi untuk berangkat sekolah.
Aryadi menghabiskan sisa sarapan dengan senyum di sudut bibir. Tiba-tiba saja merasa sangat merindukan sang istri, Ia mengingatkan diri untuk menelepon Alyasha nanti.
***
"Mas, aku akan bekerja ke luar kota untuk beberapa hari," kata Alyasha.
Mereka sedang bersiap-siap untuk pergi tidur. Alyasha tengah duduk di meja rias, menghapus sisa-sisa make up di wajahnya.
"Ke mana?" tanya Aryadi. Ia mengangkat wajah dari ponselnya, tengah membaca kembali schedule untuk meeting-nya besok.
"Ke kota sebelah. Akan ada perekrutan untuk model baru di sana. Hanya tiga hari, kok."
Aryadi mengangguk. Ia mengerti pekerjaan Alyasha mulai membuat sang istri menyibukkan diri. Ia tidak keberatan. Selama Alyasha menikmatinya, dan ia tidak pergi terlalu lama, Aryadi tidak pernah melarangnya. Aryadi memercayai sang istri sepenuhnya.
Lagipula Arion dan Annanda sudah cukup besar. Dan selalu ada pelayan di rumah yang siap sedia untuk memenuhi kebutuhan mereka.
"Oke," kata Aryadi. "Aku antar kamu ke sana."
"Tidak perlu, Mas," ujar Alyasha. "Aku berangkat sama teman-teman. Pakai bus."
"Kamu yakin?" Aryadi berpikir pasti akan tidak nyaman kalau bepergian jauh dengan menggunakan bus.
"Iya, Mas. Tidak apa-apa, kok. Lagipula sama banyak teman-teman, jadi pasti asyik."
"Hmm..."
Aryadi meletakkan ponselnya di nakas samping tempat tidur ketika Alyasha menyelipkan diri di atas ranjang di sampingnya. Aryadi segera saja meraih pinggang sang istri untuk memeluk, namun, Alyasha menahan tangannya.
Aryadi menatapnya penuh tanya. Alyasha tidak mebalas tatapan sang suami.
"Aku lagi dapet, Mas," ucapnya pelan.
Aryadi mengerjap bingung. Ia tidak bermaksud untuk menyentuh istrinya malam itu. Aryadi hanya ingin memeluknya hingga tidur. Apa gerak-geriknya tampak seperti ia ingin menyetubuhi sang istri?
Sebelum Aryadi sempat mengatakan apa-apa, Alyasha melepaskan diri dari pelukannya dan membalikkan tubuh untuk memunggunginya.
"Alya," panggilnya pelan.A
Aryadi semakin bingung ketika Alyasha tidak mengindahkan panggilannya. Apa ia melakukan sesuatu yang telah membuat sang istri kesal? Aryadi berusaha mengingat-ingat. Namun, ia tidak bisa menemukan kesalahan apa yang telah ia lakukan.
Lalu, kenapa Alyasha terasa seperti menjauhinya?
***
"Kamar kami masih tersisa satu saja, Pak, di Suite Standard," ujar resepsionis hotel di depan Aryadi.
Aryadi melihat jam yang melingkar di pergelangan tangan. Pukul sudah menunjukkan jam sebelas malam lewat dua puluh menit. Ia menghela napas.
Ia sedang berada di luar kota. Pertemuan dengan salah satu rekan kerjasama perusahaan hari itu berlangsung hingga larut malam. Aryadi mengira ia masih akan memiliki waktu untuk pulang hari ini. Namun, melihat hari yang sudah larut dan ia yang juga cukup lelah, Aryadi memutuskan untuk menginap di salah satu hotel saja untuk malam ini.
Di kota ini sepertinya ada suatu perayaan. Fashion show, kalau Aryadi tidak salah dengar tadi. Beberapa hotel yang sempat ia datangi sebelumnya sudah penuh. Syukurlah hotel ini akhirnya menyebut bahwa mereka masih memiliki satu kamar tersisa.
"Baiklah, saya ambil yang itu," ujar Aryadi.
Tubuhnya lelah. Ia ingin segera membersihkan diri dan tidur, lalu kembali pulang pagi besok. Walaupun putra putrinya sudah besar dan akan baik-baik saja jika ditinggal sendiri, Aryadi tetap merasa sedikit khawatir karena Alyasha juga masih bekerja di luar kota saat ini.
Aryadi mengikuti salah satu staff hotel yang mengantarnya untuk menemukan kamar. Tepat di belokan, Aryadi melihat seorang laki-laki mendorong seorang wanita memasuki salah satu kamar. Alisnya terangkat.
Mereka mungkin salah satu pasangan yang sedang berbulan madu, pikirnya.
Aryadi tidak ambil pusing. Namun, ketika ia lewat di depan kamar pasangan itu, suara-suara cumbuan yang sangat bergairah terdengar sampai keluar.
Staff yang mengantar Aryadi tampak sedikit salah tingkah. Ia tersenyum meminta maaf ketika menunjukkan kamar Aryadi yang berada tepat di sebelah kamar pasangan yang masih berisik itu.
"Di sebelah sini, Pak."
"Apa benar-benar tidak ada kamar lain yang masih tersedia?" tanya Aryadi sambil mengerutkan kening.
"Mohon maaf, Pak, untuk malam ini kami benar-benar sudah penuh."
Mengesalkan. Tapi Aryadi tidak punya pilihan lain.
Untungnya, di dalam kamarnya suara-suara dari kamar sebelah hampir tidak terdengar. Hanya samar-samar suara teredam yang masih bisa ditolerir Aryadi. Syukurlah setidaknya ia bisa mendapat tidur malam ini.
Keesokan paginya ketika Aryadi keluar dari kamar untuk check out, pintu di sebelah kamarnya terbuka dan seorang wanita keluar dari sana. Aryadi tidak berniat mengindahkannya, namun sosok wanita itu membuatnya terpaku.
Aryadi akan mengenali rambut cokelat gelap bergelombang, dan tubuh semampai itu di mana pun.
Karena wanita itu tidak lain adalah Alyasha.
Sang istri sedang membicarakan sesuatu sambil tertawa dengan seorang laki-laki yang tengah tersenyum dan berjalan di sampingnya. Laki-laki yang sama yang Aryadi lihat sekilas kemarin malam.
Aryadi merasa darah dalam tubuhnya seketika membeku dan berhenti mengalir.
Mereka berjalan sambil memunggunginya dan sepenuhnya tidak menyadari kehadiran Aryadi.
Ia begitu terkejut hingga ia hanya berdiri terpaku di sana hingga kedua sosok itu menghilang di tikungan.
Alyasha tidur di kamar yang sama dengan seorang lelaki. Lelaki yang sama yang Aryadi lihat beberapa bulan lalu ketika ia melihat sang istri di salah satu lobby hotel dekat tempatnya bekerja. Semalam, suara dua orang yang tengah bercumbu yang didengar Aryadi adalah suara istrinya sendiri bersama pria lain.
Alyasha telah mengkhianatinya.
Alyasha telah berselingkuh.
Tangan Aryadi mengepal begitu erat ia ingin menghantamkan tinjunya pada seseorang. Dengan sedikit gemetar karena menahan amarah, Aryadi mengeluarkan ponsel dan menghubungi Alyasha.
Tidak diangkat.
Geram, Aryadi bergegas mengejar mereka.
Namun, ia tidak menemukan baik sosok Alyasha maupun lelaki itu di manapun.
Suasana hati Aryadi seharian semakin memburuk.Ia tidak bisa menghubungi Alyasha sama sekali. Sebagian dari dirinya masih berusaha menyangkal perselingkuhan yang dilakukan sang istri meskipun bukti yang ia lihat dengan matanya sendiri tidak terbantahkan.Sebagian dirinya yang merasa terluka karena telah dikhianati, dipenuhi amarah yang demikian besar. Amarah yang belum pernah Aruadi rasakan sebelumnya.Ia sangat mencintai Alyasha. Ia tidak pernah melakukan sesuatu yang membuat sang istri merasa tidak terpuaskan dalam segi apapun. Lalu kenapa Alyasha mengkhianatinya?Kenapa Alyasha merasa ia berhak mengkhianati Aryadi?!Aryadi membanting gelas ke lantai hingga pecah berkeping-keping. Jesselyn yang kebetulan memasuki ruangan tepat pada saat itu memekik terkejut.Jesselyn terpaku di tempatnya berdiri. Aryadi menatapnya dengan mata menyala-nyala marah."P-Pak...." ujar Jesselyn terbata.Mata Aryadi memicing."Saya- saya cuma
Arion adalah seorang anak yang bertanggung jawab. Di usianya yang baru menginjak empat belas tahun, ia sudah bisa diandalkan untuk mengurus diri sendiri sekaligus adiknya yang masih duduk di kelas dua sekolah dasar. Well, teknisnya, Arion sudah belajar mengurus Annanda sejak bayi. Jadi, tidak begitu sulit baginya. Lagipula adiknya yang satu itu sangat anteng dan tidak cerewet seperti anak kecil lainnya. Annanda adalah seorang gadis cilik yang periang dan manis. Ia tidak pernah menyusahkan orang lain. Annanda juga sangat penurut pada Arion. Apapun yang Arion katakan, ia memercayai sang kakak seratus persen. Arion sangat menyayangi Annanda. Adiknya itu seperti dunianya dalam versi mini. Ia akan melakukan apa saja demi Annanda. Arion ingin melindunginya hingga mereka tumbuh dewasa bersama-sama. Meskipun beberapa bulan belakangan kedua orang tua mereka selalu sibuk dan jarang memiliki waktu untuk mereka, Arion tidak keberatan. Ia bisa memenuhi sem
Pas bunga di tangan Raven terlepas dan tejatuh. Suaranya teredam permadani yang terhampar di lantai. Raven mundur dengan panik, menolak memercayai apa yang telah ia lihat. Anak laki-laki itu berbalik dan berlari keluar rumah dengan kalut. Arion melangkah dengan pikiran seperti benang kusut. Ia bahkan tidak sadar ke mana tepatnya ia melangkah. Namun ketika ia mengangkat wajah, ia melihat bahwa jalan yang sedang ia lalui adalah jalan menuju sekolah Annanda. Ia pergi menjemput adiknya dengan berjalan kaki. Sekali itu, Arion tidak keberatan. Ia butuh menjernihkan pikirannya. Begitu banyak pertanyaan yang mencul dan mengambang di benak Arion. Kenapa ibunya sudah pulang padahal Arion diber tahu bahwa ia akan pulang sekitar tiga hari lagi? Siapa laki-laki itu? Kenapa ibunya melakukan itu dengan laki-laki lain? Apa yang terjadi? Apa yangakanterjadi pada keluarganya? Lalu, Arion mulai memikirkan kemungkinan-kemungkinan must
Malam itu, Arion duduk di meja makan dengan punggung tegak karena tegang. Ia tidak tahu apa yang akan terjadi saat ayah dan ibunya bergabung dengan mereka di ruang makan. Arion menelan ludah gugup. Ia melirik sang adik yang tengah asyik membaca buku sambil menunggu orang tua mereka. Namun yang Arion takutkan tidak terjadi. Tidak ada tindak-tanduk janggal maupunawkwarddari sang ibu. Ia bersikap hangat dan lembut seperti biasa dan diam-diam Arion merasa lega. Arion tahu apa yang telah dilakukan ibunya bukanlah hal yang benar. Dan ia takut akan konsekuensinya terhadap keluarga mereka. Karena itulah Arion tidak mengatakan apa-apa. Melihat kedua orang tuanya bersikap biasa saja, Arion merasa lega karena yang ia tak
Lift berdenting terbuka dan Annanda melangkah riang menuju ruangan sang ayah. Ia begitu bersemangat dan tidak sabar karena ini adalah kejutan untuk ayahnya. Annanda sudah bisa membayangkan ayahnya akan tertawa senang sambil memeluknya, lalu mereka akan makan kue bersama. Mungkin Annanda bisa membujuk ayahnya untuk merayakan kembali ulang tahunnya di rumah ketika keluarga mereka berkumpul. Saking bersemangatnya ia, Annanda sampai lupa untuk mengetuk pintu kantor dan membukanya begitu saja. "Ayah!" serunya gembira bahkan sebelum ia sempat melihat sosok sang ayah. Namun, langkah Annanda mendadak berhenti ketika melihat ayahnya tidak sedang sendirian di ruang kerja. Seorang wanita tengah duduk di pangkuan sang ayah. Rambut cokelatnya tergerai berantakan di punggung. Tangan ayahnya memeluk pinggang wanita itu. Mereka tengah berciuman. Ketika mereka mendengar suara Annanda, kedua orang itu mematung. Si wanita buru-buru melepaskan diri dari a
Arion tidak lagi bisa memandang ibunya dengan tatapan yang sama seperti dulu. Semenjak ia melihat apa yang dilakukan sang ibu di kamar orang tua mereka bersama lelaki lain, Arion merasakan api amarah kecil perlahan meletup dan semakin membesar di dalam hatinya. Mengapa ibu melakukan itu? Mengapa mengkhianati ayah seperti itu? Apakah ia tidak bahagia memiliki keluarga ini? Apa yang ia rasa kurang dari keluarga ini? Semakin tumbuh remaja, pertanyaan-pertanyaan itu semakin mengganggu Arion. Semakin labil emosi yang ada dalam hatinya. Padahal selama ini Arion selalu yakin orang tuanya saling mencintai. Pengkhianatan sang ibu membuat rasa hormat Arion terhadap wanita yang telah melahirkannya terkikis sedikit demi sedikit. Ayah sangat mencintainya. Arion dan Annanda juga sangat mencintainya. Lalu, apa yang kurang?! Kadang-kadang, ketika Ibu menatapnya dengan raut wajah lemah lembut dan pengertian yang selalu ia berikan, Arion merasa muak.
Jesselyn mengalungkan lengannya di sekitar leher Aryadi. Wanita itu tersenyum menggoda dan mendekatkan wajah hingga napas mereka beradu. Aryadi mengacuhkannya. Tidak mendorong, maupun memberik apa yang jelas diinginkan wanita itu. Pikirannya terasa seperti benang kusut yang tidak bisa diurai. Ia memilih untuk meneguk gelas minuman yang entah keberapa malam itu. "Jangan minum terlalu banyak, Pak," bisik Jesselyn di telinganya. "Nanti kita tidak bisa menikmati sisa malam bersama." Pria berwajah tampan itu memilih untuk memakukan pandangan pada lantai bar yang gelap dan hanya diterangi cahaya lampu warna-warni yang berselang-seling. Musik DJ berdentam-dentam menggetarkan lantai. Tubuh-tubuh orang yang menari berdesakan. Hanya di tengah hiruk pikuk seperti itu Aryadi bisa menemukan ketenangan. Pikirannya teralihkan dari segala masalah yang tengah ia hadapi. "Pak," desah Jesselyn lagi. Bibirnya demikian dekat dengan telinga Aryadi hingga ia
Aryadimenelan ludah pahit. Tidak pernah terpikirkan olehnya untuk menyakiti Alyasha. Mengapa sang istri terlihat seolah Aryadi berniat untuk menyakitinya? Kenapa Alyasha berpikir seperti itu? Aryadi sangat mencintainya. Dalam pikiran yang sedang dipengaruhi alkohol, Aryadi tidak bisa mengingat dengan jelas apa yang sudah terjadi. Ia hanya ingat bahwa mereka saling mencintai. Keluarga mereka penuh penuh kehangatan dan kebahagiaan. "Alya," panggilnya lagi. Kali ini Alyasha mengerjap, dan seketika seluruh ketakutan seolah menguap dari tubuhnya. "Mas Arya," ujarnya dengan senyum yang tidak mencapai mata. Aryadi tidak terlalu memikirkannya. Ia menendang sepatunya hingga terlepas, dan mendekati Alyasha di atas ranjang. Sang istri tidak bergerak menjauhinya lagi. Ketika ia mempertemukan bibir mereka lembut, Aryadi merasa tubuh Alyasha sedikit menegang, namun tidak menolaknya. Aryadi beringsut hingga ia menindih tubuh san
Apa yang kau inginkan, Annanda.Jika pertanyaan itu diucapkan padanya ketika ia masih kecil, Annanda akan memiliki banyak sekali jawaban. Banyak sekali hal di yang ia inginkan di dunia ini.Namun Annada yang sekarang bukan lagi anak kecil naif yang masih menatap dunia di sekitarnya dengan mata berbinar-binar penuh harap dan kebahagiaan. Banyak sekali hal yang telah disaksikan oleh kedua pasang mata itu, dan hal-hal tersebut telah membuat Annada berubah jauh dari ia yang dulu.Annanda menatap anak lelaki yang berdiri demikian dekat darinya. Wajah mereka demikian dekat hingga ia bisa mencium aroma mint napas Arga. Sepasang mata kelam yang tajam itu tampak seperti danau gelap tanpa dasar. Annanda ingin tenggelam di dalamnya, namun juga takut.Apa yang ia inginkan?Tidak ada banyak hal di dunia ini yang masih bisa ia sebut sebagai miliknya. Annanda yang sekarang tidak memiliki keberanian untuk untuk mengakui apakah ia diijinkan untuk meng-klaim sesuatu yang berharga seperti Arga sebagai m
Annanda menciumnya.Ulangi.Annanda menciumnya.Roger that!Arga sampai sama sekali tidak bergerak saking kagetnya ia. Ia hanya berdiri mematung di sana seperti orang bodoh, dengan bibir sedikit membuka karena syok. Jangan salah paham. Ini tentu saja bukan kali pertama ia ciuman, oke?! Walaupun bersetubuh lebih sering ia lakukan daripada berciuman, tetap saja ia bukannya orang yang sama sekali tidak memiliki pengalaman dalam hal ini!Reaksinya yang hanya terpaku diam semata-mata dikarenakan syok! Sama sekali bukan karena ia tidak tahu harus melakukan apa dengan tangan, bibir, dan anggota tubuhnya yang lain. Otaknya benar-benar blank. Seperti kartu memori yang tidak sengaja ter-format dan kini kosong melompong. Ia tidak bisa memikirkan apapun selain tubuh Annanda yang lebih pendek darinya berjinjit untuk meraih Arga yang tidak kepikiran untuk menunduk. Harumnya yang manis dan terkecap sampai ke belakang tenggorokan Arga. Hangat bibirnya...Annanda mengeluarkan suara pelan yang teredam
Hari sudah sore. Matahari sudah sangat condong di ufuk barat, hampir sepenuhnya tenggelam. Waktu berlalu dengan cepat ketika kau mendongkol sepanjang hari.Arga bermaksud untuk pulang. Sungguh. Ia bahkan telah mengambil jalan memutar untuk keluar lewat gerbang belakang karena Mahesa memberitahu bahwa Anna menunggunya di gerbang depan. Ia tidak ingin melihat wajah anak itu untuk sementara ini.Ia tidak ingin...."...."Anna mendongak ketika mendengar suara langkah kaki yang mendekatinya. Mata cokelat hangat itu bertemu dengan obsidian gelap milik Arga. Anak lelaki itu menahan keinginannya untuk segera berpaling dan lari. Atau berjalan mendekat untuk menghampiri gadis itu. Tidak, tidak. Coret kalimat yang terakhir. Arga tidak ingin menghampiri Annanda. Sama sekali tidak.Sepertinya ada sesuatu yang tercermin dalam ekspresi Arga, karena setelah beberapa saat berdiri diam dan memandangnya tanpa ekspresi, Annanda akhirnya memalingkan pandangan sedikit, sebelum membuka mulut untuk bicara.
Ren sesungguhnya tidak benar-benar serius ketika ia menawarkan diri untuk berbicara pada Annanda.Annanda, meski ia adalah seorang gadis dan tubuhnya jauh lebih kerempeng daripada Ren, tetap saja menakutkan bagi anak laki-laki tersebut mengingat Ren pernah melihat sendiri bagaimana ia menyeret seorang kakak kelas dengan begitu brutalnya hingga hair extention kakak kelas tersebut lepas semua.Annanda sangat ganas. Muka juteknya sama sekali tidak menolong kesan pertama yang Ren miliki tentangnya.Namun Ren sudah terlanjur berkata pada Mahesa bahwa ia akan menemui Annanda. Ia tidak suka berbohong pada orang lain, terlebih pada sahabatnya sendiri.Maka, ketika Bastian dan Mahesa membereskan bola-bola basket yang mereka gunakan untuk latihan sebelumnya, Ren menyandang tas punggung di sebelah bahunya dan melangkah menuju gerbang depan sekolah.Ren melihat seseorang sedang berdiri di depan gerbang, memunggunginya. Namun orang tersebut jelas bukan Annanda.Dilihat sekilas pun, walau Ren hany
Saran Niko untuk meminta maaf berputar-putar di benak Annanda seperti lebah yang mendengung mengganggu.Haruskah ia melakukannya? Namun, Annanda tidak pernah memilikiskillyang baik dalam membangun komunikasi dengan orang lain. Ia tidak tahu bagaimana harus mendekati Arga yang terlihat sekali sedang menghindarinya dan masih kesal padanya.Lama-lama, Annanda jadi pusing sendiri. Hatinya terus menerus mendesaknya untuk mendekat dan menyapa, namun, kata-kata tidak mau keluar dari bibirnya.Alhasil, beberapa kali berpapasan dengan Arga, ia selalu terdiam dan membeku di tempat sembari memaku pandangan pada sang pemuda namun ia tidak mengatakan apapun.Arga hanya menatapnya sekilas sembari mengangkat sebelah alis. Meliha
"Jadi?"Niko mengangkat kepalanya sedikit. Ia baru sadar Annanda menuntunnya ke sebuah ruangan yang jauh dari keramaian. Tidak ada siapapun di sini. Hanya meja dan kursi yang ditumpuk-tumpuk dan kardus-kardus yang entah berisi apa. Sepertinya ini ruang kelas lama yang dialihfungsikan sebagai gudang.Annanda menunggu jawaban dengan tangan disilangkan di depan dada. Ekspresinya sedatar permukaan meja, namun, Niko hampir bisa melihat api tak kasat mata berkobar di belakang tubuhnya.Niko menelan ludah sembari berpikir alangkah beruntungnya ia karena belum juga dihajar hingga detik itu."Anna," ucap Niko. "Mau jadi pacarku, nggak?"Ia mungkin akan dihajar di detik selanjutnya.
"Jadi, Anna." Mahesa bertanya padanya ketika pesanan mereka telah terhidang di meja. "Menurutmu, Arga bagaimana?""Keras kepala dan agak gila," sahut Annanda cepat. "Juga sangat menyebalkan. Bukan kombinasi sifat yang bagus."Sebastian terkekeh senang. "Ini pertama kali aku mendengar pendapat semacam itu tentang Arga. Biasanya, orang akan berkata ia ramah, baik hati, tidak sombong, blablabla.""Ini juga pertama kali Arga mengejar-ngejar seseorang sampaiseperti itu," timpal Ren.Sebastian mengangguk setuju. "Biasanya dia yang dikejar-kejar.""Arga masih dikejar-kejar, kok." Ren mengunyah roti melon miliknya. "Kemarin sekitar empat atau lima kali ke belakang gedung. Pas
Orang yang terakhir muncul adalah Mahesa Saputra. Ia membawa duacup cappuchinodi masing-masing tangan. Ia tinggi, tenang dan kalem. Pembawaannya dewasa dan tampak seperti tidak banyak bicara. Ia mengulurkan salah satucuppada Annanda dengan senyum kecil yang teduh. Annanda otomatis menerimanya karena entah kenapa orang ini seperti memiliki aura lembut seperti ia tidak akan mencelakai bahkan seekor nyamuk pun. "Thanks," ucap Annanda pelan. "Sama-sama, Annanda." "Panggil saja Anna," ralat gadis itu. Mahesa mengangkat sebelah alis, namun memutuskan untuk tidak berkomentar. "Anna,
"Arga," panggil Ren. "Orang yang kamu kejar-kejar setiap hari itu benar-benar parah." Ren melihat bagaimana Annanda menyeret seorang siswi lain tanpa ampun sepanjang koridor sekolah. Di siang bolong. Gadis liar macam apa yang bisa berlaku seperti itu? "Hm?" Arga menggumam tidak peduli. "Oh, dia pasti punya alasan sendiri, kok." "Meski begitu, tetap saja dia itu barbar sekali," bantah Ren. Arga mengangkat sebelah alisnya. "Ren, apa kamu pernah di-bully?" "Tentu saja enggak! Kalau ada yang berani berpikir begitu, ia bakal menyesal seumur hidup dan-" Kesadaran nampak di wajah remaja berwajah imut itu. "Dia di-bully