Pagi itu Alyasha menggeliat perlahan. Kepalanya terasa berat dan berdenyut-denyut nyeri. Kenapa ia bisa sakit kepala? Alyasha tidak ingat.
Tempat tidur yang ia tempati terasa aneh di bawah tubuh. Tidak terasa seperti ranjangnya yang biasa. Tangan halusnya meraba di atas kasur, mencari tubuh hangat Mas Arya yang biasa selalu menemani tidurnya.
Tangannya tidak menemukan apapun. Apa Mas Arya bangun lebih dulu? Perlahan, ia membuka mata, mengamati sekeliling ruangan.
Ini bukan kamar tidurnya.
Mata Alyasha membelalak seketika. Terperanjat, ia cepat-cepat turun dari kasur. Hampir jatuh terjungkal karena selimut yang membelit kaki.
Alyasha meneliti ruangan dengan panik. Tidak ada siapapun di sana kecuali dirinya. Dengan sebelah tangan, ia memijat pelipis untuk mengurangi rasa pening. Bagaimana ia bisa sampai ke mari?
Alyasha berusaha mengingat apa yang telah terjadi di malam sebelumnya. Ia ingat ia pergi untuk menghadiri gathering yang diselenggarakan oleh agency. Alyasha ingat mereka mengobrol, dan makan, sambil menikmati segelas wine.
Beberapa gelas wine, lebih tepatnya.
Alyasha mengernyit. Ia mungkin bukan pemabuk, tetapi, Alyasha bukanlah seorang yang mudah mabuk hanya karena beberapa gelas wine yang cukup light seperti semalam. Lagipula, Alyasha tahu sampai di mana batasnya.
Namun, sekeras apapun ia mencoba, Alyasha tetap tidak bisa mengingat bagaimana ia bisa berakhir di atas tempat tidur yang bukan ranjangnya.
Panik, Alyasha masuk ke dalam bilik toilet. Ia membuka seluruh pakaian, dan mengecek setiap inchi tubuhnya. Setelah ia yakin tidak ada apapun yang terjadi padanya semalam, barulah ia bisa mengembus napas lega.
Alyasha segera membersihkan tubuh. Ia lalu mengambil ponsel, dan lagi-lagi merasa heran karena ponselnya tidak aktif. Alyasha yakin ia men-charge ponselnya sebelum berangkat. Dan ia sama sekali tidak pernah menonaktifkannya, berpikir kalau-kalau ia akan mendapat telepon penting.
Mas Arya.
Teringat pada suaminya, Alyasha menelan ludah. Tangannya berkeringat dingin ketika ia menekan tombol daya untuk menghidupkan ponsel. Apa Mas Arya marah? Mas Arya pasti marah. Alyasha tidak pernah pergi semalaman tanpa kabar sebelumnya.
Suaminya pasti sangat khawatir. Alyasha menggigit bibir menunggu ponselnya aktif.
Segera saja puluhan panggilan tak terjawab, dan bejibun notifikasi pesan masuk si ponselnya. Semua dari Mas Arya.
Hanya satu pesan yang beda pengirim. Dari Juan, 30 menit yang lalu.
'Queenie, kalau sudah bangun, jangan panik, oke? Kamu lumayan mabuk semalam, jadi aku mengantarmu ke hotel. Aku ada di kamar 203 tepat di sebelah kamarmu. Telepon aku kalau kamu sudah liat pesan ini.'
Alyasha langsung menelepon Juan. Ingin menanyakan apa yang sebenarnya terjadi semalam. Rasa pusing di kepalanya sudah terasa agak mendingan setelah ia mandi.
"Halo?"
"Juan! Apa yang terjadi semalam? Aku mabuk? Bagaimana bisa! Aku tidak bisa mengingat apapun setelah acara makan malam!"
"Wow, easy there. Nggak terjadi apa-apa, kok. Kamu cuma mabuk agak berat. Jadi, aku antar ke sini. Dari pada ke tempatku, 'kan? Nanti jadi gosip."
"Terus kenapa kamu juga nginep di hotel?"
"Aku khawatir sama kamu."
Alyasha terdiam beberapa saat. "Beneran nggak terjadi apa-apa? Aku nggak melakukan sesuatu yang memalukan, 'kan, kemarin?"
"Nggak, kok. Kamu mabuknya langsung tepar, haha...."
Alyasha mengembus napas lega. Kalau sampai ia melakukan sesuatu yang memalukan di gathering semalam, entah di mana akan ia menaruh muka saat bertemu teman-teman kerja.
Masih ada satu hal lagi, ia harus bilang apa pada Mas Arya? Tidak mungkin ia bisa dengan mudah mengatakan ia mabuk dan Juan mengantarnya ke hotel, 'kan?
Alyasha menggigit bibir, berpikir. Lalu, sebuah ide muncul di kepalanya. Ia menekan nomor Sashya, sahabatnya di Agency. Ia akan menjelaskan masalahnya dan meminta pada Sashya agar mau menolongnya untuk menjelaskan pada Mas Arya kalau-kalau nanti ia ingin menghubungi sahabat Alyasha itu.
Meskipun rencananya sempurna tanpa celah, rasa bersalah karena harus membohongi Mas Arya menggerogoti hatinya.
***
Di dalam kamar bernomor 203 tempat, Juan tengah menatap ponsel dengan tatapan yang sulit diartikan.
Rencananya untuk membuat Alyasha tidak sadarkan diri dengan menaruh pil tidur di minumannya kemarin malam memang berhasil. Seperti yang ia prediksi, begitu Alyasha meneguk habis minumannya, beberapa menit kemudian, tubuh wanita itu lemas dan jatuh menelungkup di atas meja.
Juan segera mengangkat tubuh Alyasha dan meminta ijin pada teman-teman mereka yang lain untuk mengantar pulang. Mereka semua mengira Alyasha mabuk karena terlalu banyak minum. Tidak ada yang curiga.
Bahkan Alyasha pun tidak.
Begitu tiba di hotel, Juan berniat melancarkan niatnya. Ia mencintai Alyasha. Sejak dulu selalu menyukainya. Namun, Alyasha hanya menganggapnya sebagai teman. Akhirnya, ia akan memiliki Alyasha seutuhnya untuk malam ini. Hanya malam ini, Juan tidak meminta lebih. Jika Alyasha marah padanya besok pagi, ia memiliki alasan bahwa ia juga terlalu mabuk dan tidak ingat apa yang terjadi.
Namun, ketika ia menindih tubuh Alyasha dan menatap wajah polos yang tengah terlelap tanpa menaruh rasa curiga sedikitpun itu, Juan tidak bisa melakukannya. Juan terlalu mencintai Alyasha untuk memaksakan kehendak terhadap wanita itu.
Pada akhirnya, Ia hanya bisa tersenyum pahit dan menarik diri.
Di sinilah ia kini, di atas ranjang yang terpisah dinding dengan Alyasha alih-alih terbangun di sisinya. Juan mendengkus sembari mengacak rambutnya.
***
Alyasha duduk lebih tegak ketika melihat Mas Arya sudah tiba di rumah. Ia meremas kedua tangan gugup. Meski tidak ada apapun yang terjadi semalam, Alyasha tetap merasa bersalah karena tidak kembali ke rumah sebelum larut seperti janjinya.
Mas Arya meliriknya. Hanya sebentar, kemudian ia duduk di seberang meja di depan Alyasha. Tidak lagi melihat ke arahnya. Alyasha menjilat bibir yang tiba-tiba terasa kering. Mas Arya benar-benar marah.
"Mas, aku minta maaf," kata Alyasha. "Kemarin nggak enak sama temen kalo harus pamit duluan. Makanya, aku di sana sampai larut."
Hal itu bukan sepenuhnya bohong. Awalnya, Alyasha memang berniat untuk pulang terlebih dahulu, namun, teman-temannya meminta ia untuk tinggal sedikit lebih lama. Bahkan Lars juga ikut mengompori. Mau tidak mau, Alyasha tetap berada di sana.
Ia tidak mengira beberapa gelas wine akan membuatnya mabuk dan tidak pulang ke rumah sama sekali.
Mas Arya masih memalingkan wajahnya. Kedua tangan terlipat di depan dada. Alyasha tidak bisa membaca ekspresi wajahnya yang tanpa emosi.
"Mas? Mas jangan marah lagi. Aku benar-benar minta maaf."
Mas Arya tampak menarik napas beberapa kali sebelum akhirnya memandang Alyasha tepat di mata.
"Alya, kamu tahu aku sangat memercayaimu, 'kan? Aku sangat mencintaimu."
Jeda di antara mereka terasa berat dan menyesakkan. Alyasha merasakan keringat dingin mengalir di punggungnya. Rasa bersalah semakin menyiksa hati. Untuk sesaat, Alyasha terdorong untuk mengatakan semuanya dengan jujur tanpa menyembunyikan apapun. Namun, ia takut akan konsekuensinya. Takut Mas Arya akan mencurigainya, atau malah membencinya.
Sungguh, Alyasha tidak akan sanggup jika sampai lelaki ini membencinya.
Ia mendengar Mas Arya menghela napas. Alyasha mengangkat kepala untuk menatapnya. Ada senyum kecil di wajah Mas Arya. Senyum itu senyum yang tidak pernah Alyasha lihat sebelumnya. Senyum seperti ia sedang menahan kesedihan yang mendalam.
"Mas...."
Mas Arya menggeleng. "Aku sangat mencintaimu, Alya. Kamu tahu itu."
Alyasha meraih tangan Mas Arya di atas meja. Menggenggamnya. Entah kenapa ia ingin menangis. Ia tidak suka Mas Arya memasang ekspresi merana seperti ini. Jika tahu akan jadi begini, Alyasha sungguh lebih memilih untuk tetap di rumah dan tidak menghadiri gathering.
Namun, nasi sudah menjadi bubur. Apa yang sudah terjadi, tidak bisa ia ubah lagi. Kini, ia hanya bisa berjanji dalam hati. Berjanji untuk tidak akan pernah lagi melakukan hal-hal yang membuat Mas Arya seperti ini.
"Aku juga sangat mencintaimu, Mas," ujar Alyasha sambil tercekat.
***
"Aku juga sangat mencintaimu, Mas."
Kata-kata Alyasha bak garam yang ditabur diatas lukanya. Aryadi menatap tangan kecil Alyasha yang menggenggamnya.
Jika kamu memang sangat mencintaiku, Alya, mengapa kamu harus berbohong? Apa yang kamu tutupi? Hubunganmu dengan lelaki itu? Harus sejelas apa bukti yang aku lihat sebelum kamu mau mengatakan yang sebenarnya? Haruskah aku melihat kalian berdua telanjang di kamar hotel dulu, baru kamu akan mengakuinya?! Alyasha!
Hati Aryadi sakit. Seumur hidup ia tidak pernah jatuh cinta sedalam ini pada seseorang. Sampai-sampai dikhianati seperti ini pun, rasanya ia tetap tidak sanggup jika harus menyakiti Alyasha untuk melampiaskan rasa sakitnya.
Ia menelan ludah. Merasakan jantungnya seperti ditikam berkali-kali. Perlahan, ia melepas tangan Alyasha.
Ia bangkit berdiri tanpa melihat pada Alyasha lagi. Takut jika kelemahannya akan terlihat sejelas siang hari.
"Aku harus pergi ke kantor. Kamu sebaiknya istirahat."
Alyasha tetap duduk di sana, menatap punggung Aryadi hingga menghilang di balik pintu.
Malam itu, Aryadi tidak tidur di kamar mereka. Ia mengambil bantal dan selimut ekstra dari lemari, dan merebahkan tubuhnya di kamar cadangan.
"Mas," panggil Alyasha dengan kepala tertunduk.Ia berdiri kikuk di ambang pintu kamar cadangan yang telah dihuni Mas Arya selama seminggu lebih. Awalnya, Alyasha mendiamkannya. Merasa mungkin Mas Arya butuh ruang, atau ini mungkin semacam hukuman baginya. Namun, kian hari, rasa bersalah Alyasha semakin menjadi-jadi hingga tak tertahankan. Akhirnya, hari ini ia memberanikan diri untuk berbicara dengan suaminya."Mas, boleh aku masuk?"Mas Arya sedang berbaring di kasur memunggunginya. Namun, Alyasha tahu ia hanya sedang berpura-pura tidur. Alyasha memasuki kamar dengan langkah pelan-pelan da duduk di tepi ranjang, di belakang punggung suaminya."Mas," panggilnya lagi. Kali ini memberanikan diri menyentuh pundak sang suami. Ia bisa mer
Alyasha memasuki restoran kelas menengah Itu dengan langkah anggun. Ada senyum yang terbentuk di bibirnya. Satu-satunya hal yang mengindikasikan bahwa ia tengah tidak sabar untuk bertemu seseorang adalah gerak kepalanya yang menoleh pelan kesana kemari.Mas Arya meneleponnya hari itu. Menanyakan jika Alyasha punya waktu untuk makan siang bersama.Tentu saja Alyasha mengiyakan. Hubungannya dengan Mas Arya sudah jauh membaik daripada sebelumnya. Alyasha tidak mau mengecewakan suaminya lagi.Langkah kaki Alyasha terhenti ketika matanya menemukan sosok sang suami. Hanya saja, Mas Arya tidak sedang sendiri, ada seseorang yang sedang duduk di sampingnya. Jessy, si sekretaris. Jarak mereka kelewat dekat di mata Alyasha. Rasa tidak sukanya pada Jessy bertambah satu tingkat.Ia melihat Jessy meraih napkin, dan mengatakan sesuatu yang tidak bisa didengar Alyasha dari jaraknya berdiri. Lalu, wanita itu mengusap sudut bibir Mas Arya dengan napkin. P
"Itu sudah yang ketiga belas," ucap Juan tidak sabaran.Ia menghentikan gerakan Alyasha yang hendak menuang isi dari botolwhiskeyke gelasnya lagi. Alyasha sudah tampak setengah sadar, masih juga berusaha meneis tangan Juan. Wajahnya memerah di bawah remang lampu bar."Juan, berikan padaku!" Alyasha merebut botolwhiskeyitu dari tangan Juan, dan dengan penuh kemenangan menuangkan ke gelasnya. Ia menghabiskan isinya dengan sekali teguk."Kamu akan mabuk.""Tentu saja," sahut Alyasha santai. Ia melambaikan tangannya ke sekeliling ruangan. "Bukankah setiap orang datang ke sini memang untuk mabuk? Untuk melupakan sejenak masalah mereka?"Juan meren
"Di mana ibumu?" tanya Aryadi pada putranya yang tengah mengusap sisa makanan di sudut bibir Annanda.Arion mengangkat wajah untuk menatap ayahnya. Ia memiringkan kepala, bingung."Tidak tahu, Yah. Ibu belum turun untuk sarapan."Aryadi menghabiskan waktu lembur semalaman di kantor karena pekerjaan yang lumayan menumpuk. Ia sempat mengirim pesan pada Alyasha, namun sang istri tidak membalas pesannya.Ia pergi ke kamar tidur mereka. Namun tidak menemukan siapapun di sana. Tempat tidur masih rapi tanpa ada tanda-tanda ditempati semalam.Aryadi kembali keluar dan duduk di meja makan bersama anak-anaknya."Apa ibu tidak pulang semalam?"
Suasana hati Aryadi seharian semakin memburuk.Ia tidak bisa menghubungi Alyasha sama sekali. Sebagian dari dirinya masih berusaha menyangkal perselingkuhan yang dilakukan sang istri meskipun bukti yang ia lihat dengan matanya sendiri tidak terbantahkan.Sebagian dirinya yang merasa terluka karena telah dikhianati, dipenuhi amarah yang demikian besar. Amarah yang belum pernah Aruadi rasakan sebelumnya.Ia sangat mencintai Alyasha. Ia tidak pernah melakukan sesuatu yang membuat sang istri merasa tidak terpuaskan dalam segi apapun. Lalu kenapa Alyasha mengkhianatinya?Kenapa Alyasha merasa ia berhak mengkhianati Aryadi?!Aryadi membanting gelas ke lantai hingga pecah berkeping-keping. Jesselyn yang kebetulan memasuki ruangan tepat pada saat itu memekik terkejut.Jesselyn terpaku di tempatnya berdiri. Aryadi menatapnya dengan mata menyala-nyala marah."P-Pak...." ujar Jesselyn terbata.Mata Aryadi memicing."Saya- saya cuma
Arion adalah seorang anak yang bertanggung jawab. Di usianya yang baru menginjak empat belas tahun, ia sudah bisa diandalkan untuk mengurus diri sendiri sekaligus adiknya yang masih duduk di kelas dua sekolah dasar. Well, teknisnya, Arion sudah belajar mengurus Annanda sejak bayi. Jadi, tidak begitu sulit baginya. Lagipula adiknya yang satu itu sangat anteng dan tidak cerewet seperti anak kecil lainnya. Annanda adalah seorang gadis cilik yang periang dan manis. Ia tidak pernah menyusahkan orang lain. Annanda juga sangat penurut pada Arion. Apapun yang Arion katakan, ia memercayai sang kakak seratus persen. Arion sangat menyayangi Annanda. Adiknya itu seperti dunianya dalam versi mini. Ia akan melakukan apa saja demi Annanda. Arion ingin melindunginya hingga mereka tumbuh dewasa bersama-sama. Meskipun beberapa bulan belakangan kedua orang tua mereka selalu sibuk dan jarang memiliki waktu untuk mereka, Arion tidak keberatan. Ia bisa memenuhi sem
Pas bunga di tangan Raven terlepas dan tejatuh. Suaranya teredam permadani yang terhampar di lantai. Raven mundur dengan panik, menolak memercayai apa yang telah ia lihat. Anak laki-laki itu berbalik dan berlari keluar rumah dengan kalut. Arion melangkah dengan pikiran seperti benang kusut. Ia bahkan tidak sadar ke mana tepatnya ia melangkah. Namun ketika ia mengangkat wajah, ia melihat bahwa jalan yang sedang ia lalui adalah jalan menuju sekolah Annanda. Ia pergi menjemput adiknya dengan berjalan kaki. Sekali itu, Arion tidak keberatan. Ia butuh menjernihkan pikirannya. Begitu banyak pertanyaan yang mencul dan mengambang di benak Arion. Kenapa ibunya sudah pulang padahal Arion diber tahu bahwa ia akan pulang sekitar tiga hari lagi? Siapa laki-laki itu? Kenapa ibunya melakukan itu dengan laki-laki lain? Apa yang terjadi? Apa yangakanterjadi pada keluarganya? Lalu, Arion mulai memikirkan kemungkinan-kemungkinan must
Malam itu, Arion duduk di meja makan dengan punggung tegak karena tegang. Ia tidak tahu apa yang akan terjadi saat ayah dan ibunya bergabung dengan mereka di ruang makan. Arion menelan ludah gugup. Ia melirik sang adik yang tengah asyik membaca buku sambil menunggu orang tua mereka. Namun yang Arion takutkan tidak terjadi. Tidak ada tindak-tanduk janggal maupunawkwarddari sang ibu. Ia bersikap hangat dan lembut seperti biasa dan diam-diam Arion merasa lega. Arion tahu apa yang telah dilakukan ibunya bukanlah hal yang benar. Dan ia takut akan konsekuensinya terhadap keluarga mereka. Karena itulah Arion tidak mengatakan apa-apa. Melihat kedua orang tuanya bersikap biasa saja, Arion merasa lega karena yang ia tak
Apa yang kau inginkan, Annanda.Jika pertanyaan itu diucapkan padanya ketika ia masih kecil, Annanda akan memiliki banyak sekali jawaban. Banyak sekali hal di yang ia inginkan di dunia ini.Namun Annada yang sekarang bukan lagi anak kecil naif yang masih menatap dunia di sekitarnya dengan mata berbinar-binar penuh harap dan kebahagiaan. Banyak sekali hal yang telah disaksikan oleh kedua pasang mata itu, dan hal-hal tersebut telah membuat Annada berubah jauh dari ia yang dulu.Annanda menatap anak lelaki yang berdiri demikian dekat darinya. Wajah mereka demikian dekat hingga ia bisa mencium aroma mint napas Arga. Sepasang mata kelam yang tajam itu tampak seperti danau gelap tanpa dasar. Annanda ingin tenggelam di dalamnya, namun juga takut.Apa yang ia inginkan?Tidak ada banyak hal di dunia ini yang masih bisa ia sebut sebagai miliknya. Annanda yang sekarang tidak memiliki keberanian untuk untuk mengakui apakah ia diijinkan untuk meng-klaim sesuatu yang berharga seperti Arga sebagai m
Annanda menciumnya.Ulangi.Annanda menciumnya.Roger that!Arga sampai sama sekali tidak bergerak saking kagetnya ia. Ia hanya berdiri mematung di sana seperti orang bodoh, dengan bibir sedikit membuka karena syok. Jangan salah paham. Ini tentu saja bukan kali pertama ia ciuman, oke?! Walaupun bersetubuh lebih sering ia lakukan daripada berciuman, tetap saja ia bukannya orang yang sama sekali tidak memiliki pengalaman dalam hal ini!Reaksinya yang hanya terpaku diam semata-mata dikarenakan syok! Sama sekali bukan karena ia tidak tahu harus melakukan apa dengan tangan, bibir, dan anggota tubuhnya yang lain. Otaknya benar-benar blank. Seperti kartu memori yang tidak sengaja ter-format dan kini kosong melompong. Ia tidak bisa memikirkan apapun selain tubuh Annanda yang lebih pendek darinya berjinjit untuk meraih Arga yang tidak kepikiran untuk menunduk. Harumnya yang manis dan terkecap sampai ke belakang tenggorokan Arga. Hangat bibirnya...Annanda mengeluarkan suara pelan yang teredam
Hari sudah sore. Matahari sudah sangat condong di ufuk barat, hampir sepenuhnya tenggelam. Waktu berlalu dengan cepat ketika kau mendongkol sepanjang hari.Arga bermaksud untuk pulang. Sungguh. Ia bahkan telah mengambil jalan memutar untuk keluar lewat gerbang belakang karena Mahesa memberitahu bahwa Anna menunggunya di gerbang depan. Ia tidak ingin melihat wajah anak itu untuk sementara ini.Ia tidak ingin...."...."Anna mendongak ketika mendengar suara langkah kaki yang mendekatinya. Mata cokelat hangat itu bertemu dengan obsidian gelap milik Arga. Anak lelaki itu menahan keinginannya untuk segera berpaling dan lari. Atau berjalan mendekat untuk menghampiri gadis itu. Tidak, tidak. Coret kalimat yang terakhir. Arga tidak ingin menghampiri Annanda. Sama sekali tidak.Sepertinya ada sesuatu yang tercermin dalam ekspresi Arga, karena setelah beberapa saat berdiri diam dan memandangnya tanpa ekspresi, Annanda akhirnya memalingkan pandangan sedikit, sebelum membuka mulut untuk bicara.
Ren sesungguhnya tidak benar-benar serius ketika ia menawarkan diri untuk berbicara pada Annanda.Annanda, meski ia adalah seorang gadis dan tubuhnya jauh lebih kerempeng daripada Ren, tetap saja menakutkan bagi anak laki-laki tersebut mengingat Ren pernah melihat sendiri bagaimana ia menyeret seorang kakak kelas dengan begitu brutalnya hingga hair extention kakak kelas tersebut lepas semua.Annanda sangat ganas. Muka juteknya sama sekali tidak menolong kesan pertama yang Ren miliki tentangnya.Namun Ren sudah terlanjur berkata pada Mahesa bahwa ia akan menemui Annanda. Ia tidak suka berbohong pada orang lain, terlebih pada sahabatnya sendiri.Maka, ketika Bastian dan Mahesa membereskan bola-bola basket yang mereka gunakan untuk latihan sebelumnya, Ren menyandang tas punggung di sebelah bahunya dan melangkah menuju gerbang depan sekolah.Ren melihat seseorang sedang berdiri di depan gerbang, memunggunginya. Namun orang tersebut jelas bukan Annanda.Dilihat sekilas pun, walau Ren hany
Saran Niko untuk meminta maaf berputar-putar di benak Annanda seperti lebah yang mendengung mengganggu.Haruskah ia melakukannya? Namun, Annanda tidak pernah memilikiskillyang baik dalam membangun komunikasi dengan orang lain. Ia tidak tahu bagaimana harus mendekati Arga yang terlihat sekali sedang menghindarinya dan masih kesal padanya.Lama-lama, Annanda jadi pusing sendiri. Hatinya terus menerus mendesaknya untuk mendekat dan menyapa, namun, kata-kata tidak mau keluar dari bibirnya.Alhasil, beberapa kali berpapasan dengan Arga, ia selalu terdiam dan membeku di tempat sembari memaku pandangan pada sang pemuda namun ia tidak mengatakan apapun.Arga hanya menatapnya sekilas sembari mengangkat sebelah alis. Meliha
"Jadi?"Niko mengangkat kepalanya sedikit. Ia baru sadar Annanda menuntunnya ke sebuah ruangan yang jauh dari keramaian. Tidak ada siapapun di sini. Hanya meja dan kursi yang ditumpuk-tumpuk dan kardus-kardus yang entah berisi apa. Sepertinya ini ruang kelas lama yang dialihfungsikan sebagai gudang.Annanda menunggu jawaban dengan tangan disilangkan di depan dada. Ekspresinya sedatar permukaan meja, namun, Niko hampir bisa melihat api tak kasat mata berkobar di belakang tubuhnya.Niko menelan ludah sembari berpikir alangkah beruntungnya ia karena belum juga dihajar hingga detik itu."Anna," ucap Niko. "Mau jadi pacarku, nggak?"Ia mungkin akan dihajar di detik selanjutnya.
"Jadi, Anna." Mahesa bertanya padanya ketika pesanan mereka telah terhidang di meja. "Menurutmu, Arga bagaimana?""Keras kepala dan agak gila," sahut Annanda cepat. "Juga sangat menyebalkan. Bukan kombinasi sifat yang bagus."Sebastian terkekeh senang. "Ini pertama kali aku mendengar pendapat semacam itu tentang Arga. Biasanya, orang akan berkata ia ramah, baik hati, tidak sombong, blablabla.""Ini juga pertama kali Arga mengejar-ngejar seseorang sampaiseperti itu," timpal Ren.Sebastian mengangguk setuju. "Biasanya dia yang dikejar-kejar.""Arga masih dikejar-kejar, kok." Ren mengunyah roti melon miliknya. "Kemarin sekitar empat atau lima kali ke belakang gedung. Pas
Orang yang terakhir muncul adalah Mahesa Saputra. Ia membawa duacup cappuchinodi masing-masing tangan. Ia tinggi, tenang dan kalem. Pembawaannya dewasa dan tampak seperti tidak banyak bicara. Ia mengulurkan salah satucuppada Annanda dengan senyum kecil yang teduh. Annanda otomatis menerimanya karena entah kenapa orang ini seperti memiliki aura lembut seperti ia tidak akan mencelakai bahkan seekor nyamuk pun. "Thanks," ucap Annanda pelan. "Sama-sama, Annanda." "Panggil saja Anna," ralat gadis itu. Mahesa mengangkat sebelah alis, namun memutuskan untuk tidak berkomentar. "Anna,
"Arga," panggil Ren. "Orang yang kamu kejar-kejar setiap hari itu benar-benar parah." Ren melihat bagaimana Annanda menyeret seorang siswi lain tanpa ampun sepanjang koridor sekolah. Di siang bolong. Gadis liar macam apa yang bisa berlaku seperti itu? "Hm?" Arga menggumam tidak peduli. "Oh, dia pasti punya alasan sendiri, kok." "Meski begitu, tetap saja dia itu barbar sekali," bantah Ren. Arga mengangkat sebelah alisnya. "Ren, apa kamu pernah di-bully?" "Tentu saja enggak! Kalau ada yang berani berpikir begitu, ia bakal menyesal seumur hidup dan-" Kesadaran nampak di wajah remaja berwajah imut itu. "Dia di-bully