"Mas," panggil Alyasha dengan kepala tertunduk.
Ia berdiri kikuk di ambang pintu kamar cadangan yang telah dihuni Mas Arya selama seminggu lebih. Awalnya, Alyasha mendiamkannya. Merasa mungkin Mas Arya butuh ruang, atau ini mungkin semacam hukuman baginya. Namun, kian hari, rasa bersalah Alyasha semakin menjadi-jadi hingga tak tertahankan. Akhirnya, hari ini ia memberanikan diri untuk berbicara dengan suaminya.
"Mas, boleh aku masuk?"
Mas Arya sedang berbaring di kasur memunggunginya. Namun, Alyasha tahu ia hanya sedang berpura-pura tidur. Alyasha memasuki kamar dengan langkah pelan-pelan da duduk di tepi ranjang, di belakang punggung suaminya.
"Mas," panggilnya lagi. Kali ini memberanikan diri menyentuh pundak sang suami. Ia bisa merasakan tubuh Mas Arya menegang di bawah sentuhannya.
"Mas masih marah?"
Mas Arya tampak menghela napas.
"Mas kalau masih marah, aku harus apa biar dimaafin?"
Tidak ada jawaban.
"Mas kalau begini terus, aku nangis, lho." Alyaha menyandarkan dahinya di pundak sang suami. Rindu akan hangat tubuh Mas Arya yang harusnya memeluknya tiap malam.
Mas Arya masih belum menjawab.
Sekarang Alyasha merasa benar-benar ingin menangis. Berada sedekat ini dengan orang yang ia cintai, tetapi rasanya seperti Mas Arya berada di luar jangkauannya sungguh berat baginya. Melihat orang yang ia cintai bersikap dingin dan mengacuhkannya. Alyasha tidak sanggup.
"Mas, aku beneran bakal nangis, lho." Tenggorokan Alyasha terasa tercekat. Suaranya hanya keluar dalam bisikan. Air sudah menggenang di pelupuk matanya, siap jatuh kapan saja. "Aku jelek kalau lagi nangis. Mas yakin mau liat aku nangis?"
Alyasha bukanlah perempuan yang cengeng. Ia kuat, kadang keras kepala. Meski wajah dan sikapnya lembut, Alyasha adalah pekerja keras yang pantang menyerah. Membuat perempuan sepertinya menangis, hanya Aryadi seorang yang mampu melakukannya.
Air mata Alyasha benar-benar jatuh membasahi lengan baju Mas Arya. Alyasha sendiri menarik napas kaget. Tidak mengira pertahanannya akan benar-benar runtuh di sini. Ia buru-buru mengangkat wajah. Tidak ingin mengotori baju sang suami.
Begitu merasakan lengan bajunya yang lembab, Mas Arya langsung menoleh ke arahnya. Matanya agak melebar, kaget. Seumur-umur mereka menjalin kasih hingga menikah, sampai saat ini, Aryadi tidak pernah melihat Alyasha menangis. Alyasha selalu tersenyum. Memuat orang-orang di sekitanya merasakan kelembutan yang memancar dari dirinya.
Kini, Alyasha duduk di depannya sambil menundukkan wajah. Sebelah tangannya menutup bibir seperti mencegah suara agar tidak keluar. Air matanya jatuh menetes-netes, membasahi gaun tidur yang ia gunakan.
Sekeras apapun Aryadi menetapkan hati, melihat Alyasha yang seperti ini di hadapannya, hati Aryadi terenyuh.
"Jangan menangis," ucapnya lembut sembari mengangkat dagu Alyasha pelan.
Isakan Alyasha justru semakin keras. Air matanya juga menetes semakin banyak.
"Ssshh...." ujar Aryadi menenangkan. "Jangan nangis."
Aryadi menangkup kedua pipi Alyasha dengan kedua telapak tangannya yang hangat dan besar. Ia mengusap lembut air mata Alyasha di pipinya dengan ibu jari.
"Kalau kamu menangis, bukannya jadi jelek, kamu malah tambah cantik. Enggak kasihan sama aku yang jadi semakin cinta?"
Alyasha tidak bisa menahan tawa. Wajahnya jadi lucu, menangis tapi air mata masih mengalir di pipi.
"Mas, aku benar-benar minta maaf."
"Hm, iya."
"Aku nggak akan ngulangi lagi."
Aryadi masih menangkup wajah Alyasha di telapak tangan. Ia menggumam pelan.
"Mas maafin aku?"
Ibu jari Aryadi berhenti mengusap. Ia menatap Alyasha sejenak. Sorot matanya sangat lembut.
"Iya."
"Mas bakal tidur di kamar kita lagi?"
"Hmm...." gumam Aryadi mengiyakan.
Hal itu cukup untuk mengembalikan senyum di wajah Alyasha. Membuat Aryadi tanpa sadar ikut tersenyum melihatnya.
Ia mengusap lembut rambut Alyasha dan mengecup pelan keningnya.
Kecupan itu pindah ke kedua mata yang basah. Ke tulang pipinya. Meniti batang hidungnya. Jatuh di dagunya yang lancip. Dan akhirnya bertemu dengan kedua belah bibirnya.
Kecupan itu begitu lembut. Hanya ada cinta yang tersampaikan di sana. Membuat kelopak mata Alyasha jatuh menutup.
Betapa Aryadi juga merindukan wanita ini. Wanitanya. Alyasha-nya.
Aryadi menarik diri sebentar demi mengagumi wajah istri terkasih. Caranya menutup mata, seolah memberi kepercayaan penuh pada Aryadi, dan hanya kepada Aryadi seorang. Penyerahan diri seutuhnya seperti ini hanya diberi Alyasha kepadanya.
Aryadi mencondongkan wajah untuk mengecup bibir Alyasha lagi. Kali ini lebih lama. Lebih dalam. Lebih intens. Aryadi merasa kulitnya memanas ketika Alyasha membuka bibirnya untuk menarik napas. Aryadi tidak membuang kesempatan untuk menelusup ke dalam mulut hangatnya, mencecap rasa.
Alyasha menarik napas tajam ketika lidah mereka bersentuhan. Tangannya pindah ke bagian belakang kepala Aryadi, meremas rambut di sana. Aryadi menggeram pelan. Ia mendorong tubuh Alyasha lembut hingga berbaring.
Panas, Aryadi menarik lepas kaus yang ia kenakan. Ia menindih tubuh Alyasha, merasa betapa familiar dan kompatibel tubuh mereka satu sama lain. Aryadi membenamkan wajah di ceruk leher sang istri, menghirup aroma lembut yang selalu menguar darinya. Gemas, ia menggigit kecil kulit di sana.
Alyasha mengeluarkan desah terkejut.
"M-mas...."
"Hukuman," bisik Aryadi di telinganya. "Kamu terlalu menggemaskan."
Alyasha ingin menutup wajah malu. Diumurnya yang setua ini, disebut menggemaskan, sekalipun oleh suami sendiri, sungguh membuat Alyasha ingin bersembunyi.
"Jangan ditutup," kata Aryadi sambil memegang kedua tangan Alyasha. "Aku ingin lihat kamu."
"Mas! Aku malu!"
Sebelah alis Aryadi terangkat, "Malu? Sama suami sendiri?"
Wajah Alyasha memerah.
"Alya. Kita udah punya Arion dan Nanda."
"Tetap saja malu."
Aryadi tertawa. "Aku bisa bikin kamu nggak malu lagi."
Dan mereka kembali tenggelam dalam satu sama lain. Kulit menyentuh kulit dalam gelora hangat yang membuat hati mereka membara seperti ketika saling menyentuh untuk pertama kalinya.
Untuk sesaat, segala masalah dan dinding yang terbentuk di antara mereka selama beberapa hari terakhir, meleleh dan hanyut dalam desah dan bisikan pelan kalimat cinta. Aryadi membiarkan dirinya tenggelam dalam kehangatan yang ditawarkan Alyasha. Dan Alyasha membuka diri, menerima Aryadi dalam rengkuhan hangat.
***
Aryadi menatap tubuh yang terlelap di sisinya. Wajah damai Alyasha yang berbaring menyamping menghadapnya tampak begitu cantik. Aryadi mengelus pipinya, menyelipkan rambut yang menutupi wajah ke belakang telinga.
Melihat sang istri yang menangis hari ini, hati Aryadi luluh. Sungguh, selama mereka menikah, Alyasha tidak pernah melakukan hal-hal yang membuatnya patut untuk dicurigai. Ia istri yang setia. Tidak pernah sekalipun Alyasha menanggapi, atau memberi perhatian khusus kepada lelaki lain selain Aryadi. Meskipun ia adalah seorang model yang selalu menarik perhatian tiap orang di manapun ia berada. Alyasha hanya melihat Aryadi sebagai satu-satunya kekasih.
Mengenyahkan segala kecurigaan, Aryadi memikirkan alasan-alasan positif tenatng kenapa Alyasha sampai berbohong kepadanya. Mungkin malam itu memang terlalu larut, dan ia takut di jalan pulang ke rumah. Tidak ingin mengganggu teman ataupun suaminya sendiri, mungkin istrinya terpaksa menginap di hotel, dan malu mengakuinya.
Laki-laki yang ditemui Alyasha di hotel mungkin hanya teman lama yang kebetulan bertemu dengannya di sana. Aryadi tidak pernah melihat orang itu sebelumnya, kemungkinan adalah teman Alyasha semasa sekolah.
Aryadi mengusap lembut rambut sang istri, kian lama kian ragu Alyasha akan tega mengkhianatinya.
Alyasha memasuki restoran kelas menengah Itu dengan langkah anggun. Ada senyum yang terbentuk di bibirnya. Satu-satunya hal yang mengindikasikan bahwa ia tengah tidak sabar untuk bertemu seseorang adalah gerak kepalanya yang menoleh pelan kesana kemari.Mas Arya meneleponnya hari itu. Menanyakan jika Alyasha punya waktu untuk makan siang bersama.Tentu saja Alyasha mengiyakan. Hubungannya dengan Mas Arya sudah jauh membaik daripada sebelumnya. Alyasha tidak mau mengecewakan suaminya lagi.Langkah kaki Alyasha terhenti ketika matanya menemukan sosok sang suami. Hanya saja, Mas Arya tidak sedang sendiri, ada seseorang yang sedang duduk di sampingnya. Jessy, si sekretaris. Jarak mereka kelewat dekat di mata Alyasha. Rasa tidak sukanya pada Jessy bertambah satu tingkat.Ia melihat Jessy meraih napkin, dan mengatakan sesuatu yang tidak bisa didengar Alyasha dari jaraknya berdiri. Lalu, wanita itu mengusap sudut bibir Mas Arya dengan napkin. P
"Itu sudah yang ketiga belas," ucap Juan tidak sabaran.Ia menghentikan gerakan Alyasha yang hendak menuang isi dari botolwhiskeyke gelasnya lagi. Alyasha sudah tampak setengah sadar, masih juga berusaha meneis tangan Juan. Wajahnya memerah di bawah remang lampu bar."Juan, berikan padaku!" Alyasha merebut botolwhiskeyitu dari tangan Juan, dan dengan penuh kemenangan menuangkan ke gelasnya. Ia menghabiskan isinya dengan sekali teguk."Kamu akan mabuk.""Tentu saja," sahut Alyasha santai. Ia melambaikan tangannya ke sekeliling ruangan. "Bukankah setiap orang datang ke sini memang untuk mabuk? Untuk melupakan sejenak masalah mereka?"Juan meren
"Di mana ibumu?" tanya Aryadi pada putranya yang tengah mengusap sisa makanan di sudut bibir Annanda.Arion mengangkat wajah untuk menatap ayahnya. Ia memiringkan kepala, bingung."Tidak tahu, Yah. Ibu belum turun untuk sarapan."Aryadi menghabiskan waktu lembur semalaman di kantor karena pekerjaan yang lumayan menumpuk. Ia sempat mengirim pesan pada Alyasha, namun sang istri tidak membalas pesannya.Ia pergi ke kamar tidur mereka. Namun tidak menemukan siapapun di sana. Tempat tidur masih rapi tanpa ada tanda-tanda ditempati semalam.Aryadi kembali keluar dan duduk di meja makan bersama anak-anaknya."Apa ibu tidak pulang semalam?"
Suasana hati Aryadi seharian semakin memburuk.Ia tidak bisa menghubungi Alyasha sama sekali. Sebagian dari dirinya masih berusaha menyangkal perselingkuhan yang dilakukan sang istri meskipun bukti yang ia lihat dengan matanya sendiri tidak terbantahkan.Sebagian dirinya yang merasa terluka karena telah dikhianati, dipenuhi amarah yang demikian besar. Amarah yang belum pernah Aruadi rasakan sebelumnya.Ia sangat mencintai Alyasha. Ia tidak pernah melakukan sesuatu yang membuat sang istri merasa tidak terpuaskan dalam segi apapun. Lalu kenapa Alyasha mengkhianatinya?Kenapa Alyasha merasa ia berhak mengkhianati Aryadi?!Aryadi membanting gelas ke lantai hingga pecah berkeping-keping. Jesselyn yang kebetulan memasuki ruangan tepat pada saat itu memekik terkejut.Jesselyn terpaku di tempatnya berdiri. Aryadi menatapnya dengan mata menyala-nyala marah."P-Pak...." ujar Jesselyn terbata.Mata Aryadi memicing."Saya- saya cuma
Arion adalah seorang anak yang bertanggung jawab. Di usianya yang baru menginjak empat belas tahun, ia sudah bisa diandalkan untuk mengurus diri sendiri sekaligus adiknya yang masih duduk di kelas dua sekolah dasar. Well, teknisnya, Arion sudah belajar mengurus Annanda sejak bayi. Jadi, tidak begitu sulit baginya. Lagipula adiknya yang satu itu sangat anteng dan tidak cerewet seperti anak kecil lainnya. Annanda adalah seorang gadis cilik yang periang dan manis. Ia tidak pernah menyusahkan orang lain. Annanda juga sangat penurut pada Arion. Apapun yang Arion katakan, ia memercayai sang kakak seratus persen. Arion sangat menyayangi Annanda. Adiknya itu seperti dunianya dalam versi mini. Ia akan melakukan apa saja demi Annanda. Arion ingin melindunginya hingga mereka tumbuh dewasa bersama-sama. Meskipun beberapa bulan belakangan kedua orang tua mereka selalu sibuk dan jarang memiliki waktu untuk mereka, Arion tidak keberatan. Ia bisa memenuhi sem
Pas bunga di tangan Raven terlepas dan tejatuh. Suaranya teredam permadani yang terhampar di lantai. Raven mundur dengan panik, menolak memercayai apa yang telah ia lihat. Anak laki-laki itu berbalik dan berlari keluar rumah dengan kalut. Arion melangkah dengan pikiran seperti benang kusut. Ia bahkan tidak sadar ke mana tepatnya ia melangkah. Namun ketika ia mengangkat wajah, ia melihat bahwa jalan yang sedang ia lalui adalah jalan menuju sekolah Annanda. Ia pergi menjemput adiknya dengan berjalan kaki. Sekali itu, Arion tidak keberatan. Ia butuh menjernihkan pikirannya. Begitu banyak pertanyaan yang mencul dan mengambang di benak Arion. Kenapa ibunya sudah pulang padahal Arion diber tahu bahwa ia akan pulang sekitar tiga hari lagi? Siapa laki-laki itu? Kenapa ibunya melakukan itu dengan laki-laki lain? Apa yang terjadi? Apa yangakanterjadi pada keluarganya? Lalu, Arion mulai memikirkan kemungkinan-kemungkinan must
Malam itu, Arion duduk di meja makan dengan punggung tegak karena tegang. Ia tidak tahu apa yang akan terjadi saat ayah dan ibunya bergabung dengan mereka di ruang makan. Arion menelan ludah gugup. Ia melirik sang adik yang tengah asyik membaca buku sambil menunggu orang tua mereka. Namun yang Arion takutkan tidak terjadi. Tidak ada tindak-tanduk janggal maupunawkwarddari sang ibu. Ia bersikap hangat dan lembut seperti biasa dan diam-diam Arion merasa lega. Arion tahu apa yang telah dilakukan ibunya bukanlah hal yang benar. Dan ia takut akan konsekuensinya terhadap keluarga mereka. Karena itulah Arion tidak mengatakan apa-apa. Melihat kedua orang tuanya bersikap biasa saja, Arion merasa lega karena yang ia tak
Lift berdenting terbuka dan Annanda melangkah riang menuju ruangan sang ayah. Ia begitu bersemangat dan tidak sabar karena ini adalah kejutan untuk ayahnya. Annanda sudah bisa membayangkan ayahnya akan tertawa senang sambil memeluknya, lalu mereka akan makan kue bersama. Mungkin Annanda bisa membujuk ayahnya untuk merayakan kembali ulang tahunnya di rumah ketika keluarga mereka berkumpul. Saking bersemangatnya ia, Annanda sampai lupa untuk mengetuk pintu kantor dan membukanya begitu saja. "Ayah!" serunya gembira bahkan sebelum ia sempat melihat sosok sang ayah. Namun, langkah Annanda mendadak berhenti ketika melihat ayahnya tidak sedang sendirian di ruang kerja. Seorang wanita tengah duduk di pangkuan sang ayah. Rambut cokelatnya tergerai berantakan di punggung. Tangan ayahnya memeluk pinggang wanita itu. Mereka tengah berciuman. Ketika mereka mendengar suara Annanda, kedua orang itu mematung. Si wanita buru-buru melepaskan diri dari a
Apa yang kau inginkan, Annanda.Jika pertanyaan itu diucapkan padanya ketika ia masih kecil, Annanda akan memiliki banyak sekali jawaban. Banyak sekali hal di yang ia inginkan di dunia ini.Namun Annada yang sekarang bukan lagi anak kecil naif yang masih menatap dunia di sekitarnya dengan mata berbinar-binar penuh harap dan kebahagiaan. Banyak sekali hal yang telah disaksikan oleh kedua pasang mata itu, dan hal-hal tersebut telah membuat Annada berubah jauh dari ia yang dulu.Annanda menatap anak lelaki yang berdiri demikian dekat darinya. Wajah mereka demikian dekat hingga ia bisa mencium aroma mint napas Arga. Sepasang mata kelam yang tajam itu tampak seperti danau gelap tanpa dasar. Annanda ingin tenggelam di dalamnya, namun juga takut.Apa yang ia inginkan?Tidak ada banyak hal di dunia ini yang masih bisa ia sebut sebagai miliknya. Annanda yang sekarang tidak memiliki keberanian untuk untuk mengakui apakah ia diijinkan untuk meng-klaim sesuatu yang berharga seperti Arga sebagai m
Annanda menciumnya.Ulangi.Annanda menciumnya.Roger that!Arga sampai sama sekali tidak bergerak saking kagetnya ia. Ia hanya berdiri mematung di sana seperti orang bodoh, dengan bibir sedikit membuka karena syok. Jangan salah paham. Ini tentu saja bukan kali pertama ia ciuman, oke?! Walaupun bersetubuh lebih sering ia lakukan daripada berciuman, tetap saja ia bukannya orang yang sama sekali tidak memiliki pengalaman dalam hal ini!Reaksinya yang hanya terpaku diam semata-mata dikarenakan syok! Sama sekali bukan karena ia tidak tahu harus melakukan apa dengan tangan, bibir, dan anggota tubuhnya yang lain. Otaknya benar-benar blank. Seperti kartu memori yang tidak sengaja ter-format dan kini kosong melompong. Ia tidak bisa memikirkan apapun selain tubuh Annanda yang lebih pendek darinya berjinjit untuk meraih Arga yang tidak kepikiran untuk menunduk. Harumnya yang manis dan terkecap sampai ke belakang tenggorokan Arga. Hangat bibirnya...Annanda mengeluarkan suara pelan yang teredam
Hari sudah sore. Matahari sudah sangat condong di ufuk barat, hampir sepenuhnya tenggelam. Waktu berlalu dengan cepat ketika kau mendongkol sepanjang hari.Arga bermaksud untuk pulang. Sungguh. Ia bahkan telah mengambil jalan memutar untuk keluar lewat gerbang belakang karena Mahesa memberitahu bahwa Anna menunggunya di gerbang depan. Ia tidak ingin melihat wajah anak itu untuk sementara ini.Ia tidak ingin...."...."Anna mendongak ketika mendengar suara langkah kaki yang mendekatinya. Mata cokelat hangat itu bertemu dengan obsidian gelap milik Arga. Anak lelaki itu menahan keinginannya untuk segera berpaling dan lari. Atau berjalan mendekat untuk menghampiri gadis itu. Tidak, tidak. Coret kalimat yang terakhir. Arga tidak ingin menghampiri Annanda. Sama sekali tidak.Sepertinya ada sesuatu yang tercermin dalam ekspresi Arga, karena setelah beberapa saat berdiri diam dan memandangnya tanpa ekspresi, Annanda akhirnya memalingkan pandangan sedikit, sebelum membuka mulut untuk bicara.
Ren sesungguhnya tidak benar-benar serius ketika ia menawarkan diri untuk berbicara pada Annanda.Annanda, meski ia adalah seorang gadis dan tubuhnya jauh lebih kerempeng daripada Ren, tetap saja menakutkan bagi anak laki-laki tersebut mengingat Ren pernah melihat sendiri bagaimana ia menyeret seorang kakak kelas dengan begitu brutalnya hingga hair extention kakak kelas tersebut lepas semua.Annanda sangat ganas. Muka juteknya sama sekali tidak menolong kesan pertama yang Ren miliki tentangnya.Namun Ren sudah terlanjur berkata pada Mahesa bahwa ia akan menemui Annanda. Ia tidak suka berbohong pada orang lain, terlebih pada sahabatnya sendiri.Maka, ketika Bastian dan Mahesa membereskan bola-bola basket yang mereka gunakan untuk latihan sebelumnya, Ren menyandang tas punggung di sebelah bahunya dan melangkah menuju gerbang depan sekolah.Ren melihat seseorang sedang berdiri di depan gerbang, memunggunginya. Namun orang tersebut jelas bukan Annanda.Dilihat sekilas pun, walau Ren hany
Saran Niko untuk meminta maaf berputar-putar di benak Annanda seperti lebah yang mendengung mengganggu.Haruskah ia melakukannya? Namun, Annanda tidak pernah memilikiskillyang baik dalam membangun komunikasi dengan orang lain. Ia tidak tahu bagaimana harus mendekati Arga yang terlihat sekali sedang menghindarinya dan masih kesal padanya.Lama-lama, Annanda jadi pusing sendiri. Hatinya terus menerus mendesaknya untuk mendekat dan menyapa, namun, kata-kata tidak mau keluar dari bibirnya.Alhasil, beberapa kali berpapasan dengan Arga, ia selalu terdiam dan membeku di tempat sembari memaku pandangan pada sang pemuda namun ia tidak mengatakan apapun.Arga hanya menatapnya sekilas sembari mengangkat sebelah alis. Meliha
"Jadi?"Niko mengangkat kepalanya sedikit. Ia baru sadar Annanda menuntunnya ke sebuah ruangan yang jauh dari keramaian. Tidak ada siapapun di sini. Hanya meja dan kursi yang ditumpuk-tumpuk dan kardus-kardus yang entah berisi apa. Sepertinya ini ruang kelas lama yang dialihfungsikan sebagai gudang.Annanda menunggu jawaban dengan tangan disilangkan di depan dada. Ekspresinya sedatar permukaan meja, namun, Niko hampir bisa melihat api tak kasat mata berkobar di belakang tubuhnya.Niko menelan ludah sembari berpikir alangkah beruntungnya ia karena belum juga dihajar hingga detik itu."Anna," ucap Niko. "Mau jadi pacarku, nggak?"Ia mungkin akan dihajar di detik selanjutnya.
"Jadi, Anna." Mahesa bertanya padanya ketika pesanan mereka telah terhidang di meja. "Menurutmu, Arga bagaimana?""Keras kepala dan agak gila," sahut Annanda cepat. "Juga sangat menyebalkan. Bukan kombinasi sifat yang bagus."Sebastian terkekeh senang. "Ini pertama kali aku mendengar pendapat semacam itu tentang Arga. Biasanya, orang akan berkata ia ramah, baik hati, tidak sombong, blablabla.""Ini juga pertama kali Arga mengejar-ngejar seseorang sampaiseperti itu," timpal Ren.Sebastian mengangguk setuju. "Biasanya dia yang dikejar-kejar.""Arga masih dikejar-kejar, kok." Ren mengunyah roti melon miliknya. "Kemarin sekitar empat atau lima kali ke belakang gedung. Pas
Orang yang terakhir muncul adalah Mahesa Saputra. Ia membawa duacup cappuchinodi masing-masing tangan. Ia tinggi, tenang dan kalem. Pembawaannya dewasa dan tampak seperti tidak banyak bicara. Ia mengulurkan salah satucuppada Annanda dengan senyum kecil yang teduh. Annanda otomatis menerimanya karena entah kenapa orang ini seperti memiliki aura lembut seperti ia tidak akan mencelakai bahkan seekor nyamuk pun. "Thanks," ucap Annanda pelan. "Sama-sama, Annanda." "Panggil saja Anna," ralat gadis itu. Mahesa mengangkat sebelah alis, namun memutuskan untuk tidak berkomentar. "Anna,
"Arga," panggil Ren. "Orang yang kamu kejar-kejar setiap hari itu benar-benar parah." Ren melihat bagaimana Annanda menyeret seorang siswi lain tanpa ampun sepanjang koridor sekolah. Di siang bolong. Gadis liar macam apa yang bisa berlaku seperti itu? "Hm?" Arga menggumam tidak peduli. "Oh, dia pasti punya alasan sendiri, kok." "Meski begitu, tetap saja dia itu barbar sekali," bantah Ren. Arga mengangkat sebelah alisnya. "Ren, apa kamu pernah di-bully?" "Tentu saja enggak! Kalau ada yang berani berpikir begitu, ia bakal menyesal seumur hidup dan-" Kesadaran nampak di wajah remaja berwajah imut itu. "Dia di-bully