Alyasha memasuki restoran kelas menengah Itu dengan langkah anggun. Ada senyum yang terbentuk di bibirnya. Satu-satunya hal yang mengindikasikan bahwa ia tengah tidak sabar untuk bertemu seseorang adalah gerak kepalanya yang menoleh pelan kesana kemari.
Mas Arya meneleponnya hari itu. Menanyakan jika Alyasha punya waktu untuk makan siang bersama.
Tentu saja Alyasha mengiyakan. Hubungannya dengan Mas Arya sudah jauh membaik daripada sebelumnya. Alyasha tidak mau mengecewakan suaminya lagi.
Langkah kaki Alyasha terhenti ketika matanya menemukan sosok sang suami. Hanya saja, Mas Arya tidak sedang sendiri, ada seseorang yang sedang duduk di sampingnya. Jessy, si sekretaris. Jarak mereka kelewat dekat di mata Alyasha. Rasa tidak sukanya pada Jessy bertambah satu tingkat.
Ia melihat Jessy meraih napkin, dan mengatakan sesuatu yang tidak bisa didengar Alyasha dari jaraknya berdiri. Lalu, wanita itu mengusap sudut bibir Mas Arya dengan napkin. Padahal, Alyasha cukup yakin tidak ada noda apapun di sana!
Alyasha mengepalkan tangannya. Adegan ini cukup klise; ia yang berdiri beberapa langkah dari suaminya yang terlihat seperti sedang digoda perempuan lain. Alyasha akan tertawa jika saja bukan ia yang sedang mengalami ini.
Alyasha segera memperbaiki ekspresi wajah. Memasang senyum percaya diri yang biasa ia berikan untuk mengintimidasi orang-orang yang berpotensi untuk memandang rendah dirinya. Jessy hanya orang luar, sekedar sekretaris. Ia jelas bukan apa-apa dibanding Alyasha.
Mas Arya tampak memegang tanganJessy, dan menjauhkan dari wajahnya. Ia mengatakan sesuatu, membuat Jessy menarik tangannya, dan tertunduk malu sambil menggumamkan sesuatu.
Alyasha tidak bisa menahan senyum penuh kemenangan di bibirnya. Ia yakin Mas Arya pasti baru saja menegur sekretaris tidak sopan itu. Hahaha. Rasakan.
"Mas Arya," sapa Alyasha. Ia melirik sekilas Jessy yang tersenyum kaku ke arahnya.
"Aku kira kita akan kencan berdua saja," ujar Alyasha separuh bercanda. Ia dengan jelas mengabaikan keberadaan Jessy, dan hanya menatap pada sang suami.
Mas Arya tersenyum minta maaf. Ia bangkit dan menarik kursi untuk sang istri. "Tadinya, rencananya memang begitu. Tapi, ada perubahan untuk schedule meeting setelah makan siang nanti. Makanya aku ajak Jessy sekalian."
"Oh." Kelopak mata Alyasha turun, berlagak seperti istri penurut. "Kalau Mas Arya masih perlu diskusi soal kerjaan, aku bisa pindah, kok, makannya. Nggak mau ganggu."
Mas Arya seketika meraih tangannya di atas meja. Alyasha bersorak dalam hati.
"Jangan. Kamu tetap di sini. Temani aku makan siang. Lagian, ini juga udah selesai, kok." Mas Arya menoleh pada Jessy, dan bertanya, "Sudah semuanya, 'kan? Atau ada yang perlu saya ketahui lagi?"
Pesan Mas Arya sangat jelas; kalau tidak ada lagi, kamu silakan pergi. Alyasha harus menggigit bagian dalam pipinya agar tidak tersenyum lebar.
"Sudah semuanya, Pak." Jessy buru-buru berdiri. "Kalau begitu, saya permisi dulu."
Alyasha melempar senyum manis ketika Jessy mengangguk ke arahnya. "Mbak Jessy sangat pekerja keras, ya. Jangan sampai lupa makan siang, lho."
Senyum Jessy jelas terlihat dipaksakan sebelum ia meninggalkan pasangan suami istri itu.
Mas Arya memerhatikan Alyasha selema beberapa saat. "Kenapa, Alya?"
"Apanya yang kenapa, Mas?"
"Mas perhatikan kamu nggak terlalu suka sama Jessy."
"Nggak, kok, Mas. Biasa aja."
"Hm, gitu." Mas Arya menekuni menu. "Jessy itu cara kerjanya bagus. Tapi, kalau kamu terganggu, Mas bisa cari sekretaris lain."
"Nggak usahlah, Mas. Aku enggak apa-apa, kok. Kan Mas Arya punya aku, yang lain bisa apa," canda Alyasha.
Aryadi terkekeh mendengarnya.
***
Alyasha telah menikah selama enam belas tahun dengan Mas Arya. Dan selama itu, tidak sekalipun ia meragukan kesetiaan suaminya. Ia bahagia. Hidupnya sempurna. Dua orang anaknya seperti permata hati baginya.
Namun, tidak ada yang mempersiapkannya akan apa yang ia lihat tepat di depan matanya kini.
Pintu ruang kerja Mas Arya agak terbuka ketika Alyasha berkunjung. Ia sengaja tidak mengetuk, ingin memberi kejutan pada sang suami. Siapa yang menyangka malah ia yang mendapat kejutan yang sangat buruk?
Karena di atas sofa, Mas Arya, suami yang ia percayai jiwa raga, tengah bergumul dengan seorang wanita.
Alyasha tidak mungkin salah mengenali wanita itu.
Jesselyn.
Wanita itu melempar senyum penuh kemenangan pada Alyasha lewat bahu Mas Arya.
Alyasha mundur selangkah, tidak bisa memercayai apa yang tengah ia saksikan.
Suara desah Jessy yang dilebih-lebihkan menyentakkan Alyasha kembali ke dunia. Ia langsung berbalik. Lari. Pergi jauh. Tidak ingin menghadapi kenyataan di depannya.
Mas Arya?
Mas Arya!
Suaminya yang ia cintai sepenuh hati tega melakukan ini? Apa....apa perlakuannya pada Alyasha selama ini adalah kebohongan belaka? Semua kelembutannya? Kata-kata cintanya?
Air mata Alyasha jatuh bebas sepanjang ia melajukan mobilnya tanpa arah yang jelas mau ke mana. Pikirannya kacau. Ia langsung menepikan mobil begitu seseorang di belakangnya mengklakson keras-keras karena ia menyalip ugal-ugalan.
Dengan gemetar Alyasha mengeluarkan ponselnya dan menghubungi seseorang.
"Juan," ucapnya dengan suara bergetar. "Juan, tolong aku...."
"Queenie? Ada apa?" Juan mendengar suara isakan Alyasha di seberang telepon."Oke, tenang dulu, oke? Jangan bergerak dari tempatmu. Beritahu aku kamu ada di mana, aku akan pergi ke sana sekarang."
***
Aryadi kesal. Sungguh. Jesselyn benar-benar sudah melewati batas. Aryadi tidak buta. Ia jelas tahu bahwa Jesselyn hanya pura-pura tersandung kaki sofa dan menarik Aryadi sehingga jatuh menimpa tubuhnya.
Aryadi tidak menyadari Alyasha yang segera berbalik pergi ketika itu.
Ia mendorongnya kasar. Ia menatap dingin Jesselyn dan mengucap satu kata yang tidak bisa dibantah,
"Keluar."
Jesselyn bergegas meminta maaf dan keluar dari ruangan.
Aryadi hanya tidak tahu bahwa apa yang Jessy harapkan sudah ia capai. Alyasha sudah melihat sang suami menindih wanita lain di kantornya sendiri. Seteguh apapun kesetiaan dan kepercayaan seorang wanita pada suaminya, siapa yang masih bisa tenabg setelah menyaksikan itu?
Jesselyn tersenyum senang sambil membenahi ikatan rambutnya. Kini ia tinggal menunggu hasil dari benih-benih pertikaian yang telah ia tebarkan.
***
"Alya?"
Hari itu Aryadi pulang ke rumah dan mendapati sang istri terduduk di tepi ranjang mereka. Matanya memerah sembab sepeeti habis menangis. Alyasha tidak menoleh ketika Aryadi memanggilnya.
"Mas, aku ingin Mas jujur sama aku."
Aryadi menaruh tas kerjanya dan duduk di samping sang istri. "Alya, ada apa?"
Ia mencoba menyentuh tangan Alyasha, namun Alyasha menghindarinya.
"Mas Arya sama Jessy...." Suara Alyasha tercekat. Rasanya ingin menangis lagi.
Aryadi mengerutkan kening. Apa Alyasha cemburu pada Jessy lagi?
"Tidak ada apa-apa di antara kami, Alya."
Alyasha meremas piyama tidurnya dengan kepala masih menunduk. "Aku ingin Mas berhenti mempekerjakan Jessy."
Aryadi terdiam sesaat. Setelah kejadian hari ini, ia memang mempertimbangkan untuk memberhentikan Jessy. Namun, ada proyek perusahaan yang tengah berjalan dan Jessy sudah tahu seluk beluk untuk mengerjakannya. Selain itu, akan susah mengajari sekretaris baru lagi di tengah-tengah jalannya proyek seperti ini.
"Untuk saat ini, aku nggak bisa, Alya. Perusahaan masih membutuhkannya."
Alyasha tampak menggigit bibir bawahnya.
"Alya," panggil Aryadi sekali lagi. Kali ini mencoba mengelus pipinya. "Kamu jangan khawatir. Kamu tahu hanya ada kamu seorang untukku."
Alyasha mengalihkan pandangannya, sekaligus menghindari sentuhan Aryadi. Ia menghela napas.
"Aku mau tidur dulu, Mas. Aku lelah."
Aryadi merasa heran dengan perubahan hati sang istri. Kemarin ketika ia menawarkan untuk memecat Jessy, Alyasha bilang tidak usah. Kenapa sekarang tiba-tiba ia ingin Aryadi memberhentikannya? Bingung, Aryadi berusaha memikirkan alasan Alyasha berubah pikiran, namun ia tetap tidak bisa menemukan jawabannya.
Malam itu Alyasha tidur dengan memunggunginya.
"Itu sudah yang ketiga belas," ucap Juan tidak sabaran.Ia menghentikan gerakan Alyasha yang hendak menuang isi dari botolwhiskeyke gelasnya lagi. Alyasha sudah tampak setengah sadar, masih juga berusaha meneis tangan Juan. Wajahnya memerah di bawah remang lampu bar."Juan, berikan padaku!" Alyasha merebut botolwhiskeyitu dari tangan Juan, dan dengan penuh kemenangan menuangkan ke gelasnya. Ia menghabiskan isinya dengan sekali teguk."Kamu akan mabuk.""Tentu saja," sahut Alyasha santai. Ia melambaikan tangannya ke sekeliling ruangan. "Bukankah setiap orang datang ke sini memang untuk mabuk? Untuk melupakan sejenak masalah mereka?"Juan meren
"Di mana ibumu?" tanya Aryadi pada putranya yang tengah mengusap sisa makanan di sudut bibir Annanda.Arion mengangkat wajah untuk menatap ayahnya. Ia memiringkan kepala, bingung."Tidak tahu, Yah. Ibu belum turun untuk sarapan."Aryadi menghabiskan waktu lembur semalaman di kantor karena pekerjaan yang lumayan menumpuk. Ia sempat mengirim pesan pada Alyasha, namun sang istri tidak membalas pesannya.Ia pergi ke kamar tidur mereka. Namun tidak menemukan siapapun di sana. Tempat tidur masih rapi tanpa ada tanda-tanda ditempati semalam.Aryadi kembali keluar dan duduk di meja makan bersama anak-anaknya."Apa ibu tidak pulang semalam?"
Suasana hati Aryadi seharian semakin memburuk.Ia tidak bisa menghubungi Alyasha sama sekali. Sebagian dari dirinya masih berusaha menyangkal perselingkuhan yang dilakukan sang istri meskipun bukti yang ia lihat dengan matanya sendiri tidak terbantahkan.Sebagian dirinya yang merasa terluka karena telah dikhianati, dipenuhi amarah yang demikian besar. Amarah yang belum pernah Aruadi rasakan sebelumnya.Ia sangat mencintai Alyasha. Ia tidak pernah melakukan sesuatu yang membuat sang istri merasa tidak terpuaskan dalam segi apapun. Lalu kenapa Alyasha mengkhianatinya?Kenapa Alyasha merasa ia berhak mengkhianati Aryadi?!Aryadi membanting gelas ke lantai hingga pecah berkeping-keping. Jesselyn yang kebetulan memasuki ruangan tepat pada saat itu memekik terkejut.Jesselyn terpaku di tempatnya berdiri. Aryadi menatapnya dengan mata menyala-nyala marah."P-Pak...." ujar Jesselyn terbata.Mata Aryadi memicing."Saya- saya cuma
Arion adalah seorang anak yang bertanggung jawab. Di usianya yang baru menginjak empat belas tahun, ia sudah bisa diandalkan untuk mengurus diri sendiri sekaligus adiknya yang masih duduk di kelas dua sekolah dasar. Well, teknisnya, Arion sudah belajar mengurus Annanda sejak bayi. Jadi, tidak begitu sulit baginya. Lagipula adiknya yang satu itu sangat anteng dan tidak cerewet seperti anak kecil lainnya. Annanda adalah seorang gadis cilik yang periang dan manis. Ia tidak pernah menyusahkan orang lain. Annanda juga sangat penurut pada Arion. Apapun yang Arion katakan, ia memercayai sang kakak seratus persen. Arion sangat menyayangi Annanda. Adiknya itu seperti dunianya dalam versi mini. Ia akan melakukan apa saja demi Annanda. Arion ingin melindunginya hingga mereka tumbuh dewasa bersama-sama. Meskipun beberapa bulan belakangan kedua orang tua mereka selalu sibuk dan jarang memiliki waktu untuk mereka, Arion tidak keberatan. Ia bisa memenuhi sem
Pas bunga di tangan Raven terlepas dan tejatuh. Suaranya teredam permadani yang terhampar di lantai. Raven mundur dengan panik, menolak memercayai apa yang telah ia lihat. Anak laki-laki itu berbalik dan berlari keluar rumah dengan kalut. Arion melangkah dengan pikiran seperti benang kusut. Ia bahkan tidak sadar ke mana tepatnya ia melangkah. Namun ketika ia mengangkat wajah, ia melihat bahwa jalan yang sedang ia lalui adalah jalan menuju sekolah Annanda. Ia pergi menjemput adiknya dengan berjalan kaki. Sekali itu, Arion tidak keberatan. Ia butuh menjernihkan pikirannya. Begitu banyak pertanyaan yang mencul dan mengambang di benak Arion. Kenapa ibunya sudah pulang padahal Arion diber tahu bahwa ia akan pulang sekitar tiga hari lagi? Siapa laki-laki itu? Kenapa ibunya melakukan itu dengan laki-laki lain? Apa yang terjadi? Apa yangakanterjadi pada keluarganya? Lalu, Arion mulai memikirkan kemungkinan-kemungkinan must
Malam itu, Arion duduk di meja makan dengan punggung tegak karena tegang. Ia tidak tahu apa yang akan terjadi saat ayah dan ibunya bergabung dengan mereka di ruang makan. Arion menelan ludah gugup. Ia melirik sang adik yang tengah asyik membaca buku sambil menunggu orang tua mereka. Namun yang Arion takutkan tidak terjadi. Tidak ada tindak-tanduk janggal maupunawkwarddari sang ibu. Ia bersikap hangat dan lembut seperti biasa dan diam-diam Arion merasa lega. Arion tahu apa yang telah dilakukan ibunya bukanlah hal yang benar. Dan ia takut akan konsekuensinya terhadap keluarga mereka. Karena itulah Arion tidak mengatakan apa-apa. Melihat kedua orang tuanya bersikap biasa saja, Arion merasa lega karena yang ia tak
Lift berdenting terbuka dan Annanda melangkah riang menuju ruangan sang ayah. Ia begitu bersemangat dan tidak sabar karena ini adalah kejutan untuk ayahnya. Annanda sudah bisa membayangkan ayahnya akan tertawa senang sambil memeluknya, lalu mereka akan makan kue bersama. Mungkin Annanda bisa membujuk ayahnya untuk merayakan kembali ulang tahunnya di rumah ketika keluarga mereka berkumpul. Saking bersemangatnya ia, Annanda sampai lupa untuk mengetuk pintu kantor dan membukanya begitu saja. "Ayah!" serunya gembira bahkan sebelum ia sempat melihat sosok sang ayah. Namun, langkah Annanda mendadak berhenti ketika melihat ayahnya tidak sedang sendirian di ruang kerja. Seorang wanita tengah duduk di pangkuan sang ayah. Rambut cokelatnya tergerai berantakan di punggung. Tangan ayahnya memeluk pinggang wanita itu. Mereka tengah berciuman. Ketika mereka mendengar suara Annanda, kedua orang itu mematung. Si wanita buru-buru melepaskan diri dari a
Arion tidak lagi bisa memandang ibunya dengan tatapan yang sama seperti dulu. Semenjak ia melihat apa yang dilakukan sang ibu di kamar orang tua mereka bersama lelaki lain, Arion merasakan api amarah kecil perlahan meletup dan semakin membesar di dalam hatinya. Mengapa ibu melakukan itu? Mengapa mengkhianati ayah seperti itu? Apakah ia tidak bahagia memiliki keluarga ini? Apa yang ia rasa kurang dari keluarga ini? Semakin tumbuh remaja, pertanyaan-pertanyaan itu semakin mengganggu Arion. Semakin labil emosi yang ada dalam hatinya. Padahal selama ini Arion selalu yakin orang tuanya saling mencintai. Pengkhianatan sang ibu membuat rasa hormat Arion terhadap wanita yang telah melahirkannya terkikis sedikit demi sedikit. Ayah sangat mencintainya. Arion dan Annanda juga sangat mencintainya. Lalu, apa yang kurang?! Kadang-kadang, ketika Ibu menatapnya dengan raut wajah lemah lembut dan pengertian yang selalu ia berikan, Arion merasa muak.