Share

Kebohongan

"Mau ke mana, Alya?" tanya Aryadi ketika melihat Alyasha sudah berdandan cantik siap keluar rumah.

"Ah, aku lupa bilang, Mas. Hari ini ada gathering sama teman-teman di Agency. Perayaan karena kemarin Agency berhasil dapet penghargaan untuk kategori Best Model Achievements Award."

Selama beberapa saat, Aryadi menatap Alyasha tanpa mengatakan sepatah kata pun. Akhir-akhir ini Alyasha sering sekali pergi keluar. Bahkan, di saat weekend di mana mereka sekeluarga harusnya menghabiskan waktu bersama, Alyasha harus berangkat ke kantor. Annanda memang hanya akan bertanya sekali. Begitu tahu ibunya pergi bekerja, gadis kecil itu tidak akan menanyakan apa-apa lagi. Namun, ayahnya tahu bahwa Annanda rindu untuk menghabiskan waktu dengan sang ibu.

"Akhir-akhir ini kamu sibuk banget," komentar Aryadi.

"Iya, Mas. Soalnya, mau menjelang musim Summer Fashion," Alyasha mengecek sekali lagi isi tas tangan yang ia bawa. "Aku mungkin pulang agak terlambat, Mas. Nggak usah ditunggu, ya."

"Alya..."

Aryadi ingin menahannya. Ingin agar Alyasha tidak pergi. Agar ia tidak pulang larut. Ia akan pergi bersama siapa saja? Bukankah tidak baik wanita pulang malam-malam?

"Jangan khawatir, Mas. Cuma sama teman-teman kerja, kok," kata Alyasha meyakinkan.

"Tetap saja, Alya. Kamu jangan pulang terlalu larut."

"Iya, Mas." Alyasha mengecup sekilas pipinya. "Aku pergi dulu."

Aryadi menatap kepergian Alyasha dengan perasaan teraduk. Ia tidak ingin mengijinkan istrinya untuk pergi, namun ia juga tidak ingin bersikap terlalu mengekang sang istri. Dilemma.

Tidak hanya Annanda, Aryadi juga merindukan Alyasha. Rindu untuk saling mengobrol berdua hingga larut. Menuangkan isi pikiran dan perasaan masing-masing. Mengucap kata kasih dan cinta dalam bisikan di kesunyian malam.

Namun, sejak Alyasha sibuk bekerja, ia sering pulang terlambat. Kadang-kadang terlalu lelah untuk sekadar memakan makan malam yang sudah disiapkan dan langsung rebah di tempat tidur. Aryadi tidak tahu bagaimana harus menghadapi Alyasha yang seperti ini, sebab, selama ini Alyasha tidak bekerja dan selalu ada untuk Aryadi di rumah.

Mungkin ia harus meluangkan waktu sehari untuk benar-benar membicarakan hal ini dengan istrinya.

*

Alyasha tidak pulang ke rumah hingga keesokan harinya.

Aryadi telah menghubungi ponselnya berkali-kali, namun tidak diangkat. Beberapa kali terakhir Aryadi berusaha menelepon, ponsel Alyasha telah tidak aktif. Ia resah. Khawatir istrinya mengalami kesulitan. Bagaimana kalau Alyasha kecelakaan? Kegelisahan Aryadi semakin menjadi-jadi. Namun, tidak ada yang bisa ia lakukan selain menunggu hingga pagi datang.

Aryadi ingin pergi langsung ke tempat gathering yang dihadiri Alyasha, namun ia tidak tahu di mana. Ia juga sempat menelepon ke Agency tempat Alyasha bekerja, namun tidak seorang pun mengangkat teleonnya karena hari sudah terlalu larut. Aryadi tidak memiliki contact person teman-teman Alyasha.

Gelisah, ia mondar-mandir selama beberapa lama di kamar mereka hingga lelah. Aryadi tidak tidur sedikitpun malam itu.

Begitu pagi tiba, Aryadi terlebih dahulu menghubungi Jessy untuk mengcancel semua schedule meeting yang ia miliki hari itu yang untungnya tidak banyak.

"Pagi, Ayah," sapa Arion.

Diikuti oleh sang adik dengan ceria, "Pagi, Yah!"

Annanda sudah duduk di kursi meja makan dan mengunyah sarapannya. Gadis cilik itu sudah mengenakan seragam, siap untuk pergi ke sekolah. Demikian juga Arion yang sedang duduk di seberang meja dari Annanda.

"Pagi, Arion," sapa Aryadi, lalu mengecup pucuk kepala Annanda. "Pagi juga, Sayang. Siap berangkat bersama ayah pagi ini?"

Aryadi tersenyum untuk menutupi kegalauan hatinya. Annanda bersorak gembira. Jarang sekali sang ayah sempat mengantarnya ke sekolah sehingga itu membuatnya excited.

"Ibu tidak sarapan, Yah?"

Senyum Aryadi agak dipaksakan ketika ia menjawab, "Ibu udah berangkat kerja tadi."

"Hm? Tumben ibu berangkat pagi-pagi sekali."

"Iya. Katanya ada urusan."

Arion tidak bertanya lagi, dan mulai mengoleskan ekstra selai apel di roti adiknya. Annanda menerima roti itu sambl mengucapkan terima kasih. Sisa sarapan mereka lalui sebagian besar dengan mendengar celotehan Annanda tentang hampir semua hal, dan Arion yang sesekali menanggapinya.

Setelah mengantar Annanda ke sekolah, Aryadi segera membelokkan mobilnya menuju High-Up Agency. Sepanjang perjalanan, Aryadi masih terus berusaha untuk menghubungi ponsel Alyasha, namun ponselnya masih tetap tidak aktif. Aryadi berusaha menenangkan hatinya yang mulai berdentam-dentam panik. Ia mulai mempertimbangkan akan melapor ke polisi jika ia tidak bisa menemukan Alyasha di Agency.

Aryadi berdecak tidak sabar ketika terperangkap lampu merah di persimpangan tepat sebelum gedung High-Up Agency. Ia melirik ke sebuah bangunan tepat di tepi tempatnya berhenti. Sebuah hotel menengah yang sepagi ini sudah sibuk melayani tamu-tamu yang akan check out dari hotel.

Mata Aryadi menangkap sosok yang sangat familiar. Tiba-tiba saja seluruh darah di tubuhnya terasa seperti diserap habis, hingga hanya meninggalkan tubuh yang kini terasa membeku dan mati rasa.

Alyasha.

Alyasha berada di lobby hotel itu. Tengah mengobrol dengan seorang pria jangkung. Pria itu menunduk untuk mengecup pipi Alyasha, lalu memeluknya.

Aryadi mencengkeram setir begitu kencang hingga buku-buku jemarinya memutih. Ia bisa merasakan kemarahan mulai menggelegak di dada. Ia ingin keluar dari mobil sekarang juga, menghampiri mereka, menanyakan langsung kepada Alyasha kenapa ia tidak pulang semalaman. Kenapa ia berada di sebuah hotel bersama seorang laki-laki yang bukan suaminya.

Suara klakson mobil di belakang Aryadi menyentaknya kembali ke kenyataan. Lampu lalu lintas  telah berubah hijau. Aryadi tidak punya pilihan lain selain menjalankan mobilnya. Ia melirik Alyasha yang masih membicarakan entah apa dengan pria itu, dan hal ini membuat hati Aryadi semakin terbakar.

Begitu ia berhasil menepikan mobil di tepi jalan, Aryadi berusaha mengatur napasnya yang memburu. Berusaha berpikir dengan kepala dingin meskipun di situasi ini ia tidak bisa. Ia meraih ponsel dengan tangan gemetar, lalu menghubungi kembali nomor Alyasha.

Kali ini, panggilan telepon tersambung. Alyasha mengangkatnya sebelum dering ketiga.

"Halo, Mas."

"Alya," Aryadi menarik napas, berusaha menjaga nada suaranya tetap tenang. "Kamu di mana?"

"Aku di...." Alyasha memberi jeda sebentar. Aryadi berdebar menanti jawaban. "Aku lagi di rumah teman, Mas. Kemarin kemaleman, jadi aku sekalian nginep. Aku mau ngasih kabar, tapi ponselku udah mati."

Aryadi menahan keinginannya untuk membanting ponsel, dan berteriak betapa alyasha adalah pembohong. Mengapa? Mengapa Alyasha membohonginya? Kebenaran apa yang ia berusaha tutup-tutupi? Hubungannya dengan pria yang ia peluk mesra di hotel itu? Berapa lama Alyasha sudah membohonginya?!

"Teman kamu yang mana?"

"Sashya, Mas," jawab Alyasha agak terlalu cepat. "Rumahnya dia yang paling deket sama tempat gathering jadi aku sekalian numpang tidur di sana."

Sashya adalah salah satu teman dekat Alyasha di tempat kerjanya. Aryadi tahu Alyasha sudah pasti sudah menghubungi Sashya agar mau berbohong demi dirinya sehingga, kalaupun Aryadi menghubungi Sashya untuk menanyakan soal Alyasha, ia pasti mengatakan kalau Alyasha berada di rumahnya semalam.

"Begitu," ujar Aryadi melalui rahang yang dikatupkan. Tangannya terkepal begitu erat. Ia tergoda untuk meninju sesuatu. Sesuatu seperti wajah pria yang dipeluk Alyasha itu, misalnya.

"Jam berapa kamu pulang ke rumah?" tanyanya lagi.

"Ini lagi otw ke rumah, kok, Mas."

"Oke." Aryadi mengembuskan napas panjang. "Kita bicara di rumah."

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status