"Aku di gazebo, Hel." Violetta menjawab telepon Helios.Helios menghela napas dalam. Violetta menunggu untuk mereka bicara. Lebih baik Helios segera menemui gadis itu dan meluruskan apa yang terjadi malam sebelumnya. Semua makin sulit dan berat. Pundak dan punggung Helios seperti tengah memikul keranjang besar penuh dengan batu-batu di dalamnya."Oke, aku ke sana." Helios menutup panggilan dan berjalan meninggalkan rumah, menemui Violetta.Gadis itu duduk memandang lurus ke arah taman. Di seberang taman, seorang pelayan sedang memasang alat penyiram tanaman.Helios berjalan lebih lambat saat semakin dekat dengan Violetta. Lalu dia duduk di samping gadis itu, berjarak hampir setengah meter. Violetta menoleh ke arah Helios, sementara Helios tetap memandang lurus ke depan. Melihat sikap kaku dan canggung Helios, Violetta menunggu, kembali mengarahkan matanya ke taman. "Aku sangat malu. Tadi malam aku seperti laki-laki gila. Aku, aku benar-benar minta maaf, Vio." Helios mengatakan itu ta
Helios tersenyum. Masih jelas tampan, tapi senyumnya redup, bukan senyum gembira. "Sejak aku tinggal di sini, semua duniaku terbalik. Kejutan demi kejutan aku hadapi tiap hari. Aku bersemangat, berusaha semaksimal mungkin melakukan yang dipercayakan padaku. Kukira aku akan terbiasa. Ternyata ...""Apa menurutmu lebih baik kamu kembali ke dunia lama kamu? Menjadi dirimu sendiri?" Donita memandang Helios."Miss Doni tahu tentang aku?" Helios merasakan degupan kuat di dadanya. Jika Donita tahu siapa dia sebenarnya ..."Jangan kuatir. Aku tahu bagaimana menutup mulut." Donita tersenyum tipis."Bang Victor-""Jangan salahkan dia. Victor sangat bisa diandalkan untuk memegang rahasia. Aku yang lancang dan culas. Jadi, Victor terjebak dan terpaksa mengatakan tentang dirimu yang sebenarnya." Dengan cepat Donita menjelaskan."Hmmm ..." Helios menarik napas berat. "Jadi, Tuan Muda, aku senang jika kamu mau cerita. Biar pundakmu terasa lebih ringan. Suntuk akan sedikit menyingkir." Donita memb
Minggu pagi. Helios bangun saat matahari mulai menebar sinarnya. Dia membuka tirai kamarnya laku keluar ke balkon. Helios paling suka menikmati udara pagi yang segar dan merasakan sinar matahari pagi menyentuh kulitnya.Mata Helios otomatis melihat ke arah rumah seberang, ke kamar Violetta. Tirai masih tertutup rapat. Sangat mungkin gadis cantik itu belum terjaga. Sangat mungkin juga, gadis itu masih sedih dan kesal pada Helios."Miss you, Vio. Pengin lihat senyum lebar dan manja kamu," kata Helios pelan.Lalu Helios menengadah, melihat ke langit yang terang dengan awan terpencar di sana-sini, tipis tapi menambah indah langit pagi."Kau belum menjawab aku, Tuhan. Apa aku yang tidak bisa mendengar suara-Mu?" Helios bertanya lirih.Puas menikmati suasana pagi, Helios kembali ke dalam kamar. Lebih baik dia mandi menyegarkan badan. Tepat saat itu, tampak ponselnya menyala dan bergetar. Dengan cepat Helios mendekati nakas dan melihat yang menelpon."Donita?" Helios heran, sepagi itu Donit
Helios mematung. Kalimat yang dia dengar membuatnya tak tahu harus berkata apa dan berbuat apa. Semua tampaknya akan segera berakhir. Kisah pemuda miskin putus asa yang menjadi Tuan Muda akan berlalu, kemudian dia akan disingkirkan.Tatapan penuh amarah dengan mata menyala Herman membuat Helios takut. Takut dengan apa yang akan terjadi padanya setelah ini. Dia bukan siapa-siapa. Jika Herman menganggap Helios gagal, dengan mudah, seperti menyentil semut dengan jari telunjuk, habislah sudah."Ini tidak masuk akal! Ini gila!" Herman mengepalkan tangannya, teracung ke depan mukanya."Papa, maafkan aku ..." ucap Helios dengan rasa berat menekan di dadanya. Bernapas saja seakan mulai sesak."Kamu cinta Violetta?" Herman masih belum lega. Dia ingin pengakuan Helios sepenuhnya.Helios menelan ludahnya. Tidak mungkin dia tidak mengaku. Tapi pengakuannya hanya akan menambah semua berantakan."Kamu diam, aku sudah tahu jawabannya." Herman memandang Helios, sementara tangannya pindah mendekap dad
Herman tidak menyahut. Dia memandang Helios, menarik napas dalam dan panjang. Mungkin kata-kata dr. Luki benar. Dia harus mendengar suara hati Helios. "Pa ... Papa ..." Helios memulai dengan sengaja memanggil Herman. Hati Helios bergemuruh. Apa yang dia katakan, dia tahu bisa akan jadi bencana bagi Herman. Tetapi, tidak ada gunanya dia terus menghindar. Mungkin juga, ini perjuangan yang harus Helios lakukan seperti yang Violetta ucapkan."Orang yang pertama aku panggil papa dengan sadar ..." Helios menghela napas.Herman yang semula melihat ke langit-langit kamar, menoleh pada Helios. Dia menunggu apa yang Helios mau ungkapkan sebenarnya."... adalah Tuan Besar." Helios melanjutkan. "Aku tak pernah tahu siapa ayahku. Membayangkan punya ayah, aku bahkan tidak mau lagi. Karena tidak akan ada seorang ayah untukku."Herman tidak berkedip. Dia masih menunggu."Saat aku dipaksa jadi Tuan Muda, aku bingung. Semua tidak masuk akal. Tapi, menjalaninya, semakin mengenal Tuan Besar, aku bersyu
Pagi tiba.Saat Helios terbangun, Herman justru tengah terlelap. Helios tidak mau membangunkan Herman. Dia mencari Vemy dan Rindi di dapur, berpesan pada mereka untuk menjaga Herman. Helios harus tetap bekerja.Dengan hati carut marut Helios meninggalkan mansion menuju kantor. Dia bahkan tidak ingat Violetta mestinya pergi dengannya. Tiba di kantor pun, Helios seperti sedikit linglung, tidak tahu mana dulu yang harus dia lalukan."Bang, sudah di kantor?" Helios menghubungi Victor. Dia butuh seseorang menolong dia. Tidak mungkin Helios bekerja dengan pikiran kalut. Sekitar lima belas menit berikutnya, Victor masuk ke ruangan Helios."Kamu kenapa?" Victor seketika tahu ada yang tidak beres dengan Helios begitu dia masuk ke ruangan."Aku bingung. Kacau, Bang." Helios ingin menangis, ingin berteriak, ingin pergi sejauh-jauhnya dari semua hal yang menggulung dan menindihnya."Kemarin pulang gereja kamu terlihat lebih tenang, lebih cerah. Ada apa?" Victor duduk di kursi depan meja kerja Hel
Semua mata memandang pria berkulit sawo matang itu. Tentu saja mereka kaget, dia bicara pada Herman seakan mengenal Tuan Besar saja."Ririn?" Herman menatap pria yang tak dia kenal itu dengan kaget.Kedua alis Herman menyatu. Siapa pria itu? Apa mereka pernah bertemu?"Pak Winardi, kamu ngapain?" Wanita yang ada di sebelah Tara menyahut lirih, setengah menyentak pada pria itu "Nya, itu Tuan itu. Aku harus bicara sama dia." Pria dpanggil Winardi itu memandang majikannya dengan meyakinkan."Pak Win keluar saja. Tunggu aku di teras," kata si nyonya. Tegas, sebuah perintah yang tidak boleh ditolak."Tapi, Nyonya, ini penting. Sebentar saja." Winardi memohon dengan dua tangannya menyatu di depan dada."Laila, ada apa, sih?" Tara akhirnya ikut bicara karena tidak nyaman juga melihat tingkah Winardi. "Ga tahu, aneh banget." Laila, teman Tara, menoleh melihat Tara yang juga merasa tidak enak pada Herman karena itu. "Pak Win." Laila mendekat dua langkah pada soprinya. Dia bicara lagi setenga
Helios memeriksa lagi semua berkas, catatan, data atau apapun yang selama ini dia kerjakan. Setelah itu, dia akan menemui Violetta dan mengatakan semuanya. Jika Violetta sayang padanya, dengan tulus, pasti Violetta akan mau menerima Helios apa adanya.Begitu urusan dengan Violetta selesai, Helios akan menemui Herman dan Halim. Dia akan menyerahkan semuanya lagi, memastikan perjanjian misi itu berakhir, lalu dia akan pergi. Helios akan pulang, kembali ke Semarang. Dia akan kembali menjadi Ardiandana Krisnadi."Hhaahhh ..." Helios mendesah. Rasa berat kembali menekan dadanya. Hampir satu tahun dia tinggal di mansion. Kehidupan yang tak pernah dia pikir akan dia jalani, dia tempuh sebagai orang asing. Seseorang yang hanya ada dalam imajinasi Herman, dengan tidak ada pilihan, Helios, bukan, Ardi harus ada di posisi itu."Semua sudah selesai. Dan aku gagal." Helios tersenyum pahit. Gelisah bercampur sedih menerpa hatinya. "Setidaknya aku tahu rasanya jadi anak sultan. Tahu rasanya punya se
Pesawat mendarat dengan lancar di kota tujuan. Satu per satu penumpang turun dari pesawat. Di antara mereka tampak Helios dan Violetta. dan satu lagi yang ikut dengan mereka, Herman. Juga didampingi satu pelayan yang akan membantu keperluan Herman jika diperlukan. Berempat mereka mendarat di kota kelahiran Helios, Semarang. Tetapi mungkin lebih tepat dikatakan kota kelahiran Ardiandana Krisnadi. Hari itu, apa yang Helios rencanakan akhirnya bisa dia wujudkan. Dia datang ke Semarang untuk berziarah ke makam ibunya. Dia sudah bertemu ayah kandungnya, yang ternyata pria kaya raya dan baik hati. Bahkan saat ibu Helios mengandung kala itu, Herman masih seorang pengusaha muda yang baru meniti karir. "Apa yang kamu rasakan, Hel?" Violetta bertanya pelan di dekat Helios sementara mereka sedang menuju ke hotel untuk beristirahat setelah meninggalkan bandara. "Penuh. Rasanya campur-campur, di sini." Helios memegang dadanya. " Lebih satu tahun aku pergi. Kembali melewati jalan-jalan ini, semu
"Hel! Helios!" Helios tersentak mendengar panggilan keras itu. Dia segera bangun dan duduk. Tampak Violetta berlari menghampiri Helios yang masih belum hilang dari rasa kaget.Violetta naik ke ranjang, duduk di depan Helios. Mata Violetta menatap dengan berbinar pada Helios yang akhirnya mendapatkan kesadaran sepenuhnya."Ada apa?" tanya Helios."Kita ketemu papa hari ini," kata Violetta penuh semangat tapi juga tegang."Papa?" Helios melotot. "Papa nyusul ke sini? Ini bulan madu kita.""Bukan. Salah." Violetta menggeleng-geleng dengan keras. "Bukan Papa Herman. Papaku.""Papa kamu?" Helios kembali harus memberi waktu loading pada otaknya."Ahh, Pieter. Papaku waktu aku kecil." Kembali Violetta menjelaskan."Ooh, oke ..." Helios mengerti yang Violetta maksud. "Serius dia mau ketemu kamu?""Ya." Kali ini Violetta mengangguk dengan tegas. "Awalnya aku ga yakin, tapi ternyata dia mau. Makan siang di resto ... ini ..." Violetta menunjukkan nama dan lokasi tempat Violetta akan bertemu Pie
"Kenapa? Kenapa kamu melihat aku seperti melihat orang aneh?" ujar Herman sambil memandang Helios lagi."Papa restui aku dan Violetta?" Berdetak lebih kuat jantung Helios ketika mengucapkan itu."Vio, mendekatlah kemari." Sekali lagi Helios meminta Violetta datang di sampingnya.Dengan tatapan bingung, Violetta melangkah mendekati Herman."Kamu sungguh-sungguh sayang anakku?" tanya Herman.Pertanyaan itu diucapkan lembut, tidak ada nada sinis atau tidak suka. Benar-benar pertanyaan yang memang ingin tahu yang sebenarnya.Violetta hampir tidak mampu menahan air matanya. Segala kemelut di dadanya seolah-olah perlahan terurai.Helios yang ada di seberang Herman, memperhatikan Violetta. Menunggu jawaban gadis itu."Ya, Om. Aku sayang Helios." Suara lembut Violetta akhirnya terdengar. "Buat anakku bahagia di hidupnya. Kamu bisa?" tanya Herman lagi, dengan nada suara yang sama.Pertanyaan itu langsung membuat air mata Violetta tak bisa dibendung. Dia menutup wajah dengan kedua tangannya. Di
Dua pasang mata di depan Herman menatap padanya. Sudah pasti Helios dan Violette menunggu kalimat berikut yang akan Herman ucapkan. Tetapi muncul sedikit cemas, kalau sampai emosi Herman naik, jantungnya bisa bermasalah lagi."Aku sudah mendapatkan penyelesaian dari semua kemelut yang selama ini membuat hidupku terasa sangat rumit dan menekan." Lebih tegas Herman bicara, meskipun tetap terdengar tenang. "Maksud Papa?" Helios menegakkan punggung. Dadanya tiba-tiba berdegup kuat. Yang dia takutkan jika Herman tidak akan menerima Violetta di mansion karena Siska sudah tidak ada lagi sebagai anak angkat keluarga Hartawan. "Masalahku yang utama adalah aku perlu penerus untuk keluargaku. Aku ini sudah tua dan sakit-sakitan." Herman kembali melanjutkan menikmati makanannya. Helios dan Violetta memperhatikan setiap gerakan Herman. Herman mengangkat wajahnya, dan mengarahkan pandangan pada Violetta. Lalu dia menoleh ke arah belakangnya. Ada pelayan pengganti Erma berdiri beberapa meter di
Herman menanyakan Violetta. Ini benar-benar kejutan. Helios menaikkan kedua alisnya menatap Herman."Aku lihat dia sedang sedih, Helios. Di mana dia?" Herman menegaskan lagi.Helios semakin terkejut. Dari mana Herman tahu jika Violetta sedang bersedih? Tapi memang itu kenyataannya."Aku telpon dia. Aku akan minta dia ke sini." Helios mengeluarkan ponsel dan mencari nomor kontak Violetta.Dering panggilan Helios beberapa kali, tetapi tidak ada respon. Helios mencoba lagi, hingga kali ketiga baru Violetta menerima panggilannya."Hel ... mama ... mama sdh pergi, Hel ..." Terbata-bata sambil menangis Violetta berkata."Apa?" Refleks kata itu yang Helios ucapkan."Hel ... aku, aku ..."Helios menatap Herman. Ini kesedihan yang Herman maksud. Herman tahu kalau Violetta sedang sedih."Pa, aku temui Vio." Helios berkata dengan pandangan datar, sedikit nanar.Victor memperhatikan ekspresi yang tiba-tiba berbeda."Ya, pergilah." Herman mengangguk.Helios mendekati Victor dan berbisik,"Tante Sis
Violetta masuk kamar Siska. Wanita itu kembali menggunakan alat bantu pernapasan dan kondisinya tiba-tiba sangat lemah. Namun, kesadarannya masih ada. Dia memandang Violetta dan mengulurkan tangan kirinya yang gemetar.Violetta mendekat dan memegang tangan kiri Siska. Hatinya sangat sedih. Melihat ibunya berjuang untuk bernapas, Violetta tidak tega."Kamu ... Vio ..." Siska memaksa diri bicara.Violetta mendekat ke dekat wajah Siska agar bisa mendengar yang Siska katakan."Baha ... gia ... Jangan ... ja ... ngan, se ... dih." Semakin pelan terdengar tapi masih dapat Violetta tangkap.Mendengar itu begitu saja air mata meluncur di mata Violetta. Dia mengangkat muka dan memandang Siska. Mata Siska terus menatap pada Violetta. Lemah dan redup, sayu dan semakin berat."Mama, aku pasti bahagia. Aku janji." Violetta berkata sambil berusaha menahan diri agar tidak menangis.Mata Siska tampa makin berat. Senyum kecil di ujung bibirnya. Sedang napasnya semakin berat. Dia mulai tersengal-sengal
Halim dan Victor bertindak. Niat Helios ingin meluruskan postingan Siska segera mereka tanggapi. Halim membantu Helios menata apa-apa yang perlu Helios katakan di publik dan bagian mana yang cukup menjadi konsumsi pribadi saja.Sedangkan Victor, dia memanggil tiga media yang cukup dikenal dan kredibel untuk ikut membuat video ketika Helios membuat pernyataan. Ini sengaja dilakukan, langsung dengan media, bukan video yang siap ditayangkan setelah lewat proses editing dan lain-lain.Tetap sangat dibatasi berapa dari pers yang bisa datang, karena lokasi dilakukan di rumah sakit. Dua hari persiapan maka rencana dijalankan. Saat memulai Helios sangat tegang. Violetta, Halim, dan Victor juga sama."Hel, good luck. Thanks for all." Violetta mengatakan itu sepenuh hati dan juga menyemangati Helios.Helios mengangguk lalu berjalan ke kursi yang disiapkan untuknya. Pengambilan gambar dilakukan di taman yang tidak jauh dari tempat Herman dirawat."Hari ini, meskipun bukan yang aku inginkan, aku
Helios dengan cepat berdiri. Violetta menatap padanya dengan mata berkaca-kaca. Helios melangkah mendekat. Seketika tangis Violetta pecah. Dalam dekapan Helios, gadis itu melepas penat yang begitu menekan dirinya."God, thank you, You bring her back." Lirih Helios bicara. Dengan kuat dia peluk Violetta. Helios mau membuat Violetta tenang, yakin, Helios akan mendukung dan mendampingi dirinya. Pelukan ini yang Violetta butuhkan. Pelukan cinta tulus untuknya. Apapun keadaannya, cinta itu akan tetap ada. Tanpa tujuan lain, tanpa motivasi apa-apa, selain karena sayang."Terima kasih kamu mau balik. Terima kasih, Vio." Lembut sekali Helios bicara. Terasa rasa lega yang begitu besar dari nada suara Helios.Victor memandang keduanya. Begitu rumit yang terjadi di sekeliling mereka. Cinta mereka diuji berulang kali dengan banyak hal yang jika dipikir tidak harus mereka lalui. Mengingat kisah cintanya sendiri dengan Donita, yang Helios dan Violetta hadapi masih lebih berat."Aku mau lihat mama
Violetta menoleh ke arah gerbang menuju pesawat. Petugas menunggu dengan senyum ramah. Para penumpang satu per satu masuk ke sana.Violetta berdiri. Dia menarik napas dalam. Ada perasaan campur aduk di dada. Dia akan pergi atau kembali. Hatinya bergelut luar biasa. Violetta hanya ingin tenang, lelah dengan semua carut marut yang menekan hidupnya. Setiap berurusan dengan ibunya, hanya luka dan pedih yang dia dapatkan. Jika dia pergi, semua akan selesai. Tapi, apakah dia sejahat itu sebagai anak? Lalu, Helios? Apakah Violetta juga tega membiarkan Helios menghadapi semua sendiri?"Vio, please ..." Terdengar sendu suara Helios. "Aku sayang kamu. Aku mau kita sama-sama. Aku janji akan bilang papa kalau aku akan-"Klik. Violetta mematikan panggilan Helios. Dia masukkan ponsel ke dalam tas, lalu berjalan cepat meninggalkan ruang tunggu dan pergi keluar. Violetta mencari taksi. Dia akan kembali. Dia tidak akan membiarkan Helios menyelesaikan kekacauan yang dibuat oleh ibunya.Bagaimanapun, s